Saturday 14 February 2009

13 Februari 2009 - Satu

Hari ini akan menjadi hari yang akan selalu kukenang. Tak kusangka, dalam semarak konferensi BRR-CFAN 4 di JCC Senayan, aku bertemu seorang sobat lama. Emmy Zumaidar, wartawan the Australian yang biasa aku panggil Em atau hanya M, Mi, Mie, dan kadang EmZet – tergantung suasana hati.

Tak bisa kugambarkan perasaanku ketika melihat wajahnya muncul dari kerumunan wartawan yang sedang menyimak pidato Presiden SBY membuka konferensi. Kutatap lekat matanya saat ia berjalan lurus ke arahku.

“Tadi aku udah lihat abang, tapi aku fikir nanti aja.”

Tak kuat menahan kencing, aku bangkit dari dudukku di baris kelima di belakang deretan kursi para duta besar. Aku melewati sekelompok wartawan yang bergerombol mengelilingi sebuah salon pengeras suara, merekam pidato. Aku tak sadar Emmy ada di antara mereka. Menuju pintu keluar di bagian belakang, seorang lelaki rambut cepak berbaju batik menghalangi jalanku. Di telinganya melekat alat komunikasi dengan kabel putih melingkar masuk ke dalam batiknya.

“Mau kemana Pak?” tanyanya dengan suara rendah.

“Mau pipis,” jawabku berbisik ke telinganya.

“Maaf Pak. Tunggu sebentar ya. Bapak sedang bicara.”

Tidak ingin menjadi sasaran pandang peserta konferensi, aku mundur mencoba maklum. Mungkin memang akan kurang ‘elok’ bila ada yang lalu lalang keluar masuk ruangan pada saat presiden berpidato menyampaikan amanat. Demi keamanan, Paspampres mungkin memang harus meminimalisir setiap gerakan dalam ruangan. Seorang personel militer berpakaian seragam berbaret biru berdiri tegap dengan tangan tak lepas dari pegangan pembuka pintu ruangan. Lagipula aku masih bisa menahan kencing.

Ada sedikit ruang kosong di samping kiri deretan kursi wartawan. Aku bergeser merapat tembok, berbagi ruang dengan beberapa perempuan muda dengan atasan dan rok hitam, anggota panitia penyelenggara konferensi. Mereka cekikikan berpose ambil foto wajah satu sama lain. Aku berdiri tak banyak bergerak.

“Oh ... pantas abang kelihatan tegap sekali,” seloroh Emmy sambil memegang kedua lenganku mencoba menggoyang badanku.

Benar. Aku sedang menahan kencing, berusaha mengalihkan fikiran dengan mengamati tingkah polah wartawan yang sedang sibuk bekerja. Juru-juru foto sesekali membungkuk, mengintip dari balik kamera mencuri gambar. Kameraman televisi berdiri tegak di samping tripod masing-masing di atas panggung kecil yang disediakan khusus di bagian belakang ruang konferensi. Aku lihat Dino Pati Djalal, juru bicara kepresidenan, duduk mencangkung di bibir panggung memunggungi tungkai para kameraman dan juru foto. Sesekali dia memelengkan kepala berbisik ke telinga seorang wartawan yang manggut-manggut menyimak tanpa ekspresi. Mengenakan baju batik coklat terang berlengan panjang, penulis buku "Harus Bisa! : Seni Memimpin a la SBY" itu tak tampak canggung dengan muka menghadap dua deret kursi paling belakang yang terisi penuh oleh para wartawan yang sedang sibuk menulis di buku catatan masing-masing.

Emmy pamit mau kembali mengawal alat rekam yang ia taruh di sisi salon. Kami berjanji nanti bertemu lagi.

No comments: