Monday 27 July 2009

Intramuros, Manila

Kalau anda sedang di Manila, jangan lewatkan kesempatan berkunjung ke Intramuros, kompleks kota tua peninggalan Spanyol abad 16. Kawasan dengan luas 67 hektar ini dikelilingi dinding tinggi (juga dari zaman kejayaan Spanyol) yang masih berdiri kokoh membentengi kawasan. Di dalam kompleks terdapat bermacam bangunan tua yang masih berfungsi dan dirawat baik.

Ketika berada di Manila 26 Juli lalu, aku berkunjung ke Intramuros dan sungguh terpana akan keagungan dan keindahan yang aku lihat. Bangsa Filipina perlu berbangga telah berhasil menjaga dan merawat kompleks Intramuros sebagai bagian dari sejarah agung bangsa ini.

Berikut ini daftar ke 27 bangunan yang bisa dikunjungi selama di Intramuros. Aku hanya sempat masuk ke Manila Cathedral, Fort Santiago, dan San Agustin Church and Convent. Melihat-lihat ketiganya saja sudah membuat terkagum-kagum. Berhubung singkatnya waktu, sebagian besar hanya aku lihat dari luar. Ntar kalo sempat, aku berikan deskripsi singkat masing-masing yang berikut ini.

1. Fort Santiao
2. Palacio del Gobernador
3. Postigo del Palacio
4. Puerta de Sta. Lucia
5. EJC Building
6. Baluartillo de San Jose
7. Reducto de San Pedro
8. Bagumbayan Light and Sound Museum
9. Baluerte de San Diego
10. Puerta Real
11. Revelin de Real Bagumbayan
12. Baluerte de San Andres
13. Revellin de Recoletos
14. Baluerte del Dilao
15. Puerta del Parian
16. Revellin del Parian
17. Baluerte de San Gabriel
18. Puerta de Isabel II
19. Aduana (Customs House)
20. Plaza de Sto. Tomas
21. Ayuntamiento
22. Plaza de Roma
23. Manila Cathedral
24. Bahay Tsinoy
25. Plazuella de Santa Isabel
26. San Agustin Church and Convent
27. Plaza San Lusi Complex

Sunday 26 July 2009

Tips Membeli Tiket Pesawat

Zaman sekarang, membeli tiket pesawat di agen perjalanan kecil tak ada bedanya dengan agen perjalanan besar yang sudah kondang sejak era penerbangan mahal sepuluh tahun lalu. Harga sama saja. Beli langsung di kantor penerbangan kadang jatuh lebih mahal.

Kemajuan sistem booking on line memberi kemudahan bagi setiap agen perjalanan (mentereng atau berdebu) untuk mengecek harga dan ketersediaan seat secara real-time. Semua agen berposisi setara di hadapan sistem booking on line. Siapa yang rajin ngecek, dialah yang mendapat keuntungan bila tiba-tiba muncul harga bagus, promo, atau diskon. Bukankah pelanggan senang dengan harga-harga promo?

Awal Mei lalu, aku belikan adikku, temannya, dan ibuku tiket Garuda .. promo … Ampenan (AMI) – Jakarta (CGK). Hanya Rp. 687.000 sekali jalan. Pulangnya, lagi lagi dapat promo, dengan harga yang sama. Total, sekitar 1.4 juta sudah bisa bolak balik Mataram-Jakarta-Mataram. Padahal, harga normal rute ini adalah sekitar 3 juta pergi pulang. Penghematan luar biasa bukan? Aku sering beli tiket untuk keperluanku pribadi atau kantor, juga buat istriku, teman-teman istriku, dan saudara atau teman, dengan harga promo yang pasti lebih murah dari harga normal.

Penghematan seperti itu aku peroleh tidak lain karena jasa agen perjalanan tempat aku biasa beli tiket, Joe Travel, Bogor. Tinggal kirim pesan lewat YM ke Mbak Iva, atau SMS ke HPnya, sebutkan rute dan nama yang akan berangkat, jangan lupa kasi pesan khusus: yang murahhh yaa a.. lalu beri tanda senyum malu-malu (:D), sesaat kemudian Iva akan jawab, “Bentar ya Pak .. aku carikan”. Tak perlu nunggu lama, paling telat 15 menit Iva akan kirim beberapa alternatif penerbangan lengkap dengan harganya.

Selain penghematan, kemudahan komunikasi merupakan salah satu hal yang penting. Dengan Iva (Joe Travel) kemudahan itu aku dapatkan. Kalau urgen banget aku akan telpon langsung ke HP-nya. Kadang aku ikuti dengan BUZZZ di YM-nya, juga SMS ke HP, atau kirim email. Minta prioritas khusus karena sesuatu alasan.

Syukurnya Iva memberikan kemudahan lain berupa bayar belakangan. Kebetulan kantorku (World Agroforestry Centre – ICRAF) memiliki perjanjian khusus dengan Joe Travel mengenai bayar belakangan ini. Tentunya ini tidak berlaku untuk pembelian tiket pribadi. Namun karena sudah kenal, begitu kata Iva, gak apa-apa bayar telat.

Aku pernah beli tiket untuk teman-teman istriku seharga sekitar 50 juta, bayar telat karena duit dari kantor istriku belum turun. Sebenarnya Iva sedang menempatkan dirinya pada resiko besar kalau-kalau aku tidak bayar. Tiket sudah di-issue tapi duit belum masuk. Tapi dia bilang kan udah kenal. Aku juga tahu diri dong. Begitu duit turun, 2 atau 3 hari kemudian, aku langsung kirim ke rekening Joe Travel. Untuk keperluan tiket pribadi satu atau dua lembar, aku sering harus telat bayar. Issue tiket siang, bayar malam pas pulang kantor dan lewat ATM di Depok. Kalau masuh belum sempat, bisa bayar besoknya.

Mengapa fasilitas bayar bekalangan perlu? Di agen perjalanan lain, tiket akan di-issue hanya bila pembeli sudah bayar. Ini akan menyulitkan karena sistem booking on line kadang memberikan limit pencetakan tiket sangat pendek, terutama untuk tiket-tiket promo. Apa yang terjadi bila pelanggan berada di luar kota? Tidak ada ATM? Apakah tiket promo yang murahnya hampir 50% harus rela dilepas? Sayang bukan?

