Sunday 8 August 2010

Uruslah Sampahmu Sendiri

Pakaian bagus dan semerbak parfum ternyata bukan jaminan perilaku baik tentang sampah. Mengenai yang satu ini, harus diakui kita masih perlu belajar banyak. Yang aku lihat 7 Agustus lalu di Mall Paragon Semarang membuktikan hal ini.

Mall terbaru yang disebut-sebut sebagai tempat belanja kalangan menengah ke atas ini terletak di salah satu sudut utama kota, berseberangan dengan Hotel Novotel. Mall megah, ikon kemajuan masa sekarang. Terawat dan hangat. Staf keamanan perlente. Petugas pembersih tak henti menyatroni setiap sudut, tak segan berjongkok mengepel lantai agar tetap mengkilat. Toilet bersih bebas aroma pesing. Tempat-tempat sampah dari baja stainless. Toko-toko terang dan glamour, menggoda mata pengunjung yang datang walau tak niat belanja.

Waktu itu aku nonton Inception (Leonardo di Caprio), film berdurasi lebih dari 2 jam tentang mimpi di dalam mimpi.

Theater XXI di Mall Paragon. Aroma pop-corn dan caramel memenuhi lobby yang dipenuhi pengunjung antre tiket untuk film-film hari itu: Inception, Salt dan How to Train Your Dargon. Rombongan anak sekolah riang dan sedikit berisik. Ibu muda dengan anaknya yang tak henti minta main balap mobil di game-zone tak jauh dari antrean. Ibu setengah baya dan anak gadisnya. Bapak-bapak dengan istrinya. Pasangan muda sedang memadu kasih. Seorang gadis sendirian. Blackberry di tangan. Tas tangan dikempit. Lalu paras-paras Jawa dan Tionghoa. Senyuman. Bulu-bulu mata yang bagus. Bibir bergincu tak norak. Sisiran klimis. Tak ada bau keringat asem. Bersih dan rapi.

Dua jam kemudian. Ketika film berakhir. Ketika lampu theater kembali memendarkan cahaya. Ketika penonton mulai beranjak perlahan bergerak mencari jalan keluar. Ironi itu nampak jelas. Sampah bertebaran di mana-mana!

Di atas kursi. Di kolong. Di koridor pemisah barisan kursi. Bahkan di celah-celah sandaran. Kerapian kursi empuk berbalut beludru merah hati itu rusaklah sudah. Sangat kontras dengan dandanan lelaki dan perempuan muda yang masih kelihatan rapi. Duduk 2 jam tak membuat pakaian kusut! Tapi kalau anda tak peduli, bekas duduk andalah yang jadi korban.

Himbauan di layar di akhir film "PERIKSA KEMBALI BARANG BERHARGA ANDA JANGAN SAMPAI KETINGGALAN" memang betul-betul diterapkan. Botol-botol kosong bekas minum, kertas pembungkus snack, kemasan pop-corn yang isinya sudah pindah ke perut, tissu bekas, semuanya memang bukan barang berharga. Layak untuk ditinggal.

"Toh nanti akan ada yang membersihkan!" Mungkin itu yang ada di benak para penonton yang masih terjerat racun realitas film yang baru saja ditontonnya.

Kilas Balik, Bandar Udara Schipol, Beberapa Waktu Lalu.

Matahari terhalang awan. Udara awal musim dingin membuat jari-jari terasa kaku. Tak nyaman. Di langit tinggi terlihat garis-garis putih bersilangan, menandakan jalur yang baru saja dilintasi pesawat. Awan membeku, di atas Amsterdam, jam 6 pagi.

Aku bergegas meninggalkan meja imigrasi. Lega karena bagasiku tidak diperiksa. Berpuluh keping sofware komputer bajakan khas Mangga Dua ada di dalamnya. Juga berbungkus-bungkus rokok Sampoerna Mild. Titipan buat QQ, teman yang menjemputku di bandara.

"Ngopi yuk," ajakku sesaat setelah menemukan QQ. Dia kuliah S3 di Utrecht dan sudah berbaik hati bangun pagi-pagi untuk bisa mengejar kereta ke Schipol, demi membuatku tidak menjadi orang linglung di negeri yang baru pertama kali aku kunjungi ini. QQ saja merasa perlu pakai mantel panjang dan syal tebal untuk menghalau dingin. Dalam udara yang membekukan ini, ngopi dengan Djarum Super pasti nikmat!

Kami pesan dua kopi di Wendy's terdekat. Aku juga pesan roti bakar. Lumayan untuk mengisi perut, antisipasi tour keliling beberapa kota Belanda yang sudah aku rencanakan sebelumnya. Aroma keretek kami tak urung membuat beberapa orang menoleh. Baunya gak nahaaan! Atau kami disangka sedang menghisap asap daun terlarang? Mungkin.

Puas ngopi-ngopi, aku meraih tas laptop dan siap melangkah namun ditahan QQ. "Bekas minummu!" katanya kepadaku sambil mengerling ke arah seorang perempuan di meja samping.

Perempuan itu, baru saja selesai sarapan, sedang sibuk mengelap remahan burger di atas mejanya, mengumpulkan kertas pembungkus dan cangkir kertas bekas kopi, lalu membawanya ke tempat sampah di pojok ruangan. Buang sampah sendiri!

"Di sini tak ada pelayan. Semua diurus sendiri."

Kembali ke Sampah di XXI Paragon.

Ada atau tidak ada petugas kebersihan yang akan membereskan sampah di kursi penonton, tidakkah akan lebih indah bila kita bertanggung jawab pada sampah masing-masing? Tidakkah membuat ringan pekerjaan petugas kebersihan merupakan amal baik? Yang akan meninggikan martabat kita masing-masing? Bukankah orang pembersih dipandang 'lebih baik' ketimbang pengotor? Tidakkan kita tertarik disebut orang yang peduli kebersihan? Peduli pada sampah sendiri?

Aku ingat kebiasaan baik di Cafe CIFOR, di tempat aku dulu kerja di Bogor. Kopi gratis, self-help, tapi kalau selesai ngopi, jangan lupa kembalikan gelas dan sendok kotor anda ke tempat yang sudah disiapkan. Anda tidak perlu mencuci sendiri. Ada staf Cafe yang akan melakukannya. Tidak hanya untuk kopi gratis ini. Bila anda makan (ini tidak gratis) anda harus bertanggung-jawab pada piring, mangkok, sendok, garpu, dan gelas yang anda pakai. Sama, bereskan dan bawa ke tempat peralatan kotor. Indah bukan? (1) beramal membantu meringankan pekerjaan teman Cafe, dapat pahala (2) kita juga senang karena menjadi bagian dari komunitas pembersih, dapat rasa bangga.

Soo .. bila kita masih belum terbiasa mengurus sampah sendiri dan masih berharap ada orang lain yang akan mengerjakannya untuk kita, marilah tinjau kembali pikiran itu.

No comments: