Tuesday 15 July 2014

Anak-Anak Sudah Besar. Mereka Sebentar Lagi Pergi.

Sesaat setelah Aya keluar mobil, menuju gedung sekolah yang masih sepi, aku tiba-tiba diselimuti rasa haru yang menyesakkan. Mataku tergenang. Aku terisak.

Tanpa bisa kutahan, isakku makin menjadi. Aku menangis. Kututupi muka dengan kedua tangan, berharap lengan kaosku bisa menyerap air mata yang mulai mengalir.

Aku telungkupkan wajah di setir mobil. Takut dilihat orang dari luar. Sempat kunaikkan kaca mobil yang sedikit terbuka. Aku tak ingin orang mendengar tangisku. Mereka akan berfikir aneh dan bertanya-tanya ada apa. Aku hanya sedang menangis. Tiba tiba berfikir anak-anak sudah besar, dan sebentar lagi mereka akan pergi, dan aku akan kesepian.

Kulepaskan segenap rasa yang menekan dalam dada. Aku yakin mobil ini cukup kedap suara. Tak akan didengar orang dari luar. Menelungkup aku menangis, suaraku hampir meraung. Tak apalah. Aku sadar aku butuh menumpahkan segenap rasa ini supaya nanti bisa tenang nyetir pulang.

Ya .. aku sedang antar Aya, anakku yang nomor dua. Hari ini, Selasa 15 Juli 2014, hari kedua masuk sekolah. SMP Hidayatullah, Banyumanik, Semarang.

Dari kemarin aku perhatikan dia terlihat enggan turun dari mobil. Aku tak memaksa. Tak seperti seorang ibu di mobil sebelah, yang tampak tak sabaran meminta anak laki-lakinya keluar mobil. Aku dan Aya waktu itu ketawa kecil melihat polah mereka. Aya mungkin melihat anak laki-laki itu tak beda dengan dirinya, sama-sama merasa asing di sekolah baru, belum punya teman. Wajar ada rasa takut. Rasa ragu. Aku tak ingin membebani Aya dengan suruhan segera keluar mobil. Toh hari masih pagi. Masih banyak waktu. Aku diam saja.

***

Balada hari pertama masuk sekolah dimulai sejak Aya pulang dari SMP Hidayatullah, Jumat lalu. Dia ke sekolah untuk mendengar instruksi persiapan MOS. Aya segera menyiapkan diri. Minta Mas Mul (yang bantu jemput sekolah kalau aku tak sempat) untuk cari karung gandum segitiga biru. Gagal. Hampir semua pedagang tepung bilang, sekarang ini gandum sudah tak pakai karung kain, tapi karung kertas. Mirip sak semen. Mungkin kain lebih mahal dari kertas.

Aku tak di rumah Jumat itu. Selepas antar Aya (juga Ifa kakaknya kelas 2, pengurus OSIS dan panitia MOS di sekolah yang sama), aku ke Solo menjemput ibunya. Kami sampai rumah malam sekali dan hanya mendengar cerita bahwa keperluan MOS Aya belum siap.

Sabtu pagi tiba. Harus cari karung gandum, kain flanel, dan rafia. Aya juga perlu waktu untuk persiapan bikin hiasan kupu-kupu di karung, juga papan nama (dari karton tebal) dengan selempang rajutan tali rafia.

Aku keluar rumah pakai motor. Hanya berhasil menemukan tali rafia. Seorang teman, Pak Muji, reparator mesin cuci, bahkan sampai menghubungi beberapa temannya di Semarang dan Ungaran menanyakan karung gandum segitiga biru. Nihil. Kain flanel berhasil aku temukan hari itu di Toko Hasanah. Toko Pena, tempat biasanya kami beli perlengkapan sekolah, tak buka saat aku ke sana. Ketimbang berlama-lama cari karung gandum, aku putuskan untuk bikin sendiri karung dari blacu.

Aku dan Ifa (yang ikut keluar Minggu pagi untuk ukur badan bikin rok di penjahit langganan di Pasar Jati) lalu beli setengah meter kain blacu di toko textile. Harga Rp. 5.500. Murah juga ya. Ibunya Aya lalu lembur sampai Sabtu malam menjahitkan tas. Tak ada mesin jahit. Cukup bekal jarum dan benang. Gini-gini, kan neneknya Aya almarhumah Hajjah Kasilah adalah penjahit dan guru jahit di Surabaya. Ibunya Aya pasti tahulah cara menjahit. :D

Drama persiapan MOS dan hari pertama sekolah berakhir manis. Hari Minggu kami bahkan sempat beli tambahan kain flanel, di depan Sarinah ternyata ada. Aya senang sekali. Semua persiapan pas. Ifa juga cukup membantu.

***

Ini yang kedua kali aku menangis terkait Aya.

Yang pertama adalah ketika suatu siang pertengahan 2013, dia datang ke kamar kerjaku di belakang, berbisik, bertanya apakah aku mau belikan dia softex. Dia baru mulai menstruasi. Pertama kali.

Tak berlama-lama aku sambar kunci motor dan membelikan pembalut banyak jenis (aku tak tahu mana yang pas).

Sepanjang perjalanan pulang, aku menangis. Anakku sudah besar. Anak kecilku yang manis akan segera menjadi gadis dewasa. Anakku yang manja, yang suka aku goda-godain sekarang sudah di ambang remaja. Aku takut kehilangan dia. Aku takut melepaskan dia sendirian. Aku ingin selalu ada di sampingnya, siap memberi bantuan apapun yang dia perlukan. (Sambil nulis ini, air mata mengalir lagi - teringat isakan di atas sepeda motor sambil pulang bawa softex.)

Tadi di halaman depan sekolah, aku lihat seorang Ibu memanfaatkan waktu yang masih ada untuk membenahi kerudung anaknya sebelum kemudian melepaskan si anak menuju gedung sekolah. Aku juga melhat mata sang Ibu yang tak lepas dari sosok buah hatinya yang berjalan makin menjauh.

Hari Senin kemarin, aku juga lihat seorang ibu, berfoto-foto dengan anaknya yang juga akan ikut MOS. Wajah si anak datar saja, sibuk mematut selempang karton namanya. Si ibu dan temannya sibuk foto-foto. Mungkin mereka tak ingin tak mengabadikan kenangan hari pertama masuk SMP anaknya tercinta.

Para orang tua, di mana saja berada. Pasti mengalami hal-hal ini. Mengantar anak sekolah. Menyaksikan anaknya besar. Membantu anaknya persiapan menuju jenjang kehidupan selanjutnya.

Aku sedang berfikir, barangkali nanti aka akan menangis meranung-raung bila anakku (Ifa dan Aya) sudah siap melangkah ke jenjang hidup selanjutnya, berkenalan dengan teman baru, bahkan lalu naik ke pelaminan berumah tangga, sementara aku dan ibunya sudah makin menua.

Ah .. sudahlah. Itu sih masih terlalu jauh. Yang akan datang, biarlah datang. Kalaupun nanti aku menangis, aku akan menangis lagi.

Kemarin ibunya Aya yang sudah kembali ke Surabaya tulis BBM, berdoa semoga bisa menemani Aya dan Ifa nanti bila mereka masuk SMA. Pingin antar hari pertama masuk sekolah. Tak pernah sekalipun ibunya (karena selalu kerja di luar kota) ikut mengantar Ifa atau Aya bersekolah pada hari pertama.

SMA terasa masih lama bagiku. Tapi 2 tahun juga bukan waktu yang terlalu lama menjelang. Aku cuma bisa berdoa. Yaa Allah. Berikan kami umur panjang supaya bisa saksikan anak anak kami, titipanMu menjadi manusia mandiri yang bisa membantu dirinya sendiri hidup, dan juga mendatangkan manfaat bagi orang lain.

Kami berdoa yaa Allah. Di bulan Ramadhan 1435 H ini, beri kami kesempatan menyaksikan anak-anak generasi mendatang tumbuh baik dan sanggup menjadi penerus kami, memenuhi harapan nusa, bangsa dan agama. Kabulkan yaa Allah. Aamiin.

Sunday 29 June 2014

The Power of Kepepet

Baru semalam aku YAKIN aku sudah menemukan makna the power of kepepet yang sebenar-benarnya.

Frase tersebut umumnya dipakai untuk menjelaskan kemampuan yang dimiliki seseorang dalam menyelesaikan tugas dengan cepat bila kondisi terjepit atau waktu sudah makin sempit.

Sebuah pekerjaan yang dipesan atasan minggu lalu baru bisa dikerjakan sehari sebelum deadline. Enam hari berlalu sia-sia, tak menghasilkan apa-apa. Tetapi begitu ingat bahwa waktu sudah hampir habis, ide-ide bermunculan dan pekerjaan dapat diselesaikan, bahkan dalam hitungan jam.

Seseorang yang harus membayar hutang tiba-tiba merasa berani mengambil keputusan menjual motor kesayangan demi terhindar dari tekanan penagih hutang. Sesuatu yang tak terpikir untuk dilakukan bulan lalu, saat belum (atau tidak) merasa kepepet. Motor adalah aset yang bisa diuangkan. Toh masih bisa kemana-mana dengan bersepeda atau naik angkot. Minimal hutang sudah terbayar dulu.

Dua cerita di atas adalah bagaimana UMUMNYA frase the power of kepepet dimaknai. Kepepet di sini memiliki makna adanya tekanan dari luar diri. Ada faktor eksternal yang memaksa. Dalam contoh di atas, ada pihak atasan dan ada pihak penagih hutang.

PEMAHAMAN BARU tentang the power of kepepet SEHARUSNYA adalah UPAYA AKTIF penciptaan tekanan dari dalam diri, tekanan yang mampu memepet kita sehingga energi bisa muncul untuk kerja lebih keras, atau ide-ide bisa keluar.

Ketimbang menunggu dipepet atasan atau penagih hutang, bagaimana kalau kita AKTIF memepet diri sendiri sehingga pekerjaan tak lagi ada yang tertunda? Sehingga tak ada lagi hutang yang tak terbayar cepat? Mari aktif menciptakan perasaan sedang kepepet. Begitu kira-kira.

Kepepet memang terasa menyesakkan karena ia bersifat menekan. Tetapi setelah semua beres, bukankah kita merasa plong? Plong adalah happy. Mari manfaatkan the power of kepepet untuk bikin diri kita happy.

(KREDIT: aku harus berterimakasih pada dua sahabat: Pak Dolly dan Om Gede yang dari perbincangan dengan merekalah aku jadi tahu makna the power of kepepet yang sebenarnya).

Saturday 28 June 2014

Ramadhan 1435 H. Pilih Punya Duit Banyak atau Tak Punya Sama Sekali?

Awal puasa ramadhan 1435 H jatuh pada tanggal 29 Juni 2014. Malam ini, 28 Juni, malam pertama tarawih .. aku memutuskan untuk tarawih di rumah saja .. mungkin sendirian .. nanti kalau agak malaman .. Semoga keberkahan Ramadhan bisa aku peroleh, kami sekeluarga peroleh. Aamiin. Semoga .. karena begitu banyaknya godaan kesibukan dunia (yang kalau dibiarkan begitu saja) barangkali bisa mengurangi kesyahduan ibadah Ramadhan .. entahlah ..

Tadi sore, pas lagi nyetir di jalan - aku terbetik fikiran begini. Bahwa punya duit banyaak sekali, atau tidak punya sama sekali .. keduanya sama sama bisa mengalihkan fikiran dari Tuhan. Apa pasal? Banyak duit bikin bebas memanjakan keinginan berbelanja, beli ini beli itu, urus ini urus itu hingga lupa waktu. Ingat cerita Tsa'labah pada zaman nabi.

Tak punya duit juga bikin kosentarasi terlalu fokus pada upaya cari duit. Sebab bisa bisa keluarga tak bisa makan bila tak ada pendapatan. Bisa bisa tak bisa berobat bila sakit. Fikiran hanya pada duit, harta, kerja keras memenuhi kebutuhan dasar. Kebutuhan tingkat di atasnya, apalagi yang bernama kebutuhan spiritual, barangkali akan susah terpenuhi sebelum perut terisi. Kata cerita, kefakiran itu dekat dengan kekafiran .. naudzubillahmindzaalik ..

Ah .. kalau gak hati hati, rasa-rasanya punya duit banyak sekali dan tidak punya sama sekali keduanya bisa bikin away dari Tuhan.

Rasa-rasanya kalau boleh pilih, aku ingin berdoa diberi harta tak banyak banyak sajalah, secukupnya saja supaya badanbisa tegakbuat beribadah kepadaNya. Cukup memenuhi sandang, pangan dan papan serta untuk biaya kesehatan keluarga, plus bisa bantu bantu teman atau saudara sedikit sedikit. Udah itu saja, biar fikiran tak terlalu teralihkan dari Tuhan. Kali begitu ..

Otak. Sang Pusat Pembuatan Keputusan

Life is a series of decision making process. Itu yang aku percaya. Dan otak adalah organ yang paling bertanggung jawab untuk tugas itu. Entah otak yang mana. Aku tak paham ilmu anatomi.

Yang jelas, tugas otak dalam membuat keputusan iu hanya jeda ketika kita sedang tidur (mungkin jedanya tak 100%) dan mendekati 100% ketika kita sedang pingsan. Lalu OFF bila kita mati. Mungkin begitu.

Boleh dibilang, otak tak berhenti bekerja membuat keputusan selama 24 jam, 7 hari seminggu, 30 hari dalam sebulan, atau 365 hari dalam setahun, atau seumur hidup. Keputusan yang dibikin TAK TERHITUNG jumlahnya. Countless. Dari detik ke detik, menit ke menit, terus bekerja membuat beragam keputusan yang kemudian dijalankan oleh organ-organ lain tubuh kita - bahkan mungkin oleh otak itu sendiri juga, semacam otak memerintah otak. Hehehe.

Otak memerintahkan mengetik. Membuat keputusan bagi mata untuk melihat layar. Lalu memerintahkan tangan meraih telpon ketika ada nada dering terdengar. Otak memerintahkan tangan kiri menggaruk pantat kalau terasa gatal.

Otak memerintahkan wajah menoleh, bahkan badan membalik, bila ada suara kemeresek terdengar dari samping atau belakang kita saat berada di dalam hutan bersemak rimbun.

Otak bekerja membuat keputusan bagi kita (sistem organ pelaksana perintah) untuk melakukan sesuatu dengan didasarkan pada proses analisis semua faktor yang terlibat dalam pembuatan keputusan.

Otak memutuskan bagi mata untuk melihat layar komputer. Mengapa bukan menoleh ke kiri?

Otak memutuskan mata terus membaca tulisan ini. Mengapa bukan berhenti membaca

Otak tahu mana yang dia putuskan. Otak memilih, menimbang semua faktor, untuk kemudian memutuskan memberi perintah bagi organ untuk menunaikan perintah tersebut.

Tahu nggak. Faktor-faktor yang berpengaruh dalam suatu keputusan berjumlah tak sedikit. Bahkan TAK TERHITUNG.

Sebuah perintah otak bagi tangan kanan untuk meraih gagang cangkir kopi (mengapa bukan memegang cangkir?) lalu menyuruh mulut menyeruput kopi yang disorongkan tangan (mengapa bukan meludahinya), semua itu dilakukan dengan segenap pertimbangan seperti: ada rasa haus di mulut, ada keinginan lidah untuk mencecap kopi, ada keinginan break sejenak dari mengetik, dll yang semuanya diakumulasi, dikalkulasi, dihitung dengan skala prioritas, untuk membuat satu keputusan: tangan raih cangkir kopi untuk membawa kopi ke mulut. Bukan yang lain. Titik.

Dan semua itu dilakukan dalam kecepatan yang tak bisa kita bayangkan. Proses pembuatan keputusan itu dilakukan di sistem syaraf otak, dalam bentuk denyutan listrik otak, dalam kecepatan yang tak bisa kita samai dengan kecepatan apapun yang pernah dicipta (atau diketahui manusia).

To be brief: otak is amazing, complex, but quick and firm decision maker (mungkin dalam kondisi otak sehat). Tentunya lain lagi bila otak tak sehat. Wallaohua'lam.