Berlangganan atau sudah dikenal oleh agen perjalanan tertentu juga bisa sangat menolong. Begini ceritanya. Ketika aku ketinggalan pesawat dari Hanoi ke Ho Chi Minch City hari Jumat lalu tanggal 24 Juli (penerbangan jam 13.30), ketika aku panik dan tak tahu arus berbuat apa, aku merasa sangat beruntung masih simpan nomor HP Iva. Aku kirim SMS ke dia tanya apakah tiketku, Vietnam Airlines, bisa direfund kalau-kalau aku harus beli tiket penerbangan lain. Karena weekend, semua penerbangan Vietnam Airlines ke Ho Chi Minh City sudah penuh. Iva tidak hanya bilang … “ya pak, bisa direfund kok”, tapi ternyata dia bertindak cepat mengecek ketersediaan seat untukku.

Informasi petugas counter Vietnam Airlines di Noi Bai Airport di Hanoi yang mengatakan “Sorry sir, all flights are full!” ternyata belum merupakan vonis mati.

Diam-diam Iva ‘mengintip’ ketersediaan seat dari Bogor. Hasilnya, ada yang kosong di penerbangan terakhir jam 20.30. Iva lansgung pindahkan aku ke sana. Tak lama kemudian, karena ada yang kosong di penerbangan jam 17.00 aku lagi-lagi dipindah ke sana. Luar biasa bukan? Aku tidak harus beli tiket penerbangan lain. Hanya dengan SMS dan layar monitor di Bogor, Iva bisa bantu aku keluar dari situasi sulit. Benar-benar luar biasa bila anda mengalami langsung kejadian serupa, apalagi bila baru pertama kali berada di sebuah airport di negara asing dan persediaan uang pas-pasan.

Berikut ada beberapa tips, semoga berguna.

Tips buat pelanggan:
- Pilih satu agen perjalanan sebagai langganan. Dua boleh sebagai alternatif.

- Kenal dengan salah satu stafnya. Selalu beli tiket padanya. Alasan utama, kemudahan komunikasi. Lagipula karena dia sudah kenal kita, semua jadi gampang.

- Simpan nomor HP, YM, Email, akan sangat penting setiap saat anda perlu.

- Sambil minta harga pada agen perjalanan tersebut, jangan lupa cek harga ke agen perjalanan lain, misal yang nomor telponnya anda temukan di pinggir jalan, atau langsung ke call center penerbangan yang bersangkutan. Cek informasi harga yang tersedia di website masing-masing.

- Bila minta informasi jadwal dan harga ke agen perjalanan langganan, jangan lupa katakan: “kalo ada yang promo ya … :D”

- Pilih jam penerbangan yang tidak populer, yang tidak banyak dipilih oleh para pebisnis. Biasanya tiket promo ada di jam-jam tak populer itu.

- Ada beberapa perusahaan penerbangan yang memang memberikan harga di bawah harga normal, namanya Budget Flights .. misal: Air Asia, JetStar, Cebu Pacifi, Tiger, dll.

- TIPS PALING PENTING: Beli tiket JAUH-JAUH HARI. Bila sudah pasti tanggal berangkatnya, segera hubungi agen anda. Bila perlu dua bulan sebelum keberangkatan. Biasanya tiket promo masih banyak tersedia. Bandingkan harga bila anda beli tiket sehari sebelum berangkat, pasti anda menangis melihat jauhnya perbedaan.

- Dalam zaman tiket elektronik sekarang, kita gak perlu khawatir apakah kita beli tiket di Bogor atau di Kuala Lumpur. Tiket cukup dikirim dalam bentuk PDF lewat email atau fax. Kadang cukup dengan mengetahui kode booking dan simpan di HP.

- Apa lagi ya? Silahkan ditambah kalau ada …

Extra: Tips buat agen perjalanan:
- Beda agen perjalanan yang satu dengan lainnya bukan pada besar kecilnya kantor. Tetapi pada pelayanan yang diberikan.

- Layanan termasuk: keramahan staf, perhatian staf, komunikasi yang baik, dan kecepatan merespon pelanggan.

- Kadang harga tidak masalah bila layanan bagus. Gak dapat promopun, karena merasa dilayani dengan baik, harga mahalpun akan pelanggan disikat! :D

- Jawab SMS, email, atau YM dengan cepat. Kalau tidak bisa langsung memberikan informasi yang diminta, berikan waktu. Misal .. “30 menit lagi ya bu … “ dan yang penting TEPATI. Jangan biarkan pelanggan menelpon untuk yang kedua kali.

- Berikan alternatif penerbangan minimal 3. Ini akan memudahkan pelanggan memilih disesuaikan dengan keperluan masing-masing.

- Udah .. itu aja … mungkin kata lainnya, manjakan pelanggan anda. Kalau ia merasa dimanja, ia gak akan pindah ke lain hati.

Informasi Promosi:
Joe Travel
Jl Raya Pajajaran I Bl YK
BOGOR 16142
Phone : 0251-311885

Contact person:
Iva Febrina
HP: 081310030899
YM: luph_u4l
Email: tix_joetravel@indo.net.id

Ohmygod! Dosaku apa?

Aku pernah ketinggalan pesawat. Tetapi bukan murni salahku. Hujan deras pagi-pagi membuat semua jalanan Jakarta macet parah. Pilihanku lewat tol TB Simatupang tak mujarab. Di pintu tol Cililitan, antrean kendaraan tak bergerak sama sekali. Tiga jam.

Waktu itu, aku mau ke Jogja, ke kampus UGM untuk selesaikan administrasi S2 yang terbengkalai. Pagi berangkat, sore pulang. Itu rencanaku. Untuk menghemat ongkos, aku setir sendiri. Apa daya, aku masih terjebak di Cililitan ketika pesawat yang seharusnya membawaku ke Jogja take off. Tiket promo Mandala Air hangus.

Kali kedua aku berurusan dengan masalah ketinggalan pesawat adalah ketika akan ke Amsterdam, April tahun lalu. Sopir Blue Bird yang nampak ‘udah tua’ ternyata tidak cukup pengalaman dengan jalanan Jakarta. Dia mengiayakan saja ketika aku tanya apakah dia tahu jalan ke Cengkareng lewat pintu belakang, lewat Parung, Ciseeng, BSD, Tangerang, dan Teluk Naga. Nyatanya dia perlu 4 kali menghentikan taxi untuk bertanya arah.

Kami memang sampai airport tepat waktu. Tetapi yang namanya drama kaki gemetar takut ketinggalan pesawat ternyata luar biasa. Untuk tidak membuat pak sopir makin panik, aku berusaha tenang. Tetapi kaki tak kunjung bisa dikontrol. Gemetar dan benar-benar lemes. Sepanjang jalan aku berdoa, minta ampun pada Yang Maha Kuasa atas segala salah selama ini. Loh …. apa urusan salah dan dosa dengan terlambat mengejar pesawat?

