Monday 29 December 2008

Profil Perekam Sejarah

Tiba-tiba saja muncul ide untuk membuat blog khusus berisi profil singkat orang-orang yang kami kenal.

Yang dimaksudkan orang-orang adalah teman, kerabat, atau sanak saudara kami, baik di lingkungan sekitar rumah, tempat kerja, sekolah, ataupun di tempat lain. Bisa berasal dari masa lalu dan juga masa sekarang.

Ada dua tujuan yang hendak dicapai dengan pembuatan blog ini. Pertama sebagai tempat menampung hasil latihan menulis profil, dan kedua sebagai rekaman sejarah yang kami dedikasikan kepada orang-orang yang kami kenal di sekitar kami.

Rencananya, tulisan akan dibuat oleh kami berempat. Formatnya dan gaya penulisan terserah yang menulis, tetapi diharapkan setiap profil tidak lebih dari 500 kata. Pilihan kata maupun gaya bahasa yang dipakai juga terserah yang menulis. Yang jelas, setiap profil mesti dilengkapi 1 foto wajah dari tokoh yang sedang diceritakan serta beberapa informasi dasar semisal umur dan tempat tinggal.

Biasanya profil yang menarik merupakan cerita asli dan unik, juga berisi satu dua filosofi dasar yang menjadi pegangan hidup sang tokoh yang bisa dijadikan sumber inspirasi bagi pembaca. Bila 'wawancara' tidak bisa dilakukan, profil dapat saja berisi kesan subyektif penulis tentang tokoh dalam tulisannya, terutama yang positif dan bermanfaat.

Saat menulis pendahuluan ini, yang terbayang untuk segera dibuatkan profil adalah Pak Husin - tetangga yang suka jagain rumah kalau kami bepergian, lalu Pak Jangkung - petugas sampah komplek perumahan kami yang kerap menawarkan bibit tanaman, Pak Herman yang menanam bayam di tanah kosong samping rumah, dan Bu Jajan (entah namanya siapa - nanti ditanyain ya) yang setiap pagi lewat depan rumah kami mengusung dagangannya sambil berteriak, "Kuee kueeeeeee." Ifa dan Aya bisa mulai dengan menulis profil Rifda, Rafif, Mba Nisa, Mbak Dila, atau teman-teman sekolahnya. Ibu bisa mulai dengan Bu Sarry, Pak Goen, atau teman-teman dari masa lalu seperti Pak Tri, Mbak Naroh, atau siapa saja yang.

Let's do it. Don't forget to include a picture!

Pak Husin

Tubuhnya kurus dengan kulit gelap mengkilap karena keringat. Kalau sedang membersihkan rumput di sekitar musholla di perumahan kami, Pak Husin suka memakai jaket hitamnya yang sudah tidak memiliki resluiting. Hanya jaket (tanpa baju dalam) dan celana panjang yang juga berwarna hitam. Bisa dibayangkan panasnya.

“Saya memang suka memakai warna hitam,” ujar lelaki berusia 58 tahun yang sejak Januari lalu diserahi tugas sebagai marbot Musholla An-Nur di perumahan kami, menggantikan marbot lama – Pak Yono – yang tiba-tiba jatuh sakit dan tidak bisa menjalankan tugasnya mengurus musholla.

“Ketika muda, saya memanjangkan rambut, keluar main pakai celana, baju, dan jaket hitam. Rasanya keren, apalagi ditambah dengan kalung besar, seakan menjadi anak band,” cerita lelaki yang lahir di Petamburan dengan nama lengkap Husin Basri.

Kalau melihat sosok Pak Husin sekarang yang kerap berbaju koko dan berkopiah putih siap mengumandangkan azan setiap datang waktu sholat, kita mungkin tidak menduga hobynya nonton film.

“Saya paling suka film silat China,” cerita Pak Husin sambil menyebutkan Bruce Lee, Jet Lee dan Jacky Chen sebagai aktor idolanya. “Saya suka mereka karena kalau bertarung gak pakai alat, alias tangan kosong.”

Ketika diajak nonton DVD Mummy III, Pak Husin langsung berujar, “Ah … udah nonton tuch. Di TV. Udah lama.” Nampaknya untuk urusan film silat china, Pak Husin tidak pernah ketinggalan.

Pak Husin dan istrinya, Bu Rusmiati, tinggal di sebuah rumah yang terletak di samping perumahan kami. Rumah sederhana itu dibanguan di atas tanah sisa warisan mertuanya.

“Orang tua istri saya dulu memiliki tanah seluas sekitar 4000 m3. Tanah tersebut sudah dijual dan sebagiannya dibagi-bagikan kepada anak-anaknya. Istri saya mendapat sebidang tanah yang sekarang kami tempati bersama 3 anak kami. Dua anak yang sudah besar sudah tidak tinggal bersama kami.”

Pak Husin menghidupi keluarganya dengan bekerja serabutan sejak berhenti bekerja sebagai supervisor pada sebuah perusahaan cleaning service yang melayani maskapai penerbangan Garuda Indonesia ketika masih di Lanud Kamayoran serta PT Telkom di kawasan Kota Lama.

“Terlalu jauh kalau saya ikut pindah ke Cengkareng. Saya tinggal di Depok. Waktu itu transportasi tidak selancara yang sekarang. Kalau saya bertahan di cleaning service, mungkin sekarang saya sudah menduduki jabatan yang bagus seperti beberapa teman seangkatan saya,” tutur Pak Husin tidak hendak menyesali keputusannya berhenti bekerja dan memilih tinggal di rumah mengurusi anak-anaknya yang masih kecil.

Pak Husin memiliki satu kesenangan unik yaitu bila sedang punya duit, dia akan pergi ke warteg memesan makan dengan lauk sambal ikan tongkol dan emping mlinjo. “Saya suka sekali makanan ini. Rasanya nikmat sekali, karena cocok dengan selera makan saya.”

Mengenai pekerjaannya sebagai marbot sekarang, Pak Husin bercerita bahwa fikirannya menjadi lebih tenang. “Mungkin karena tidak pernah pernah meninggalkan sholat seperti waktu-waktu lalu.”

Pak Husin mengaku sangat menyukai pekerjaannya sekarang walaupun dia digaji seadanya, yaitu sebesar Rp. 250.000 per bulan ditambah insentif Rp.20.000 setiap selesai mengumpulkan infaq bulanan warga.

“Saya hanya punya satu keinginan, yaitu mengantar anak saya yang paling kecil menyelesaikan sekolahnya. Setelah itu, saya akan merasa tenang dan saya fikir saya masih perlu meningkatkan ibadah saya sebagai persiapan bila suatu saat dipanggil yang Maha Kuasa.”

My Chevrolet Blazer (2)

Hari ini, lima belas hari sudah berlalu sejak keisenganku menelpon pengiklan mobil tanggal 14 Desember lalu. Sekarang, sebuah Chevrolet Blazer warna coklat muda tampak nyaman menempati kandang yang biasa ditempati Aerio Merah. Bagiku ini merupakan khayalan Poskota yang menjadi kenyataan.

Dua minggu terakhir merupakan waktu yang cukup melelahkan. Sempitnya waktu tidak memungkinkan untuk mendapatkan harga bagus untuk Aerio Merah. Awalnya, aku tawarkan Aerio di Bendi 21 Cinere dan beberapa show room mobil di jalan Margonda, Depok. Mereka rata-rata menyebut harga yang jauh dari keinginanku. Aku juga minta bantuan teman untuk menjual Aerio. Sayang sekali, beberapa tawaran bagus berdatangan justru setelah Aerio terjual. Good Bye Aerio Merah

Tanggal 22 Desember, aku harus akan segera berangkat ke Aceh menemani Ifa dan Aya menjemput ibunya yang sudah tidak kerja di Aceh lagi. Tiket promosi Lion Air yang kami pegang tidak memungkinkan perubahan jadwal. Karena tidak ada waktu lagi untuk negosiasi harga, apalagi harus mengurus sendiri pengambilan BPKB di Oto Multiartha Depok, aku lepas Aerio dengan harga 91.5 juta di Mobil 88 Simatupang. Sebuah harga yang pantas ditambah kesediaan Mobil 88 mengurus semua administrasi selama aku berada di Aceh. Semua berjalan lancar, sampai 2 hari lalu (27 Desember) aku membayar dan mengambil si Blazer Coklat di Sun Motor, dealer resmi Chevrolet di Jalan Panjang, Kebon Jeruk.

Sebenarnya, keinginan memiliki sebuah mobil blazer tidak muncul begitu saja. Keisengan tanggal 14 Desember lalu hanya merupakan puncak dari keinginan terpendam selama ini.

Aku masih ingat pertama kali mengenal mobil blazer sekitar 10 tahun lalu. Kantor tempatku bekerja di Jogja (BORDA – sebuah lembaga penelitian dan pembangunan Jerman) memiliki sebuah Opel Blazer berwarna putih. Aku pernah sekali ikut menumpang dan merasakan sensasi naik blazer. Sekali saja, tetapi itu sudah cukup membuatku merasa perlu mematri keinginan suatu saat memiliki blazer.

Karena belum berani ‘memelihara’ kebo – sebutan bagi blazer oleh para penggemarnya di mailinglist blazer, nyaliku hanya kuat untuk sebuah mobil Panther Hi-Sporty 1997 yang aku beli tahun 2003 lalu. Setelah aku pelihara sekitar 2 tahun, Panther aku lepas untuk bayar hutang dan kemudian memberanikan diri mencicil sebuah Suzuki Aerio. Selama mengendarai Aerio, keinginan untuk memiliki sebuah mobil SUV tidak pernah pudar. Sasaran pertama adalah Panther Grand Touring. Berhubung harganya terus melambung dan keadaan keuangan tidak memungkinkan, niat kembali ke Panther tidak pernah kesampaian sampai akhirnya sekarang justru mendapatkan sebuah blazer dari negeri impian.

Bagi banyak orang, memiliki sebuah mobil blazer bukanlah pilihan. Berbagai keluhan seperti akselerasi awal yang lemot, mahalnya suku cadang, atau borosnya konsumsi bahan bakar, membuat mereka lebih menyukai mobil-mobil produksi Jepang. Aku juga mendapat tantangan dari beberapa teman ketika bercerita tentang keinginanku memiliki blazer. Saran-saran mereka bahkan sempat membuat aku ragu dengan kemampuanku memelihara kebo sampai thread diskusi tentang blazer di Seraya Motor berhasil meyakinkanku. Sebanyak 62 halaman thread BLAZER masih worthed gak? (Part 1) habis aku baca berikut tambahan lebih dari 10 halaman di (Part 2).

Mungkin agak berlebihan bila aku sebut thread tersebut sebagai penyelamat, tetapi membaca diskusi tentang seluk beluk blazer (Opel maupun Chevrolet) membuat mataku terbuka akan berbagai kelebihan dan kekurangan blazer. Keyakinanku untuk mewujudkan impian menjadi makin kuat. Bahkan ketika mengecek kondisi Blazer Coklat yang sekarang sudah menjadi milikku, aku juga menggunakan 7 tips sederhana namun sangat berharga dari thread diskusi tersebut. Buat para dukun kebo di Seraya Motor, terimakasih ya ... Menurutku, si Blazer Coklat lulus tes.

Singkat cerita, waktulah yang akan membuktikan apakah pilihanku memelihara sekaligus menikmati blazer tepat atau tidak. Yang jelas, saat ini aku sedang merasa melambung, merasa senang sekali sudah bisa mewujudkan sebuah keinginan, memiliki sebuah mobil impian. Memiliki mobil yang kuat dan nyaman untuk membawa anak-anak keluar kota bila ingin jalan-jalan. Sekeluarga mengendarai sebuah Blazer LT (luxury touring) menuju tempat rekreasi alam, gunung dan pantai, merupakan impian sejak lama. Juga berkunjung ke teman dan kerabat di Pacitan, Wonosari, Jogjakarta, Surabaya, dan tempat-tempat lain yang yang memiliki torehan kenangan lama.

Mengharapkan nantinya ada kesempatan dan biaya untuk mewujudkan rencana itu rasanya sudah senang. Apalagi kalau benar bisa terwujud nanti. Aku ingin menikmati perasaan senang ini. Dengan perasaan seperti itu pula rasa-rasanya aku akan siap bila ternyata pilihan memelihara kebo terbukti tidak tepat. Hehe.

Saturday 27 December 2008

My Chevrolet Blazer (1)

“Selamat pagi pak, apakah blazernya sudah laku?” tanyaku begitu mendengar suara seseorang menjawab dering telponku. Minggu 14 Desember, jam 8 pagi. Aku sedang bermalas-malasan di bangku panjang teras belakang rumah.

Mengusir kantuk yang mulai datang lagi, iseng aku telpon sebuah nomor seluler yang aku dapatkan dari koran, nomor telepon seorang pengiklan yang ingin menjual sebuah mobil Chevrolet Blazer tahun 2006. “Kondisi bagus,” demikian iklan tersebut tertulis.

Sejak bangun sekitar jam 3 dini hari tadi, aku tidak bisa tidur lagi. Sudah beberapa bulan terakhir aku terbiasa masuk kamar tidur sekitar jam 8 malam, mengantar anak-anak tidur. Biasanya aku ikut ketiduran dan akan terbangun tengah malam. Anehnya, aku seringkali terbangun pada jam yang sama, yaitu pukul 00.08. Aku pastikan ini karena setiap terjaga aku langsung mengecek jam. Barangkali sekedar kebetulan, tapi kata orang itulah body clock.

Setelah bangkit dari tempat tidur, biasanya aku menuju jendela, memeriksa gerendel dan mengintip ke luar berharap menangkap sosok mencurigakan mengendap-endap dalam kegelapan malam. Kalau sedang ada perasaan ‘gak enak’, akan kunyalakan lampu ruang tamu, pura-pura batuk beberapa kali seakan mengirim pesan kepada tamu tak diundang (kalau ada) bahwa pemilik rumah sudah terjaga dan tidak ingin diganggu.

Rutinitas berlanjut dengan mondar-mandir antara dapur, ruang tengah, depan laptop, lalu ke teras belakang, atau ke kamar periksa Ifa dan Aya yang masih nyenyak. Tak ada kegiatan yang berarti. Tidak ada TV yang menyiarkan Liga Inggris. Juga no body to talk with! Biasalah .. for the last three years .. been only me and the girls!

Berbaring atau duduk-duduk menunggu terang di bangku panjang teras belakang memang menjadi pilihan favorit. Tentunya ditemani teman setia - kopi dan rokok. Beberapa jam sebelumnya, penyelamatku tiba. Suara bundelan koran terhempas di lantai teras depan terdengar merdu menjanjikan harapan. Siapakah yang tidak tertarik sekedar melihat halaman depan koran hari ini? Serasa menjadi yang paling beruntung sebagai orang pertama yang akan membaca koran, aku bergegas membuka pintu dan memungut koran yang masih terlipat rapi - kerapian yang kadang membuatku heran. Bukankah bundelan koran biasanya di lempar begitu saja? Sesaat kemudian aku tenggelam dalam kesibukan membolak balik koran.

Sinar matahari sudah mulai menerobos celah daun pisang dan melinjo yang tumbuh dekat tembok samping. Terasa silau karena atap teras belakang memang cukup tinggi memungkinkan sinar matahari pagi bebas menyorot.

Semua tulisan di Kompas sudah habis aku lihat sekilas. Selain tulisan Samuel Mulia, iklan lowongan kerja, dan halaman karikatur – terutama si Kribo – gak ada lagi yang menarik. Surat Pembaca hari ini juga berisi isu yang sudah garing: protes seorang pembaca tentang cara debt collector menagih tunggakan kartu kredit.

Setelah membaca halaman Sosok dan Tokoh, aku merasa sangat bosan. Harum hangat kopi sudah tak tersisa. Lidahku terasa manis. Asap rokok sudah tidak enak lagi. Saat putus asa mulai menghampiri, pandanganku tertumbuk gulungan koran Poskota. Setiap minggu, Poskota juga dikirim oleh tukang koran langgananku. Kuraih Poskota dan mulai membaca.

Selain kolom cerita Nah Ini Dia yang berisi cerita seputar seks dan juga kolom konsultasi seks, apalagi yang menarik di Poskota? Adaaaa .. iklan mobil. Sangat menarik untuk memeriksa harga pasaran kendaraan dan terutama sebagai sumber berkhayal, memimpikan dapat membeli salah satu mobil yang diiklankan.

Menghayal seperti itu sering aku lakukan karena aku percaya, suatu saat khayalan itu akan berujung kenyataan. Mobil pertamaku, sebuah Panther Hi Sporty, juga berawal dari khayalan Poskota. Begitu pula mobil Aerio yang aku pakai sekarang (sudah terjual saat tulisan ini dibuat). Dan mungkinkah sebuah Chevrolet Blazer juga akan menjadi kenyataan?

“Belum!” jawab laki-laki di ujung telpon.

“Warnanya apa? Tahun berapa? Harga?,” tanyaku beruntun.

“Warna silver, tahun 2006, harga dibuka 105jt!”

“Hmm .. lumayan,” gumanku dalam hati. Beberapa waktu lalu, sebuah Chevrolet Blazer tahun 2006 ditawarkan sekitar 118 jt. Seminggu kemudian ada yang menawarkan 115 jt. Aku fikir 105jt adalah harga yang fantastis. “Aku mauuu,” teriakku dalam hati.

“Tapi maaf pak, saya sebenarnya sedang tidak punya duit. Tapi kalau saya tuker tambah dengar Suzuki Aerio, apakah bisa?” iseng aku tawarkan kemungkinan yang tiba tiba muncul di kepala karena ketika telpon pandanganku tertumbuk bagian depan mobil Aerio yang menyembul di garasi.

“Hmm .. ntar saya tanyakan ke teman saya,” jawab lelaki yang belakangan aku tahu bernama Yoga, seorang sales representative Sun Motor, dealer resmi Chevrolet di Jalan Panjang, Kebon Jeruk. "Dia main Suzuki, kali aja mau."

Pembicaraan aku tutup, tak berharap ada kelanjutan. Namanya saja iseng.

Lanjut baca di sini:

Teriakan Tengah Malam

Suatu tengah malam beberapa waktu lalu, aku terjaga dari tidurku karena mendengar bunyi tak biasa di dekat jendela kamar … bunyi yang ditimbulkan gerakan tangan yang sedang mencoba membuka pengait daun jendela. Ada orang di dekat jendela kamar tidur! Di tengah malam yang gelap!

Aku yakin itu suara tangan orang karena terdengar berirama, berbeda dengan bunyi terpaan angin atau kucing yang hendak menyelinap masuk. Bunyi itu sempat jeda sejenak. Mungkin orang itu sedang mengawasi sekeliling, khawatir ada yang memergoki. Sesaat kemudian, bunyi klotakan kembali muncul. Kali ini terdengar lebih halus. Orang itu pasti berharap bunyi yang ditimbulkannya jangan sampai membangunkan penghuni kamar yang sedang terlelap.

Kedua daun jendela kamar tidur memang biasa aku buka supaya angin malam yang dingin leluasa masuk mengusir udara pengap kamar tidur kami yang tidak menggunakan AC. Di sampingku anak-anak tergolek pulas dibuai mimpi. Waktu berangkat tidur tadi, kami lupa mematikan lampu kamar yang menyala terang benderang. Aku menduga, orang yang di luar jendela sudah sempat menyibak gorden penutup jendela, melongokkan kepala, dan mengawasi kami yang sedang nyenyak. Membayangkan itu, aku merasa seperti ditelanjangi pencuri kurang ajar itu. Untung aku tidur pakai pakaian lengkap.

Malam itu, nampaknya si calon pencuri sedang apes. Aku sudah lama terjaga karena mendengar bunyi klotakan persinggungan lengan besi pengait jendela dengan kait cantelannya.

Kalau si calon pencuri ini cukup lihai, dia bisa membuka jendela tanpa menimbulkan bunyi apapun. Dengan menyandarkan punggung di tembok, memposisikan lengan kirinya sebagai tumpuan, dia bisa mendorong daun jendela sedikit saja untuk melepaskan sentuhan lengan cantelan jendela dengan besi pengaitnya. Tahan nafas sejenak supaya tangan tidak gemetar dan perlahan cantelan diangkat. Cantelan terlepas sudah dan sekarang dia bisa meloloskan badannya masuk ke dalam kamar, bila itu yang dia rencanakan. Calon pencuri ini kurang lihai.

Aku biarkan bunyi itu beberapa saat sambil tergolek siaga memikirkan tindakan yang akan aku ambil. Ada dua pilihan, (1) membiarkan pencuri menuntaskan usahanya membuka jendela dan menunggu sampai dia melongokkan kepala masuk ke kamar, atau (2) berteriak maling membuat dia terkejut dan lari terbirit-birit.

Dengan cepat aku kalkulasi semua kemungkinan. Kalau aku biarkan si pencuri melongokkan kepala, aku bisa tendang kepalanya, mungkin fatal baginya. Tetapi kalau dia beruntung dan bisa memaksa menerobos masuk, situasi pasti akan membahayakan, terutama bagi kedua anakku yang sedang terlelap. Aku bayangkan duel akan terjadi, dan pasti berdarah-darah (keren gak? he he). Aku ngeri membayangkan itu semua.

Tak ingin kelamaan berfikir, aku melontarkan tubuh sekuat tenaga bangkit dari kasur. Secepat kilat aku sibak gorden dan berteriak mengeluarkan sumpah serapah “WOOOACCCCH!!!!! OOOOIIIII, MALIIIIIINNNNG, MALIIIIIIINNNGG!!!!! KURANG AJAR!!!!!!! OOOOIIII … OOOOOOIIII!!!! HA HA HA HA HA (KETAWA NGAKAK LEGA BANGET)” Semua terjadi dalam hitungan detik. Teriakanku menggelegar di malam yang sepi, kodok dan jangkrik menghentikan nyanyiannya sejenak. Kubebaskan umpatanku lepas menggelontor melewati kerongkongan, melampiaskan segenap emosi benci, takut dan marah.

Seseorang yang berbadan tidak terlalu besar dan hanya mengenakan celana pendek warna coklat terang terlihat melesat menuju gerbang halaman yang tak berpintu. Sesaat kemudian bayangannya lenyap di balik kegelapan kebun jati di samping musholla dekat rumah.

Oh .. what a hit! Nampaknya teriakanku mampu membuat pencuri itu terkejut dan lari lintang pukang. Sementara nafasku ngos-ngosan menahan emosi, ada kelegaan terasa. Mungkin karena berhasil berteriak mengeluarkan segenap emosi dan membuat si pencuri terbirit-birit. Herannya, kedua anakku seakan gak terusik suara-suara yang aku timbulkan. Setelah menutup jendela, aku segera ke dapur mengambil air minum dan menenangkan diri.

Malam kembali menyelubungi, jangkrik kembali bernyanyi. Suara kodok kembali bersahutan. Aku membuka pintu, melihat sekeliling. Tak nampak sedikitpun pengaruh suara gaduhku. Rumah-rumah tetanggaku memang terletak agak jauh, terpisah tanah-tanah kosong. Mereka pasti tak mendengar teriakanku yang penuh horor. Malam masih panjang. Aku tutup pintu dan mencoba kembali tidur.

Selingan Sejenak - Gratis!

Karena sedang ada gangguan teknis pada penyedia layanan, pernah selama lebih dari 3 jam kami sekantor tidak bisa menggunakan internet. Untuk sementara waktu, kami tidak terhubung dengan dunia. Tidak bisa menjelajah internet. Tidak bisa menggunakan fasilitas chatting. Tidak bisa kirim atau terima email.

Memang bukan terputus sama sekali karena kami masih bisa menggunakan telkomnet instan untuk kirim email penting. Beberapa teman bahkan menggunakan blackberry untuk berkomunikasi. Tetapi bagi sebagian besar yang lain, putusnya koneksi berarti kelegaan sejenak. Walau terasa agak senyap, beban hingar 'maya' yang memenuhi rongga fikiran terasa terangkat. Putusnya jaringan merupakan kesempatan untuk sekedar jeda dari terpaan aliran instruksi kerja ini dan itu yang kerap datang melalui email. Bahkan, bila kebetulan suatu laporan belum selesai, ketiadaan koneksi seperti itu bisa dijadikan alasan mengulur waktu.

Terputusnya koneksi internet adalah excuse termasuk yang paling valid di dunia kerja. Dulu, ketika genset belum banyak dikenal, pemadaman listrik juga merupakan excuse yang bagus. Bagaimana bisa kerja kalau ruangan gelap? Mesin ketik listrik tidak bisa dipakai? Begitu kira-kira para karyawan berucap sambil bergegas keluar ruangan menemui satu dua teman untuk sekedar ngobrol dan menikmati rokok. Ada kesempatan untuk sejenak merasa lega dari tekanan kerja.

Kemacetan lalu lintas (terutama di Jakarta) juga sering dijadikan alasan terlambat masuk kerja. Bila sedang merasa malas dan terlambat tiba di kantor, seorang karyawan bisa dengan santai berucap, “Macetnya parah banget hari ini!” Kalau mood atasan lagi OK, biasanya dia akan siap memaklumi.

Hujan sering dipakai sebagai alasan untuk terlambat berangkat ke sekolah, terutama oleh mereka yang sedang dihinggapi rasa malas belajar pagi-pagi. Di zaman yang akrab dengan teror bom, adanya isu bom bisa saja menjadi penyelia sejenak (asal bukan bom beneran). Semua wajib meninggalkan meja kerja, sepenting apapun pekerjaan - nyawa masih jauh lebih penting! Latihan evakuasi kebakaran di gedung bertingkat kadang merupakan selingan menarik. Tentu saja bila kita tidak sedang dikejar deadline maha penting.

Begitulah, banyak hal bisa menjadi selingan di dunia kerja. Selingan untuk sekedar melepaskan tekanan kerja. Mari kita nikmati bila suatu saat kita 'dipaksa' jeda sejenak. Apalagi tidak ada keharusan untuk membayar biaya partisipasi! Banyak loh, teman-teman kita yang bahkan harus mengeluarkan duit untuk bisa berjeda-jeda sejenak .. Nonton film butuh duit, apalagi jalan jalan ke luar kota. So, sekali lagi ... bila ada kesempatan, mari santai sejenak.

Monday 22 December 2008

Liverpool, Hujan, Ke Aceh

Saat ini baru 2 menit lewat tengah malam. Tanggalan di kalender mestinya sudah berubah. Aku masih menunggu babak kedua Liverpool vs Arsenal. Jangan salah, aku tidak sedang menonton TV karena tidak berlangganan TV Aora yang memegang hak siar siaran langsung Liga Inggris. Aku mengikuti perkembangan pertandingan lewat Live Score Centre, sebuah halaman web yang dibuat oleh portal English Premier League. Aku juga pantau perkembangan komentar webmaster Liverpoolfc.tv, sambil belajar bagaimana laporan tertulis juga bisa sangat updated.

Di luar hujan deras. Sekeliling terasa sepi. Sebenarnya aku mulai merasa capek, tapi tak hendak aku lewatkan informasi hasil pertandingan babak ke-2 yang sudah dimulai.

Aku akan tetap pantau dan akan coba tidur walau sekedar 1 atau 2 jam karena jam 4 nanti, taxi Express akan datang menjemput kami untuk diantar ke airport Cengkareng. Kami berempat, aku, istriku, dan kedua anak perempuanku, akan ke Aceh untuk berlibur seminggu, sekalian menandai minggu terakhir istriku bekerja di Aceh, setelah 3 tahun ini bekerja di UNICEF Banda Aceh.

Saat ini skor masih 1-1. Aku merasa malam ini Liverpool akan bisa membawa pulang tiga angka penuh dan akan menjadi pemuncak klasemen sementara Liga Inggris menjelang tutup tahun. Sebuah hadiah bagiku yang menggemari Liverpool sejak era Ian Rush dan Kenny Dalglish ketika aku masih kecil di tanah kelahiran Lombok sana. :)

Semoga perasaan ini benar, karena biasanya setiap kemenangan Liverpool atas lawan-lawannya akan menghadirkan rasa senang dan nuansa ceria di hatiku bila pagi menjelang. Kalau besok masuk kantor, pasti perjalanan ke kantor akan kulalui dengan bersiul. Pekerjaan kantor juga akan terasa ringan. Sekali lagi, semoga Liverpool memang, dan perjalanan ke Aceh akan menyenangkan.

Sunday 21 December 2008

Good Bye Aerio Merah

Hari ini, 21 Desember 2008. Tepat 32 bulan sudah si Aerio Merah Maroon setia menemani kami. Sejak aku beli kredit di Suzuki Depok bulan April 2006 lalu, mobil ini tidak pernah rewel, selalu nyaman dan enak dipakai. Hanya sekali aku harus reparasi kaki-kakinya yang sempat lemah karena dihajar jalan berlubang di sekitar Depok. Pada tahun kedua aku pakai, aku juga sempat ganti ban. Di luar itu, tidak ada perawatan khusus kecuali ganti olie dan tune up rutin. Benar-benar hemat di ongkos.

Aku ingat 3 tahun lalu, Aerio diantar sore sore menjelang magrib ke rumah kami di Vila Santika. Segera setelah pengantar pulang, aku coba kemudikan Aerio maju mundur di jalan samping rumah membiasakan diri dengan setir mobil kecil. Sebelumnya aku pakai Panther Hi-Sporty dan sebelum Aerio datang, ada waktu jeda sekitar 4 bulan tidak pegang mobil. Aku merasa perlu segera membiasakan diri karena malamnya, aku akan ke airport menjemput Naning istriku. Menjemput istri yang pulang dari Aceh (tempat dia bekerja) dengan mobil baru merupakan pengalaman yang mengasyikkan. Kedua anakku, Ifa dan Aya, sangat senang ikut menjemput walau mereka segera terlelap begitu mobil berjalan beberapa saat. Sebuah kenangan indah.

Hari ini, 21 Desember 2008. Aku terpaksa menjual si Aerio ke Mobil 88 Lebak Bulus. Sesaat sebelum keluar dari parkiran Mobil 88, aku menengoknya untuk terakhir kali sambil berucap dalam hati, terimakasih ya ... telah menemani kami sekeluarga selama ini.

Aku berharap pemilik baru Aerio akan dapat merawatnya dengan lebih bagus. Diam diam aku berdoa, suatu saat kami bisa berpapasan di jalan. Aku tentu akan mengenalinya ... Tulisan pendek ini didedikasikan buat si Aerio Merah. Sampai jumpa ...

Gagal Ngobrol Bareng Riri Reza 5

Can't do further dramatization on what happened that moment, but in brief I would tell you I didn't make it to Pantau. I drove back home in grief, then had an idea to send some text messages to Mbak Fiqoh asking her help to get Riri's signature for my daughter Syarrifa whose 8th birthday would be in two days (December 16).

To my excitement, Mbak Fiqoh was sooo helpful. She was really symphatetic even when I asked her to get another Riri's signature. This time was for my Aya, Syarrifa's sister.

Riri's autograph would be the best ever birthday present to Syarrifa who had long finished reading Laskar Palngi (Andrea Horata), then watched the movie, and finished reading Di Balik Layar Laskar Pelangi.

Thanks to Riri and especially to Mbak Fiqoh for all the happiness Syarrifa would undoubtedly enjoy once she receives her birthday present. (Sampai sekarang masih disimpan Mbak Fiqoh di Pantau, aku blom sempat ambil he he he)

Friday 12 December 2008

Gagal Ngobrol Bareng Riri Reza 4

Kalau ke Jakarta naik mobil, aku suka mendengarkan Radio Elshinta. Terutama ingin memantau keadaan lalu lintas di jalan-jalan yang aku rencanakan akan aku lewati. Sayang sekali, sejak mulai tersendat beberapa puluh menit lalu, tak ada berita apapun dari jalan Cirendeu ini. Aku punya nomor telpon seluler Elshinta untuk laporan keadaan jalan. Aku raih Nokiaku, aku ketik sebuah SMS: “Sudah 1 jam tidak bergerak di Cirendeu ke arah Lebak Bulus. Ada apakah? Fauzh, Depok.” Karena pencet tuts HP sambil pegang setir, Fauzi tercetak Fauzh. Aku tak peduli, aku segera kirim ke 0811806543.

SMS-ku tak segera terbaca, karena sesaat kemudian Elshinta menghubungkan diri dengan Radio BBC London untuk menyiarkan berita dunia. Ga apa apa. Lumayan bisa dengar berita sambil menunggu. Lima belas menit berlalu, aku mulai kehilangan harapan. Aku berbisik perlahan, “Kayaknya, Riri Reza bakal gagal nich.”

Sesaat setelah jingle musik Radio BBC berlalu menandakan berakhirnya siaran berita, muncul suara penyiar Elshinta. “Terimakasih kepada Bapak Fauzi yang telah berbagi informasi. Jalan Cirendeu yang ke arah Lebak Bulus macet total. Sudah 1 jam tidak bergerak. Tidak ada petugas di sana. Mohon bantuan petugas segera.”

Sangat mencengangkan. Penyiar tersebut tahu namaku Fauzi, bukan Fauzh seperti yang terkirim lewat SMS. Dia juga sangat pintar mengedit SMS-ku menjadi lebih komunikatif dan bernada urgen sehingga bantuan petugas kepolisian untuk mengurai kemacetan bisa segera datang - sesuatu yang tak mungkin, fikirku. Mana ada petugas kepolisian yang akan datang membantu pada jam-jam nanggung seperti ini, lanjutku dalam hati.

Tiba-tiba aku ingat sesuatu. “Oh My Gooooooood!!!!!!” teriakku penuh horor. “Ini diaaaaa!!!! Aku ternyata telah menjadi korban!!!

Dua hari lalu, ketika aku iseng membuka Detik.com mencari berita tentang kemenangan away Liverpool, tim kesayanganku, atas PSV Eindhoven 3-1 dalam ajang kualifikasi Piala Champion Eropa, aku temukan berita tentang perempatan FedEx – Ciputat yang macet total karena ada pengerjaan gorong-gorong yang bikin pusing semua orang.

Hari ini aku jadi korbannya! Aku tak mungkin lolos kemacetan ini. Tak mungkin bisa melewati kolong tol Lebak Bulus! Tak mungkin! Apalagi aku masih belum keluar dari jalan Cirendeu yang namanya tiba-tiba menumbuhkan rasa benci di hatiku!

Perlahan aku matikan harapan. Harapan bertemu dengan Riri Reza. Harapan bertanya satu dua pertanyaan tentang film dan pembuatan film. Tentang penulisan skenario berdasarkan novel. Harapan mendengarkan teman-teman kursus Pantau yang biasanya pintar mengajukan pertanyaan pintar. Kumatikan harapan belajarku kali ini.

Kumatikan pula harapanku untuk ketemu temanku Dinda, yang sudah confirm datang ke Pantau untuk sesi ini. Dinda, yang emailnya tentang kepastian waktu ngobrol bareng itu, membuat Mbak Fiqoh merasa perlu menyebarkan sebuah email reminder susulan kepada semua anggota mailinglist pantau.yahoogroups. Kumatikan harapan bertemu Mbak Fiqoh, untuk membayar 2 buku yang aku pesan, sekaligus menjelaskan rencanaku mengikuti kurus menulis intensif 2 minggu di bulan Januari nanti.

Dengan sedih kuingat kamera dan alat rekam yang sudah aku siapkan dengan seksama. Aku sedih mengingat buku “Di Balik Layar Laskar Pelangi” yang sengaja aku bawa, untuk minta tandatangan Riri Reza, buat Syarrifa (anakku) yang akan ulang tahun ke 8 tanggal 16 Desember minggu depan.

Tadinya aku berfikir tanda tangan Riri Reza dan sedikit guratan tangannya akan menjadi hadiah terindah buat Syarrifa yang hobi membaca. Dia sudah selesai membaca Balik Layar Laskar Pelangi sementara aku sendiri belum … hi hi hi malu nich

Lanjut Baca: Tulisan terakhir, berisi kabar gembira.

Gagal Ngobrol Bareng Riri Reza 3

Aku memacu mobil dengan santai, suatu kesempatan yang jarang aku dapatkan. Biasanya aku berkendara seperti merasa ada yang mengejar atau menunggu, membuat laju kendaraan tak aman bagi diriku maupun pengguna jalan lain. Kudendangkan lagu tak berjudul menikmati rasa nyaman itu. Senyum kurasakan mengembang di bibir. Pengaruhnya kurasakan melemaskan otot wajah, juga mengendorkan otot jantung. Perasannku begitu riang namun tenang. Kalau harus memacu kendaraan dalam kondisi telat, sementara kita tak tahu menahu keadaan jalan atau kepadatan arus kendaraan, rasanya tidak nyaman bukan? Sore itu, rasa tidak nyaman itu jauh dariku. Kulanjutkan berdendang … na na na na na na … kali ini lagu Sheila On7 kesukaan istriku.

Sekitar jam 5.30, aku melintasi perempatan Gaplek, perempatan yang mempertemukan arus kendaraan dari Ciputat, BSD, Patung, dan Lebak Bulus. Aku belok kanan ke arah Cirendeu – Lebak Bulus, kurang lebih 1 jam sejak aku berangkat dari kantor. Masih cukup banyak waktu. Aku bayangkan tidak lama lagi Aerioku akan segera melintasi kolong tol Lebak Bulus, belok kanan ke arah Pondok Indah, lalu Permata Hijau, dan berakhir di Pantau. Aku putuskan tidak akan lewat jalan pasar Kebayoran Lama. Sudah 3 bulan lebih aku tidak lewat jalan itu, aku tidak yakin seperti apa situasinya. Aku tak mau ambil resiko.

Sebuah truk mengerdipkan lampu depannya meminta kesempatan mendahului. Sudah dari tadi dia menguntit di belakangku. Nampaknya sopirnya sudah mulai tidak sabar melihat Aerio merah melaju santai. Aku mengurangi laju mobilku, menepi sedikit untuk memberi jalan. Monggo, kataku dalam hati, aku ikhlas disalip. Tidak ada rasa dongkol atau rasa negatif lainnya seperti dalam situasi yang biasa.

Priit .. prit .. prit .., suara sempritan seorang tukang parkir membuyarkan dendangku. Ada apa gerangan? Tak nampak sesuatu yang luar biasa. Seorang tukang parkir berusaha membantu sebuah mobil memasuki badan jalan. Namun sesaat kemudian, di depanku nampak antrean kendaraan cukup panjang. Ah … paling paling ada kemacetan dikit di perempatan setelah lapangan udara Pondok Cabe. Itu biasa …

Aku menunggu. Kendaraan belum pada bergerak. Aku sabar saja. Sepuluh menit berlalu. Tidak ada perubahan. Sudah duapuluh menit hanya beranjak kurang dari 10 meter. Aku mulai menengok kiri kanan mencoba mencari tahu apa yang terjadi. Tak ada satupun tanda-tanda yang bisa dibaca untuk mengetahui keadaan. Aku lirik jam, jam 5.50. Sebentar lagi jam 6. Dan aku masih di jalan Pondok Cabe, waktuku tinggal 1 jam. Hmm … aku mulai bertanya, apakah akan bisa sampai di Pantau tepat waktu?

Jam 6 kurang sedikit, azan Magrib lamat-lamat terdengar dari sebuah masjid yang tak tahu entah di mana. Antrean kendaraan bergerak sangat lambat. Aku mulai merasa kritis. Tak kubiarkan sebuah sedan Mitsubishi mendahului. Aku pepet kanan, tetapi dari kiri sebuah angkot mengambil kesempatan. Ah .. tak ada gunanya salip-salipan dalam kondisi jalan macet dan arus kendaraan dari arah berlawanan, Lebak Bulus, tak henti mengalir. Aku biarkan sedan mengambil jalan di depanku. Aku berusaha sabar menguntit. Diam-diam muncul penyesalan, mengapa aku tidak ambil jalan tol saja? Mengapa aku takut mengeluarkan duit tak sampai 20 ribu untuk membayar tol? Kalau aku lewat tol, barangkali jam 6 aku sudah berada di sekitar Pondok Indah Mall melaju santai menuju Kebayoran Lama. Ah .. andai saja …

Lanjut Baca: Gagal Ngobrol Bareng Riri Reza 4

Gagal Ngobrol Bareng Riri Reza 2

Good moment! Tanggal 9 Desember, aku dapati si bos tidak masuk kantor. Ini berarti tak perlu cari cari alasan untuk menjelaskan rencana kepulangan awal. Sebenarnya memang gak perlu perlu amat cari alasan karena ke Pantau ini bukan semata untuk keperluan pribadi, tapi untuk pengembangan diri. Aku yakin pelajaran dari Riri nantinya juga akan sangat berguna bagi kepentingan kantor. Kan mau dipakai buat bikin film di Nanggung.

Pagi pagi sekali, di rumah, aku periksa baterai alat perekam digital Philips punyaku. Dengan merekam, kupastikan tidak akan kehilangan satu katapun dari apa yang dikatakan Riri. Aku periksa Canon D400 yang selalu setia menemaniku kemana pergi. Siap pakai. Aku bayangkan dimana aku akan duduk, di kursi pojok sebelah kanan pintu masuk ruang kelas tempat kami belajar. Posisi terbaik untuk mendapatkan beberapa foto close up Riri, juga suasana ngobrol yang pastinya akan seru. Tak lupa aku siapkan baju kaos kesayanagnku, abu-abu bergaris biru yang berpenutup kepala. Kaos ini paling sering aku pakai kalau ke Pantau karena aku sering kedinginan karena AC, atau karena kehabisan energi saking serunya diskusi atau konsentrasi berlebih memahami slide presentasi pembimbing kami, Andreas Harsono.

Jam 4 sore, aku sudah matikan Dell Latitude D420, laptop kerja yang baru beberapa minggu lalu aku peroleh. Laptop ini sudah bekas. Seorang staf senior di kantorku baru beli laptop yang lebih canggih. Aku dapat lungsuran. Bagiku gak mengapa, sudah lebih dari cukup. Lagipula karena bentuknya yang kecil, tipis, dan enteng, can’t ask no more man! Sudah puas banget! :D

Selesai memasukkan laptop dan berbagai peralatan lain ke tas, aku beranjak ke musholla – sholat Ashar memohon doa semoga semua berjalan lancar, selamat di jalan. (Sounds like a taat wise guy yach he he.)

Jam 4.20 aku keluar gerbang kantor yang dijaga 4 satpam berpakaian biru gelap. Dua orang bertugas buka tutup portal penghalang, seorang mencatat nomor kendaraan yang keluar masuk, dan seorang lagi ada di dalam pos duduk depan komputer. Kantorku berada di dalam komplek seluas 20 hektar milik Pusat Penelitian Kehutanan Internasional atau CIFOR. Penjagaan biasanya juga diperketat bila ada isu bom.

Kulirik jam mobil, pukul 4.34 saat aku melewati jembatan setelah terminal Bubulak menuju menuju kompleks Perumahan Yasmin Bogor. Cukup waktu, sekitar 2.5 jam, begitu gumanku dalam hati. Tidak perlu tergesa. Biasanya aku perlu waktu 2 jam sampai di Pantau saat kursus dulu. Jadi aku amat yakin hari ini aku akan tiba bahkan mendahului teman-teman yang lain. Akan ada kesempatan godain Mbak Fiqoh atau berkenalan dengan teman-teman kursus menulis dari angkatan lain.

Di perempatan Yasmin, aku belok kiri masuk ke jalan Raya Semplak yang aspalnya sudah makin penuh dengan borok bahkan lubang dalam, terutama di depan komplek perumahan angkatan udara Atang Senjaya. Aku pilih ke Jakarta lewat jalan raya Parung-Bogor karena pertimbangan jarak. Bensin mepet. Duit cekak. Lagipula sayang kalau harus bayar tol, :D perhitungan amat ya …

Pertimbangan yang mulanya aku anggap bijaksana ini, karena ada unsur penghematan di dalamnya, nantinya akan menjadi sesuatu yang terpaksa aku bayar mahal! Mahal sekaliii ...

Lanjut baca: Gagal Ngobrol Bareng Riri Reza 3

Thursday 11 December 2008

Gagal Ngobrol Bareng Riri Reza 1

Khawatir tidak kebagian tempat kalau telat konfirmasi, aku langsung membalas email dari Mbak Fiqoh, …ikuuut ….. Peserta terbatas: cuma 8 orang! Begitu kira-kira pesan dalam email undangan menghadiri sesi ngobrol bareng Riri Reza yang akan diadakan jam 19.00 – 21.00 tanggal 9 Desember 2008, di kantor Yayasan Pantau di Kebayoran Lama. Mbak Fiqoh adalah panggilan akrab Siti Nurrofiqoh, staf Pantau yang aktif menulis cerita perjuangan buruh Tangerang.

Adalah kesempatan langka bisa ngobrol dekat dengan Riri, sang sutradara terkenal berambut awut-awutan, yang baru saja sukses lewat film Laskar Pelangi. Aku berguman, “Lengkap sudah!” Setelah membaca buku Laskar Pelangi, menonton filmnya, lalu membaca buku ‘Di Balik Layar Laskar Pelangi’, tentu saja akan sangat sempurna bila cerita ditutup dengan sebuah obrolan langsung dengan orang yang paling bertanggung jawab atas keberhasilan film yang dipuji banyak kalangan.

Aku sendiri sedang meyiapkan konsep liputan untuk acara DAAI TV. Jangan salah, aku bukan staf TV yang membawa pesan cinta kasih tersebut, tetapi aku memang sedang merintis kerjasama dengannya untuk mengenalkan konsep-konsep agroforestri yang merupakan subyek penelitian lembagaku, the World Agroforestry Centre (ICRAF-SEA). DAAI TV berencana mengunjungi lokasi penelitian kami di Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, untuk pengambilan gambar.

Akan sangat berguna bila aku bisa mendengarkan tips dan trick pembuatan film langsung dari Riri untuk bisa aku aplikasikan dalam shooting yang kami rencanakan akhir Desember ini. Pengalaman membuat video program penelitian 2 tahun silam menunjukkan kepadaku keasyikan membuat film, mulai dari merancang konsep, membuat script, membuat story board, mengatur pengambilan gambar, dan editing sekaligus memilih ilustrasi musik. Aku sangat mengharapkan sesi ini ...

Segera aku set alarm pengingat di HP Nokia bututku. Aku tentukan tanggal 8 Desember jam 10 pagi, tanggal 9 Desember jam 10 pagi dan jam 13 siang. Semuanya berisi pesan pengingat tentang sesi ngobrol di Pantau. Aku tidak ingin terlupa. Segera kuceritakan rencana bertemu langsung dengan Riri Reza ke kedua anakku, Syarrifa dan Ayasha, yang sampai saat ini masih ingin nonton Laskar Pelangi untuk yang kedua kalinya. Syarrifa sendiri sudah menyelesaikan buku tulisan Andrea Hirata sekaligus buku Di Balik Layar Laskar Pelangi. Dia senang sekali bapaknya akan ketemu dengan orang yang dia kenal hanya lewat tulisan, gambar, dan layar TV.

Jauh-jauh hari, aku sudah siapkan alasan untuk bisa pulang lebih awal dari kantor. Paling tidak, aku perlu sekitar 2 jam untuk sampai di Pantau dengan mobil dari kantorku di Bogor Barat. Aku tahu persis karena pada bulan Mei sampai Agustus lalu, setiap hari Selasa sore aku berangkat dari Bogor ke Pantau untuk ikut Kursus Jurnalisme Sastrawi IV.

Lanjut baca: Gagal Ngobrol Bareng Riri Reza 2

Monday 1 December 2008

Tiga Nasehat Penuntun

Sekurangnya ada tiga hal yang beberapa waktu terakhir ini sering aku jadikan penuntun, terutama di tempat kerja.

Yang pertama: "Work smart, not hard! We appreciate hard work, but we pay for results!"

Kata-kata bijak tersebut diungkapkan Linus Kabhuta, seorang teman dari ICRAF Nairobi, sesaat setelah mobil yang kami tumpangi keluar pintu tol Ancol dalam perjalanan menuju Mangga Dua. Linus, bekerja di bagian finance, sedang berada di Indonesia dalam kunjungannya ke kampus CIFOR - ICRAF Bogor bulan September lalu.

Seperti yang dikatakan Linus, nasehat tersebut bukanlah asli darinya, tetapi dari seorang CEO yang diangkat untuk mengembalikan kejayaan KODAK beberapa waktu lalu. Linus bercerita, CEO itu berhasil.

Seringkali, seorang karyawan bekerja melebihi jam kerja yang seharusnya. Ia ingin menunjukkan betapa keras ia bekerja. Mengikuti nasehat bijak CEO di atas, seharusnya hal tersebut tidak perlu terjadi bila ia dapat bekerja secara efektif dan efisien (smart). Lagipula, bila bekerja lebih lama sang karyawan akan kekurangan waktu untuk berbagai aktifitas lain di luar tempat kerja, baik sebagai anggota masyarakat maupun sebagai bagian dari keluarganya.

Work for results berarti bekerja dengan target untuk mewujudkan hasil. Intinya bekerja harus menghasilkan sesuatu. Hasil kerja bisa berarti penjualan yang meningkat, jumlah artikel yang berhasil ditulis dalam satu minggu, seminar terselenggara dengan baik, terselesaikannya laporan perjalanan, atau diterbitkannya sebuah buku. Pendek kata, ada sesuatu yang dapat dijadikan bukti sebagai hasil kerja (outputs). Untuk apa bekerja bila tidak menghasilkan sesuatu? Itulah yang disebut "we pay for results - kami membayar anda untuk apa yang anda hasilkan.' Percayalah, walaupun (kelihatan) bekerja keras tetapi hasil tidak ada, anda sendiri yang akan merasakan akibatnya.

Berpegang pada nasehat tersebut, aku mencoba merancang apa yang dapat aku selesaikan dalam suatu rentang waktu (misal seminggu), lalu mengingat-ingat semua target tersebut, dan tentu saja pada akhir minggu dapat menunjukkan hasil kerjaku pada supervisor. Dengan cara ini, aku merasa berguna dan tentu saja hatiku menjadi senang.

Nasehat kedua aku dengar dari seorang pembicara dalam diskusi radio beberapa waktu lalu. Walaupun aku lupa nama si pembicara, juga radio yang menyiarkannya, nasehat itu tetap melekat dalam ingatanku: tentang pain motivator.

Tanyakan pada diri apa akibat terburuk bila menunda atau tidak segera menyelesaikan suatu pekerjaan. Selain akan membuat kewalahan karena pekerjaan lain akan terus berdatangan, tentu saja dampak terburuk adalah hilangnya kepercayaan supervisor yang dapat berujung pemutusan hubungan kerja.

Siapa yang tidak takut pada PHK? Apalagi di tengah situasi perekonomian dunia yang kata orang sedang tidak sehat? Ingatlah kemungkinan anda di-PHK. Jadikan PHK sebagai pain motivator.

Pain motivator disarankan si pembicara radio karena ternyata dapat merangsang munculnya semangat kerja, sama halnya dengan sistem kekebalan tubuh yang akan berusaha melindungi tubuh bila terserang penyakit.

Dalam keseharian di tempat kerja, aku berusaha ingat nasehat ini, terutama bila sedang kehilangan semangat/gairah kerja. Ajaib! Tiba-tiba saja energi baru terasa muncul. Siapa sih yang tak takut PHK? :D

Beberapa jam yang lalu, aku ke tukang pijat. Sudah 3 minggu ini pergelangan kaki kananku bengkak di atas mata kaki karena keseleo saat main futsal. Aku mulai merindukan lari dan teriak lepas membuang stres dengan bermain futsal 2 kali seminggu tiap Selasa Kamis di indoor stadium di kantorku. Berharap kesembuhan, aku nekat menerobos hujan rintik-rintik bersama Kawasaki ZX, motor andalanku.

Di rumah tukang pijat inilah nasehat ketiga aku dapatkan, sebuah nasehat yang aku fikir sangat cocok diterapkan dalam menjalani hidup. Sambil dipijat, aku menonton acara MTGW, Mario Teguh Golden Ways, yang ditayangkan Metro TV. Beberapa waktu lalu, aku pernah ikut seminar MT di Jakarta, tetapi apa yang dikatakannya dalam acara TV tadi betul-betul menggugah.

Menjawab seorang penanya tentang cara menghormati seseorang yang tidak pantas dihormati, MT menjawab dengan perumpamaan seorang pendekar yang minum air dari gelas kosong. Sang pendekar mengangkat gelas kosong dan terdengarlah suara gemericik air tertuang membasahi kerongkongannya yang haus.

MT berkata, "Hanya pendekar besar yang bisa melakukan keajaiban seperti itu. Hanya pendekar besar yang bisa menghormati orang yang sesungguhnya tidak patut dihormati."

Monday 17 November 2008

Dua Sebel - Bandara Soekarno Hatta

Sudah lama aku ingin ikut sedikit komentar tentang Bandar Udara Internasional Soekarno Hatta Cengkareng. Mungkin bukan komentar, karena rasanya lebih tepat mengata-ngatai! Tetapi karena obyek kata kerja berakhiran –i ini bukan mahluk hidup (manusia) tetapi sebuah benda bernama bandara, maka lebih baik aku pakai kata komentar saja, walau tekanan emosi (benci dan sebel) dalam kata mengata-ngatai tidak bisa terasa.

Yang lumayan baru di bandara tersebut adalah toiletnya. Setidaknya di terminal F2 kedatangan. Aku suka ini!

Sebelumnya, sudah banyak keluhan dilayangkan tentang buruknya fasilitas pokok tersebut. Pengelola bandara seakan tak peduli. Entah masalahnya apa. Tetapi untuk memperbaiki fasilitas toilet bandara mestinya tidak sesusah memperbaiki pesawat. Atau memang sengaja dibikin ribet sendiri? Entahlah. Aku tidak mau lanjut berburuk sangka. Paling tidak, akhirnya sebuah toilet baru di terminal F2 sudah dibangun.

Cuma saja, kalau toilet baru sudah ada, mengapa yang lama masih difungsikan? Kalau dikelola dengan prima, fasilitas lama tidak masalah. Sayangnya tidak demikian. Dua mingu lalu aku temukan keran air di dalam toilet bocor. Air meluber kemana-mana. Aku perhatikan kerannya bukan keran berkualitas baik. Sebel! Apakah pengelola bandara ini tidak tahu dimana beli beli keran yang berkualitas

Jika mau mencuci tangan di wastafel, di kaca terlihat peringatan dalam Bahasa Inggris.
“IF YOU SEE SOMETHING SUSPECT OR CAN BE DISTURBED AVIAN SAFETY please call us: Airport Security …”

Bahasa Inggris yang jelek banget! Malu-maluin. Sebel. Apakah bandara internasional ini tidak mampu mencari editor bahasa sebelum mencetak peringatan yang lalu ditempel di seantero bandara? Lagipula tarif seorang editor bahasa tentu tidaklah mahal, apalagi untuk pekerjaan publikasi sepenting itu.

Tidak punya uang untuk membeli keran atau menyewa editor? Nggak lah! Buktinya setiap jengkal ruang hampir tidak tersisa di’jual’ pihak bandara untuk tempat berdagang maupun iklan.

Pihak bandara memang tahu cara mencari uang, walau kadang berlebihan. Iklan rokok ‘Surya Slims’ bahkan ditempel menutupi hampir 80% dinding kaca di gerbang kedatangan dalam negeri di terminal F2. Penjemput tidak leluasa memandang ke dalam bila mencari sosok saudara, teman, atau kerabat yang sudah selesai mengambil bagasi dan menuju pintu keluar.

Merupakan keasyikan tersendiri bagi para penjemput maupun yang dijemput untuk segera bisa saling lihat. Sayang, pandangan mereka terhalang iklan rokok. Kalau sedang ramai, penjemput bahkan harus berebutan mengintip dari celah sempit yang disisakan iklan rokok. Sebel!

Wednesday 22 October 2008

AP INVESTIGATION: Alaska funded Palin kids' travel – Sebuah pelajaran bagi kita semua

Gov. Sarah Palin charged the state for her children to travel with her, including to events where they were not invited, and later amended expense reports to specify that they were on official business.” Read More

Laporan di atas mengungkapkan salah satu contoh baik bila kantor administrasi negara (kantor gubernur, dinas pajak) merupakan badan yang dapat diandalkan. Terlepas adanya motif politik dibalik pengungkapan hal ini, kenyataan bahwa calon wakil presiden AS dari Partai Republik, Sarah Palin, pernah membebankan biaya perjalanan tiga orang anaknya ke kas negara dapat menjadi awal hancurnya sebuah reputasi.