Bucaille, Buka Mata, Penyerahan, (walau belum) Perwujudan

Di banyak akhir penggalan hidup yang aku lalui, tak peduli panjang pendek atau menarik tidaknya episode itu, kesimpulan akhirku berbunyi begini: penyerahan total pada kenyataan bahwa manusia TAK mampu melakukan apa-apa dan bahwa ADA kekuatan lain yang dapat melakukan apa apa.

Diam diam aku merasa bersyukur dibukakan jalan untuk tiba pada kesimpulan itu. Coba aku mati sebelum paham itu, niscaya, tak ada kesempatan bertobat.

Ngeri deh ...

Manusia berusaha, Tuhan yang menentukan. Pernyataan yang bagiku garing banget sejak pertama belajar baca buku. Tak bermakna. Tetapi tak henti pula, sampai saat usia begini, 43 tahun, setiap saat aku dibenturkan pada kenyataan akan kebenaran kalimat garing itu.

Aku tak bisa lagi menyangkal kenyataan bahwa ada kekuatan maha kuat yang mengatur hidup ini.

Ya .. mengatur .. mengalahkan semua aturan yang dibikin anak manusia, kumpulan manusia, lembaga, negara, bahkan oleh kemanusiaan itu sendiri.

Semua ada akhirnya akan menyerah .. (Alami dan pikir sendiri deh .. bener kan?) hehehe.

Kemarin aku 'ditunjukkan' buku Maurice Bucaille yang setelah membaca sedikit bagian pengantar dan septong tulisan di dalamnya, aku memastikan bahwa Tuhan itu ADA dan TUHAN ITU MAHA segalanya.

Banyak tesis yang dapat diajukan untuk membuktikan kalau Muhammad Rasulullah adalah penipu. Tetapi, aku yakin tesis tesis itu akan gagal dengan sendirinya pada saat mata manusia (mata fisik) sudah mampu membuktikan apa-apa yang mata batinnya (sedari dulu) sudah rasakan, samar ataupun jelas, yang tak kentara karena terbutakan ataupun sengaja membutakan diri.

Buku Maurice Bucaille bisa cerita lebih banyak tentang apa yang aku maksud http://tinyurl.com/m3k5a5h

Kesimpulan: whatever will be, will be - laah .. Gusti Allah sing nduwe urip ... Tugasku sebagai manusia sederhana saja kok. Berusaha berbuat baik, bagi diri, keluarga, saudara, teman-teman, semua orang, dan dunia. Insya Allah Gusti Allah ngijabahi .. Aamiin ...

Tuesday 25 March 2014

25 Maret 2014

Kemarin Aya ulang tahun ke 12. Titia bikinkan kue ulang tahun dengan lilin angka 1 dan 2. Lilin yang tak sempat dinyalakan. Aya buru-buru harus berangkat sekolah. Tetapi sempat doa bersama, dengan senyum senyum, hehehe, sementara Aya merengut tak begitu antusias dengan aktifitas 'perayaan' ultah. :D

Ada Ifa, juga kelihatan tak sabar mau berangkat sekolah. Ada Titia. Tentu aku sebagai pemimpin doa. Semoga Aya sehat dan selalu rajin belajar. Aamiin. Lagian ngapain sih acara tiup lilin jam 6.30 pagi, saat mau berangkat sekolah?

Hari ini tanggal 25 Maret. Aya ultah 24 Maret bukan alasan utama menulis halaman blog ini. Tetapi aku merasa perlu sekedar bikin coretan sedikit, sekedar mencatat bahwa hari ini aku ada tekad (yang tak begitu kuat) untuk mulai menulis proposal thesis yang sudah lama terbengkalai.

Semoga minggu depan, atau minimal akhir minggu pertama April 2014 aku sudah tersenyum karena dokumen setebal 50-60 halaman sudah terprint, berbentuk fisik, siap diajukan ke dosen pembimbing untuk minta saran sebelum diajukan untuk ujian Reading Course, satu langkah penting sebelum ujian proposal thesis. Semoga lancar. Aamiin.

Pekerjaan Budaya Tugas Semua Orang

Pekerjaan budaya adalah pekerjaan yang normalnya dilakukan selepas terpenuhinya kebutuhan pokok, sandang, pangan, dan papan. Terpenuhi artinya cukup. Tak berlebihan. Setelah kebutuhan fisik itu terpenuhi, barulah pekerjaan budaya dapat dilakukan.

Pekerjaan budaya sejatinya adalah kebutuhan untuk aktualisasi (dalam hirarki kebutuhan Abraham Maslow). Bentuknya macam-macam seperti membantu orang lain supaya dapat hidup layak, membaca buku sesuai bidang, menulis buku, mengajarkan ilmu, dll. Ada banyak jenis pekerjaan budaya yang semuanya bermuara pada kelanjutan manusia sebagai penghuni dan pemimpin di bumi.

Bagi sebagian besar orang, pekerjaan budaya tak bisa dilakukan sebelum kebutuhan dasarnya terpenuhi. Tetapi ada juga orang-orang tertentu, yang karena kebutuhan dasarnya terambil paksa (dirampas) sehingga tak terpenuhi, tetap dapat mengerjakan pekerjaan budaya. Misal Pramoedya Ananta Toer di Boven Digul dan para penulis, sejarawan, dokter, guru, dll. yang tetap dapat berkarya walau sandang, pangan, dan papan boleh dibilang kurang.

