Sunday 15 February 2009

13 Februari 2009 - Tiga

Tidak perlu lama untuk menemukan Emmy. Ruangan konferensi sudah lengang. Begitu pula dengan lobby beraroma kopi yang aku ceritakan tadi. Sebagian peserta sedang mengikuti Presiden SBY keliling ruang pameran di plenary hall JCC.

Aku lihat Emmy berjalan dengan piring snack di tangan kiri dan cangkir kopi di tangan kanan. Seorang teman perempuan dengan rok dan atasan hitam bersamanya. Belakangan aku berkenalan. Olivia Rondonuwu, koresponden Reuters di Jakarta. Mereka sudah menemukan meja.

Aku menunggu sejenak sebelum bergabung. Olive sedang bercerita tentang Rohingya. Bicaranya cepat dengan mata berbinar. Bergairah. Sesekali Emmy bertanya, juga dengan gairah yang sama. Mungkin ini yang membuat aku suka berdekatan dengan wartawan. Mereka semangat! Semangat mereka menular!

Aku pamit ambil kopi. Emmy titip snack. Aku kembali ke meja. Emmy beku. Hembusan AC tepat di atas meja terasa dingin. Emmy menunjukkan lengan kirinya. Pori-porinya timbul seperti bintil kecil di sekujur kulit. Aku juga mengggigil. Herannya, Olive tak mengeluh.

Kami memutuskan pindah ke ruangan sebelah. Satu meja snack di ujung ruangan nampak sepi. Kami mendekati meja dekat pintu. Snacknya masih banyak. Peserta konferensi masih belum kembali dari ruang pameran.

Pameran CFAN 4 diikuti oleh berbagai organisasi yang bekerja di Aceh pasca tsunami 2004. Termasuk di antaranya adalah organisasi tempat aku bekerja, the World Agroforestry Centre (ICRAF) dengan proyek NOEL (Nursery for Excellence) di beberapa kabupaten di Aceh.

Merasakan senyap karena sudah tidak banyak yang berlalu-lalang, kami menduga konferensi sudah dimulai lagi. Kami keluar ruangan. Olive ada rencana bertemu dengan seorang pejabat tinggi Aceh. Emmy dan aku ke ruang pameran. Emmy bertemu temannya dan ngobrol sementara aku pamit menemui Lia dan Amel, temanku dari ICRAF yang sedang menjaga booth pameran kami. Emmy berkata akan menyusul.

Lia mengajakku merokok di sebuah tempat 'illegal'. What a relieve! Tidak semua pintu akses ke JCC plenary hall dibuka. Salah satunya ada di depan booth kami. Daun pintu terletak agak menjorok keluar. Koridor masuk ditutupi gorden gelap menciptakan ruang 2 X 3 meter, cukup lega menampung 4 orang untuk menikmati asap rokok. Aku merokok beberapa batang di sana. Kuterima telpon Emmy, "Aku diculik bosku. Sampai ketemu ya bang ..."

Ketimbang mengikuti pidato dan seminar di ruang konferensi, aku lebih suka berkeliaran di arena pameran. Di sana aku bertemu Titik Moektjiasih (UN OCHA), temanku kurus menulis di Pantau bulan Januari lalu. Tak kusangka aku juga bertemu Wiwik, teman dari Care Indonesia. Juga Firly (Hivos) yang sedang ngobrol dengan Mas Agung (WWF Indonesia). Sama dengan Emmy, Wiwik dan Firly adalah temanku dari kelas menulis di Pantau, Mei 2008 lalu. Dari Wiwik dan Firly, aku dengar Ellen (Hivos) juga ada di sekitar situ. Aku tidak beruntung bertemu dengannya.

Dari booth GDC (German Development Cooperation) aku dengar seorang teman lama, Hendra - dari Jogja, seorang ahli DEWATS (Decentralized Waste Water Treatment System) yang dikembangkan BORDA (Bremen Overseas Research and Development) akan presentasi jam 5 sore. Aku juga tidak beruntung bertemu dengannya.

Keberuntungan aku peroleh karena berkenalan dengan Grace (KBR6bH). Kami ngobrol ngalor ngidul di depan booth ICRAF dan bersepakat untuk saling menghubungi untuk membicarakan kemungkinan ICRAF terlibat dalam program radio Bumi Kita yang direlay lebih dari 100 stasiun radio jaringan KBR68H. Dita dari TEMPO TV, teman Grace, memberikan aku sebuah kartu nama.

Di atas Kereta Ekspres Bojong Gede jam 18.45 yang membawaku pulang ke Depok, aku duduk tenang dengan perasaan penuh. Dingin penyejuk gerbong membuat nyaman. Hari ini aku belajar banyak sekali. Melihat begitu banyak orang. Melihat aneka warna. Aku mensyukuri hari ini.

Saturday 14 February 2009

13 Februari 2009 - Dua

Acara pembukaan belum tuntas. Tetapi karena sudah tak sanggup lagi menahan kencing, beberapa peserta sudah berkerumun di depan pintu yang dikawal personel berbaret biru.

Di atas panggung, Presiden SBY yang didampingi Ketua BRR dan beberapa menteri dan gubernur bersiap memukul gong membuka resmi konferensi BRR-CFAN 4. Belum sempat gong dipukul, pintu belakang terpaksa dibuka. Penjaga tak kuasa bertahan lebih lama lagi. Dari belakang kerumunan aku melihat seorang ibu berbicara kepadanya. Manjur.

Hmm ... protokoler.

Sambil menikmati kelegaan mengosongkan kantung kemih, aku membayangkan betapa susahnya hidup terimbas protokoler orang lain. Mungkin akan berbeda bila aku yang di-protokoler-i. Atas nama kuasa, aku bisa membuat orang lain menunggu. Pembawa acara n konferensi, seorang bapak dengan bahasa Inggris yang bagus, berusaha mengulur waktu menyabarkan peserta karena Presiden belum juga datang. Protokoler juga mengharuskan peserta berdiri dari tempat duduk ketika Presiden dan rombongan memasuki ruangan.

Selesai cuci tangan, aku bergegas kembali ke ruang konferensi. Di koridor, aku berpapasan dengan seseorang yang wajahnya familiar tapi aku lupa aku pernah lihat di mana. Dua orang lelaki tinggi tegap berpakaian gelap berjalan disisi kiri dan kanannya agak ke belakang. Seorang berseragam polisi berjalan satu langkah mendahului di sisi kanan. Belakangan aku tahu dia adalah Jenderal Djoko Santoso, Panglima TNI. Aku melihat fotonya di Jakarta Post yang aku peroleh gratis dari pameran di CFAN 4.

Hmm ... Sebuah protokoler lagi? Mungkin yang ini tidak, karena bagaimanapun penguasa tertinggi angkatan bersenjata negeri ini memang semestinya mendapatkan pengawalan maksimum. Tak peduli di mana, keamanan beliau harus jadi prioritas utama. Di tempat kencing sekalipun.

Aroma kopi menyeruak dari arah lobby depan ruang konferensi. Aku sangat tergoda, tetapi harus segera kembali ke meja mengambil kamera dan tas yang aku tinggalkan. Pak Nono Sumarsono, temanku dari Plan Indonesia, berbaik hati menungguku kembali. Dia khawatir kamera Canon D400 milikku disambar orang. Setelah mengucapkan maaf dan terimakasih, aku pamit dan segera kabur keluar ruangan. Misi sudah jelas. Mencari Emmy.

13 Februari 2009 - Satu

Hari ini akan menjadi hari yang akan selalu kukenang. Tak kusangka, dalam semarak konferensi BRR-CFAN 4 di JCC Senayan, aku bertemu seorang sobat lama. Emmy Zumaidar, wartawan the Australian yang biasa aku panggil Em atau hanya M, Mi, Mie, dan kadang EmZet – tergantung suasana hati.

Tak bisa kugambarkan perasaanku ketika melihat wajahnya muncul dari kerumunan wartawan yang sedang menyimak pidato Presiden SBY membuka konferensi. Kutatap lekat matanya saat ia berjalan lurus ke arahku.

“Tadi aku udah lihat abang, tapi aku fikir nanti aja.”