Begini ceritanya. Kali ini aku sedang berada di Noi Bai Airport, Ha Noi untuk penerbangan ke Ho Chi Minh (HCM), di Vietnam bagian selatan. Seingatku, penerbanganku adalah jam 14.20. Pakai Vietnam Airlines. Kepada beberapa teman di ICRAF Hanoi, juga resepsionis Lucky Hotel tempatku menginap, termasuk sopir hotel yang membawaku ke airport, aku bilang pesawatku jam 14.20. Aku berangkat jam 12.30 dari hotel .. amaaaannn! Paling lama 45 menit sudah sampai. Apalagi ini penerbangan domestik, pastinya tidak seribet keberangkatan internasional.

Aku tiba di depan counter check in jam 13.13, wow .. angka sial kata orang. Ada 3 penumpang lain sedang antri di depanku. Aku kembali lihat tiket, sekedar mengecek. Lagipula biar tidak bengong menunggu giliran. Masya Alloh! Dosaku apa? Di tiket terbaca jelas, penerbanganku jam 13.30. Layar check in sudah menunjukkan tanda buka check ini untuk pesawat berikutnya. Nomor penerbanganku sudah tidak tertera di layar.

Aku berusaha tenang. "Toh pesawat belum tinggal landas," gumanku dalam hati. Aku pernah mendengar ada pesawat terlambat take off karena harus menunggu penumpang. Aku berharap kali ini akulah yang ditunggu.

Aku segera keluar dari antrian, mendekati petugas bandara, seorang perempuan cantik berbaju khas Vietnam blus terusan warna biru dipadu celana panjang putih dengan radio komunikasi di tangan. Aku ceritakan masalahku. Ia segera menghubungi seseorang dengan radionya. Ada harapan muncul ketika melihatnya tersenyum dan mengajakku ke arah pintu ruang tunggu boarding. Belum genap 5 langkah, seorang lelaki berdasi, juga dengan radio komunikasi di tangan, menghentikan kami. Dia berbicara kepada petugas perempuan yang mengantarku. Nampaknya ada masalah. Terbukti, selesai berbicara, petugas perempuan itu menoleh ke arahku dengan sunggingan senyum kecut di wajahnya yang halus. Aku membaca sebuah pertanda. Matii aku … Ini benar benar ketinggalan pesawat! Jam sudah menunjukkan pukul 13.30. Kalaupun pesawat belum bergerak, pintu pasti sudah ditutup.

Aku teringat dosaku terlalu banyak melirik gadis-gadis cantik Vietnam selama di Hanoi, di Provinsi Bac Kan, dan danau Ba Be. Tapi mereka cantik-cantik sih .. sayang kalau gak dipelototin, hihihihi. Tuhan mungkin memberiku peringatan dengan kejadian ini.

Aku tanya apa yang bisa aku lakukan. Disarankan untuk mengecek penerbangan lain di counter Vietnam Airlines! Aku merasakan butiran keringat mulai bermunculan di sekujur tubuh. Beberapa terasa benar-benar menetes di punggungku. Tiba di depan counter aku bertanya jam berapa pesawat selanjutnya.

“We have 7 more flights to Ho Chi Minh City sir. But because it is weekend, I am afraid, all are already full. Do you want me to put your name on the waiting list?” dengan ramah petugas counter, juga perempuan berwajah manis, memberiku penjelasan. Aku menangkap kilap sinar ‘I am so sorry sir” di wajahnya yang terhias senyum prihatin.

“No choice,” jawabku terpana. Bukan karena senyum prihatin namun tetap manis yang menghias wajah si petugas, tapi karena situasiku sekarang. Kalau tidak bisa terbang ke HCM hari ini, aku membayangkan kesusahan yang bakal terjadi. HCM cuma buat transit ke Manila besok jam 10 pagi.

“Ugh ….. betapa bodohnya aku telah begitu ceroboh,” aku mencaci diri.

Petugas counter itu memintaku datang jam 14.30 untuk mengecek apakah ada seat untuk penerbangan berikut. Aku menjauh. Membuka jaket dan berfikir keras. Udara ruang check in penerbangan domestik Bandara Noi Bai terasa pengap. Lagipula memang tak ber-AC.

Kalau sampai tidak bisa berangkat ke HCM hari ini, pasti kacau. Rencana jalan-jalan keliling HCM bubrah sudah. Aku tidak tertarik lagi untuk jeprat sana jepret sini dengan dua kamera yang aku bawa. Yang sekarang ada di fikiran kalau sampai gagal mencapai HCM hari ini rencana ke Los Banos dan Kalahan (project site ICRAF Filipina) mesti diatur ulang. Gak enak sama teman-teman ICRAF Filipina yang sudah mengaturnya.

Muncul ide untuk memakai pesawat lain. Walau kepikiran bakal ribet urusan refund, juga persediaan duit yang tidak banyak, aku akan coba alternatif ini.

Seorang laki-laki berhem putih lengan pendek dan bercelana panjang biru donker datang mendekat. Dia menegurku dalam bahasa Vietnam. Aku jawab, “Sorry, I don’t understand you.” Tapi kanyaknya dia sudah terbiasa membaca gelagat. Dia tahu tampang calon penumpang sepertiku pasti sedang bermasalah dengan penerbangan.

“Ho Chi Minh?” aku dengar dia berkata. Aku jawab ya.

“Let’s go!” katanya. Hmm .. ini orang mungkin calo tiket, fikirku. Boleh juga dicoba.

Aku mengikutinya ke counter Indochina Airlines.

“Yes, seats are still available,” kata seorang petugas counter laki-laki. Pesawat Indochina Airlines yang ke HCM dijadwalkan berangkat sebentar lagi.

Sesaat kemudian aku lihat seorang petugas perempuan geleng-geleng kepala begitu selesai berbicara lewat radio. Katanya, “You can only take the next flight at 8 p.m. The plane is already closed.”

Toh aku tidak buru-buru fikirku. Asal bisa berangkat ke HCM. Tak peduli malam. Lelaki yang dari tadi kelihatan begitu baik dan sangat ingin menolongku memberi isyarat untuk mengikutinya ke counter JetStar, sebuah penerbangan murah meriah seperti Air Asia.

“We have lots of flights to Ho Chi Minh sir,” kata petugas counter JetStar memberiku harapan.

“Sip … akhirnya bisa cepat berangkat juga nich,” gumanku dalam hati.

“But how much is the ticket?” aku bertanya.

“One million and fifty thousands Vietnam Dong Sir!”

Mati aku! Gak enak juga sama kantor kalau harus beli tiket lain, mahal lagi … padahal di Indochina Airlines, harga cuma 300 ribu dong.

Saat berlalu dari meja counter JetStar, sebuah SMS masuk ke HP-ku. Dari Iva, Joe Travel, Bogor, langganan kantorku. Tadi, ketika sedang panik aku kirim SMS ke Iva cerita situasiku sekalian bertanya apakah tiket Vietnam Airlines bisa refund. Kalau ya, aku mungkin gak akan berat hati banget kalau harus beli tiket lain.

“Iya pak bs d refund,” begitu SMS dari Iva.

Aku jawab Iva dengan SMS singkat “thanks” tapi hatiku kecut juga. Satu juta dong dari JetStar adalah 3 kali lipat harga tiket Indochina Airlines.

Dua menit kemudian, sebuah SMS lain masuk dari Iva.

“Kl mau sy ganti k jam 2030, mau pak?” Iva menawarkan untuk merubah tiketku ke penerbangan terakhir ke HCM.

“Wow .. . ada seat?” sorakku dalam hati. Padahal petugas counter Vietnam Airlines sudah bilang tidak ada seat di semua penerbangan hari ini … Tak ragu aku bilang OK. Syukur Alhamdulillah. Walau berangkat malam … tidak masalah bagiku. Perjalanan ke Filipina tidak perlu diatur ulang.

Aku segera lapor ke counter Vietnam Airlines. Petugas counter perempuan yang tadi aku hubungi segera memeriksa monitor komputer dan mencetak lembaran tiket baru. Setelah mengucapkan terimakasih, aku segera mencari tempat menunggu. Masih ada waktu 6 jam sebelum penerbanganku. Bukan waktu yang pendek. Aku temukan sebuah sudut.

Belum sempat menurunkan tas, sebuah SMS lain masuk dari Iva, “Pak, ada nih jam 17.00. Aku ambil yaaa.”

Ada nada urgent dalam SMS Iva. Tak menyiakan kesempatan aku jawab, “OK sayang, terimakasih banyak.” Ada penghematan waktu tunggu 3,5 jam.

Aku mencoba memikirkan hadiah apa yang akan aku berikan ke Iva. Sebuah syal sutera khas Vietnam yang baru aku beli hanya 1 jam sebelum berangkat ke airport, yang warnanya oranye, akan menjadi milik Iva minggu depan.

Aku kembali ke counter Vietnam Airlines. Petugas counter mengecek perubahan yang dibuat Iva.

“Yes, your agent has made the change.”

Selembar print out konfirmasi perubahan jadwal penerbanganku dia sorongkan. Aku terima dengan ucapan terima kasih. Dia tersenyum, manis sekali. Aku tak tahu, tetapi kata orang, gingsul membuat senyum seseorang bertambah manis. Gadis counter itu gingsul di kanan. Tetapi yang aku kagumi dari dia adalah kebisaannya memberikan senyum simpati yang tulus (aku bisa baca ketulusan itu di matanya), walau hanya sejenak, untuk kemudian terhapus wajah tegang (atau mungkin konsentrasi penuh) ketika pandangannya kembali beralih ke layar komputer di mejanya.

Jam 15.00 aku check in dan masuk ke ruang tunggu setelah menghabiskan 2 kaleng jus apel dan nanas takut gak lolos pemeriksaan security. Batas maksimal bahan cair yang boleh di bawa ke pesawat adalah 100ml. Karena sayang membuang air dalam kemasan 1.5 liter, aku paksakan minum banyak. Itung-itung buat kesehatan walau perut jadi kembung. :D

Singkat cerita, jam 17.00 penumpang diminta naik pesawat, terlambat 30 menit dari jadwal karena pesawat datang terlambat. Aku sampai bandara Tan Soo Nat di HCM sekitar jam 8 malam. Sudah gelap. Gak banyak yang bisa dilihat. Aku menginap di sebuah guest house yang juga kantor IOM (International Organization for Migration) di dekat Katedral Notre Dame. Malamnya, sebelum tidur aku sempatkan berkeliling di taman sekitar Notre Dame yang dijadian tempat kongkow anak-anak muda HCM. Ramai .. dan jadi pengen muda lagi. He he he.

Tuesday 21 July 2009

Sinyal Nyambung Terus

Tak pernah sekalipun aku kehilangan sinyal. Kalau bukan dari Vinaphone atau Viettel, maka sinyal Mobitel akan selalu memastikan indikator sinyal layar HP-ku penuh. Bahkan ketika mobil Ford Everest yang aku tumpangi perkasa menelusuri punggung dan kaki bukit di wilayah pegunungan utara Vietnam, sinyal tak pernah lenyap. Beberapa tower penguat sinyal terlihat menjulang dari kejauhan, kesepian di tengah belantara pegunungan Provinsi Bac Kan, satu dari 63 provinsi di Vietnam, negara yang baru aku kunjungi 3 hari ini.

Aku dan teman-temanku, Thanh, Sa, dan Rhi dari ICRAF Vietnam sedang dalam perjalanan membuat video tentang Program RUPES atau program imbal jasa lingkungan di Vietnam. Siang tanggal 20 Juli, kami merekam wawancara dengan Deputy Chairman (Wakil Gubernur) Provinsi Bac Kan serta kepala pelaksana proyek bantuan IFAD di kota Bac Kan. Kami ditemani dua kameraman, Banh dan Luet, bapak dan anaknya.

Pagi sebelumnya, kami berjuang keras selama 2 jam lebih untuk bisa keluar dari Ha Noi yang beberapa ruas jalannya terendam banjir akibat hujan semalamam. Walau sering mendengar cerita banjir Jakarta, berada di tengah-tengah air setinggi sepertiga mobil terasa mengkhawatirkan juga. Beberapa motor dipaksa pengendaranya 'mengarungi' jalanan di depan stasiun kereta api Ha Noi. Aku lihat beberapa terjungkal karena lubang yang tidak kelihatan. Banyak yang hanya berani menuntun motor. Walau terlihat stres dan kedinginan dalam jas hujannya, mereka tampak cukup sabar mencari celah untuk bisa melanjutkan perjalanan ke tujuan masing-masing.

Menurut Banh, banjir seperti hari ini terjadi sekitar sebulan lalu. Apalagi kalau musim hujan, maka Ha Noi seperti menjadi langganan banjir.

"Akibat sistem drainase kota yang tidak baik," katanya.

Aku agak menyangsikan penjelasan Banh karena aku yakin pemerintah kolonial Prancis yang membangun Ha Noi dengan arsitektur dan perencanaan gaya Prancis mestinya sudah memperhitungkan sistem drainase dengan detail. Cuma memang tidak bisa dipungkiri, perluasan kota dewasa ini mungkin tidak diikuti dengan pembangunan sistem drainase kota yang memadai. Sesuai namanya, Ha Noi, dalam bahasa setempat berarti Dalam Air, mungkin akan selalu terendam air, paling tidak di beberapa bagian kota.

Kembali ke sinyal HP, aku mau cerita betapa kini kita sangat leluasa berhubungan dengan teman dan kerabat di tanah air walau sedang di luar negeri. Layanan SMS antar negara yang dibangun Telkomsel dan provider jaringan di banyak negara ternyata sangat ces pleng. Begitu sampai di tujuan, kartu Telkomsel akan segera terhubung dengan jaringan setempat. Dari Singapura, biaya SMS Simpati sebesar Rp. 3.500. Dari Vietnam lebih murah, hanya Rp. 2.500. Seorang teman bercerita, dari India harganya Rp. 5.000 per SMS. Walau agak mahal, tidak jadi soal karena dengan SMS, teman dan keluarga terasa dekat.

Saat menulis cerita ini, aku sedang berada di Post Office Guest House, penginapan yang berlokasi di depan pintu masuk Ba Be National Park, sekitar 270 km utara Hanoi. Danau Ba Be, danau tertinggi di Vietnam, terletak dalam kawasan taman nasional ini. Aku berencana mengunjunginya sebentar lagi. Janjian dengan Thanh, jam 5.30 pagi ini kami akan naik motor ke sana.

Tunggu ceritanya ya ..

Tambahan dikit:
Fasilitas penginapan: AC, Kipas, TV, air panas, kloset duduk, kelambu (takut ada nyamuk, walau menurutku tidak ada sama sekali), dan WIFI!

Bayangkan, WIFI di tengah gunung. Kalau nggak, mana bisa upload cerita ini. Bener-bener dech Vietnam, kemajuannya luar biasa. Sinyal nyambung terus.

Tapi ada yang paling penting dari semua ini. Kalau yang ini gak ada, wifi dll pasti mampus dech. Apa gerangan? Listrik. Ya .. aku sempat bermobil menelusuri perbukitan yang lebih tinggi lagi, sampai jumpa dengan tiang listrik terakhir, yang gak ada sambungannya lagi. Pemerintah Vietnam memang sangat gemar membuat rumah rakyatnya terang. Rasanya aneh melihat komputer nyala di satu-satunya rumah di sebuah puncak bukit.

Mengenai jalan, tak habis 10 jari tangan menghitung lubang di sepanjang 270 km aspal mulus dari Ha Noi ke Ba Be. Dan yang paling menyenangkan, walau di jalan perkampungan atau perumahan ramai, gak ada polisi tidur sama sekali!

Sunday 19 July 2009

Halal di Luar Negeri

Bila anda muslim dan ingin menghindari makanan tidak halal selama perjalanan, terutama ke negara non-muslim, berikut ini ada beberapa tips.

1. Beberapa penerbangan, misal SQ, menerima pesanan menu tertentu. Pastikan travel agen anda memesan makanan halal jauh-jauh hari sebelum tanggal keberangkatan berangkat. Seminggu sebelumnya kayaknya bisa.

2. Search internet tentang warung makan atau restoran yang dianggap halal berdasarkan pengalaman traveler lain. Ada banyak kok.

3. Bila tidak sempat cari referensi, terpaksa anda makan apa adanya. Usahakan pilih menu ikan. Anda juga bisa masak sendiri secara sederhana. Beli telur atau kacang-kacangan. Rebus di hotel memakai alat pemanas air yang disediakan (atau anda bawa sendiri). Jangan lupa buah-buahan semacam pisang atau anggur. Mampir ke supermarket membeli biskuit atau makanan kaleng yang sama seperti yang biasa anda makan di Indonesia.

Contoh: Di Ha Noi, saya membeli telur ayam 6 biji seharga 10.000 dong. Lalu saya rebus di kamar pakai pemanas air. Saya juga beli pisang di pasar. Beberapa biskuit mirip biskuit yang di Indonesia, juga minuman, susu, dll, saya beli di supermarket kecil dekat hotel. Selama di pesawat, saya selalu minta menu ikan karena menyangsikan kehalalan menu daging/ayam.

Naik Ojek di Ha Noi

Semalam aku ketiduran, padahal baru jam 7 malam. Mungkin kecapean karena sejak berangkat dari Depok, aku belum sempat tidur yang benar-benar pulas. Sebelumnya, temanku Hien sudah menyempatkan diri telpon mengingatkan aku untuk nonton puppet show di dekat danau Hoan Kiem yang berjarak sekitar 500 meter dari hotel tempatku menginap.

Rasanya menyesal melewatkan kesempatan malam itu hanya dengan tidur. Apalagi menurut sebuah cerita yang aku baca di internet, pertunjukan puppet show ini sangat khas dan menyenangkan. Gak apalah, semoga nanti malam ada jadwal. Aku akan nonton.

Pagi tadi, jam 6 kurang, aku bangunkan penjaga hotel yang tidur beralas kasur depan meja resepsionis. Rolling door pelindung pintu kaca hotel masih belum digulung. Hanya ada sedikti celah di bagian bawah. Dengan malas petugas hotel membukakan pintu. Aku pamit mau ke danau Hoan Kiem.

Danau Hoan Kiem adalah satu dari beberapa danau kecil (di Jakarta dikenal dengan sebutan situ) yang bertebaran di kota Ha Noi. Taman sekeliling danau digunakan penduduk sekitar untuk tempat senam pagi / tai chi. Biasanya mereka datang berombongan membawa tape recorder dan pengeras suara. Mereka bersenam mengikuti irama lagu atau petunjuk dari kaset. Pengunjung lain akan bergabung ikut senam. Yang lain, kebanyakan lansia, duduk-duduk di bangku beton yang disediakan, ngobrol sesama teman, menunggu mata kail disambar ikan, atau jalan cepat memutari danau yang berjarak keliling sekitar 1.5 km.