Ingat, tesis dalam paragraf pertama berlaku bagi sebagian besar orang saja. Tetapi kenyataan menunjukkan bahwa banyak yang sukses melakukan pekerjaan budaya walau kebutuhan dasar belum terpenuhi.

Tak apa. Yang penting misi tulisan pendek ini adalah mengingatkan pembaca tentang peran manusia dalam juga melakukan tugas-tugas budaya, supaya energi serta pikiran tak hanya diarahkan untuk memenuhi kebutuhan dasar yang disebut banyak orang sebagai kebutuhan perut dan bawah perut saja. Sudah saatnya kita mulai berfikir dan mengarahkan energi dan kesempatan untuk mewujudkan kebutuhan dada (spiritual) dan otak (logika) demi kelangsungan hidup manusia di bumi.

Sukses itu Mudah

Dengan asumsi Tuhan beri kesempatan umur 60 tahun bagi setiap anak manusia untuk hidup dan berkarya (bukan cuma 10 tahun lho), maka sebenarnya itu adalah waktu yang cukup buat bikin hidup 'sukses'.

Sukses adalah hidup berkecukupan sandang, pangan dan papan (ingat lho: bukan berkelebihan) . Lalu bisa bantu saudara, teman,dan orang lain untuk juga ikut sukses. Juga punya kesempatan untuk kegiatan yang bermanfaat kelanjutan sejarah manusia (budaya). Plus tentunya bagi yang percaya Tuhan, bisa tenang menjalankan perintah Tuhan. Mudah bukan?

Caranya: giat belajar, kerja keras, manfaatkan waktu, tak menunda-nunda tugas, selalu positif, dan bagi yang beragama, baca dan jadikan kitab suci sebagai pedoman.

Sayangnya, kondisi masing-masing (ada yang difable, ada yang sakit-sakitan, ada yang secara fisik dan mental 'kurang') bikin proses menuju sukses tadi menjadi berbeda jalannya (bukan lebih gampang atau lebih sulit lho - cuma berbeda).

Lalu ada pula kondisi-konsidi eksternal yang juga mempengaruhi proses menuju sukses tadi. Misal kondisi sosial, politik, bencana alam, banyak tidaknya teman, riwayat pertemanan, kondisi keluarga, dan hal-hal lain di luar diri individu.

Maka dari itu, pendidikan atau proses tumbuh kembang harus memberi kesempatan bagi setiap anak manusia untuk dapat berproses menuju sukses menyesuaikan dengan kondisi fisik dan mental masing-masing, plus adanya upaya fasilitasi orang dewasa dan institusi (negara maupun masyarakat) untuk membantu supaya kondisi ekternal tak terlalu mengganggu, bahkan dijadikan pendukung.

Kesempatan usia 60 tahun dapat dibagi sbb:
1) mendapatkan pengasuhan dini yang baik (sampai usia sekolah - kira kira usia 7 tahun)
2) mendapatkan sekolah di tempat yang bikin berkembang, berwawasan luas, dan kesempatan berteman banyak dan sibuk berkegiatan positif (12 tahun sekolah dasar dan menengah)
3) berkesempatan kuliah di tempat yang bikin senang dan kreatifitas terpupuk dan terfasilitasi (kira-kira 4 tahun)
4) mendapatkan kesempatan kerja atau bikin usaha mandiri selama sekitar 5-7 tahun sukses deh .. :D

Diperlukan waktu total 23 tahun dari lahir danmenamatkan sekolah, lalu 7 tahun untuk berkarya menyiapkan pondasi sukses.

Pada usia 30 tahun sudah bisa mencukupi sendiri kebutuhan hidup, tak memberatkan orang lain, bisa mandiri dan juga dapat membantu orang lain. Enak bener hehehe. Lalu ada 10 tahun ke depan untuk memapankan kesuksesan sehingga pada usia 40 tahun ++ sudah tak mikir makan. Sudah sibuk urus hobi dan membantu orang lain serta mengerjakan tugas-tugas kemanusiaan dan kebudayaan serta berbakti pada Tuhan. Usia 60 tahun dimatikan sama Tuhan sudah nggak penasaran lagi ... :D

Catatan #1: ada anak manusia yang tak punya kesempatan untuk sekolah bahkan sekedar hidup layak oleh karena kemiskinan atau faktor lain. Di sini diperlukan bantuan pihak lain, individu, kelompok, atau negara agar ia mendapatkan kesempatan sama untuk sekolah dan hidup layak.

Catatan #2: sekali lagi, sukses adalah hidup berkecukupan, sandang, pangan, dan papan serta dapat beraktualisasi diri dan sempat menjalankan kehidupan spiritual. kalau sekedar itu, mestinya banyak orang yang akan mampu, Insya Allah. Cuma ada pula faktor godaan berupa hawa nafsu (syaiton mungkin juga berperan) dan keserakahan bikin ingin berlebihan sehingga hak-hak orang lain terambil. Ini yang bikin sukses bagi semua menjadi tak tercapai ...

Monday 24 March 2014

Lapangkan Jiwa dengan Jalan Kaki, Naik Sepeda, Telusuri Rel, atau Naik Perahu

Aku suka jalan kaki. Selain bikin sehat badan, juga bikin pikiran lapang. Bagaimana bisa?

Dengan jalan kaki, terutama blusukan keliling kampung, kita bisa saksikan ragam manusia, ragam wajah, ragam cara hidup, ragam cat rumah, ragam pagar, ragam pintu gerbang, ragam jendela, ragam halaman dan pepohonan yang tumbuh di dalamnya, dan rupa-rupa hal yang mungkin tak terbayangkan sebelumnya. Bukankan menyaksikan dunia beragam bisa bikin pikiran tak sempit?

Aku ingin punya sepeda lipat yang bisa aku masukkan ke dalam mobil bila sedang keluar kota.

Pasti akan ada waktu untuk sekedar blusukan sejam dua jam naik sepeda keliling kampung di sekitar hotel, rumah saudara, atau rumah teman tempat menginap. Pasti pemandangan kampung di sini beda dengan pemandangan kampung tempat tinggal kita sehari hari.

Kalau tak punya sepeda, jalan kaki tetap bisa dilakukan. Tetapi dengan sepeda, jangkauan bisa lebih luas. Dan ini berarti lebih banyak lagi pemandangan yang dapat dilihat. Makin banyak yang dilihat, makin luas pula pikiran. Begitu bukan? Hehehe.

Urusan pemandangan berbeda, demi memperluas pikiran atau melapangkan jiwa, aku selalu berkinginan suatu saat bisa jalan kaki telusuri rel kereta. Memandang jalanan dari mobil berbeda dengan dari atas kereta. Apalagi kalau jalan di sepanjang jalur kereta. Akan banyak didapat pemandangan 'back street' dalam arti sebenar-benarnya. Pemandangan dari arah belakang.

Contoh: bayangkan sebuah jalan bernama Jend. Sudirman di sebuah kota. Pemandangan yang tersaji dari arah jalan, depan toko atau rumah di pinggir jalan, pasti terlihat 'biasa' - dan akan berbeda bila rumah atau toko yang sama dilihat dari belakang.

Pemandangan sepanjang rel kereta termasuk dalam 'back street' - akan banyak hal terungkap dengan melihat manusia, rumah, aktifitas dari belakang 'back street' tadi. Coba deh kalau tak percaya.

Naik perahu? Buat perluas pandangan? Tentu saja ini juga hal menarik untuk dilakukan. Naik perahu di sini adalah menyusuri sungai besar atau menyususi bibir pantai. Ini agak mahal dan butuh keterampilan mengemudikan perahu tentunya. Bisa dilakukan berombongan buat penghematan bila harus sewa perahu atau beli bahan bakarnya.

Tetapi pasti menarik sekali dapat menyaksikan pemandangan pinggir kiri dan kanan sungai atau pinggir pantai dari arah pantai. Biasanya kan dari arah sebaliknya (memandang sungai atau memandang lautan). Kali ini lakukan kegiatan memandang daratan lewat air. Jamin deh bisa memperluas pandangan, melapangkan jiwa, mengusir pikiran cupet, sempit, dan mengusir jutek. :D Kapan?

Sunday 23 March 2014

Tiga Modal Dasar Menulis

Menulis itu mudah bila kita paham apa yang akan kita tulis, punya bahan untuk ditulis. Bila tidak punya, lalu mau nulis apaaaa? Hehehe.

Bahan itu berarti apapun yang diserap panca indera, yang dibaca, yang didengar, yang dicecapi, yang dibaui, yang dirasakan, dan juga apapun yang merupakan hasil analisis semua bahan yang diperoleh tadi.

Kata Kunci #1 Punya Bahan
-------------------------------------------------------

Punya bahan banyak tetapi konstruksi ide tak ada, maka tulisanpun sulit mewujud. Diperlukan mind map / peta pikiran tentang apa yang dipunyai tadi.

Peta tersebut dimulai dengan ide pokok tentang apa yang akan ditulis, misal tentang CSR (Corporate Social Responsibility) yang kemudian dibuatkan cabang pikiran menjadi (misalnya): pengertian CSR, praktek CSR selama ini, manfaat CSR, masa depan CSR, dll.

Cabang besar di atas lalu dibuatkan cabang kecil atau ranting. Misal: Manfaat CSR bisa menjadi (1) bagi pemerintah, (2) bagi perusahaan, dan (3) bagi masyarakat.

Bila konstruksi pikiran ini sudah terpetakan, maka menulis akan menjadi sesuatu yang menyenangkan karena ada pedoman yang akan membimbing proses penulisan (dan juga sebagai pedoman dalam pengumpulan bahan tambahan. Proses menulis tak terbatas menuangkan ide, tetapi juga pengayaan ide dengan hal-hal baru yang sebelumnya tak terpikir/tak ada.)

Kata Kunci #2 Konstruksi Ide Tulisan
-------------------------------------------------------

Bila sudah punya bahan, bahkan sudah terpetakan dalam peta ide (mind map), yang dilakukan selanjutnya adalah proses menulis. Proses menulis adalah upaya menjalin bahan-bahan yang dimiliki menjadi kalimat, paragraf, halaman demi halaman, dan selesai dalam satu judul.

Untuk bisa melakukan hal ini, tentu penulis perlu memiliki keterampilan menulis. Keterampilan menjalin ide, pokok pikiran, contoh pendukung, hasil analisis, dll. menjadi bacaan indah penyampai makna yang efektif dan sekaligus efisien.

Untuk yang terakhir ini, penulis harus rajin-rajin berlatih menulis, melatih jari jemari mengetik apa-apa yang terbetik di fikiran, menyusun menjadi bacaan yang tak bikin pembaca menguap.

Oh ya, salah satu yang sangat mendasar untuk diingat oleh siapapun yang sedang membangun keterampilan dalam menulis adalah tentang mechanics atau aturan bahasa seperti penggunaan huruf besar, tanda titik koma, kata sambung dll. Selalu periksa ketikan jangan sampai ada thypos atau salah ketik - hal-hal kecil yang dapat merusak nuansa. :D

Kata Kunci #3 Terampil Menulis
-------------------------------------------------------

Itulah 3 hal yang menurutku diperlukan oleh siapapun yang tertarik membuat karya tulisan.