Tak kuat menahan kencing, aku bangkit dari dudukku di baris kelima di belakang deretan kursi para duta besar. Aku melewati sekelompok wartawan yang bergerombol mengelilingi sebuah salon pengeras suara, merekam pidato. Aku tak sadar Emmy ada di antara mereka. Menuju pintu keluar di bagian belakang, seorang lelaki rambut cepak berbaju batik menghalangi jalanku. Di telinganya melekat alat komunikasi dengan kabel putih melingkar masuk ke dalam batiknya.

“Mau kemana Pak?” tanyanya dengan suara rendah.

“Mau pipis,” jawabku berbisik ke telinganya.

“Maaf Pak. Tunggu sebentar ya. Bapak sedang bicara.”

Tidak ingin menjadi sasaran pandang peserta konferensi, aku mundur mencoba maklum. Mungkin memang akan kurang ‘elok’ bila ada yang lalu lalang keluar masuk ruangan pada saat presiden berpidato menyampaikan amanat. Demi keamanan, Paspampres mungkin memang harus meminimalisir setiap gerakan dalam ruangan. Seorang personel militer berpakaian seragam berbaret biru berdiri tegap dengan tangan tak lepas dari pegangan pembuka pintu ruangan. Lagipula aku masih bisa menahan kencing.

Ada sedikit ruang kosong di samping kiri deretan kursi wartawan. Aku bergeser merapat tembok, berbagi ruang dengan beberapa perempuan muda dengan atasan dan rok hitam, anggota panitia penyelenggara konferensi. Mereka cekikikan berpose ambil foto wajah satu sama lain. Aku berdiri tak banyak bergerak.

“Oh ... pantas abang kelihatan tegap sekali,” seloroh Emmy sambil memegang kedua lenganku mencoba menggoyang badanku.

Benar. Aku sedang menahan kencing, berusaha mengalihkan fikiran dengan mengamati tingkah polah wartawan yang sedang sibuk bekerja. Juru-juru foto sesekali membungkuk, mengintip dari balik kamera mencuri gambar. Kameraman televisi berdiri tegak di samping tripod masing-masing di atas panggung kecil yang disediakan khusus di bagian belakang ruang konferensi. Aku lihat Dino Pati Djalal, juru bicara kepresidenan, duduk mencangkung di bibir panggung memunggungi tungkai para kameraman dan juru foto. Sesekali dia memelengkan kepala berbisik ke telinga seorang wartawan yang manggut-manggut menyimak tanpa ekspresi. Mengenakan baju batik coklat terang berlengan panjang, penulis buku "Harus Bisa! : Seni Memimpin a la SBY" itu tak tampak canggung dengan muka menghadap dua deret kursi paling belakang yang terisi penuh oleh para wartawan yang sedang sibuk menulis di buku catatan masing-masing.

Emmy pamit mau kembali mengawal alat rekam yang ia taruh di sisi salon. Kami berjanji nanti bertemu lagi.

Monday 2 February 2009

Syukur tapi Malu

Hujan belum juga berhenti. Suara salam penutup sholat subuh berjamaah di musholla samping rumah lamat tertelan guyuran hujan di genteng. Langit timur belum menampilkan terang. Sebagian besar penghuni perumahan masih nyenyak dalam selimut hangat. Senin pagi. Hujan sejak dini hari. Malas bangun pagi. Apalagi ingat tugas kantor sudah menanti.

Bertelekan di pintu dapur yang terbuka bagian atasnya, aku rasakan hembusan segar udara basah. Hening dan tenang. Aku merasa nyaman. Kusyukuri nikmat Ilahi yang membolehkanku untuk tidak harus merasa terkekang karena hujan. Aku masih diberi rezeki untuk memiliki mobil. Tidak takut keluar rumah walau hujan deras sekalipun.

Kubayangkan teman-teman yang masih harus berkendaraan sepeda motor atau naik angkot ke tempat kerja. Betapa repotnya. Menyiapkan pakaian extra, memasang jas hujan, memastikan tas tak kena air. Sepatu dibungkus plastik atau dimasukkan ke tas. Menerjang hujan mengejar waktu, khawatir dengan jalan licin.

Kudoakan mereka tetap hati-hati ingat keselamatan dan bersabar menjalani hidup. Semoga selamat sampai tujuan.

Terpaan hujan di wajah membangunkanku dari lamunan. Aku belum sholat subuh. Malu nich.