Wednesday 27 August 2008

Sampai Jumpa

Selasa malam minggu depan, tak kan kutemukan lagi wajah teman-teman tercinta. Empat bulan berlalu begitu cepat. Kursus menulis Pantau IV sudah berakhir. Entah kapan lagi aku bisa bertemu Wiwik, Sulis, Rinaldi, Emy, Dinda, Firli, Taufan, Riza, Lexy, dan Elen. Juga guru-guru kami, Andreas Harsono dan Budi Setyono. Atau Mbak Dayu. Sedih rasanya.

Sulis: Saat tukang ojek langgananku baru menemukan jalan tembus dari Karet menuju Pantau, mengapa kelas Pantau justru berakhir?

Dinda: Akhirnya aku memilih menggunakan duit 4 juta untuk kursus. Bisa dipakai 4 bulan! Kalau buat jalan-jalan, duit segitu gak bisa bawa aku kemana-mana.

Malam ini, Selasa 26 Agustus 2008, pada sesi terakhir, Andreas Harsono justru mengatakan kursus menulis yang sebenarnya baru saja dimulai. Tak sepenuhnya aku paham makna ungkapan itu, tetapi dapat kurasakan banyak sekali pelajaran dalam pertemuan seminggu sekali selama tiga bulan terakhir perlu aku baca ulang dan praktikkan. Aku memang harus terus berlatih menulis. Semoga blog ini bisa menjadi saksi.

Terimakasih teman-teman atas kesediaannya berbagi pengalaman menulis dan juga pengalaman menjalani hidup pada umumnya.

Untuk para guru dan Mbak Dayu, terimakasih yang tak terhingga. Semoga amalnya mendapatkan ganjaran setimpal dari sang maha pemberi.

Sampai bertemu lagi di lain kesempatan. Semoga semua selalu sehat.

Wednesday 13 August 2008

Makna Kebangsaan

Pencerahan aku peroleh malam itu di Kelas Pantau IV, 12 Agustus 2008. Sudah lama aku menunggu kesempatan bertanya kepada seseorang tentang sesuatu yang kerap membuatku sesak karena jawaban yang tak kunjung aku peroleh. "Mengapa bangsa Indonesia menjadi bangsa yang penuh dengan cerita korupsi, kemunafikan, saling sakiti, tidak peduli sesama, jahat, dan berbagai hal negatif lain?"

Di balik tawa gurau teman-teman sekelas mengomentari pertanyaan yang sedikit menyimpang dari diskusi kelas mengenai Pham Xuan An - wartawan sekaligus intel dari Vietnam, guru kami Andreas Harsono berkata singkat, "Justru saya tidak percaya kalau BANGSA Indonesia ada."

Aku terpana sejenak lalu tertawa terbahak menyadari arah ungkapan itu. Sambil menceritakan tulisan Benedict Anderson, Andreas Harsono menjelaskan, "Negara Indonesia memang ada, tetapi apakah kita sudah menjadi sebuah BANGSA, itu masih menjadi pertanyaan."

Makna kebangsaan mengacu pada sesuatu yang mendorong individu mewujudkan tujuan bersama, saling membantu dan tidak mementingkan diri-sendiri. Tindak korupsi adalah contoh perilaku individu atau suatu kelompok masyarakat yang tidak memiliki nilai kebangsaan. Yang ada adalah kepentingan perseorangan atau kelompok. Kebersamaan adalah sesuatu yang langka. Itulah (kira-kira) inti penjelasan Andreas Harsono menjawab pertanyaanku.

"Kebangsaan suatu bangsa baru dapat dilihat dalam suatu peperangan. Apakah mereka bisa bersatu untuk mengalahkan musuh bersama."

Aku jadi teringat kepanitiaan lomba dalam rangka 17 Agustus di tempat kerjaku. Dalam lingkup sempit itu, jangan-jangan panitia beserta seluruh staf yang tidak ikut dalam kepanitiaan, harus lebih menebalkan semangat kebangsaan supaya bisa bersama-sama mencapai tujuan kesuksesan penyelenggaraan acara.

Dalam suatu tim kerja, spirit kebangsaan yang sama juga perlu ditumbuhkan agar semua anggota dapat saling menghargai dan menikmati saat-saat bekerja dengan hati riang.

Aku tercenung sendiri, perlahan mulai memahami makna penting 'kebangsaan' untuk menjawab persoalaan (Bangsa) Indonesia saat ini.

