Friday 11 July 2008

Eliza Anastasia

“Aku lahir dan besar di sini. Lagipula aku gak bisa bahasa China. Gak paham dengan tradisi-tradisinya. Bagaimana aku bisa merasa menjadi orang China?” Tasya berkata tak ragu. China adalah negara asing baginya. “Harus ikut tur kalau mau ke China,” imbuhnya jenaka.

Walaupun memiliki mata sipit dan kulit kuning, banyak yang menduga gadis yang bernama lengkap Anastasia Eliza ini bukan keturunan China karena rambutnya yang keriting. Ihwal rambut keriting, Tasya bercerita ketika kecil rambutnya sering diberi jeruk nipis oleh omanya.

Lahir dan besar di Jakarta, Tasya merasa tidak ada masalah menjadi seorang warga keturunan China. Dia merasa bebas pergi kemanapun tanpa rasa takut. Tak ada kekhawatiran sama sekali. “Memang sih,” kata Tasya, “Ada juga yang masih menganggap semua orang keturunan China kaya raya dan dijadikan sasaran pemerasan. Entah ketika mengurus keperluan di kantor pemerintah ataupun di jalanan. Mungkin mereka tidak paham banyak warga keturunan China yang hidup melarat.”

Tasya melihat peran Gus Dur dalam membawa angin perubahan dalam kehidupan warga beretnis China di negeri ini. “Sejak pemerintahannya, orang-orang keturunan China merasa lebih bebas berekspresi. Sekarang banyak yang mulai membuka diri untuk memasuki dunia politik. Belajar bahasa China sangat mudah. Guru dan buku pelajaran banyak tersedia.”

Pandangan Tasya tentang kondisi yang semakin baik bagi warga keturunan China di Indonesia tidak hendak menghapus kenangannya tentang beberapa kejadian yang dialami hanya karena berkulit putih dan bermata sipit.

Teman-teman SMP menyebutnya ‘anak China’. Sebutan yang kemudian membuatnya paham mengapa ia tersisih dari kelompok pergaulan. Geng anak-anak keturunan China tidak mau menerima karena Tasya tidak bisa berbahasa China selayaknya seorang China totok. Kelompok teman dari suku pribumi juga tidak mau menerima karena dia jelas-jelas orang China.

“Harus diakui sampai sekarang perlakuan diskriminatif masih dialami banyak warga keturunan China, terutama ketika mengurus surat kependudukan semisal paspor. Ada persyaratan surat keterangan ganti nama padahal sudah ada surat keterangan warga negara. Saya juga dengar, entah ini benar atau tidak, pada nomor KTP warga keturunan China, terdapat kode pembeda.”

Terlepas dari itu semua, Tasya mengatakan dalam pergaulan sehari-hari dia tidak mengalami masalah. “Aku dan teman-temanku tidak ada masalah. Juga dengan kamu. Kamu Muslim, aku Katholik. Aku China dan kamu pribumi. Gak pernah ada masalah kan?”

“Permasalahan terletak pada masing-masing individu kok. Pengalaman hidup kita, pendidikan dan pergaulan akan mempengaruhi. Adik-adikku beda dengan aku. Mereka masih banyak khawatirnya. Mungkin karena didikan Mami. Aku sendiri tidak. Biasa saja.”

Tasya berharap keadaan akan tetap baik bagi semua etnis minoritas di Indonesia, terutama bagi warga keturunan China. “Keadaan dimana tidak ada lagi permusuhan, tidak ada yang beranten-berantem, tidak ada diskriminasi”.

2 comments:

Anonymous said...

jadi pengen kenal Tasya deh.. *kaboooooorrrrr*

Aunul Fauzi said...

cyn, you'll be definitely the next victim he he he