Tentu ada banyak hal-hal lain semisal kesehatan (kalau sakit keras kan tak bisa nulis), mood yang bagus, alat menulis yang cocok (ada lho yang tak bisa mengeluarkan idenya bila pakai komputer dan tetap setia menggunakan mesin ketik lama - katanya suara cetok cetok mesin ketik bisa bikin otak encer), suasana tempat menulis (misal di gunung nan sepi bisa bikin lebih produktif dibanding di tempat ramai), dan lain-lain.

Terakhir: mari mulai dengan mengetik satu huruf, satu paragraf, satu halaman. Semua karya tulis penulis besar dunia pasti dimulai dengan ketikan atau coretan pertama. Kalau tak dimulai, lupakan saja ide menjadi penulis yang punya karya. Mudah bukan?

TIPS: teringat Cik Gu Andreas Harsono yang bilang (kira-kira begini): kalau sebuah tulisan sudah selesai, bacalah dengan keras. Uji dengan lidah apakah tulisan itu enak dibaca. Uji dengan telinga apakah tulisan itu enak didengar. Bila lidah dan telinga nyaman dengannya, tulisan sudah layak diterbitkan (walau hanya untuk kalangan sendiri juga tak apa-apa hehehe).

Pensil Pendek Lebih Panjang dari Ingatan Manusia

Berkelana membaca ulang beberapa postingan lama, aku dikagetkan kenyataan bahwa banyak dari apa yang aku tulis tak lagi aku ingat.

Sebut saja tulisan tentang Intramuros dalam halaman blog ini http://aunulfauzi.blogspot.com/2009/07/intramuros-manila.html coretan tertanggal Juli 2009 - sekitar 5 tahun lalu.

Aku tentu ingat bahwa aku pernah ke tempat terkenal di Manila itu. Aku juga ingat mampir makan siang di sebuah cafe di dalamnya. Aku ingat aku ke sini diantar sopir kantor kami (dari Los Banos). Aku ingat merasa bebas berjalan ke sana kemari karena Pak Sopir tidak ikut. Sebagai orang lokal dan sudah sering antar tamu ke sini, beliau mungkin sudah bosan kalau ikut blusukan menjelajahi koleksi sejarah masa lalu Filipina yang tersimpan dalam Intramuros. Aku ingat banyak hal. Tetapi sepertinya lebih banyak lagi yang aku lupa.

Pertama-tama tentu janjiku dalam salah satu paragraf tulisan itu untuk memberikan deskripsi singkat tentang 27 lokasi dalam kompleks bersejarah itu. Aku tak lakukan apa apa untuk memenuhi janji itu. Aku sama sekali tak ingat aku pernah berjanji. :D Tetapi bukti tertulis menyatakan aku berjanji. Nah loh.

Lalu nama-nama itu. Port Santiago sampai Plaza San Lusi Complex, tempat apa pula itu. Pasti waktu aku sedang berada di Intramuros, semua jelas dan aku bisa cerita banyak hal tentang masing-masing tempat itu.

Kenapa waktu ingatan masih fresh, aku tak segera menulis tentang semua itu? Hiks ...

Sekarang aku tak ingat lagi apakah aku mampir ke Intramuros dalam perjalanan pulang kembali ke Indonesia ataukah memang secara khusus datang dari Los Banos ke Manila sebagai sebuah kunjungan wisata (dalam dinas) .. :) Tak bisa aku ingat.

Apa lagi yaa yang tak aku ingat? Tentu aku lupa apa yang aku TIDAK ingat. Pertanyaan tak bener nih . Hehehe.

Dari nulis ini semua, aku teringat sebuah pepatah (katanya dari Cina) yang aku jadikan judul tulisan ini, tentang perlunya segera menuliskan segala sesuatu supaya tak lupa. Ide, janji, rencana, hutang, piutang, resep, atau apa saja yang pasti menyenangkan bila kita tak sampai lupakan.

Tips: sediakan buku kecil. Harus kecil. Supaya bisa masuk dalam tas. Bawa kemana mana, tulis apapun di dalamnya. Jangan sampai hilang. Karena ingatan anda ada di sana. Kalau buku itu hilang, maka anda termasuk hilang ingatan.

Tuesday 11 March 2014

Kebelet 365 Kali dalam Setahun?

Belakangan, aku hanya menulis bila sedang merasa ada 'urgent feeling to write' yang mirip kebelet ke kamar mandi. Bila tekanan itu datang, aku akan segera duduk depan komputer, ngetik, beres. Tak butuh waktu lama. Setelah itu lega. Seperti juga aktifitas di kamar mandi, kalau sudah selesai ya selesai. Dipaksa keluar juga gak akan ada yang keluar.

Mengandalkan datangnya kebelet tentu bukan cara yang bagus untuk meningkatkan produktifitas menulis. Kalau kebelet kamar mandi, normalnya terjadi 1 kali dalam  24 jam. Dalam setahun ada sekitar 365 kali ke kamar mandi. Lumayan banyak kalau itu adalah judul tulisan.