Sebuah bahan renungan:

Benedict Anderson
Indonesian Nationalism Today and in the Future
http://www.newleftreview.org/?view=1989

In my experience, nationalism is frequently misunderstood. For that reason, I will begin my remarks by discussing briefly two common kinds of misunderstanding, using Indonesia as an example of a phenomenon almost universal in this century which is now crawling to its end. [*] The first is that nationalism is something very old and is inherited from, of course, ‘absolutely splendid ancestors’. Thus it is something that arises ‘naturally’ in the blood and flesh of each of us. In fact, nationalism is something rather new, and today is little more than two centuries old. The first Declaration of Independence, proclaimed in Philadelphia in 1776, said not a word about ‘ancestors’, indeed made no mention of Americans. Sukarno’s and Hatta’s Declaration of Independence on 17 August 1945, was essentially similar. By contrast, the mania for seeking ‘absolutely splendid ancestors’ typically gives rise to nonsense, and often very dangerous nonsense.

Tuesday 12 August 2008

Paradiso C-19A

Dua tahun lalu, ketika aku lewat di depan kost-ku saat kuliah di Jogja, papan nama itu masih menggantung. Papan berukuran 20 cm X 100 cm itu bertuliskan Paradiso C-19A, nama tempat kost kami di daerah Karang Malang, Jogjakarta. Satu-satunya perbedaan yang aku rasakan kala itu adalah papan itu kini tergantung di sisi kanan pintu masuk. Seingatku, sejak pertama kali ada (sekitar tahun 2000) papan itu digantung di sisi kiri pintu. Warna kuning cat yang dipadu warna biru dan merah masih terlihat kontras. Anggit yang membuatnya. Dia anak Purworejo, salah satu generasi terakhir Paradiso yang aku kenal.

Akhir tahun 2007, ketika aku harus ke Jogja untuk urusan sekolah di UGM yang belum juga kelar sampai hari ini, aku menyempatkan diri mampir lagi. Cuma sekedar ingin melihat papan nama itu, apakah masih tergantung.

Kali ini aku bersama Tyo, juga dulu tinggal di Paradiso. Kami naik motor dari tempat menginap, rumah seorang teman di daerah Gamping. Sekitar jam 7 malam kami sampai di depan kos. Suasana jalan masih tetap seperti dulu. Remang. Suara bising radio menyeruak dari beberapa pintu kamar kos yang nampak dari jalanan. Sinar lampu kamar membias ke jalanan. Nampak papan nama yang kucari masih ada di sana.

Aku mengambil posisi, menyetel blitz kamera dan mulai mengambil gambar. Ada perasaan kawatir, papan nama itu tidak akan lagi tergantung di tempatnya bila nanti aku datang lagi. Aku tidak ingin kehilangan memori akan papan nama itu. Papan nama dari sebuah tempat aku pertama kali menyimpan tas, ketika baru tiba dari Lombok pada pertengahan 1992 silam. Tempat pertama kali aku memasuki kehidupan mahasiswa Jogja dan bangga menjadi bagiannya.

Di tempat ini aku terbengong-bengong menyaksikan teman-teman kos terbahak-bahak menyaksikan lakon Den Baguse Ngarso dalam drama Bahasa Jawa yang disiarkan TVRI Jogja waktu itu. Di kemudian hari, tinggal aku sendiri yang bertahan di depan TV, sudah bisa terbahak, menyaksikan tingkah polah Kuriman bertengkar dengan Pak Bina. Aku paling aku suka Kuriman.

Paradiso C-19A. Entah siapa yang memberi nama. Tetapi aku ingat betul, nama itu sudah ada ketika aku datang. Generasi pertama yang aku ingat termasuk Bang Mitro dari Purworejo dan Bang Aji dari Madura. Juga ada Bang Uli dan Jakarta. Bang Mitro sekarang jadi guru di Wonosari sementara Bang Uli hidup di Semarang. Aku dengar, Bang Aji yang kuliah Fakultas Syariah di IAIN Sunan Kalijaga bekerja membuka bengkel motor. Dulu dia memang hobi membongkar motor Honda tuanya.

Lalu ada Bang Muhamad dari Pati yang sekarang sukses memimpin sebuah sekolah tinggi perbankan syariah di Jogja. Kami juga punya Bang Kur, dari Lombok, seorang guide berbahasa Jerman dan berjasa pada kami - penghuni kos - karena sering mengajak kami nginap di berbagai hotel bintang 5 tempat tamu-tamunya menginap. Ada Bang Bai dari Madiun yang kuliah di ISI jurusan Etnomusikologi. Dari Kebumen, ada Bang Supri, lalu ada Bang Nanang dari Jambi. Entah dimana mereka sekarang.