Aku ikut-ikutan gerak badan mengikuti musik sambil berjalan berkeliling danau. Tak lupa aku foto beberapa gedung tua di seberang danau. Bangunan khas peninggalan masa kolonial Perancis.

Seorang tukang ojek melihatku mengambil foto. Dengan senyum malu-malu dia menawarkan diri mengantarku berkeliling kota. Aku tertarik. Kalau jalan kaki, aku mungkin tidak bisa mengunjugi beberapa tempat terkenal di Ha Noi. Aku tanya berapa, dia jawab, ‘paiv sosand’. Wah murah sekali fikirku. Lima puluh ribu dong untuk keliling kota. Kurang dari 50 ribu rupiah. Tapi aku masih coba tawar. Aku bilang 2. Dia jawab “No.”. Aku tawarkan 4, dia tunjukkan 4 jari tangan kiri dan 5 jari tangan kanan. Aku mengartikannya 45 ribu. Aku setuju, dia senyum.

Singkat cerita, aku diajak berkeliling keluar masuk perkampungan kota Ha Noi yang jalanannya tertata rapi. Sayang sekali si tukang ojek ini tidak bisa bahasa Inggris sama sekali. Jadilah kami ngobrol bahasa sendiri sendiri. Aku ngomong bahasa Indonesia dia asyik dengan bahasa Vietnamnya. Isyarat-isyarat Tarzan berlaku. Kami ketawa bersama kalau merasa saling pahami. Kami berkeliling kota mengunjungi Mausoleum Ho Chi Minh, cuma di halaman depan, gak masuk karena belum buka (belum jam 7 pagi), lalu lalu ke sebuat tempat peribadatan kuno (pagoda) besar di jalan Van Mieu - Quoc Tu Giam, mampir beli pisang dan telur di pasar, ke Gedung Opera, dan terakhir masuk ke Museum Revolusi Vietnam. Kebetulan udah buka. Tepat jam 8 pagi. Selesai berkeliling di museum membaca sejarah perjuangan bangsa Vietnam, aku ajak tukang ojek kembali ke Hotel.

Nah .. perjalanan setengah hari ini ternyata harus berakhir dengan kurang menyenangkan. Aku sudah menduga ini akan terjadi ketika beli pisang. Pisang 1 sisir dihargai 30.000 dong. Bagaimana mungkin ojekku berharga 50.000 dong saja?

Mengantisipasi hal-hal yang tidak didinginkan terjadi, aku minta diturunkan 10 meter dari depan hotel. Segera saja aku menyadari kecurigaanku benar. Si tukang ojek, sebenarnya dia baik sekali, bilang ‘seven hundred’ ditambah dengan isyarat muter-muter keliling kota dan menunjukkan aku jam tangannya. Kepalaku senut-senut. Aku memahami apa yang diisyaratkannya. Biaya 700 ribu dong karena kita berputar kota selama 3 jam. Aku pura pura tidak paham. Aku kasikan lembaran 50.000 dong. Dia terima tapi dengan wajah geleng-geleng dan alis mengernyit. Aku pura pura bego dan keluarkan lembar 100 ribu. Dia ambil dan minta lagi. 5 lagi katanya. Walah .. mati aku .. duit di saku cuma ada 270.000 dong. Aku kasikan semua. Tapi dia tetap minta lagi. Aku sampai tunjukkan semua sakuku kosong. Aku gak bawa dompet. Gak bawa pasport. Gak bawa apa apa kecuali kamera saku. Aku tawarkan rokok. Dia menolak sambil berkali kali mengeleng-geleng seperti menyesali kejadian ini. Lama kami berargumentasi sampai beberapa orang di kejauhan seperti memperhatikan. Aku keringat dingin. Malu. Untungnya si bapak menyerah. Dia geleng-geleng keras samil berjalan ke arah motornya mengambil pisang dan telurku. Dia tolak tawaranku untuk ambil pisang dan telur. Begitu dia menstarter motor aku lega. Aku bilang sorry. Dia tidak menoleh dan segera berlalu.

Ah .. kepalaku jadi sakit. Malu dan menyesal ceroboh urusan mata uang Vietnam. Jalan-jalannya jadi kurang happy ending dech. Atau barangkali happy ending-kah? Membayar hanya Rp. 150an ribu untuk putar-putar Hanoi 3 jam?

Ha Noi Tak Memandangmu

Ada sesuatu yang menarik di Ha Noi. Ini aku rasakan sejak pertama kali menjejakkan kaki di Airport No Bai, Ha Noi. Di sini orang-orang tidak menatap kita. Lain sekali dengan di Jakarta dimana orang-orang memandang kita bahkan sampai seperti sedang memelototi saja. Apalagi bila kita berpenampilan berbeda. Tidak hanya di airport Cengkareng, ketika keluar dari pintu kedatangan, di tempat lain juga seperti itu. Entah di pasar apalagi di jalan. Rasanya tatapan orang selalu mengikuti.

Di Ha Noi, aku tidak merasakan tatapan itu. Ketika berjalan pagi keliling Danau Hoan Kiem di bagian Old Hanoi, aku merasa aman dan nyaman. Walau bagaimanapun, kulit gelap wajahku pasti terlihat berbeda dengan wajah penduduk Ha Noi kebanyakan. Tetapi aku merasa tidak seorangpun tertarik untuk 'mentlengi.' Barangkali malah aku yang 'melotot'. :D

Di Ha Noi, orang-orang juga tidak 'mendekat'. Beberapa sopir taksi memang ada mendekatiku ketika keluar dari No Bai. Mendengar jawabanku "No" sudah cukup membuat mereka berlalu. Tidak terasa nuansa memaksa menawarkan taksi mereka. Lain sekali bukan dengan yang di Jakarta? Di Cengkareng aku pernah mencoba, ini betul-betul mencoba karena aku lakukan dengan sadar. Aku berteriak keras pada beberapa sopir taksi yang mengerubungi, "Bagaimana ini Paaaaak! Saya sudah berkali-kali bilang NGGAK kok masih saja nawari taksi. Apa tidak paham arti Nggaaaak?". Setelah itu mereka baru pergi.

Ketika window shopping di toko-toko souvenier di sekitar hotel, aku juga merasakan rasa aman yang nyaman. Tidak ada kekhawatiran akan copet. Tidak merasa perlu takut tiba-tiba seseorang menegur menawarkan dagangan. Rasanya bebas mengamati barang walau tak membeli. Ada juga sih yang menawarkan masuk ke dalam melihat koleksi di lemari. Tetapi mereka melakukannya dengan sopan dan senyum. Sekali lagi tidak ada nuansa memaksa di dalam nada dan cara mereka menegur. Yang sedang kongkow-kongkow di kaki lima menikmati makanan berkuah khas Vietnam (kayaknya namanya Pho) juga seakan tidak merasa perlu memandang ke orang lain. Belum pernah aku menangkap kerlingan atau lirikan menyelidik dari salah satu mereka. Rasanya gak perlu khawatir dilihatin dech.

Nah itu dia hal yang menurutku menarik sekali untuk diceritakan di blog ini. Semoga bikin yang belum pernah ke Ha Noi tidak takut untuk datang.

PS: Sedikit lagi sebagai perbandingan. Aku pernah jalan-jalan di Nairobi. Di sana terasa 'menakutkan'. Beda dengan di Addis Ababa yang rasanya kayak di Bogor saja. Di Amsterdam beda lagi. Di sana memang tidak ada yang melotot ke arah kita, tapi rasanya tetap dingin (tidak warm), dan sedikit gak aman. Mungkin karena waktu di Amsterdam, aku gak punya duit banyak .. rasa gak aman timbul karena takut gak bisa pulang bila kehabisan duit. Hihihihi.

Saturday 18 July 2009

Welcome to Ha Noi

Tanpa terasa, aku sudah berada di Ha Noi. Padahal tadi pagi aku masih di rumah Depok. Rasanya sedikit aneh. Ke Anyer atau sekedar ke Ancol malah terasa lebih jauh dan melelahkan.

Saat ini aku sudah di hotel. Nama hotelnya bagus. Lucky Hotel. Terletak di Hang Trong Street, di bagian tengah Ha Noi. Begitu masuk kamar, langsung buka laptop dan konek ke wifi. Begitu mudah dan nyaman.

Jam 2.30 pagi tadi aku berangkat ke airport pakai taksi Expres. Jalanan sepi banget walau siang sampai malam dilaporkan macet dimana-mana karena peristiwa bom Marriott Jumat pagi. Tiba di airport Cengkareng disambut guyuran gerimis. Pintu masuk ke ruang check in SQ belum buka. Aku kepagian. Biasanya buka sekitar jam 4 pagi.

Selesai chek in aku langsung ke imigrasi, lalu nunggu subuh di musholla. Perjalanan ke Singapore tidak ada masalah sama sekali. Perut penumpang dimanja sarapan nasi goreng ikan dan jus buah. Sekitar 1.5 jam kemudian, pesawat mendarat di Changi, di terminal 3. Aku segera naik Sky Train menuju terminal 2 mencari Gate F58 tempat SQ yang menuju Hanoi menunggu. Aku telat dikit. Buktinya, begitu keluar dari pintu Sky Train seorang petugas bandara sudah menunggu, berteriak bertanya, "Ada yang ke Hanoi?"

Segera aku melaporkan diri dan diminta naik mobil listrik diantar ke Gate F58. Petugas perempuan yang nyetir sangat ramah. Asyik dan nyaman, gak perlu berlari-lari ngejar pesawat seperti beberapa waktu lalu ketika aku lewat Changi.

Perjalanan ke Hanoi dari Changi memakan waktu 2 jam 40 menit. Makan siang mantab. Ditambah es krim dan snack. Juga minuman. Aku gak minum wine .. jadi gak bisa foya-foya kayak beberapa penumpang lain. He he he. Foya foya cukup pakai jus apel aja.

Sampai di airport Ha Noi, aku antri melaporkan diri di imigrasi. Aku tanya apakah aku harus bayar. Nampak petugas imigrasi ragu. Dia menjawab dengan bahasa Inggris yang gak jelas. Lalu aku tunjukkan 100 dolar. Dia bilang 10. Lalu karena dia gak punya kembalian dia bilang ke belakang aja ya. Aku ke belakang booth pemeriksaan dokumen. Dia buka pintu dan minta duit rupiah saja. Aku gak ngeh. Tapi aku carikan 50 ribu. Dia terima tapi ketika aku minta kwitnsi dia kembalikan duitku. Akhirnya aku paham, dia mau minta duit. Lalu katanya, "souvenier". Oh .. baru aku ngeh. Untung punya lembaran 10 ribu. Udah lecek. Dia terima dan bilang terimakasih lalu masuk kembali ke boothnya melanjutkan kerjaan ngecap paspor orang ... ha ha ha lucu.

Yang menarik di airport Ha Noi adalah kegiatan antisipasi pandemi flu babi. Di Changi kami dibagikan lembaran merah untuk diisi mengenai data kondisi badan dll. Di Ha Noi lembaran merah dikumpulkan pada beberapa petugas yang sudah jaga. Aku saksikan beberapa peralatan dasar semacam P3K juga disiapkan di meja khusus di depan sebuah posko bertuliskan Health Check. Dua kamera CCTV merekam setiap penumpang yang melintas. Aku kagum dengan langkah otoritas kesehatan Vietnam karena gak pernah lihat yang seperti ini di tempat lain.

Setelah menukar dolar (1 USD = 17.600 dong) aku keluar airport. Sudah ditunggu sopir hotel yang sudah dipesan teman untuk datang menjemputku. Wah asyik ... mobilnya sedan hitam Toyota .. masih baru dan terasa nyaman ... ha ha ha. Biaya sekitar 270.000 dong.

Pusat kota Ha Noi terletak sekitar 45 menit dari airport. Jalan akses ke kota telihat baru dan ramai namun lancar banget. Di sepanjang perjalanan yang terlihat adlah sawah dengan padi yang masih hijau. Memasuki pinggiran kota mulai banyak sepeda motor. Kiri kanan jalan berisi rumah-rumah penduduk yang cenderung dibangun ke atas, bertingkat 3 atau 4. Beberapa bangunan mengadopsi model rumah gaya kolonial. Aku suka sekali melihatnya.

Sopir yang membawa aku, namanya Kwan, bisa berbahasa Inggris dan kami ngobrol santai. Dia ramah sekali. Aku merasa aman. Sesampai di hotel aku kasi dia tip 20.000 dong, gak banyak, cuma sekitar 1 USD he he. Dia bilang terimakasih.

Udah ah ceritanya ngalor ngidul. Ntar dilanjut ya. Aku mo sholat zuhur, lalu jalan jalan di sekitar hotel lihat lihat suvenir.

