Saturday 14 August 2010

BIC dan Kebahagiaan

Barangkali apa yang ditulis Stephanie Rosenbloom dalam artikel "But Will It Make You Happy?" (The New York Times: 9 Agustus 2010) tidaklah berbeda dengan apa yang sudah sering dilakukan anggota BIC (Blazer Indonesia Club) dalam memaknai uang mereka.

BIC merupakan sebuah klub otomotif yang berpusat di Jakarta dengan anggota hampir 1000 orang tersebar seantero nusantara. Guyon atau beneran, beberapa anggota BIC bersemboyan tiada hari tanpa touring. Website resmi klub www.bic.or.id penuh dengan cerita touring luar maupun dalam kota, panjang dan pendek, dengan atau tanpa kegiatan bakti sosial. Tidak sedikit uang dikeluarkan untuk sekali touring.

Dalam artikelnya, Rosenbloom menyitir penelitian Thomas DeLeire, profesor dari University of Wisconsin, yang menemukan bahwa membelanjakan uang untuk hal-hal berikut betul-betul bisa membuat orang bahagia: melancong, hiburan, olah-raga, dan peralatan seperti alat pancing. Selain itu, tidak.

Boleh jadi, apa yang dikatakan DeLeire sudah merasuk ke dalam jiwa sebagian besar anggota BIC, sehingga tanpa berfikir panjang setiap ajakan touring selalu disambut gembira.

“Mikir belakangan, yang penting ndaftar dulu!” kata Dwi Nuryanto, bapak 4 anak dari Semarang, yang sering didaulat menjadi Road Captain bila ada touring BIC Rayon Semarang yang berjuluk Toegoe Moeda. Dwi tidak pernah berhitung berapa biaya yang ia keluarkan untuk mengorganisir atau sekedar berpartisipasi dalam suatu touring.

"It’s better to go on a vacation than buy a new couch," kata Elizabeth W. Dunn, seorang profesor psikologi dari University of British Columbia, juga dalam tulisan Rosenbloom. Dunn sedang membandingkan kebahagiaan yang diperoleh dengan pergi melancong (baca: touring dalam kamus BIC) dan membeli sofa baru.

Nanang Fadjar, seorang anggota BIC yang berdomisili di Depok, selatan Jakarta, bercerita tentang peringatan istrinya ketika membeli sebuah kamera SLR merek Canon.

“Aku setuju kamu beli kamera, tapi jangan sekali-sekali ikut klub fotografi. BIC sudah cukup!” kata Nanang menirukan istrinya.

“Lagipula BIC adalah klub keluarga. Kalau hunting foto, kan susah bawa keluarga. Kalau touring pasti ajak keluarga. Dan ini yang saya sukai,” imbuh Nanang yang dikenal sebagai juru potret tak resmi BIC.

Apa yang dikatakan Nanang persis seperti yang disebutkan dalam laporan The Boston Consulting Group Juni lalu (dalam artikel Rosenbloom) bahwa sekarang ini orang lebih cenderung dengan gerakan “back-to-basics,” dimana hal-hal yang terkait dengan rumah dan keluarga menjadi kian penting.

Beberapa waktu lalu, rombongan 15 mobil blazer para Kstaria Gembokers, julukan bagi pengangon kebo (blazer) yang tinggal di daerah Depok, beriringan menuju suatu tempat rekreasi di Sukabumi. Di lokasi wisata, mereka makan siang dan mancing bersama. Dari foto-foto yang disebarkan di milis BIC maupun halaman Facebook, jelas sekali kebahagiaan terpancar dari wajah mereka, juga anak-anak mereka.

Di tengah kesibukan kerja dan kegiatan lain, BIC Rayon Semarang berencana mengadakan acara buka puasa bersama di Kampung Kopi Banaran, tempat peristirahatan berjarak lebih kurang 1 jam ke arah Salatiga. Touring pendek yang rencananya diikuti sekitar 13 blazer Cap Toegoe Moeda itu memerlukan biaya Rp. 50.000 per kepala. Ditambah uang bensin dan lain lain, paling tidak diperlukan Rp. 500.000 per keluarga. Belum lagi untuk kaos seragam BIC yang disainnya kadang gak nahaaan. Tidak menjadi masalah.

“Yang penting kebersamaan,” kata Rizky Syarif, Ketua Klub (Dan Yon) BIC Semarang. Rizky rencana membawa istri dan dua anaknya yang masih kecil-kecil dalam kegiatan buka bersama itu.

Penelitian membuktikan, tidak seperti belanja barang baru, pengeluaran untuk hal-hal yang bertujuan mempererat kebersamaan atau silaturahmi ternyata dapat memperkuat kebahagiaan. Tidak ada keraguan tentang hal ini. Terdapat korelasi kuat antara hubungan sosial dan kebahagiaan. Segala sesuatu yang memperkokoh kekerabatan sosial pasti akan membuat rasa hangat dan senang.

Tidak dapat dipungkiri, rasa hangat semacam itulah yang sebenarnya ‘bikin kangen’ para anggota BIC dimanapun berada.

Untuk touring Lampung yang diadakan BIC Rayon Pusat bulan April lalu, Pak Bekti dan Bu Rita dari Rayon Yogyakarta tak keberatan memacu blazer mereka selama lebih dari 10 jam untuk bisa menyusul rombongan 50 blazer yang akan menyeberang ke pulau Sumatra untuk touring 2 hari mereka.

Touring BSK (Blazer Saba Kuningan) yang dikoordinir Rayon Pusat bulan Juli lalu juga diramaikan rombongan blazer Semarang. Tak terhitung jumlah touring kecil-kecilan yang diselenggarakan para anggota BIC di Jakarta, Bogor, Depok, Semarang, Solo, Denpasar, Surabaya, hingga Aceh dan Papua.

Milis BIC tak pernah sepi dengan obrolan serius seputar perawatan blazer maupun olok-olok sesama penunggang kebo (sebutan bagi pengendara blazer). Kegiatan bakti sosial tak jarang diikuti perwakilan BIC.

Bukankan touring dan segala rupa kegiatan klub otomotif makan biaya, tanaga dan waktu? Tapi bila dibanding dengan kebahagiaan yang diperoleh, hal itu bukan masalah bagi sebagian besar anggota klub otomotif yang sebentar lagi akan memasuki usia 9 tahun. Bukan begitu kawan? Siap untuk touring selanjutnya? Untuk kebahagiaan episode berikutnya?

Sunday 8 August 2010

Renungan Menjelang Ramadhan 2010

“Setidaknya ada empat tingkatan beragama, “ begitu Ustazd Kastori memulai ceramahnya. “Yang pertama sporadis, lalu musiman, agama sebagai beban, dan agama membawa nikmat.”

“Dengan Ramadhan, kita berharap dapat belajar mencapai tingkatan keempat, dimana beribadah terasa nikmat, membawa kedamaian dan kebahagiaan,” ujar pendiri Yayasan Ulul Abshar, penyelenggara pendidikan TK dan SD di Banyumanik (Semarang) dengan pendekatan pesantren terpadu, tempat anakku Syarrifa dan Aya sekolah.

Ustadz Kastori sedang berceramah singkat dalam pertemuan dengan para orang tua murid menjelang Ramadhan tahun 2010 ini. Aku tuliskan beberapa hal menarik dari ceramah pagi tadi, siapa tahu ada manfaatnya bagi pengunjung blog. Ini adalah tentang ilmu, kebersihan hati, puasa, bulan Ramadhan, dan Quran.

Mengenai ilmu sebagai alat mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Imam Buchari menekankan pentingnya ilmu sebelum amalan. Diperlukan ilmu dalam beragama. Salah satu masalah besar umat Muslim dewasa ini adalah hilangnya tradisi belajar yang baik di dalam mempelajari ilmu-ilmu agama. Bila mempelajari ilmu-ilmu lain, kita sangat tekun, efisien, dan sistematis. Bila menyangkut ilmu-ilmu Qur’an, kita belajar seakan tak pakai pedoman, sporadis, dan tidak telaten.

Yang juga terkait dengan ilmu adalah penjelasan tentang kebersihan hati sebagai pangkal masuknya cahaya ilmu. Ilmu Alloh adalah cahaya. Tak kan merapat pada hati yang maksiat. Himbauan: takwalah kepada Alloh maka Alloh akan mengajarimu ilmu.

Kecerdasan sangat tergantung pada kebersihan hati. Kebersihan hati merupakan manfaat puasa, sunnah maupun wajib. Orang yang berpuasa diberi ketenangan. Kecerdasan berbanding lurus dengan ketenangan. Bila ingin cerdas, puasalah. Himbauan: Latihlah anak-anak berpuasa sejak kecil sebagai alat untuk mereka kelak menjadi manusia-manusia yang tenang.

Terkait dengan Ramadhan yang akan segera kita masuki beberapa hari lagi. Ramadhan adalah hadiah. Hadiah bagi kita untuk membersihkan diri. Mari kita jalankan ibadah ini sebaik mungkin supaya mendatangkan manfaat dan tidak sia-sia belaka. Perbanyak belajar agama, ibadah lain, juga bersadaqah. Himbauan: Setidaknya selama Ramadhan, jadikan Qur’an sebagai buku yang menerima perhatian terbesar dari kita.

Tentang ajakan kepada berbuat baik dan menghindari maksiat. Panggilan Tuhan kadang kita abaikan. Kalau yang memanggil adalah Ketua RT, RW, Lurah, Camat, Bupati, Gubernur, atau Presiden, kita akan tergopoh-gopoh memenuhi. Berbeda bila yang memanggil adalah Sang Pencipta, padahal Ia adalah pencipta semua presiden!

Dua penyakit yang harus dihindari. Kebodohan dan syahwat (perut dan di bawah perut). Akan hilang nilai keberadaban seseorang bila ia hanya memperturutkan syahwat. Pameo mengatakan, berbuat baik laksana naik gunung, berat sekali, tetapi berbuat maksiat seperti turun gunung, cepat sampai dasar.

Pesan utama: Puasa, Qur’an dan Ramadhan adalah hadiah bagi kita untuk membersihkan hati, menghapus segenap kesalahan, kesempatan meraih ketenangan, kecerdasan, dan ilmu. Amiiin.

Uruslah Sampahmu Sendiri

Pakaian bagus dan semerbak parfum ternyata bukan jaminan perilaku baik tentang sampah. Mengenai yang satu ini, harus diakui kita masih perlu belajar banyak. Yang aku lihat 7 Agustus lalu di Mall Paragon Semarang membuktikan hal ini.

Mall terbaru yang disebut-sebut sebagai tempat belanja kalangan menengah ke atas ini terletak di salah satu sudut utama kota, berseberangan dengan Hotel Novotel. Mall megah, ikon kemajuan masa sekarang. Terawat dan hangat. Staf keamanan perlente. Petugas pembersih tak henti menyatroni setiap sudut, tak segan berjongkok mengepel lantai agar tetap mengkilat. Toilet bersih bebas aroma pesing. Tempat-tempat sampah dari baja stainless. Toko-toko terang dan glamour, menggoda mata pengunjung yang datang walau tak niat belanja.

Waktu itu aku nonton Inception (Leonardo di Caprio), film berdurasi lebih dari 2 jam tentang mimpi di dalam mimpi.

Theater XXI di Mall Paragon. Aroma pop-corn dan caramel memenuhi lobby yang dipenuhi pengunjung antre tiket untuk film-film hari itu: Inception, Salt dan How to Train Your Dargon. Rombongan anak sekolah riang dan sedikit berisik. Ibu muda dengan anaknya yang tak henti minta main balap mobil di game-zone tak jauh dari antrean. Ibu setengah baya dan anak gadisnya. Bapak-bapak dengan istrinya. Pasangan muda sedang memadu kasih. Seorang gadis sendirian. Blackberry di tangan. Tas tangan dikempit. Lalu paras-paras Jawa dan Tionghoa. Senyuman. Bulu-bulu mata yang bagus. Bibir bergincu tak norak. Sisiran klimis. Tak ada bau keringat asem. Bersih dan rapi.

Dua jam kemudian. Ketika film berakhir. Ketika lampu theater kembali memendarkan cahaya. Ketika penonton mulai beranjak perlahan bergerak mencari jalan keluar. Ironi itu nampak jelas. Sampah bertebaran di mana-mana!

Di atas kursi. Di kolong. Di koridor pemisah barisan kursi. Bahkan di celah-celah sandaran. Kerapian kursi empuk berbalut beludru merah hati itu rusaklah sudah. Sangat kontras dengan dandanan lelaki dan perempuan muda yang masih kelihatan rapi. Duduk 2 jam tak membuat pakaian kusut! Tapi kalau anda tak peduli, bekas duduk andalah yang jadi korban.

Himbauan di layar di akhir film "PERIKSA KEMBALI BARANG BERHARGA ANDA JANGAN SAMPAI KETINGGALAN" memang betul-betul diterapkan. Botol-botol kosong bekas minum, kertas pembungkus snack, kemasan pop-corn yang isinya sudah pindah ke perut, tissu bekas, semuanya memang bukan barang berharga. Layak untuk ditinggal.

"Toh nanti akan ada yang membersihkan!" Mungkin itu yang ada di benak para penonton yang masih terjerat racun realitas film yang baru saja ditontonnya.

Kilas Balik, Bandar Udara Schipol, Beberapa Waktu Lalu.

Matahari terhalang awan. Udara awal musim dingin membuat jari-jari terasa kaku. Tak nyaman. Di langit tinggi terlihat garis-garis putih bersilangan, menandakan jalur yang baru saja dilintasi pesawat. Awan membeku, di atas Amsterdam, jam 6 pagi.

Aku bergegas meninggalkan meja imigrasi. Lega karena bagasiku tidak diperiksa. Berpuluh keping sofware komputer bajakan khas Mangga Dua ada di dalamnya. Juga berbungkus-bungkus rokok Sampoerna Mild. Titipan buat QQ, teman yang menjemputku di bandara.

"Ngopi yuk," ajakku sesaat setelah menemukan QQ. Dia kuliah S3 di Utrecht dan sudah berbaik hati bangun pagi-pagi untuk bisa mengejar kereta ke Schipol, demi membuatku tidak menjadi orang linglung di negeri yang baru pertama kali aku kunjungi ini. QQ saja merasa perlu pakai mantel panjang dan syal tebal untuk menghalau dingin. Dalam udara yang membekukan ini, ngopi dengan Djarum Super pasti nikmat!

Kami pesan dua kopi di Wendy's terdekat. Aku juga pesan roti bakar. Lumayan untuk mengisi perut, antisipasi tour keliling beberapa kota Belanda yang sudah aku rencanakan sebelumnya. Aroma keretek kami tak urung membuat beberapa orang menoleh. Baunya gak nahaaan! Atau kami disangka sedang menghisap asap daun terlarang? Mungkin.

Puas ngopi-ngopi, aku meraih tas laptop dan siap melangkah namun ditahan QQ. "Bekas minummu!" katanya kepadaku sambil mengerling ke arah seorang perempuan di meja samping.

Perempuan itu, baru saja selesai sarapan, sedang sibuk mengelap remahan burger di atas mejanya, mengumpulkan kertas pembungkus dan cangkir kertas bekas kopi, lalu membawanya ke tempat sampah di pojok ruangan. Buang sampah sendiri!

"Di sini tak ada pelayan. Semua diurus sendiri."

Kembali ke Sampah di XXI Paragon.

Ada atau tidak ada petugas kebersihan yang akan membereskan sampah di kursi penonton, tidakkah akan lebih indah bila kita bertanggung jawab pada sampah masing-masing? Tidakkah membuat ringan pekerjaan petugas kebersihan merupakan amal baik? Yang akan meninggikan martabat kita masing-masing? Bukankah orang pembersih dipandang 'lebih baik' ketimbang pengotor? Tidakkan kita tertarik disebut orang yang peduli kebersihan? Peduli pada sampah sendiri?

Aku ingat kebiasaan baik di Cafe CIFOR, di tempat aku dulu kerja di Bogor. Kopi gratis, self-help, tapi kalau selesai ngopi, jangan lupa kembalikan gelas dan sendok kotor anda ke tempat yang sudah disiapkan. Anda tidak perlu mencuci sendiri. Ada staf Cafe yang akan melakukannya. Tidak hanya untuk kopi gratis ini. Bila anda makan (ini tidak gratis) anda harus bertanggung-jawab pada piring, mangkok, sendok, garpu, dan gelas yang anda pakai. Sama, bereskan dan bawa ke tempat peralatan kotor. Indah bukan? (1) beramal membantu meringankan pekerjaan teman Cafe, dapat pahala (2) kita juga senang karena menjadi bagian dari komunitas pembersih, dapat rasa bangga.

Soo .. bila kita masih belum terbiasa mengurus sampah sendiri dan masih berharap ada orang lain yang akan mengerjakannya untuk kita, marilah tinjau kembali pikiran itu.