Yang termasuk generasiku adalah Edy Wonosari - menurut cerita sekarang ngebengkel di Wonosari, lalu HY Klaten (sekarang pegawai Bappeda), dan Tyo Banjarnegara - ikut bersamaku di Depok. Juga ada Edy Medan.

Setelah itu, Paradiso dihuni oleh generasi Wawan dan Sutik dari Klaten. Juga Tikya, sang pelopor generasi cyber, yg bikin Paradiso melek teknologi. Anggit dan adiknya Fitri termasuk generasi ini. Adikku Man yang sekolah di IAIN Sunan Kalijaga jurusan Bahasa Arab dan seorang tunanetra bernama Ahmad juga termasuk dalam generasi ini.

Sekitar tahun 1997-an muncul generasi baru penghuni Paradiso. Generasi lama sudah tidak lagi tinggal di situ karena tamat kuliah atau pindah kos. Aku dan Tyo menjadi bagian dari generasi pertama yang bertahan. Ada gap generasi yang terasa. Aku sibuk kerja sementara generasi baru sibuk kuliah dan pacaran tentunya. Aku memutuskan pindah ke Kelebengan mengikuti HY yang duluan pindah.

Sejak itu, Paradiso 19A tetap menghuni ingatanku. Dimiliki oleh Pak Sukiyat, lelaki tua pengagum Sukarno, bangunan kost ini dibangun letter O. Memiliki 16 kamar dengan 1 sumur dan 2 kamar mandi. Ada satu pohon alpukat yang buahnya sanggup mengganjal perut bila kebetulan gak ada beras, gak ada indomie, gak ada teman tempat berhutang (biasanya Sabtu Minggu, teman-teman yang rumahnya dekat pada pulang kampung), dan warung Mbak Rohani - juga tempat berhutang - lagi libur.

Secara fisik, Paradiso tidak banyak berubah. Gentingnya belum pernah diganti sejak pertama kali aku tinggal di situ. Pintu dan jendela sama saja. Masih nampak bercat hijau bercampur putih kapur. Hanya stiker yang menempel di kusen dan daun pintu jendela yang bisa menceritakan adanya dinamika pergantian penghuni.

Dan sekarang, kamar depan yang berbatasan dengan jalan disewa untuk jadi warung burjo (bubur kacang ijo). Nampaknya Pak Sukiyat tidak membedakan penyewa. Selagi bisa memberi uang, diterima saja. Dulu, ketika menerima calon penghuni kost, Pak Sukiyat memang lebih selektif. Beliau menjadikan diri sebagai tempat menampung anak-anak yang merantau meraih pendidikan di Jogja. Tapi sekarang zaman sudah beda. Kehadiran warung burjo seakan merepresentasi masuknya modal menggeser kepentingan pendidikan. Gak salah. Cuma rasanya sedih saja. Romantisme kamar kost Jogja sebagai pusat belajar agaknya sudah tinggal cerita.

Wednesday 6 August 2008

Rasa Lega yang Hangat

Akhirnya, pekerjaan ini beres sudah. Ada rasa lega memenuhi dada, rasanya menyenangkan. It is paying, demikian kata orang menggambarkan sebuah akhir menyenangkan dari suatu perjalanan melelahkan. Hari ini, newsletter ICRAF berbahasa Indonesia edisi pertama, pssst... namanya masih dirahasiakan, sudah siap naik cetak.

Setelah berkutat selama lebih dari 3 minggu, memilih topik, mengejar dan mewawancarai narasumber, berkunjung ke lapangan, menulis draft, berkonsultasi dengan ahli, membantu lay out dan sedikit sentuhan akhir, hari ini kelegaan itu terasa begitu indah.

Aku berterimakasih pada teman-teman yang banyak membantu: Iwan, Denta, Lia, Andree, Pak Jess, Mbak Yayuk, Bu Cho, Pak Martua, Vidya, dan Tikah. Aku berharap, mereka juga merasakan kelegaan yang aku rasakan.

Tiga bulan dari sekarang, edisi kedua akan terbit. Minggu depan aku akan memulai lagi proses mencari topik untuk dimuat. Mulai bergerilya, berbicara dengan teman-teman peneliti yang akan berangkat ke lapangan atau yang baru kembali dari lapangan. Rasanya menyenangkan melakukan pekerjaan ini. Dan kali ini, aku akan menjalaninya dengan berbekal pengalaman dari edisi pertama.

Hadirnya rasa lega yang hangat di dada, setiap sebuah pekerjaan terselesaikan, itulah yang membuat seorang pekerja bertahan di tempat kerja. Seperti ekstasi (barangkali), rasa itu menyebabkan kecanduan. Rasanya selalu ingin. Ingin merasakan kelegaan yang menguapkan segenap rasa lelah dan perasaan tertekan selama proses. Adakah yang tidak tertarik?

Tuesday 5 August 2008

Sampah Legian

Senin pagi jam 7.30 waktu Bali. Tanggal 4 Agustus. Di jalanan kendaraan sudah ramai lalu lalang. Jalan Legian, salah satu pusat keramaian kawasan Kuta sudah bangun sejak dua jam lalu. Beberapa toko mulai dibuka bagi para karyawan yang bertugas mengelap kaca atau menyapu lantai, persiapan menyambut pelanggan. Meja-meja restoran dilap para waiter berpakaian khas. Mereka nampak segar. Diselingi senda gurau, mereka melaksanakan aktifitas pagi mempersiapkan diri menyambut tamu yang akan bersantap sepanjang hari ini.

Dibanding wajah para waiter, aspal Jalan Legian nampak kusam seakan menyuarakan kelelahan setelah semalam dijejaki ribuan pengunjung bar, restoran, toko suvenir, dan diskotik. Sudah lama pagi bukanlah waktu favorite bagi ruas jalan satu arah ini. Tumpukan sampah ada di mana-mana. Lalat berseliweran merubung cairan yang mengalir dari tumpukan sampah yang bertebaran. Bau sisa makanan busuk menggayuti udara pagi yang seharusnya membawa kesegaran. Sedih rasanya mengamati pemandangan tak sedap itu. Bagaimana turis akan betah tinggal di lokasi pariwisata yang tak bersih.

"Petugas kebersihannya malas-malas," kata Wayan, lelaki asli Bali yang sudah 7 tahun mengais rejeki di Jalan Legian dengan menawarkan mobil panthernya untuk mengantar tamu. "Pemerintahnya suka duit, dan akibatnya ini gak terurus."

Entah apa yang dimaksud Pak Wayan, tetapi agaknya dia mengomentari petugas dan mobil kebersihan Kota Denpasar yang belum juga datang mengangkut sampah padahal hari sudah terang dan banyak turis manca negara sudah mulai berseliweran di jalan. Pak Wayan berharap pemerintah bisa memberi perhatian pada masalah sampah di salah satu jalan penting bagi pariwisata Bali ini.

"Truk sampahnya cuma satu. Kalau sudah penuh dengan sampah dari ujung jalan sana, dia akan pergi untuk membawanya keluar, lalu kembali lagi. Itu yang bikin lama," ujar salah seorang waiter Restoran Hotel 14 Roses sambil sibuk mengelap meja.

Untuk jalan sepenting Jalan Legian, nampaknya armada truk sampah perlu ditambah. Supaya tidak menggangggu lalu lalang kesibukan di jalan, pengangkutan sampah mestinya dapat dilakukan lebih pagi, ketika malam masih gelap dan sebagian besar pengunjung sudah tidak lagi berada di jalalan.

Tetapi, lambatnya pengangkutan sampah menjadi rejeki bagi para pemulung. Pendi, lelaki pemulung asal Bondowoso Jawa Timur, mengaku perlu waktu setengah jam untuk mengisi karungnya dengan berbagai sampah plastik yang bisa dia kumpulkan. Pagi jam 6, Pendi dan kawan-kawannya sudah berada di Jalan Legian - cukup waktu baginya untuk memenuhi karung sebelum truk sampah datang. Sudah dua tahun Pendi bekerja di sini dan tampaknya dia tidak peduli apakah Jalan Legian bersih atau tidak. "Gak tahu ya, saya gak tahu kapan truk datang," katanya sambil buru-buru mengatur posisi karung di bagian belakang sepedanya dan mengayuh menjauh. Seorang teman Pendi juga nampak siap siap pergi. Dua karung besar sudah ada di atas motor Honda miliknya. Segera dia menarik gas, membawa pergi karung-karung kusam berisi berbagai barang hasil kerjanya hari itu.

Sebuah bis besar lewat menerbangkan debu dan sampah. Hari sudah jam 8.30. Truk sampah belum datang. Jalanan makin ramai. Nampak sepasang muda-mudi berkulit putih berjingkat menghindari air becek dari tumpukan sampah. Rona jijik nampak di wajah mereka. Wajah kuyu satpam sebuah hotel di seberang jalan melengos tak peduli.