Tetapi untuk kebelet menulis, ternyata faktor pemicunya kadang tak ada. Tak lagi sering bepergian. Atau hanya berkutat dengan hal-hal yang sudah pernah dilakukan. Tak ada yang baru. Tak ada topik baru. Tak membaca buku. Tak ketemu teman diskusi yang bisa menstimulir otak. Sibuk dengan hal-hal yang tak pakai otak. Walhasil kebelet dalam arti urgent feeling to write tadi tidaklah terjadi sesering kebelet ke kamar mandi. Ah.

Kejumudan. Itu kata yang sering dipakai untuk menggambarkan kemunduran berfikir. Aku mempersonifikasi kata JUMUD sebagai sesuatu yang mandeg, bergerak sangat lamban bahkan cenderung diam, buntu, dan itu-itu saja. Tak ada jalan keluar. Ia tak jumud hanya bila diledakkan. Ketika ledakan terjadi, kerangkeng kebuntuan fikiran menjadi seakan lepas. jadi ringan.

Aku butuh ledakan.

Meledakkan diri sendiri bisa dilakukan dengan melakukan hal-hal yang tak pernah dilakukan. Jalan-jalan ke tempat-tempat asing. Yang penting bergerak. Karena kejumudan adalah kondisi tak bergerak. Menghilangkannya tentu dengan bergerak, walau sekedar bergeser, ataupun beringsut.

Aku butuh bergerak. Bergeser, atau beringsut.

Yah .. inilah hasilnya. Tulisan tentang jumud jumud dan jumud. Sekedar menggerakkan jari.

(Teringat ketika kuliah dulu di Jogja, bila tak tahu mau menulis apa, aku akan tulis .. 'aku tak tahu apa yang bisa aku tulis, oleh karenanya aku menulis apa yang bisa aku tulis yaitu menulis tentang ketidakbisaanku menulis' .. begitu berulang ulang sampai 'ajaib-nya' tiba tiba muncul satu dua ide menulis yang kemudian aku bisa lanjutkan - bila mau).

Ah, mungkin otak juga butuh digoyang-goyang dikit. Semacam dipancing. Dengan pancingan yang paling membosankan sekalipun, dan ia akan sedikit beringsut, bergeser, bergerak dan lalu bergerak. Barnagkali yang kita perlukan adalah sedikit menyentilnya? Sentilan yang direspon dengan ingsutan lemah, permulaan dari semua gerakan besar?

Nah ... mari menulis apapun yang ingin jari ketikkan. Tak punya makna sekalipun, tak apalah. Asal beringsut. Dan yang penting 1 judul blog sudah selesai. Tak ada maknanya. Tak apa-apa. Alhamdulillah. :D

TAMBAHAN:
Apakah males menulis ini ada kaitannya dengan kesibukan kerja 'fisik' yang tak banyak memerlukan kontemplasi? Yang tak menyisakan kesempatan untuk merenung, menghayal, dan bermimpi? Bisa jadi ya. karena aku ingat ketika masih ikut kuliah kelas komunikasi - otak terstimulir dan kalau ada wahana menulis, pasti ada banyak yang tercipta .. Oh iya, in ipenting .. wahana adalah faktor kedua. Bila ada wahana yang friendly, mudah dipakai, tak bikin bingung, tulisan juga bakal mengalir. (Aku inget semasa kuliah komunikasi, aku ciptakan blog buat nulis pelajaran - lumayan produktif, tapi semenjak tak ada lagi kelas, berhenti total. Bener kan?) Bener .. kita butuh stimulir dan wahana ... ini penting .. catat!!

Saturday 8 February 2014

Suatu Hari di Stasiun

Dua orang tuna netra berjalan di kolong penyeberangan Stasiun Depok Baru. Mau pindah peron. Yang laki di depan. Yang perempuan di belakang, berpegangan pada baju kaos yang laki laki. Wajah yang laki laki tersenyum pede. Berjalan tak pakai tongkatnya. Tongkat hanya ditenteng. Mungkin sudah biasa dan hapal jalan ini.

Tiba-tiba, kaki yang perempuan terantuk lantai yang ubinnya lepas. Sesaat badannya limbung, sempoyongan ke depan. Untung pegangannya kuat pada kaos si laki-laki. Untung pula badan si laki laki tegap dan kokoh. Si perempuan tak sampai terjerembab.

Tetapi melihat wajah perempuan tuna netra itu, yang tampak datar, tak ada senyum, tak ada tanda meringis, tak ada mata, tak ada ekspresi, mungkin sudah 'pasrah' menerima terantuk sebagai konsekuensi tak punya penglihatan, tiba tiba aku merasa marah, marah sekali sampai mataku berair, marah pada siapa saja yang seharusnya punya kemampuan untuk bikin jalan kolong berubin itu lebih bersabahat, setidaknya bagi kaum tunanetra.

Kalau sudah begini, selalu saja kemudian aku tutup dengan ungkapan, ah sudahlah, mungkin harus tunggu 1000 tahun Indonesia berubah. Harus tunggu entah berapa kali perubahan pemerintahan supaya stasiun, atau tempat-tempat umum lain, bisa lebih lebih bersahabat bagi semua – terutama kaum difabel.

Apa yang menjadi masalah hingga penguasa Stasiun Depok Baru tak bisa perbaiki ubin lepas? Kalau tak salah ingat, ubin-ubin lepas itu sudah seperti itu sejak era sebelum Dahlan Iskan jadi menteri BUMN. Kalau dulu kolong itu penuh dengan sampah bertebaran, pengemis di setiap pojokan, dan juga kelompok pengamen di tangga, sekarang bagaimana?

Memang sudah ‘bersih’, tetapi ubin itu masih lepas.