Friday 17 July 2009

Ledakan di Hotel JW Marriott dan Ritz Charlton, Kuningan, Jakarta

Pertama kali aku dengar berita ledakan di hotel JW Marriott dan Ritz Charlton dari sebuah stasiun radio ketika bermobil menuju kantor pagi tadi sekitar jam 8.

Aku langsung cari gelombang Radio Elshinta untuk memantau keadaan. Elshinta memiliki reporter dan narasumber yang banyak.

Laporan awal yang aku dengar adalah adanya korban meninggal (6 orang) lalu beberapa korban sudah dikirim ke 3 rumah sakit terdekat, MMC, Medistra, dan RS Jakarta. Beberapa mobil ambulan sibuk mengangkut korban. Puluhan mobil pemadam kebakaran juga berada di lokasi sekitar ledakan.

Menurut laporan pandangan mata reporter Elshinta yang berhadil mendekati lokasi, atap lobi JW Marriot terlihat berantakan. Kaca-kaca pecah berhamburan. Ledakan di Ritz Charlton terjadi di dalam restoran. Tamu dan para karyawan hotel Ritz Charlton dilaporkan berkumpul di lapangan rumput depan hotel.

Pihak kepolisian masih meneliti kejadian tersebut dan belum ada penjelasan resmi.

Reporter Elshinta juga melihat beberapa pejabat penting negara (Kapolri, Kepala BIN, Menko Polkam, juga Gubernur Jakarta) sudah sampai di lokasi. Dalam wawancara dengan penyiar Elshinta, juru bicara kepresidenan - Andi Mallarangeng - menjelaskan bahwa Presiden SBY berencana datang ke lokasi pagi ini.

Aku sempat cerita tentang kejadian ini pada istriku yang saat itu sedang berada di dalam KRL Express menuju Jakarta, sambil mengingatkan dia untuk hati-hati dan siap dengan kondisi kemacetan Jakarta pasca peristiwa ini.

Sama seperti doa istriku dalam SMS yang aku terima, kita semua berdoa, semoga tidak banyak jatuh korban.

Seorang teman di kantor, Utjup, bilang, "Ini pasti ada kaitannya dengan kedatangan tim Manchaster United yang memang akan menginap di Hotel Ritz Charlton."

Life memang kompleks, juga penuh persoalan yang kadang membuat manusia gelap mata. Sayang, seringkali gelap mata mengorbankan orang lain yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan apapun yang ada di benak mereka yang sedang gelap mata.

Thursday 16 July 2009

Beda Staf Asing dan Staf Lokal

Ah .. udah lama gak nulis. Sejak peristiwa adik, aku kehilangan semangat meneruskan latihan menulis. Waktu itu rasanya semua energi habis diserap ke dia. Sekarang aku mau ingatkan diri, adik juga mungkin gak mau bapaknya terus menerus murung, membuat terbengkalai kehidupan yang terus berjalan.

Hari ini, aku buka blog kesayanganku, untuk kembali berlatih mensinkronkan jari jemari, fikiran, dan hati dalam kegiatan tulis menulis. Tentang sinkronisasi ini aku belajar dari Pak Harry Baskara, Jakarta Post, ketika beliau mengajar kelas menulis kami di Bogor (World Agroforestry Centre) Juni lalu.

Kali ini aku mau menulis tentang HP atau telepon genggam. Aku perhatikan HP beberapa staf asing di kantorku (juga di beberapa tempat lain) termasuk yang sudah tidak diproduksi lagi alias HP jadul. Ini sangat berbeda dengan HP beberapa temanku yang sudah Black Berry atau sejenisnya.

Kalau diasumsikan gaji staf asing lebih tinggi dari staf lokal, mustahil mereka tidak mampu beli HP mahal keluaran terbaru. HP mereka tetap jadul mungkin, sekali lagi mungkin, karena mereka termasuk orang-orang yang sudah sampai pada tahapan pemikiran bahwa memiliki HP cukup untuk fungsi dasarnya saja, telpon dan SMS. Gak perlu beli yang mahal-mahal dan terlalu canggih kalau HP akan dipakai sekedar buat kirim dan terima SMS.

Apakah ini berarti para pemilik HP mutakhir masih perlu waktu untuk sampai pada pemikiran seperti itu? Masih merasa perlu membeli HP dengan fitur-fitur yang belum tentu mereka perlukan? Beli HP juga buat keren-kerenan? Mungkin banyak yang keberatankalau alsannya sesederhana itu. Wallohua'lam. :D

Hal kedua yang aku perhatikan, jarang sekali staf asing kesana kemari dengan HP di tangan. Biasanya HP ditinggal di meja kerja atau di dalam tas. Atau aku saja yang gak pernah lihat? Bisa jadi. He he he. Tapi berbeda mencolok dengan staf lokal yang merasa "ada yang kelupaan" bila tidak bawa-bawa HP, walau sekedar ke toilet. Kalau ini benar, mengapa ya? Hmm .. Aku belum punya asumsi jawaban. Ada yang bisa bantu?

Coba lakukan ini: Perhatikan orang-orang yang sedang menunggu, tukang ojek yang sedang nunggu penumpang, pekerja yang sedang nunggu bis di halte, antrian beli tiket, di bank, di rumah sakit, di kantor pajak, atau di mana-mana. Kalau tidak main HP, paling mereka kelihatan ngantuk atau boseeeen. Napa gak baca buku ya? Atau latihan nulis? He he he.

Udah ah .. kali udah cukup jadi permulaan latihan.

Tuesday 7 July 2009

We Heya Aeh Aemla Delwat

An Egyptian singer, Amr Diab is known as the Father of Mediterranean Music and has created his own style which is often termed "Mediterranean Music" or "Mediterranean Sound", a blend of Western and Arabic rhythms. (Wikipedia)

Can't say a word, but this song is so sweet. Find the complete song here http://www.imeem.com/abelandel/music/fTSf0k0Y/amr-diab-we-heya-aeh-aemla-delwat/..

We Heya Amla Aeh Delwat (How is She Doing)

I wonder how she is doing now...
and who is consoling her?
oh tell me if it helps her not to see her and make it up with her?
I know I have hurt her?
shall I go to her or leave her until she calms down?
I imagine her sitting speechless and composed?
not complaining or crying?
I understand her?
she never shows it when she is hurt...
she rarely cries unless the pain is intolerable?
I won?t blame her if she forgets me?
I broke her heart?
I hurt her feelings...
please tell her to rest assured?
I love her but no?
don't tell her anything?
I am sure she can feel my sorrows as well?


We Heya Aeh Aemla Delwat - AMR Diab

Wednesday 1 July 2009