Tuesday 19 January 2010

Tuhan Tak Mengirimku Jamur Hari Ini

Pagi-pagi tadi aku intip halaman depan bawah pohon rambutan. Yang ada hanya kilauan kertas plastik bekas pembungkus permen terbawa angin. Juga potongan keramik rusak warna krem. Selebihnya daun rambutan kering bertebaran di atas tanah coklat kehitaman. Di bawah pohon rambutan, tak ada jamur seperti yang kuharap.

Kemarin sore menjelang magrib, ketika menutup jendela kamar, pandanganku terantuk sosok jamur bulan menyembul dari tanah. Bentuknya sempurna. Belum tersentuh rayap perusak. Nampak baru muncul tak lebih sejam sebelumnya. Bukan di tempat biasa, di pojok lembab pas di bawah tanggul pohon rambutan, tetapi agak ke tengah mendekati tembok rumah. Dengan girang aku panggil anak-anak, kutunjukkan anugerah Tuhan sore itu. Aya, anakku kedua, sangat suka makan oseng jamur dengan irisan bawang merah yang aku buat. Garamnya lebihin sedikit. Nikmatnya tak terlupa.

Aku punya kenangan tentang jamur. Jamur bulan adalah jenis jamur terbaik yang pernah aku tahu. Dibandingkan dengan jamur kuping, jamur merang, ataupun jamur lainnya, rasa jamur bulan sungguh nikmat. Cukup diiris kecil-kecil, ditambahi garam, dibungkus daun pisang, lalu panggang di atas api. Kurang 5 menit, airnya akan menetes-netes dari lipatan daun pisang pertanda jamur sudah matang. Rasa asinnya lezaaat tak terkira. Banyak yang bilang, gurihnya melebihi ayam panggang. (Jangan bayangkan rasa ayam potong tak segar yang biasa kita konsumsi di Jakarta).

Di Lombok, waktu kecil dulu, ketika jamaah sholat subuh baru saja menyelesaikan rakaat terakhir, bersama satu dua teman sepermainan, aku sudah jauh di luar batas kampung, dalam gelap meniti pematang sawah yang sudah kami hapal bak jalan perkotaan di bawah terang lampu listrik. Tak berapa lama kemudian kami sudah berada di kebun-kebun milik orang tua kami, membuka mata lebar-lebar dalam gelap yang masih menggayut, meraba tanah lembab dalam semak di bawah rimbunan pohon-pohon bambu, tak peduli duri dan ular. Di benak kami hanya ada harapan menemukan sosok kuncup jamur dan (doa kami) bulatnya jamur bulan yang mekar sempurna.

Jamur membuat kami cepat bangun pagi tetapi menomorduakan solat subuh. Kalau terlambat, jamur-jamur kami pasti sudah diambil anak-anak lain. Kami pernah keduluan dan hanya melengos pura-pura tak peduli ketika berpapasan dengan gerombolan anak-anak kampung sebelah yang mengangkat untaian jamur dengan tawa penuh kemenangan.

Sore ini, sebelum cahaya langit tertelan malam, aku berharap kembali melihat jamur di bawah jendela. Tak ada. Tuhan tidak memberi jamur hari ini.

Mungkin ini yang disebut banyak orang tentang misteri rezeki. Kadang diusahakan dengan kerja keras, hasil tak seperti harapan. Di suatu ketika, tak usaha apa-apa, Tuhan membimbing pandangan ke jamur bulan.

Sejak awal musim hujan lalu, aku sudah bilang ke anak-anak, mungkin jamur sudah tak mau lagi tumbuh di bawah rambutan karena sampah dedaunan sudah dibersihkan Pak Husin, tetangga kami yang sering bantu rapikan halaman. Koloni rayap yang aku percaya sebagai sumber kemunculan jamur memang masih banyak di bawah tanah, tetapi kelembaban sudah tak ada. Jamur tidak suka tempat kering.

Kalau saja kemarin sore bukan aku yang menutup jendela, kalau saja jendela tidak perlu ditutup, mungkin jamur tak akan terlihat. Tetapi Tuhan mengingatkanku untuk menutup jendela dengan menumbuhkan kekhawatiran nyamuk masuk kamar. Tuhan menunjukkan jalan, memberi rezeki dengan caraNya. Syukur Alhamdulillah.