Monday 24 June 2013

Tak Akan Bonceng Tiga Lagi

Pagi 17 Mei 2013 mungkin akan menjadi kali terakhir kami bonceng tiga pakai motor kesayangan,  Kawasaki ZX 130, yang sudah menemani selama hampir enam tahun sejak dari Depok (Jakarta Coret) sampai sekarang di Semarang.

Rutinitas berangkat sekolah. Pagi sekitar jam 6.30. Aya ambil posisi duduk di depan, di ujung jok. Bapak duduk tengah sigap menahan kemudi biar tak oleng. Syarrifa nyaman di boncengan.

Posisi duduk seperti ini beberapa kali dikeluhkan Aya, "Kapan yaa kakak duduk di depan, dan aku di belakang."

Keluhan ini tak digubris sang kakak. Lama kelamaan, Aya mungkin lupa dan tak tertarik untuk mengeluh lagi.

Sejak Syarrifa selesai Ujian Nasional SD, dia tak lagi masuk pagi pulang sore. Program sekolah mengharuskan anak-anak kelas VI yang sedang menunggu pengumuman UN untuk menginap di sekolah, mendapatkan pelajaran tambahan Qur'an serta pelajaran hidup mengurus diri sendiri jauh dari dukungan orang tua dan rumah.

Sejak saat itu, hanya Bapak dan Aya di motor. Siang tidak. Karena urusan jemput sekolah ditangani Mas Mul, anak Bi Sar yang kerja di tempat kami. Aya mungkin senang duduk di boncengan belakang Bapak. Tetapi kadang kami rasakan sepi. Tak ada teman bertengkar di jalan. Tak ada teman exchanging comments kalau ada hal-ahal aneh kami lihat sepanjang jalan. We miss Syarrifa. Kali gitu .. :)

***
Banyak kejadian terkait urus mengurus anak yang hanya dijumpai sekali seumur hidup oleh bapak atau ibunya.

Itu barangkali yang menimbulkan sesal dalam hati bila (terutama) ada momen tertentu dalam hidup anak yang terlewatkan orang tua. Misal pertama kali sang anak masuk sekolah. Menjemput pulang sekolah. Mengambil rapot kenaikan kelas. Menemani beli bahan atau alat pelajaran sekolah. Menemani cari buku. Mengantar ke rumah temannya dll dll - melakukan hal-hal tertentu yang bila saatnya tiba, sang anak sudah tak mau lagi ditemani bapak atau ibunya.

Aku pernah dengar kata seorang teman dari Makassar yang beberapa kali bercerita bahwa untuk urusan anak, dia selalu berusaha mengiyakan apapun yang diminta anaknya. Minta beli ini, dibelikan. Beli itu, dibelikan. Tak segan dilakukan bahkan dengan harus mengorek tabungan.

Terlepas dari baik tidaknya cara ini, aku melihat si teman tadi sedang berusaha menghargai momen 'sekarang' saat ia dianugerahi kesempatan untuk mendengar (dan tentunya menikmati) anaknya meminta sesuatu, menyaksikan anaknya nampak senang bila permintaan terpenuhi, momen-momen yang mungkin tak akan lagi ia dapatkan bila kelak anaknya sudah mandiri dan tak merasa perlu lagi minta pada bapak ibunya.

Aku sendiri berusaha tak segan untuk 'melayani' anak-anak. Tadi pagi (pengalaman yang bikin aku ingat untuk tulis cerita ini), aku harus kembali sekolah sampai 3 kali untuk mengambilkan perlengkapan kegiatan yang lupa tak terbawa. Walau diburu waktu untuk urusan lain, aku berusaha ingat kapan lagi aku akan bisa menikmati kesempatan melayani mereka seperti ini.

Walau sudah kelas V dan VI, kadang mereka manja. Minta diambilkan makan di dapur. Juga minum dari dispenser. Seringkali bahkan minta disuapi. Kalau sedang tak capek, ibunya sangat menikmati permintaan seperti itu, apalagi sehabis masak-masak. Aya dan Syarrifa bisa habis 3 piring penuh kalau disuapin Ibu. Mereka kenyang, Ibu senang.

***
Sebentar lagi Syarrifa akan masuk SMP Hidayatulloh. Jadwal dan kegiatannya mungkin akan berbeda dengan jadwal dan kegiatan Aya yang baru naik ke kelas VI di SDIT Ulul Abshor.

Tetapi, mungkin masih akan ada kesempatan bagi kami untuk bonceng tiga mulai Juli 2013 (tahun ajaran baru) karena arah sekolah Syarrifa dan Aya masih sama. Kami akan drop Ifa di jalan depan sekolahnya lalu lanjut ke sekolah Aya.

Tetapi barangkali tidak juga.

Saat mulai masuk sekolah, mungkin saja Syarrifa berfikir dia sudah besar dan Aya pada kenyataannya juga  sudah semakin bongsor sehingga motor kesayangan kami sudah tak aman bonceng tiga.

Mungkin Syarrifa akan memilih naik angkot. Sudah merasa cukup pede untuk urus diri sendiri atau berani berangkat sendiri. Atau mungkin kami ada rejeki beli mobil, sehingga tak harus naik motor terusss kalo ke sekolah ... hehehehe. Yang terakhir ini adalah doa. Amiiiin.

Sunday 16 June 2013

Pelukan Damai Dunia Berhenti

Di sela hiruk kehidupan yang mengejar tak bosan
Yang memaksa terus bergerak bahkan berlari
Ternyata ada dunia lain ... Dunia diam, dunia berhenti
Dunia tenang yang beri kesempatan merenung
Dunia yang ada di balik lipatan buku yang dibaca
Yang ada dalam satu dua jam nonton film
Dunia yang menenangkan, yang melindungi, yang menguatkan

*Mari baca buku (bagus) atau nonton film (bagus)
Bagus lagi kalau rajin terpekur dalam doa ...

Catatan sehabis nonton Laura Basuki dalam 2 film berikut:
http://www.youtube.com/watch?v=UcoekAWlGqs dan
http://www.youtube.com/watch?v=OouctY2Xsio

Wednesday 12 June 2013

Buaian Suara Suara Dari Kejauhan

Sampai sekarang aku sangat suka dengar radio. Barangkali oleh sebab almarhum Bapak. Beliau selalu bangun jauh sebelum subuh. Reyot tempat tidurnya akan segera diikuti klik radio disetel yang kemudian mengeluarkan suara lamat-lamat penyiar dan musik, menerobos dinding gedek rumah, hinggap di gendang telinga kami anak-anaknya - bukannya mengusik tidur, tapi malah membuai. Masa kecil kami diwarnai suara-suara dari kejauhan.

Di zaman gelap era 70an yang masih cukup vakum dari seliweran gelombang radio, siaran yang bisa ditangkap dari rumah (di Tanjung, sekitar 4 kilometer dari Selat Alas) masih sangat terbatas. Belum ada radio lokal selain RRI Mataram yang mulai mengudara sekitar jam 5 pagi. Radio Makasar dan Radio Australia lebih dulu. Mereka dapat didengar di gelombang AM dan SW. Jadilah kami pendengar setia pengajian dan adzan subuh dari Sulawesi. Juga konsumen berita dunia dari radio negeri kanguru.

Buaian yang nikmat. Suara-suara penyiar yang menceritakan aktifitas manusia entah di negeri mana. Pikiran melayang membayangkan semua hal yang mampu dihadirkan dalam alam fikir. Musik-musik aneh yang membawa nuansa asing ke dalam jiwa. Bahasa-bahasa yang bunyinya kadang tak masuk di akal sampai aku pernah yakin bahwa semua bunyi-bunyian yang keluar dari mulut manusia, apapun bentuk dan susunan bunyinya, pasti punya makna entah dalam bahasa di mana.

Kebiasaan mendengar radio mulai termanjakan oleh munculnya aneka stasiun radio, swasta dan pemerintah. Berkembangnya teknologi alat-alat siar memperkuat pancaran gelombang hingga menjangkau daerah lebih luas. Peralihan banyak stasiun radio dari gelombang AM ke FM juga menjadi tonggak penting yang masih aku ingat dalam hal radio.

(Ingatan masa kecil: RPD Selong. Radio Pemerintah Daerah Kabupaten Lombok Timur. Di gelombang AM. Pernah aktif lalu tak aktif dan kemudian aktif kembali. Entah apakah sekarang masih ada.)

Mendengar radio. Membayangkan negeri seberang. Berangan-angan. Bermimpi. Itu semua aku lakukan. Bagaimanapun, barangkali itu yang membentukku seperti sekarang ini.

Tak bisa ke negeri-negeri yang disebut dalam berita , aku cukup puas dengan mendapatkan kalender dinding dari Radio Australia dan Radio Amerika (VOA). Juga Radio Netherlands. Radio DW (Deutsche Welle) gak begitu populer di telingaku. Aku kirim surat ke alamat radio tersebut dan minta kalender. Senangnya minta ampun ketika Pak RT membawakan amplop dari LUAR NEGERI. Pak RT sampai aku kasi persen. Namanya Amak Jerin - kakak sepupu sendiri. Hehehe.

