Tuesday 15 July 2014

Anak-Anak Sudah Besar. Mereka Sebentar Lagi Pergi.

Sesaat setelah Aya keluar mobil, menuju gedung sekolah yang masih sepi, aku tiba-tiba diselimuti rasa haru yang menyesakkan. Mataku tergenang. Aku terisak.

Tanpa bisa kutahan, isakku makin menjadi. Aku menangis. Kututupi muka dengan kedua tangan, berharap lengan kaosku bisa menyerap air mata yang mulai mengalir.

Aku telungkupkan wajah di setir mobil. Takut dilihat orang dari luar. Sempat kunaikkan kaca mobil yang sedikit terbuka. Aku tak ingin orang mendengar tangisku. Mereka akan berfikir aneh dan bertanya-tanya ada apa. Aku hanya sedang menangis. Tiba tiba berfikir anak-anak sudah besar, dan sebentar lagi mereka akan pergi, dan aku akan kesepian.

Kulepaskan segenap rasa yang menekan dalam dada. Aku yakin mobil ini cukup kedap suara. Tak akan didengar orang dari luar. Menelungkup aku menangis, suaraku hampir meraung. Tak apalah. Aku sadar aku butuh menumpahkan segenap rasa ini supaya nanti bisa tenang nyetir pulang.

Ya .. aku sedang antar Aya, anakku yang nomor dua. Hari ini, Selasa 15 Juli 2014, hari kedua masuk sekolah. SMP Hidayatullah, Banyumanik, Semarang.

Dari kemarin aku perhatikan dia terlihat enggan turun dari mobil. Aku tak memaksa. Tak seperti seorang ibu di mobil sebelah, yang tampak tak sabaran meminta anak laki-lakinya keluar mobil. Aku dan Aya waktu itu ketawa kecil melihat polah mereka. Aya mungkin melihat anak laki-laki itu tak beda dengan dirinya, sama-sama merasa asing di sekolah baru, belum punya teman. Wajar ada rasa takut. Rasa ragu. Aku tak ingin membebani Aya dengan suruhan segera keluar mobil. Toh hari masih pagi. Masih banyak waktu. Aku diam saja.

***

Balada hari pertama masuk sekolah dimulai sejak Aya pulang dari SMP Hidayatullah, Jumat lalu. Dia ke sekolah untuk mendengar instruksi persiapan MOS. Aya segera menyiapkan diri. Minta Mas Mul (yang bantu jemput sekolah kalau aku tak sempat) untuk cari karung gandum segitiga biru. Gagal. Hampir semua pedagang tepung bilang, sekarang ini gandum sudah tak pakai karung kain, tapi karung kertas. Mirip sak semen. Mungkin kain lebih mahal dari kertas.

Aku tak di rumah Jumat itu. Selepas antar Aya (juga Ifa kakaknya kelas 2, pengurus OSIS dan panitia MOS di sekolah yang sama), aku ke Solo menjemput ibunya. Kami sampai rumah malam sekali dan hanya mendengar cerita bahwa keperluan MOS Aya belum siap.

Sabtu pagi tiba. Harus cari karung gandum, kain flanel, dan rafia. Aya juga perlu waktu untuk persiapan bikin hiasan kupu-kupu di karung, juga papan nama (dari karton tebal) dengan selempang rajutan tali rafia.

Aku keluar rumah pakai motor. Hanya berhasil menemukan tali rafia. Seorang teman, Pak Muji, reparator mesin cuci, bahkan sampai menghubungi beberapa temannya di Semarang dan Ungaran menanyakan karung gandum segitiga biru. Nihil. Kain flanel berhasil aku temukan hari itu di Toko Hasanah. Toko Pena, tempat biasanya kami beli perlengkapan sekolah, tak buka saat aku ke sana. Ketimbang berlama-lama cari karung gandum, aku putuskan untuk bikin sendiri karung dari blacu.