Dalam artikel tersebut, terlihat bagaimana file tingkah laku masa lalu Palin ‘dibuka’. Pers menanyai administrasi kantor gubernuran Alaska. Penyelenggara acara dimana anak-anak Palin hadir juga ikut diinterogasi. Data klaim pembayaran pajak keluarga Palin dibuka. Semua data diurai dan dicocokkan untuk menemukan adanya kemungkinan penyalahgunaan jabatan.

Bila yang dilakukan Palin benar seperti dalam tulisan, ini berarti nilai negatif bagi usahanya menduduki kursi orang kedua di negeri adidaya. Lebih dari itu, bukankah apa yang disebut dengan ‘menyalahgunakan jabatan untuk kepentingan pribadi' merupakan sesuatu yang memalukan?

Saya sekarang mulai coba renungkan jangan-jangan saya atau pembaca mungkin termasuk yang pernah melakukan hal sejenis dalam tingkat dan intensitas yang berbeda.

Bagi yang punya jabatan dan fasilitas mobil kantor, mungkin bukan sekali dua meminta sopir menggunakan mobil dinas untuk mengantar anak sekolah atau berbelanja. Laptop kantor istri dipinjam untuk buka email atau menginap di guest house milik kantor suami dengan harga super ringan (kalau bukan gratis). Contoh lain mungkin masih banyak – dan kadang tak terbayangkan! Dalam contoh Palin, alasan dibuat untuk menjustifikasi bahwa keikutsertaan anak-anaknyas sah sah saja. .. the girls had been invited to attend or participate in events on the governor's schedule … “Ada undangannya loh!” begitu kira kira Palin.

Tetapi, sepengetahuan saya, ada beberapa kantor yang mencoba memberi jalan tengah, sebuah cara mulai untuk menghindarkan stafnya dari berbuat ‘dosa’. Ada yang membolehkan pembelian tanpa dilampiri kwitansi dibawah nilai tertentu. Ini memudahkan staf bila kehilangan kwitansi atau ada toko kecil tempatnya membeli tidak mengeluarkan kwitansi. Ada kantor yang memberlakukan cuti menstruasi bagi staf perempuan. Ini mungkin untuk mengurangi potensi korupsi waktu. Bahkan ada yang membolehkan staf laki-laki untuk mengambil cuti hamil, bukan untuk melahirkan tentunya, tetapi untuk menemi istrinya yang sedang melahirkan. Salah satu organisasi nirlaba membolehkan staf perempuan membawa anak dan pengasuh anak (ayah bisa jadi pengasuh supaya bisa ikut jalan-jalan ama ibu loh) bila si staf harus melakukan perjalanan ke luar kota. Biaya tiket, hotel, dan makan si anak dan pengasuhnya ditanggung kantor.

Ada atau tidaknya mekanisme seperti di atas, permasalahan sebenarnya berpulang ke diri kita masing-masing. Artinya, kitalah yang bisa mengetahui apa yang menjadi hak dan bukan hak kita. Kita pasti tahu berapa gaji dan bonus kita. Kita juga pasti tahu apa yang menjadi benefits kita bekerja di suatu lembaga. Kalau dibuat sederhana, di luar kedua hal yang nyata-nyata disebutkan dalam dokumen kontrak kerja, sebenarnya semua hal lain adalah beyond what we are entitled to! Mestinya bayar donk kalau anak ikut makan di acara makan malam acara kantor! Mestinya anak bayar donk biaya ikut bapak ke lokakarya di Anyer! Lagipula seberapa sih biaya makan? Seberapa mahal sih biaya transportasi atau hotel? Gak mahal-mahal amat kok, cuma memang tidak gratis!

Kembali ke Palin, saya membayangkan proses verifikasi daftar calon legislatif negara Indonesia Raya ini beberapa waktu lalu. Kemudian sebentar lagi mestinya kita akan banyak mendengar cerita cerita di berbagai media mengenai masa lalu para calon presiden dan wakil presiden yang akan bertarung dalam pemilihan umum 2009. Apakah pers akan bisa berperan ‘membuka’ file? Apakah dinas pajak dan kantor administrasi sekretariat negara atau kantor-kantor lain dimana seorang calon pernah bekerja bisa dimintai keterangan? Jangan tanya dech.

Friday 26 September 2008

Ketupat Plastik, MP3, dan Minoritas

“Seumur-umur aku tidak pernah bikin ketupat. Tetapi di Wageningen, aku dan beberapa teman inisiatif membuat ketupat dengan bungkus plastik. Kami begadang bikin ketupat sambil mendengarkan takbiran dari MP3.”

Rizki Permana atau Kiki (32 tahun), lelaki lajang asal Bogor yang saat ini sedang menempuh pendidikan S3 di Utrecht University, bercerita tentang hari lebaran yang ia lewati di kota kecil Wageningen di bagian tengah Belanda ketika ia sedang kuliah S2 di sana.

“Sholat Ied dilaksanakan di sebuah TK yang disulap supaya bisa menampung jamaah. Karena disewa jam-jaman, beres gak beres, TK sudah harus dirapikan kembali karena kelas akan segera mulai.”

Terang saja, tanggalan di Belanda tidak mengenal hari libur khusus 1 Syawal sebagaimana di Indonesia.

“Untuk Sholat Ied, aku bolos kuliah. Sehabis sholat, beberapa teman bahkan harus buru-buru kembali ke universitas karena siangnya ada ujian.” Bagi Kiki dan teman-temannya, hal tersebut bukanlah masalah. “Yang penting kan Sholat Ied-nya.”

Selesai Sholat Ied yang juga diikuti masyarakat muslim berbagai kebangsaan seperti Turki dan Maroko, Kiki menuju rumah salah seorang mahasiswa Indonesia dekat Wageningen University untuk menikmati ketupat yang ia rebus pada malam takbiran.

Dua kali melewatkan tanggal 1 Syawal di Negeri Belanda, Kiki merasakan pengalaman batin yang unik. “Selama ini aku lebaran di Bogor. Ketika Sholat Ied jauh dari negeri sendiri, aku rasakan kekhidmatan yang tidak aku temukan di Bogor.”

Bahkan pada lebaran pertamanya di Belanda, Kiki sempat meneteskan air mata ketika bersembahyang bersama umat Muslim di sana. “Bukan semata karena merasa jauh dari keluarga pada hari khusus, tetapi aku juga merasakan betapa tidak mudahnya menjadi kelompok minoritas.”

“Di Bogor, kita bisa menemukan tempat sembahyang di mana saja. Tidak perlu bersusah payah menemukan masjid, apalagi menyewa tempat untuk beribadah. Karena menjadi mayoritas, kita tidak pernah merasakan bagaimana susahnya klompok minoritas dalam menjalankan ritual agamanya. Pengalaman di Belanda mengajarkan aku untuk lebih menghargai keberadaan teman-teman minoritas.”

Saturday 13 September 2008

Joglo Samiaji – Fasilitas

“Laundry tidak kami kerjakan sendiri. Bila ada tamu yang perlu, kami yang akan antar ke laundry. Biayanya Rp. 3.500/kg. harga langsung dari laundry, tidak kami lebihin. Pengantaran laundry itu adalah servis kami untuk para tamu.”

Pak Bowo sering mengantar sendiri pakaian tamu yang hendak dicuci dengan motor bebeknya ke laundry yang terletak tidak jauh dari penginapan.

“Saya bilang pada yang kerjakan laundry, hati-hati ya .. ini punya tamu.”

Untuk mencuci seprei, handuk, dan selimut Pak Bowo juga mengirimnya ke laundry yang sama.

“Kami memang sudah beli mesin laundry sendiri.Tempatnya sudah kami bangun. Tetapi saat ini belum kami operasikan karena masih perlu persiapan lain. Lagipula, kesibukan mengelola penginapan masih cukup menyita waktu.”

Fasilitas kamar-kamar di Joglo Samiaji mirip dengan penginapan lainnya. Dua handuk putih dan sabun disediakan bagi tamu. Air putih dalam wadah plastik juga tersedia. Saat ini Joglo Samiaji belum menyediakan sarapan bagi para tamunya. Tetapi bila diperlukan, tamu dapat memesan catering.

“Nantinya kami akan bangun semacam café di joglo depan, menyediakan makanan- makanan kecil termasuk indomie.”

Joglo Samiaji mempunyai 2 joglo Рrumah tradisional khas Jawa. Satu joglo, dibeli Pak Bowo seharga 6.5 juta di sebuah desa di Wonosari, didirikan di sayap depan penginapan. Inilah yang nantinya akan menjadi caf̩. Joglo yang lebih besar dibeli seharga 18.5 juta dan didirikan di bagian tengah-tengah halaman penginapan bagian belakang. Begitu masuk gerbang, pandangan para tamu akan langsung tertumpu joglo yang bentuknya sangat artistik ini. Joglo ini berfungsi sebagai ruang pertemuan.

Di belakang kanan joglo pertemuan, dibangun sebuah musholla kecil dengan 2 keran tempat berwudlu. Di belakang musholla terdapat 2 toilet yang nampak bersih dan terawat. Air mengalir lancar dari PAM daerah setempat. Para tamu tidak perlu susah berebut toilet karena 1 toilet lagi dibangun di samping kiri belakang joglo pertemuan.

Untuk mengelola Joglo Samiaji yang dibangun sejak tahun 2005 dan mulai beroperasi tahun 2007 itu, Pak Bowo masih merasa perlu turun tangan sendiri.

"Ini menyangkut pelayanan kepada tamu, rasanya belum sreg kalau saya serahkan kepada orang lain."

Pak Bowo saat ini dibantu dua orang karyawan putri, Erna dan Susi, serta 2 karyawan laki-laki Yudi dan Minto.

Joglo Samiaji – Penginapan

“Untuk Lebaran H+5, semua kamar sudah dipesan,” kata lelaki tambun bernama lengkap Agus Sugeng Wibowo (54 tahun) atau biasa dipanggil Pak Bowo oleh karyawan dan tamu penginapan Joglo Samiaji di Wonosari.

Sejak mulai dipasarkan tahun 2007 lalu, penginapan berkamar 12 yang didirikan di atas tanah seluas 2.000 m3 itu jarang kosong. Walaupun di kota Wonosari terdapat beberapa penginapan lain yang sekelas, nampaknya Joglo Samiaji patut berbangga.

Rombongan peneliti ACIAR Teak Project dari Bogor tercatat sebagai tamu yang sering menginap di sana bila sedang melakukan kunjungan lapangan di Gunung Kidul. Pak Bowo sampai hapal nama-nama anggota rombongan.

“Terakhir mereka kesini, mereka main futsal. Pakai bola plastik dan gawang seadanya. Pak Philip dan Pak Iwan yang jadi motornya. Ramai sekali,” cerita Pak Bowo.

Halaman penginapan memang cukup luas. “Di penginapan lain, tamu sering mengeluhkan masalah parkir. Makanya saya bikin halaman yang luas. Jadi, tamu leluasa memarkir mobil di depan kamar masing-masing.”

Tamu memang tak perlu mengeluarkan semua barang bawaan dari dalam mobil. Kadang acara pindah-memindahkan barang dari mobil ke kamar atau sebaliknya menjadi hal yang menyebalkan bila jarak kamar dengan parkiran relatif jauh. Di Joglo Samiaji, mobil tamu parkir di depan kamar.

“Langganan saya seorang pedagang onderdil mobil dari Semarang. Mobilnya berisi onderdil berharga puluhan juta. Bayangkan kalau harus memindahkan barang ke kamar. Berat dan merepotkan. Begitu sampai di sini, tamu saya itu bisa langsung istirahat, barangnya aman terjaga.”

Pak Jim, lelaki Amerika anggota rombongan peneliti ACIAR Teak Project, mengatakan dia suka dengan penginapan ini.

I think the place is nice. The secret is its maintenance. A lot of places in Indonesia are built but then not maintained well. I recommend this place to you. This is all you need. You just go out to the field for the whole day, go back at the end of the day, get a shower and relax. That’s all that you need! No need for a big fancy hotel (which is) sometimes just a waste of money.”

Bagi orang-otang seperti Pak Jim, apakah yang lebih penting selain tidur - setelah berpanas-panas di lapangan mengumpulkan data penelitian? Di Joglo Samiaji, tempat tidur berseprei putih bersih siap menunggu badan yang kelelahan.

Mengenai harga, Pak Jim juga tidak salah. Pada hari-hari normal, harga termahal adalah Rp. 120.000 untuk kamar dengan AC dan TV. Kamar non AC tapi dengan TV bertarif Rp. 75.000, sedangkan non AC, non TV, tetapi dengan kipas angin harga yang dipatok Rp. 60.000. Semua kamar memiliki kamar mandi dalam.

Saat ini, Joglo Samiaji memiliki 6 kamar full AC. Tiga dengan tempat tidur single dan 3 lagi dengan tempat tidur dobel. Enam kamar lainnya memiliki tempat tidur dobel. Dua kamar VIP sedang dibangun di bagian depan penginapan dan siap dioperasikan dalam beberapa bulan ke depan.

Bagi yang tertarik menginap di Joglo Samiaji, bisa menghubungi Pak Bowo: Jl. Mayang, Wonosari, Gunung Kidul, Telp 081328745089.

Joglo Samiaji – Kopi

Pak Bowo, pengelola penginapan Joglo Samiaji, sedang menyiapkan kuitansi pembayaran biaya menginapku 4 malam. Hari itu aku akan balik ke Jakarta.

“Jangan lupa masukkan kopi-kopi yang saya pesan,” kataku. “Kopinya enak, saya suka.” Aku merasa perlu memberikan pujian, karena memang kopinya enak.

“Oh .. itu nggak usah saja, itu bagian dari servis,” timpal Pak Bowo.

Seakan tak percaya, aku bertanya, “Loh, kok gak usah?” Dengan cepat aku menghitung dalam hati: menginap 4 malam, pesan kopi 8 kali. Mestinya aku kena biaya sekurangnya Rp. 32.000 kalau harga kopi Rp. 1.000 per gelas. Aku punya 6 teman lain yang masih menginap sampai beberapa malam ke depan. Aku tahu mereka juga pesan kopi atau teh manis. Kalau masing-masing ‘digratiskan’ sekurangnya Rp. 32.000, berarti Pak Bowo sedang melepaskan potensi pemasukan sebesar Rp. 224.000 bagi penginapannya. Bukan jumlah yang sedikit untuk penginapan yang mematok harga kamar Rp. 60.000 per malam.

Tak menghiraukan protesku, Pak Bowo menyorongkan amplop berisi kuitansi biaya menginap. Aku tak punya pilihan selain membayar sejumlah yang tertera. Total Rp. 240.000. Tidak ada biaya kopi. “Matur nuwun,” kata Pak Bowo sambil berlalu ke ruangan di belakang mejanya. Sejurus kemudian ia kembali dengan 3 bungkus kopi di tangannya.

“Kalau mau, bawa saja satu. Kata orang yang paling enak yang ini, campuran Arabica dan Robusta,” kata Pak Bowo sambil menunjuk kemasan warna merah Kopi Singa buatan Gresik. Ada dua kemasan lain, warna hijau untuk kopi Robusta dan hitam untuk Arabica.

Aku menolak halus dan segera pamitan kembali ke kamar menyiapkan tas. Diam-diam aku mencatat nama swalayan kecil di samping UII di jalan Taman Siswa Yogyakarta yang disebut Pak Bowo tempatnya membeli kopi tersebut. Aku berjanji akan mampir ke sana untuk membeli beberapa bungkus kopi Singa.

Apakah servis kopi gratis menjadi daya tarik yang membuat tamu mampir lagi ke penginapan Pak Bowo? Baca Joglo Samiaji – Penginapan

Sopir Taksi Juga Manusia

Belum pernah aku temukan sopir taksi seperti yang satu ini. Hampir sepertiga waktu perjalanan dari Depok ke Airport Cengkareng dia berkhotbah! Berkhotbah dalam arti yang sebenarnya, seperti khotib yang sedang berceramah sholat jumat di masjid!

Yaaaa ayyuhalladzi na aamanu. Ittaqulloh. Ittaqulloh. Ittaqulloha haqqotuqootih, walaa tamuutunna illa wa antum muslimuun.

Aku sedang menuju Cengkareng untuk sebuah tugas ke Jogja. Beberapa buku sengaja tidak aku masukkan ke dalam tas supaya ada bahan bacaan di jalan. Di belokan pertama setelah meninggalkan rumah, ketika aku baru mulai membuka salah satu buku, aku dengar sopir taksi bertanya, “Where are you going sir? Going home to luar negeri?”

Aku tersanjung, berkhayal wajahku mirip bule sampai-sampai sopir taksi merasa perlu berbicara bahasa Inggris ke aku. Thanks to Philishave - cukuran kumis yang aku beli di Semarang.

“Gaaak .. Cuma ke Jogja.” Jawabku datar tak berminat meneruskan obrolan. Di belokan kedua dia menggumankan sesuatu dalam bahasa Arab. Semacam ucapan terimakasih berbunyi syukron djazila … Lanjutnya, “Thank you sir for using my taxi. Maaf sebelumnya, kita lewat mana?”

Ah, dia mau bahasa asing manapun aku coba tak peduli. Aku sarankan lewat jalan Limo, Cinere, dan Pondok Indah, langsung ke Tol Slipi. Ketimbang lewat Margonda, yang pasti macet. “Fine sir. I know the way.”

Aku coba mulai menelusuri daftar isi buku yang ada di tanganku. Sebuah bunga rampai tulisan tentang hutan rakyat dan agroforestri di Indonesia. Buku bagus gumanku dalam hati ketika khotbah dimulai. Yaaaa ayyuhalladzi na aamanu…. Suaranya melengking tinggi – kalau dia pengkhotbah beneran, agaknya dia tidak perlu bantuan pengeras suara.

Fikirku, sopir taksi yang satu ini memang aneh. Tak merasa perlu berbasa-basi bersopan-sopan dengan konsumen terlebih dahulu, main tabrak saja. Biasanya, sebelum ngobrol kesana kemari, beberapa sopir taksi memulai dengan basa-basi selamat pagi sore atau malam. Standar dasar layanan jasa. Ngobrol akan berlanjut bila penumpang nampak tidak keberatan. Yang satu ini, sepertinya tidak peduli banget dengan hal-hal seperti itu. Lantunan wirid mengalun keras. Astagfirulloh al adziem alladzi laailahaillalloh wal hayyul qoyyum wa atuubuilaih. Bagaimana kalau penumpangnya tidak berkenan?

Ada-ada saja gumanku dalam hati. Aku tidak bisa konsentrasi baca buku, tapi aku juga tidak keberatan dengan wiridnya. Aku memilih diam. Mengingat-ingat beberapa pengalaman bertaksi.

Minggu lalu, ketika ke Jakarta pagi-pagi buta, aku diantar taksi. Setelah beberapa puluh meter merasakan gaya nyetirnya, aku tahu pak sopir yang satu ini suka ngebut. Benar saja, jarak yang biasanya dicapai sekitar 1 jam ditempuhnya hanya dalam 35 menit. Dia tipe sopir yang tak jenak melihat celah kosong jalanan di depannya. Walau kadang sempit, pasti dia masuki, gesit dan tangkas. Aku suka, tetapi cuma kawatir kalau-kalau dia masih mengantuk karena datang menjemputku jam setengah 4, subuh masih jauh. Kulihat beberapa kali dia menggaruk-garuk kepala keras, cara sopir mengusir kantuk. Alhamdulillah aku selamat sampai tujuan.

Di lain kesempatan, aku benar-benar berdebar. Aku naik taksi dari rumah sakit Medistra Jakarta pada suatu siang yang panas. Baru berapa ratus meter masuk ke badan jalan arteri, aku rasakan taksi oleng. Untung jalanan tidak ramai. Buru-buru pak sopir menggerak-gerakkan tubuhnya, mungkin kawatir aku tahu dia mengantuk. Aku curi pandang lewat kaca spion di atas dashboard, mengintip wajah pak sopir. Keduanya matanya nampak kuyu. Kelopak mata seakan berat untuk membuka. Wah, agaknya dia mengantuk berat.

Aku coba ajak ngobrol, siapa tahu bisa mampu membuatnya terjaga. Tapi kantuknya memang parah banget. Sebentar saja berhenti ngobrol, taksi terasa oleng lagi sampai aku benar-benar harus berteriak, membuat dia terkejut dengan harapan menyegarkannya. Tak berhasil juga. Aku tawarkan permen yang disambutnya malas. Juga hanya berpengaruh tak seberapa lama. Aku was-was dan kuminta dia hati-hati. Sempat aku tawarkan menggantikannya nyetir, tapi katanya tidak boleh, takut ketahuan perusahaan dan dia bisa bermasalah. Sopir ini mengaku tidak istirahat 2 hari 1 malam karena sedang mengumpulkan duit untuk bayar kostnya di Tangerang. Ya, masalah kita semua.

Lamunanku buyar karena lengking pengajian Pak Subur, sopir taksiku hari ini. Dia mengaku sengaja mengaji dengan suara keras untuk mengusir kantuk. Siang yang panas di bulan puasa, aku fikir tidak ada salahnya mendengarkan pengajian.

Wednesday 27 August 2008

Sampai Jumpa

Selasa malam minggu depan, tak kan kutemukan lagi wajah teman-teman tercinta. Empat bulan berlalu begitu cepat. Kursus menulis Pantau IV sudah berakhir. Entah kapan lagi aku bisa bertemu Wiwik, Sulis, Rinaldi, Emy, Dinda, Firli, Taufan, Riza, Lexy, dan Elen. Juga guru-guru kami, Andreas Harsono dan Budi Setyono. Atau Mbak Dayu. Sedih rasanya.

Sulis: Saat tukang ojek langgananku baru menemukan jalan tembus dari Karet menuju Pantau, mengapa kelas Pantau justru berakhir?

Dinda: Akhirnya aku memilih menggunakan duit 4 juta untuk kursus. Bisa dipakai 4 bulan! Kalau buat jalan-jalan, duit segitu gak bisa bawa aku kemana-mana.

Malam ini, Selasa 26 Agustus 2008, pada sesi terakhir, Andreas Harsono justru mengatakan kursus menulis yang sebenarnya baru saja dimulai. Tak sepenuhnya aku paham makna ungkapan itu, tetapi dapat kurasakan banyak sekali pelajaran dalam pertemuan seminggu sekali selama tiga bulan terakhir perlu aku baca ulang dan praktikkan. Aku memang harus terus berlatih menulis. Semoga blog ini bisa menjadi saksi.

Terimakasih teman-teman atas kesediaannya berbagi pengalaman menulis dan juga pengalaman menjalani hidup pada umumnya.

Untuk para guru dan Mbak Dayu, terimakasih yang tak terhingga. Semoga amalnya mendapatkan ganjaran setimpal dari sang maha pemberi.

Sampai bertemu lagi di lain kesempatan. Semoga semua selalu sehat.

Wednesday 13 August 2008

Makna Kebangsaan

Pencerahan aku peroleh malam itu di Kelas Pantau IV, 12 Agustus 2008. Sudah lama aku menunggu kesempatan bertanya kepada seseorang tentang sesuatu yang kerap membuatku sesak karena jawaban yang tak kunjung aku peroleh. "Mengapa bangsa Indonesia menjadi bangsa yang penuh dengan cerita korupsi, kemunafikan, saling sakiti, tidak peduli sesama, jahat, dan berbagai hal negatif lain?"

Di balik tawa gurau teman-teman sekelas mengomentari pertanyaan yang sedikit menyimpang dari diskusi kelas mengenai Pham Xuan An - wartawan sekaligus intel dari Vietnam, guru kami Andreas Harsono berkata singkat, "Justru saya tidak percaya kalau BANGSA Indonesia ada."

Aku terpana sejenak lalu tertawa terbahak menyadari arah ungkapan itu. Sambil menceritakan tulisan Benedict Anderson, Andreas Harsono menjelaskan, "Negara Indonesia memang ada, tetapi apakah kita sudah menjadi sebuah BANGSA, itu masih menjadi pertanyaan."

Makna kebangsaan mengacu pada sesuatu yang mendorong individu mewujudkan tujuan bersama, saling membantu dan tidak mementingkan diri-sendiri. Tindak korupsi adalah contoh perilaku individu atau suatu kelompok masyarakat yang tidak memiliki nilai kebangsaan. Yang ada adalah kepentingan perseorangan atau kelompok. Kebersamaan adalah sesuatu yang langka. Itulah (kira-kira) inti penjelasan Andreas Harsono menjawab pertanyaanku.

"Kebangsaan suatu bangsa baru dapat dilihat dalam suatu peperangan. Apakah mereka bisa bersatu untuk mengalahkan musuh bersama."

Aku jadi teringat kepanitiaan lomba dalam rangka 17 Agustus di tempat kerjaku. Dalam lingkup sempit itu, jangan-jangan panitia beserta seluruh staf yang tidak ikut dalam kepanitiaan, harus lebih menebalkan semangat kebangsaan supaya bisa bersama-sama mencapai tujuan kesuksesan penyelenggaraan acara.

Dalam suatu tim kerja, spirit kebangsaan yang sama juga perlu ditumbuhkan agar semua anggota dapat saling menghargai dan menikmati saat-saat bekerja dengan hati riang.

Aku tercenung sendiri, perlahan mulai memahami makna penting 'kebangsaan' untuk menjawab persoalaan (Bangsa) Indonesia saat ini.

Sebuah bahan renungan:

Benedict Anderson
Indonesian Nationalism Today and in the Future
http://www.newleftreview.org/?view=1989

In my experience, nationalism is frequently misunderstood. For that reason, I will begin my remarks by discussing briefly two common kinds of misunderstanding, using Indonesia as an example of a phenomenon almost universal in this century which is now crawling to its end. [*] The first is that nationalism is something very old and is inherited from, of course, ‘absolutely splendid ancestors’. Thus it is something that arises ‘naturally’ in the blood and flesh of each of us. In fact, nationalism is something rather new, and today is little more than two centuries old. The first Declaration of Independence, proclaimed in Philadelphia in 1776, said not a word about ‘ancestors’, indeed made no mention of Americans. Sukarno’s and Hatta’s Declaration of Independence on 17 August 1945, was essentially similar. By contrast, the mania for seeking ‘absolutely splendid ancestors’ typically gives rise to nonsense, and often very dangerous nonsense.

Tuesday 12 August 2008

Paradiso C-19A

Dua tahun lalu, ketika aku lewat di depan kost-ku saat kuliah di Jogja, papan nama itu masih menggantung. Papan berukuran 20 cm X 100 cm itu bertuliskan Paradiso C-19A, nama tempat kost kami di daerah Karang Malang, Jogjakarta. Satu-satunya perbedaan yang aku rasakan kala itu adalah papan itu kini tergantung di sisi kanan pintu masuk. Seingatku, sejak pertama kali ada (sekitar tahun 2000) papan itu digantung di sisi kiri pintu. Warna kuning cat yang dipadu warna biru dan merah masih terlihat kontras. Anggit yang membuatnya. Dia anak Purworejo, salah satu generasi terakhir Paradiso yang aku kenal.

Akhir tahun 2007, ketika aku harus ke Jogja untuk urusan sekolah di UGM yang belum juga kelar sampai hari ini, aku menyempatkan diri mampir lagi. Cuma sekedar ingin melihat papan nama itu, apakah masih tergantung.

Kali ini aku bersama Tyo, juga dulu tinggal di Paradiso. Kami naik motor dari tempat menginap, rumah seorang teman di daerah Gamping. Sekitar jam 7 malam kami sampai di depan kos. Suasana jalan masih tetap seperti dulu. Remang. Suara bising radio menyeruak dari beberapa pintu kamar kos yang nampak dari jalanan. Sinar lampu kamar membias ke jalanan. Nampak papan nama yang kucari masih ada di sana.

Aku mengambil posisi, menyetel blitz kamera dan mulai mengambil gambar. Ada perasaan kawatir, papan nama itu tidak akan lagi tergantung di tempatnya bila nanti aku datang lagi. Aku tidak ingin kehilangan memori akan papan nama itu. Papan nama dari sebuah tempat aku pertama kali menyimpan tas, ketika baru tiba dari Lombok pada pertengahan 1992 silam. Tempat pertama kali aku memasuki kehidupan mahasiswa Jogja dan bangga menjadi bagiannya.

Di tempat ini aku terbengong-bengong menyaksikan teman-teman kos terbahak-bahak menyaksikan lakon Den Baguse Ngarso dalam drama Bahasa Jawa yang disiarkan TVRI Jogja waktu itu. Di kemudian hari, tinggal aku sendiri yang bertahan di depan TV, sudah bisa terbahak, menyaksikan tingkah polah Kuriman bertengkar dengan Pak Bina. Aku paling aku suka Kuriman.

Paradiso C-19A. Entah siapa yang memberi nama. Tetapi aku ingat betul, nama itu sudah ada ketika aku datang. Generasi pertama yang aku ingat termasuk Bang Mitro dari Purworejo dan Bang Aji dari Madura. Juga ada Bang Uli dan Jakarta. Bang Mitro sekarang jadi guru di Wonosari sementara Bang Uli hidup di Semarang. Aku dengar, Bang Aji yang kuliah Fakultas Syariah di IAIN Sunan Kalijaga bekerja membuka bengkel motor. Dulu dia memang hobi membongkar motor Honda tuanya.

Lalu ada Bang Muhamad dari Pati yang sekarang sukses memimpin sebuah sekolah tinggi perbankan syariah di Jogja. Kami juga punya Bang Kur, dari Lombok, seorang guide berbahasa Jerman dan berjasa pada kami - penghuni kos - karena sering mengajak kami nginap di berbagai hotel bintang 5 tempat tamu-tamunya menginap. Ada Bang Bai dari Madiun yang kuliah di ISI jurusan Etnomusikologi. Dari Kebumen, ada Bang Supri, lalu ada Bang Nanang dari Jambi. Entah dimana mereka sekarang.

Yang termasuk generasiku adalah Edy Wonosari - menurut cerita sekarang ngebengkel di Wonosari, lalu HY Klaten (sekarang pegawai Bappeda), dan Tyo Banjarnegara - ikut bersamaku di Depok. Juga ada Edy Medan.

Setelah itu, Paradiso dihuni oleh generasi Wawan dan Sutik dari Klaten. Juga Tikya, sang pelopor generasi cyber, yg bikin Paradiso melek teknologi. Anggit dan adiknya Fitri termasuk generasi ini. Adikku Man yang sekolah di IAIN Sunan Kalijaga jurusan Bahasa Arab dan seorang tunanetra bernama Ahmad juga termasuk dalam generasi ini.

Sekitar tahun 1997-an muncul generasi baru penghuni Paradiso. Generasi lama sudah tidak lagi tinggal di situ karena tamat kuliah atau pindah kos. Aku dan Tyo menjadi bagian dari generasi pertama yang bertahan. Ada gap generasi yang terasa. Aku sibuk kerja sementara generasi baru sibuk kuliah dan pacaran tentunya. Aku memutuskan pindah ke Kelebengan mengikuti HY yang duluan pindah.

Sejak itu, Paradiso 19A tetap menghuni ingatanku. Dimiliki oleh Pak Sukiyat, lelaki tua pengagum Sukarno, bangunan kost ini dibangun letter O. Memiliki 16 kamar dengan 1 sumur dan 2 kamar mandi. Ada satu pohon alpukat yang buahnya sanggup mengganjal perut bila kebetulan gak ada beras, gak ada indomie, gak ada teman tempat berhutang (biasanya Sabtu Minggu, teman-teman yang rumahnya dekat pada pulang kampung), dan warung Mbak Rohani - juga tempat berhutang - lagi libur.

Secara fisik, Paradiso tidak banyak berubah. Gentingnya belum pernah diganti sejak pertama kali aku tinggal di situ. Pintu dan jendela sama saja. Masih nampak bercat hijau bercampur putih kapur. Hanya stiker yang menempel di kusen dan daun pintu jendela yang bisa menceritakan adanya dinamika pergantian penghuni.

Dan sekarang, kamar depan yang berbatasan dengan jalan disewa untuk jadi warung burjo (bubur kacang ijo). Nampaknya Pak Sukiyat tidak membedakan penyewa. Selagi bisa memberi uang, diterima saja. Dulu, ketika menerima calon penghuni kost, Pak Sukiyat memang lebih selektif. Beliau menjadikan diri sebagai tempat menampung anak-anak yang merantau meraih pendidikan di Jogja. Tapi sekarang zaman sudah beda. Kehadiran warung burjo seakan merepresentasi masuknya modal menggeser kepentingan pendidikan. Gak salah. Cuma rasanya sedih saja. Romantisme kamar kost Jogja sebagai pusat belajar agaknya sudah tinggal cerita.

Wednesday 6 August 2008

Rasa Lega yang Hangat

Akhirnya, pekerjaan ini beres sudah. Ada rasa lega memenuhi dada, rasanya menyenangkan. It is paying, demikian kata orang menggambarkan sebuah akhir menyenangkan dari suatu perjalanan melelahkan. Hari ini, newsletter ICRAF berbahasa Indonesia edisi pertama, pssst... namanya masih dirahasiakan, sudah siap naik cetak.

Setelah berkutat selama lebih dari 3 minggu, memilih topik, mengejar dan mewawancarai narasumber, berkunjung ke lapangan, menulis draft, berkonsultasi dengan ahli, membantu lay out dan sedikit sentuhan akhir, hari ini kelegaan itu terasa begitu indah.

Aku berterimakasih pada teman-teman yang banyak membantu: Iwan, Denta, Lia, Andree, Pak Jess, Mbak Yayuk, Bu Cho, Pak Martua, Vidya, dan Tikah. Aku berharap, mereka juga merasakan kelegaan yang aku rasakan.

Tiga bulan dari sekarang, edisi kedua akan terbit. Minggu depan aku akan memulai lagi proses mencari topik untuk dimuat. Mulai bergerilya, berbicara dengan teman-teman peneliti yang akan berangkat ke lapangan atau yang baru kembali dari lapangan. Rasanya menyenangkan melakukan pekerjaan ini. Dan kali ini, aku akan menjalaninya dengan berbekal pengalaman dari edisi pertama.

Hadirnya rasa lega yang hangat di dada, setiap sebuah pekerjaan terselesaikan, itulah yang membuat seorang pekerja bertahan di tempat kerja. Seperti ekstasi (barangkali), rasa itu menyebabkan kecanduan. Rasanya selalu ingin. Ingin merasakan kelegaan yang menguapkan segenap rasa lelah dan perasaan tertekan selama proses. Adakah yang tidak tertarik?

Tuesday 5 August 2008

Sampah Legian

Senin pagi jam 7.30 waktu Bali. Tanggal 4 Agustus. Di jalanan kendaraan sudah ramai lalu lalang. Jalan Legian, salah satu pusat keramaian kawasan Kuta sudah bangun sejak dua jam lalu. Beberapa toko mulai dibuka bagi para karyawan yang bertugas mengelap kaca atau menyapu lantai, persiapan menyambut pelanggan. Meja-meja restoran dilap para waiter berpakaian khas. Mereka nampak segar. Diselingi senda gurau, mereka melaksanakan aktifitas pagi mempersiapkan diri menyambut tamu yang akan bersantap sepanjang hari ini.

Dibanding wajah para waiter, aspal Jalan Legian nampak kusam seakan menyuarakan kelelahan setelah semalam dijejaki ribuan pengunjung bar, restoran, toko suvenir, dan diskotik. Sudah lama pagi bukanlah waktu favorite bagi ruas jalan satu arah ini. Tumpukan sampah ada di mana-mana. Lalat berseliweran merubung cairan yang mengalir dari tumpukan sampah yang bertebaran. Bau sisa makanan busuk menggayuti udara pagi yang seharusnya membawa kesegaran. Sedih rasanya mengamati pemandangan tak sedap itu. Bagaimana turis akan betah tinggal di lokasi pariwisata yang tak bersih.

"Petugas kebersihannya malas-malas," kata Wayan, lelaki asli Bali yang sudah 7 tahun mengais rejeki di Jalan Legian dengan menawarkan mobil panthernya untuk mengantar tamu. "Pemerintahnya suka duit, dan akibatnya ini gak terurus."

Entah apa yang dimaksud Pak Wayan, tetapi agaknya dia mengomentari petugas dan mobil kebersihan Kota Denpasar yang belum juga datang mengangkut sampah padahal hari sudah terang dan banyak turis manca negara sudah mulai berseliweran di jalan. Pak Wayan berharap pemerintah bisa memberi perhatian pada masalah sampah di salah satu jalan penting bagi pariwisata Bali ini.

"Truk sampahnya cuma satu. Kalau sudah penuh dengan sampah dari ujung jalan sana, dia akan pergi untuk membawanya keluar, lalu kembali lagi. Itu yang bikin lama," ujar salah seorang waiter Restoran Hotel 14 Roses sambil sibuk mengelap meja.

Untuk jalan sepenting Jalan Legian, nampaknya armada truk sampah perlu ditambah. Supaya tidak menggangggu lalu lalang kesibukan di jalan, pengangkutan sampah mestinya dapat dilakukan lebih pagi, ketika malam masih gelap dan sebagian besar pengunjung sudah tidak lagi berada di jalalan.

Tetapi, lambatnya pengangkutan sampah menjadi rejeki bagi para pemulung. Pendi, lelaki pemulung asal Bondowoso Jawa Timur, mengaku perlu waktu setengah jam untuk mengisi karungnya dengan berbagai sampah plastik yang bisa dia kumpulkan. Pagi jam 6, Pendi dan kawan-kawannya sudah berada di Jalan Legian - cukup waktu baginya untuk memenuhi karung sebelum truk sampah datang. Sudah dua tahun Pendi bekerja di sini dan tampaknya dia tidak peduli apakah Jalan Legian bersih atau tidak. "Gak tahu ya, saya gak tahu kapan truk datang," katanya sambil buru-buru mengatur posisi karung di bagian belakang sepedanya dan mengayuh menjauh. Seorang teman Pendi juga nampak siap siap pergi. Dua karung besar sudah ada di atas motor Honda miliknya. Segera dia menarik gas, membawa pergi karung-karung kusam berisi berbagai barang hasil kerjanya hari itu.

Sebuah bis besar lewat menerbangkan debu dan sampah. Hari sudah jam 8.30. Truk sampah belum datang. Jalanan makin ramai. Nampak sepasang muda-mudi berkulit putih berjingkat menghindari air becek dari tumpukan sampah. Rona jijik nampak di wajah mereka. Wajah kuyu satpam sebuah hotel di seberang jalan melengos tak peduli.

Thursday 31 July 2008

403 for Wireless Mania

Pikiran jutek seharian bagai terhapus hanya karena sebuah pandangan iseng ke luar jendela. Ternyata, pemancar wireless itu ada tepat di depan kamarku!

Aku sedang berada di Semarang, nemenin anak-anak ikut ibunya yang lagi ada acara di kota ini. Kami menginap di kawasan Simpang Lima, di Hotel Ciputra yang sekarang berafiliasi dengan Swiss Bellhotel.

Kemarin sore, ketika kami chek-in, seorang petugas hotel bercerita kepadaku tentang koneksi internet gratis yang tersedia di kamar. Aku senang mendengarnya. Dunia akan tersambung, begitu fikirku.

Kami masuk kamar 511. Kamar ini ternyata memiliki pandangan ke arah lapangan Simpang Lima. Harganya lebih mahal sekitar 90 ribu dibandingkan kamar yang menghadap sisi lain. Terlihat beberapa anak sedang main bola di lapangan.

Aku coba tancapkan kabel akses internet yang memang tersedia di atas meja. Koneksi tidak ada. Belakangan aku tahu, di bawah meja, kabel tersebut belum disambung ke kabel yang muncul dari tembok. Wireless juga kelihatan lemah. Aku coba gak bisa membuat koneksi keluar. Karena merasa sedikit gak enak badan karena Selasa malam kurang tidur, aku tidak ngotot. Ya sudahlah ... kalau memang tidak ada koneksi, gak apalah. Lagipula aku sedang liburan, begitu fikirku.

Malam harinya aku coba kembali. Tak berhasil jua. Aku tidak berusaha bertanya kepada petugas hotel. Tidak ada kebutuhan sangat mendesak yang mengharuskan aku buka email atau surfing malam itu.

Pagi tadi, yang ada di fikiranku adalah dimana kami tinggal siang nanti sampai menjelang dini hari nanti menunggu kereta yang akan membawa kami ke Surabaya.

Kami harus check out dari Ciputra sekitar jam 12 siang. Kemarin, kami booking cuma satu malam. Rencananya, daripada harus bayar penuh untuk malam yang tak utuh, kami akan pindah ke hotel yang lebih murah. Tapi ketimbang repot usung-usung barang ke tempat lain yang mungkin tidak senyaman hotel ini, aku putuskan untuk tetap di sini saja. Melayanglah 500ribu lebih dikit.

Kehilangan uang diperparah sedikit dengan kenyataan kami harus pindah kamar. Kamar 511 yang menghadap lapangan Simpang Lima dan sekarang kami tempati sudah dipesan orang. Aku terlambat konfirmasi perpanjangan 1 malam. Lagipula, ketika beli voucher hotel di KAHA, aku pilih harga yang lebih murah. Harga yang tidak cukup untuk kamar yang menghadap lapangan.

Kami pindah ke kamar lain. Kamar 403. Aku membayangkan, pasti view-nya atap rumah orang atau atap pabrik. Benar saja. Yang ada hanyalah pemandangan atap asbes. Ifa dan Aya mengeluh.

Aku tak menanggapi keluhan mereka karena sibuk hidupkan laptop. Rencananya mau kerja koreksi isi newsletter yang barusan selesai aku bikin. Tak kusangka, tanda Wireless Connection is Available muncul di layar.

Hmm .. aku fikir, lumayan juga .. sambil kerja bisa chat sama satu dua teman. Koneksi ternyata lancar, gak ada hambatan, cepat dan sip. Aku senang. Sesudah mengirim koreksi newsletter ke teman di kantor, aku berdiri melangkah ke arah jendela, ingin sekedar meregangkan punggung yang tertekuk. Mataku menyapu atap asbes yang nampak. Tidak ada lagi view lapangan. Tapi tiba tiba pandanganku menumbuk sebuah batang besi berujung lancip dengan benda bulat berbentuk panci melekat di salah satu sisinya. Aha .. ini dia, kataku gembira.