Pssssst (1). Kalau tak dimakan ngengat, kalender-kalender itu pasti masih utuh sampai sekarang. Soalnya tak mau aku pasang di dinding. Takut merusak lubang gantungannya. Kalender tak hanya berfungsi melihat tanggal. Ia adalah memori. Sebab memperolehnya tak mudah. Untuk tahu alamat pengiriman surat, aku harus mencatat cepat-cepat setiap penyiar menyebutnya. Berulang-ulang supaya pas titik komanya. Tak ada Google seperti sekarang buat copy paste alamat. Belum lagi biaya prangko. Dan tekanan batin (yang terasa asyiik - harap-harap cemas) menunggu jawaban.

Pssssst (2). Alhamdulilah, aku akhirnya bisa menjejakkan kami di beberapa negeri yang disebutkan dalam radio. Juga hampir berkunjung ke Hilversum (Radio Netherlands) dan Melbourne (Radio Australia). Ntar kalo ada duit beneran, kota-kota itu semua Insya Alloh aku akan kunjungi. Bila perlu masuk ke dalam gedung dari mana suara-suara akrab dari masa kecil itu dipancarkan. Hehehe.

Sebelum era sandiwara Saur Sepuh (Brama Kumbara) dan Tutur Tinular (Arya Kamandanu) muncul, yang tak asing di telinga waktu itu adalah sandiwara radio yang sangat legendaris 'Butir-butir Pasir Di Laut' yang disutradara oleh John Simamora (bacanya: joooooon simamoraaa).

Dari negeri jauh, ada nama yang tak bisa hilang dari ingatan sampai saat ini. Nuim Khaiyath. Ah .. suara beliau bikin bergetar. Legenda. Ada semangat. Idealisme. Juga kecerdasan. Kudoakan beliau sehat selalu. Aku yakin, suara beliau adalah salah satu pengantar dan pembentuk hidup banyak orang dari era Radio Australia zaman dulu.

Akibat romansa berlebih tentang radio, aku sangat tergila-gila dengan radio. Terutama yang bisa gelombang pendek. Dulu di Mataran, aku pernah tinggal di rumah salah seorang kerabat yang suka kutak kutik radio. Dia punya radio Grundig buatan Jerman kecil mungil dan begitu cantik di mataku. Fisik rusak sedikit, tetapi suaranya, Masya Alloh, begitu jernih. Darinya yang keluar hanyalah keindahan.

Aku tak mampu beli. Pernah di Surabaya tanya, Grundig juga, tapi bukan model yang sama. Diberi harga Rp. 650.000. Lima belas tahun laluuu ... Aku balik kanan.

Tetapi cukup senang pada akhirnya di Glodog bisa beli Sony ICF-SW11, radio gelombang pendek 11 band yang sampai sekarang aku bawa kemana-mana. Cukup kecil masuk tas. Cuma setelapak tangan orang dewasa. Aku bawa ke kota manapun yang aku kunjungi. Buat nangkap gelombang radio langsung dari sumbernya! Wonosari, Jogja, dengar campur sari Manthous. Di Surabaya buat dengar radio bahasa Jawa dialek lokal. Sumatera dengar urang awak menyiarkan lagu melayu. Juga di Kalimantan dengar pengajian.

Sempat aku tak percaya, ketika di Hanoi radioku bisa nangkap siaran Bahasa Indonesia. Kupikir radio Indonesia sebelah mana yang begitu kuat memancarkan siaran Bahasa Indonesia sampai ke negeri Paman Ho. Ternyata  penjelasannya ada di sini: http://tinyurl.com/lxood68

Begitulah sekelumit cerita tentang radio yang aku tulis karena terpacu keinginan untuk mengapresiasi perkembangan radio yang sedemikian rupa hingga zaman streaming ini.

Sekarang aku suka sekali dengar radio dari portal TuneIn (bisa diinstal di BB atau Android, juga PC). Buat dengar BBC, VOA, ABC, dll. Juga suara-suara asing dari kejauhan Kepulauan Cocos, dari Vanuatu, juga Peking dan Sacramento. Dari tempat-tempat yang jaaauuuh.

Sambil menyimak berita bahasa India, Swahili, dan Arab, juga menikmati alunan blues ataupun countries dari kota-kota kecil tak dikenal di negeri Paman Sam, mari kembali membangun impian suatu saat nanti bisa mengunjungi tempat-tempat tersebut yang saat ini hanya mampu didengar lewat suara.

Monday 3 June 2013

Sepotong Kenangan Untuk Bapak dan Paman Can

Perjalanan pertama yang aku lakukan sendiri tanpa ditemani siapapun adalah ketika almarhum Bapak menyuruh beli sirlak (serbuk kimia bahan cat berwana coklat berkilau) ke Pancor, kota perdagangan kecil  berjarak 4 kilometer dari desa kami, Tanjung - Lombok Timur.

Walaupun gagal membawa pulang pesanan Bapak (penjaga toko tak paham sirlak, mereka tahunya Cerelac - susu bayi), perjalanan itu selalu kukenang hingga kini.

Aku berangkat mengenakan baju terbaik: seragam pramuka, dibeli sebulan sebelumnya. Harum baju baru masih tersisa. Sehabis mandi sore, aku ke perempatan masjid tempat mangkal colt - mobil angkutan penumpang masa itu. Usiaku sekitar 11 tahun. Kelas 5 SD. Perjalanan pertama ke kota. Aku masih ingat betapa aku bangga diberi kepercayaan sama Bapak untuk mewakilinya ke kota beli sesuatu.

Enam tahun kemudian, saat duduk di kelas II SPG (Sekolah Pendidikan Guru), aku berhasil terpilih sebagai anggota pasukan pengibar bendera mewakili kabupaten untuk bergabung dengan regu pengibar bendera provinsi Nusa Tenggara Barat. Kalau tak salah, itu pas perayaan Kemerdekaan RI tahun 1987.

Perjalanan kedua menjauh dari rumah. Sebelumnya, sejak SMP maupun masuk SPG, kota terjauh yang aku ingat aku pernah kunjungi hanyalah Pancor. Kali ini ke Mataram. Kota provinsi. Woow.

Di sana aku ikut pelatihan persiapan berisi ketahanan mental dan fisik, terutama baris berbaris a la pengibar bendera pusaka Istana Negara yang selalu tampil di layar TV tiap 17 Agustus. Mataram. Jalan Pemuda. Balatkop (Balai Latihan Koperasi) asrama kami, latihan cara makan, berbaris sore, sepatu kulit, pakaian putih-putih. Kacu merah putih, rambut model tentara. Sampai sekarang Ibu masih menyimpan bros garuda kecil yang aku peroleh sebagai anggota pengibar bendera.

Next? Timor Timur. Itu perjalanan pertamaku dengan pesawat udara. Setelah menunaikan tugas sebagai pengibar bendera, kami diberi jatah berkunjung ke provinsi lain di tahun berikutnya. Buat bikin kita-kita yang muda jadi punya pengalaman. Kira-kira begitu misi perjalanan yang diatur oleh Bidang Pemuda dan Olah Raga Kanwil Depdikbud NTB kala itu. Tahun 1988.

Aku ingat di Bandara Selaparang aku hanya ditemani Paman Can seorang (sudah almarhum - al Faatihah buat beliau) sementara aku lihat salah satu teman diantar rombongan besar keluarganya pakai mobil. Terimakasih Paman Can - doa kami untukmu.

Pesawat terbang. Mataram. Denpasar. Maumere. Dili. Timor Timur. Provinsi termuda. Kunjungan beberapa minggu. Tinggal di keluarga angkat. Sarapan roti. Lalu tinggal (dan senam pagi) di asrama. Mencekam kalau malam hari. Ada suara tembakan. Dansa dalam pesta warga di Dili. Pesta di halaman berdebu sampai larut malam. Menyaksikan kecantikan perempuan Porto (sebutan untuk keturunan Portugis) keluar menikmati alunan musik. Pulang lewat Kupang - Denpasar - Mataram.

Next? Sekolah di Jogja. Menetap di beberapa kota di Jawa, juga berkunjung ke Sumatera, Sulawesi, dan Kalimantan. Juga beberapa negara lain. Terakhir di sini, di Semarang.

Tanjung, Pancor, Mataram, Jogja, .... dan Semarang. What a trip. Aku boleh lah sebut 'a life journey'. Ada permulaan, dan suatu saat nanti akan ada akhir. Sekarang masih lanjut laah ... Insya Alloh ...

Catatan:
Ini cerita tak lengkap, kali tak berisi apa-apa. Tapi dapat buat mengenang Bapak yang sudah beri kepercayaan padaku, menganggap aku sudah besar dan mampu kerjakan apa-apa sendiri. Ini bikin aku paham makna percaya diri. Juga buat mengenang Paman Can, seorang penyayang penuh kasih pada anak-anaknya. Darinya aku belajar makna keluarga.