Aku dan Ifa (yang ikut keluar Minggu pagi untuk ukur badan bikin rok di penjahit langganan di Pasar Jati) lalu beli setengah meter kain blacu di toko textile. Harga Rp. 5.500. Murah juga ya. Ibunya Aya lalu lembur sampai Sabtu malam menjahitkan tas. Tak ada mesin jahit. Cukup bekal jarum dan benang. Gini-gini, kan neneknya Aya almarhumah Hajjah Kasilah adalah penjahit dan guru jahit di Surabaya. Ibunya Aya pasti tahulah cara menjahit. :D

Drama persiapan MOS dan hari pertama sekolah berakhir manis. Hari Minggu kami bahkan sempat beli tambahan kain flanel, di depan Sarinah ternyata ada. Aya senang sekali. Semua persiapan pas. Ifa juga cukup membantu.

***

Ini yang kedua kali aku menangis terkait Aya.

Yang pertama adalah ketika suatu siang pertengahan 2013, dia datang ke kamar kerjaku di belakang, berbisik, bertanya apakah aku mau belikan dia softex. Dia baru mulai menstruasi. Pertama kali.

Tak berlama-lama aku sambar kunci motor dan membelikan pembalut banyak jenis (aku tak tahu mana yang pas).

Sepanjang perjalanan pulang, aku menangis. Anakku sudah besar. Anak kecilku yang manis akan segera menjadi gadis dewasa. Anakku yang manja, yang suka aku goda-godain sekarang sudah di ambang remaja. Aku takut kehilangan dia. Aku takut melepaskan dia sendirian. Aku ingin selalu ada di sampingnya, siap memberi bantuan apapun yang dia perlukan. (Sambil nulis ini, air mata mengalir lagi - teringat isakan di atas sepeda motor sambil pulang bawa softex.)

Tadi di halaman depan sekolah, aku lihat seorang Ibu memanfaatkan waktu yang masih ada untuk membenahi kerudung anaknya sebelum kemudian melepaskan si anak menuju gedung sekolah. Aku juga melhat mata sang Ibu yang tak lepas dari sosok buah hatinya yang berjalan makin menjauh.

Hari Senin kemarin, aku juga lihat seorang ibu, berfoto-foto dengan anaknya yang juga akan ikut MOS. Wajah si anak datar saja, sibuk mematut selempang karton namanya. Si ibu dan temannya sibuk foto-foto. Mungkin mereka tak ingin tak mengabadikan kenangan hari pertama masuk SMP anaknya tercinta.

Para orang tua, di mana saja berada. Pasti mengalami hal-hal ini. Mengantar anak sekolah. Menyaksikan anaknya besar. Membantu anaknya persiapan menuju jenjang kehidupan selanjutnya.

Aku sedang berfikir, barangkali nanti aka akan menangis meranung-raung bila anakku (Ifa dan Aya) sudah siap melangkah ke jenjang hidup selanjutnya, berkenalan dengan teman baru, bahkan lalu naik ke pelaminan berumah tangga, sementara aku dan ibunya sudah makin menua.

Ah .. sudahlah. Itu sih masih terlalu jauh. Yang akan datang, biarlah datang. Kalaupun nanti aku menangis, aku akan menangis lagi.

Kemarin ibunya Aya yang sudah kembali ke Surabaya tulis BBM, berdoa semoga bisa menemani Aya dan Ifa nanti bila mereka masuk SMA. Pingin antar hari pertama masuk sekolah. Tak pernah sekalipun ibunya (karena selalu kerja di luar kota) ikut mengantar Ifa atau Aya bersekolah pada hari pertama.

SMA terasa masih lama bagiku. Tapi 2 tahun juga bukan waktu yang terlalu lama menjelang. Aku cuma bisa berdoa. Yaa Allah. Berikan kami umur panjang supaya bisa saksikan anak anak kami, titipanMu menjadi manusia mandiri yang bisa membantu dirinya sendiri hidup, dan juga mendatangkan manfaat bagi orang lain.

Kami berdoa yaa Allah. Di bulan Ramadhan 1435 H ini, beri kami kesempatan menyaksikan anak-anak generasi mendatang tumbuh baik dan sanggup menjadi penerus kami, memenuhi harapan nusa, bangsa dan agama. Kabulkan yaa Allah. Aamiin.