Pantesan koneksi wirelessku lancar. Laptopku berjarak kurang 10 meter dari si batang besi. Ada juga untungnya terperosok ke kamar 403 ini. Walau tanpa pandangan ke arah lapangan Simpang Lima yang terkenal itu, selama koneksi ada, aku bahkan bisa memandang jauh melebihi pandangan fisik dua mata.

Thursday 24 July 2008

Hampir Lupa User Name

Rasanya sudah lama sekali tidak posting. Bahkan hampir lupa user name. Dengan pekerjaan yang bertumpuk, juga tanggung jawab non pekerjaan yang tak kalah seru, aku harus memilih. Memilih untuk menggunakan energi otak yang terbatas ini untuk menjawab tuntutan di tempat kerja.

Yang lain, terpaksalah aku kesampingkan sementara, termasuk menulis.

Kenyataan ini mengajarkan aku satu hal. Menulis ternyata tidak sekedar menuangkan apa yang mau dituangkan. Ini mungkin benar, mungkin juga salah. Benar bila menulis merupakan alat untuk berlatih mengungkap isi fikiran, sekedar mengungkap. Tak perlu ragu berkata-kata, tak perlu ragu mengetik huruf, tak perlu peduli hasilnya bagaimana, tak perlu peduli siapa yang baca, tak perlu peduli hasilnya tidak seperti yang diangankan. Tetapi bukankah menulis tidak sama dengan berbicara?

‘Berbicara’ cukup beruntung memiliki beragam alat bantu. Bahasa tubuh. Isyarat mata. Gerakan tangan. Intonasi. Warna suara. Kekuatan vokal. Bahkan mungkin sebilah pedang atau sepucuk senjata sebagai pengancam bagi yang tidak mendengar. Apalah yang bisa diandalkan sepenggal paragraf? Sebentuk teks satu dua halaman? Tulisan, begitu ia dilepaskan (dipublikasi), dia akan sendiri. Sendiri bertarung, menjelaskan dirinya. Ketika ia gagal menghadirkan pemahaman di kepala pembacanya, matilah ia. Ia tidak akan dilirik lagi. Ia akan dilupakan.

Bila begitu halnya, ungkapan menulis tidak sekedar mengetikkan huruf bisa jadi benar. Maka dari itu, menulis menjadi aktifitas yang tak sederhana lagi. Dia memerlukan keakuratan informasi. Dia memerlukan proses chek and recheck. Dalam tataran yang lebih serius (melibatkan modal dan sumberdaya yang tidak kecil), dia memerlukan editor.

Tak hendak menurunkan motivasi penulis pemula, yang ingin aku katakan adalah bahwa ada peluang besar untuk sampai pada tataran menulis sebagai sesuatu yang mudah dan membuat girang pelakunya.

Tataran apakah itu? Tataran ketika penulis berhasil melakukan aktifitas menulis sama halnya ketika dia melakukan aktifitas berbicara.

Berbicara tak memerlukan keraguan. Tak perlu ketakutan akan tata bahasa. Tak perlu takut alur berantakan. Tak perlu bantuan editor. Berbicara adalah sesuatu yang mengalir, Sesuatu yang alami. Mari kita jadikan menulis sebagai sesuatu yang alami. Menjadi sesuatu yang kita lakukan santai saja. Bila itu sudah tercapai, menulis akan menjadi aktifitas yang memuaskan. Bagaimana caranya? Mengetiklah sobat! Mengetiklah sebanyak-banyaknya! Jangan biarkan waktu berlalu tanpa mengetik!

Friday 11 July 2008

Eliza Anastasia

“Aku lahir dan besar di sini. Lagipula aku gak bisa bahasa China. Gak paham dengan tradisi-tradisinya. Bagaimana aku bisa merasa menjadi orang China?” Tasya berkata tak ragu. China adalah negara asing baginya. “Harus ikut tur kalau mau ke China,” imbuhnya jenaka.

Walaupun memiliki mata sipit dan kulit kuning, banyak yang menduga gadis yang bernama lengkap Anastasia Eliza ini bukan keturunan China karena rambutnya yang keriting. Ihwal rambut keriting, Tasya bercerita ketika kecil rambutnya sering diberi jeruk nipis oleh omanya.

Lahir dan besar di Jakarta, Tasya merasa tidak ada masalah menjadi seorang warga keturunan China. Dia merasa bebas pergi kemanapun tanpa rasa takut. Tak ada kekhawatiran sama sekali. “Memang sih,” kata Tasya, “Ada juga yang masih menganggap semua orang keturunan China kaya raya dan dijadikan sasaran pemerasan. Entah ketika mengurus keperluan di kantor pemerintah ataupun di jalanan. Mungkin mereka tidak paham banyak warga keturunan China yang hidup melarat.”

Tasya melihat peran Gus Dur dalam membawa angin perubahan dalam kehidupan warga beretnis China di negeri ini. “Sejak pemerintahannya, orang-orang keturunan China merasa lebih bebas berekspresi. Sekarang banyak yang mulai membuka diri untuk memasuki dunia politik. Belajar bahasa China sangat mudah. Guru dan buku pelajaran banyak tersedia.”

Pandangan Tasya tentang kondisi yang semakin baik bagi warga keturunan China di Indonesia tidak hendak menghapus kenangannya tentang beberapa kejadian yang dialami hanya karena berkulit putih dan bermata sipit.

Teman-teman SMP menyebutnya ‘anak China’. Sebutan yang kemudian membuatnya paham mengapa ia tersisih dari kelompok pergaulan. Geng anak-anak keturunan China tidak mau menerima karena Tasya tidak bisa berbahasa China selayaknya seorang China totok. Kelompok teman dari suku pribumi juga tidak mau menerima karena dia jelas-jelas orang China.

“Harus diakui sampai sekarang perlakuan diskriminatif masih dialami banyak warga keturunan China, terutama ketika mengurus surat kependudukan semisal paspor. Ada persyaratan surat keterangan ganti nama padahal sudah ada surat keterangan warga negara. Saya juga dengar, entah ini benar atau tidak, pada nomor KTP warga keturunan China, terdapat kode pembeda.”

Terlepas dari itu semua, Tasya mengatakan dalam pergaulan sehari-hari dia tidak mengalami masalah. “Aku dan teman-temanku tidak ada masalah. Juga dengan kamu. Kamu Muslim, aku Katholik. Aku China dan kamu pribumi. Gak pernah ada masalah kan?”

“Permasalahan terletak pada masing-masing individu kok. Pengalaman hidup kita, pendidikan dan pergaulan akan mempengaruhi. Adik-adikku beda dengan aku. Mereka masih banyak khawatirnya. Mungkin karena didikan Mami. Aku sendiri tidak. Biasa saja.”

Tasya berharap keadaan akan tetap baik bagi semua etnis minoritas di Indonesia, terutama bagi warga keturunan China. “Keadaan dimana tidak ada lagi permusuhan, tidak ada yang beranten-berantem, tidak ada diskriminasi”.

Thursday 10 July 2008

Ketergantungan

Jam 00.53. Tanggal 10 Juli 2008. Aku kehabisan rokok. Di sebuah dini hari. Ini adalah mimpi buruk. Pulang kerja semalam, aku masih ingat untuk mampir ke warung beli rokok persediaan kalau-kalau perlu. Tetapi kantuk yang menyerang membuatku malas menghentikan kendaraan. Aku berfikir setiba di rumah nanti aku bisa minta orang rumah bantu belikan satu dua bungkus. Semua hanya angan. Tak kuasa menahan kantuk, aku segera terlelap di tempat tidur, tak peduli nyamuk yang mengganggu.

Sesaat sebelum tengah malam, aku terbangun. Kebiasaan bangun nonton Piala Eropa masih terbawa. Kunyalakan TV. Tak sampai 10 menit aku segera bosan. Aku heran bercampur muak. Hampir semua stasiun menyajikan acara hiburan dengan seting panggung bergaya pemilihan idol, menghadirkan dua atau tiga panelis mengomentari kontestan yang sering tampil dengan bekal seadanya. Semua stasiun TV sedang demam kemasan acara model ini. Hanya materi yang sedikit membedakan. Anak, anak seleb, dan seleb itu sendiri. Mungkin sebentar lagi akan ada anak guru, anak wartawan, anak anggota DPR, anak sopir metromini, atau yang lain. Lalu semua ibu menjadi mama. Mak Odah menjadi Mama Odah. Bu Mia menjadi Mama Mia. Mungkin sebentar lagi Ibu Maria penjahit dekat rumah akan jadi Bunda Maria. Ah, ini sudah hampir jam 12 malam. Acaranya kok itu-itu saja! Nampaknya TV tidak mengenal bosan. Selama masih bisa menarik iklan, mereka gak peduli. Aku yang peduli. Aku matikan saja TV-ku.

Kubuka laptop. Mengedit satu tulisan pendek mengenai seorang teman. Aku sedang berlatih menuliskan hasil wawancara dengan satu narasumber. Dalam kelas Pantau hari Selasa kemarin, draft tulisan itu dibantai teman-teman. Kata mereka maksud tulisan gak jelas. Aku mengakui.

Selesai mengedit, yang ternyata merubah arah tulisan ke fokus lain, aku berfikir untuk menulis satu artikel pendek keperluan publikasi di tempat kerja. Kubuka new document. Aku mulai mengetik judul TWG (Tenure Working Group) mencoba bercerita tentang peran lembaga penelitian tempatku bekerja di dalam kelompok diskusi mengenai berbagai isu kepemilikan dan penguasaan lahan di negeri ini.

Kubongkar tas. Mencari majalah TWG dan satu buku proceeding pertemuan TWG terakhir. Tak ketemu. Aku ingat beberapa hari lalu aku masukkan ke dalam tas untuk aku bawa ke kantor. Ah, barangkali ketinggalan di meja kerja. Tak percaya, aku mencoba sekali lagi membongkar laci, mengintip celah di bawah monitor komputer di meja. Tidak ada jejak. Ah sudahlah, fikirku. Berbekal coretan singkat yang aku buat ketika mengikuti pertemuan TWG di BAPLAN tempo hari, aku mencoba membuat sebuah outline tulisan. Outline lumayan menggembirakan. Tetapi setelah itu mentok. Gak ada bahan lagi. Aku tiba-tiba ingat rokok.

Oh .. betapa aku perlu rokok sekarang. Sebagai perintang waktu. Pemberi jeda. Dan pengalih perhatian. Pemberi jalan mendobrak kebuntuan. Siapa tahu setelah satu dua batang berlalu, akan ada inspirasi tulisan. Oh … dimanakah engkau?

Aku cari di saku jaketku. Gak ada. Aku ingat batang terakhir sudah aku habiskan kemarin jam 5 sore di kantor. Tiba-tiba aku sangat menyesal mengapa tidak jadi mampir ke warung ketika masih buka sepulang kerja tadi. Aku coba bongkar tas. Biasanya ada bungkusan rokok terselip di antara isi tas yang kacau balau dan terlupa. Sering menjadi penyelamat di waktu-waktu seperti ini. Kali ini nihil. Aku coba bongkar jok sepeda motor. Aku ingat pernah simpan satu bungkus di sana. Kebayang merahnya bungkus Djarum Super. Juga gak ada. Sudah aku ambil ketika ke Pantau hari Selasa lalu.

Mungkinkah ada di mobil. Uh .. aku harus membuka pintu dan ke garasi. Sambil mengusir kucing yang asyik bergelung di pojok korsi, aku melintasi halaman belakang menuju mobil. Aku cek dashboard dan kantong korsi penumpang. Yang kutemukan hanya jepit rambut Ifa.

Sasaranku selanjutnya bangku panjang tempat aku biasa duduk-duduk di teras belakang. Kutemukan dua bungkus rokok. Dunhill Light Menthol dan Djarum Super. Aku harus menelan ludah. Keduanya kosong melompong. Hanya korek api dan sebuah geretan gas yang ada. Kedua benda ini sering gak muncul bila stok rokok membludak.

Sebelum sakit dan berhenti jadi penjaga musholla dekat rumah, Pak Yono sering menjadi juru selamat. Malam-malam atau kapan saja aku gak punya stok rokok, aku tinggal teriakkan namanya .. dan keluarlah Djie Sam Soe sebatang. Marbot yang satu ini memang berselera rokok mahal. Tapi sejak sakit, dia sudah tidak tinggal di musholla.

Tak putus harapan, aku cek semua laci. Kali aja ada bungkusan yang terselip, terlupa, dan muncul menjadi penyelamat dalam kegentingan seperti ini. Gak ada juga. Aku jadi kesal mengapa rumahku jauh dari jalanan. Jauh dari warung. Aku ingat kosku di Jogja dulu berimpitan dengan sebuah warung yang buka 24 jam. Bila pemiliknya sedang gak jualan, itupun gak jadi masalah. Tinggal kayuh sepeda sejenak, di luaran sana masih banyak angkringan buka. Stok rokok aman walau hujan badai terjadi di malam buta.

Oh … aku harus menyudahi tulisan ini. Barangkali aku harus mencoba jalan ke warung dekat pos satpam. Kalaupun sudah tutup, barangkali salah satu satpam jaga punya stok.

Wednesday 2 July 2008

Sepi Sekali

My last week of June passed without any writing. I don't know why, but lack of time to be away from my routines, to be alone for a reflection for a while, may have been the cause.

Writing is a reflection activity. Writing is the reflection (no matter how deep of simply shallow it is) of what observed, captured, and digested. How could you expect an output of reflection without really doing the reflection?

"Steal your time for writing", says a writing guru. I would add, "steal your time for reflection."

You may say reflection can be any where and any time. When you let your thought wandering as you are waiting at the traffic light, you are indeed doing reflection. When you take some 10 minutes away from your table at work, you may be invoved in that mental activity. There is nothing wrong about that kind of reflection. It is simply that it would not lead you to writing.

Reflection can be triggered. This is the good news. Take your book. Read your chapter. Make sure you are not in a hurry. This is the best time for reflection. When you arrive at a certain paragraph, or sentence, or phrase, or word, all of sudden you realize your mind is flying out of yourself. The adventure begins. Pick your writing pad and start pouring out your thoughts.

People say, provide yourself some 1 hour a day for reading .. reading for pelasure. I think all should listen to this advice. Reading for pelasure! Once you get accustomed with this special one hour to find inspirations to take on to your reflection adventure, that Sepi Sekali will never come again.