Saturday 8 February 2014

Suatu Hari di Stasiun

Dua orang tuna netra berjalan di kolong penyeberangan Stasiun Depok Baru. Mau pindah peron. Yang laki di depan. Yang perempuan di belakang, berpegangan pada baju kaos yang laki laki. Wajah yang laki laki tersenyum pede. Berjalan tak pakai tongkatnya. Tongkat hanya ditenteng. Mungkin sudah biasa dan hapal jalan ini.

Tiba-tiba, kaki yang perempuan terantuk lantai yang ubinnya lepas. Sesaat badannya limbung, sempoyongan ke depan. Untung pegangannya kuat pada kaos si laki-laki. Untung pula badan si laki laki tegap dan kokoh. Si perempuan tak sampai terjerembab.

Tetapi melihat wajah perempuan tuna netra itu, yang tampak datar, tak ada senyum, tak ada tanda meringis, tak ada mata, tak ada ekspresi, mungkin sudah 'pasrah' menerima terantuk sebagai konsekuensi tak punya penglihatan, tiba tiba aku merasa marah, marah sekali sampai mataku berair, marah pada siapa saja yang seharusnya punya kemampuan untuk bikin jalan kolong berubin itu lebih bersabahat, setidaknya bagi kaum tunanetra.

Kalau sudah begini, selalu saja kemudian aku tutup dengan ungkapan, ah sudahlah, mungkin harus tunggu 1000 tahun Indonesia berubah. Harus tunggu entah berapa kali perubahan pemerintahan supaya stasiun, atau tempat-tempat umum lain, bisa lebih lebih bersahabat bagi semua – terutama kaum difabel.

Apa yang menjadi masalah hingga penguasa Stasiun Depok Baru tak bisa perbaiki ubin lepas? Kalau tak salah ingat, ubin-ubin lepas itu sudah seperti itu sejak era sebelum Dahlan Iskan jadi menteri BUMN. Kalau dulu kolong itu penuh dengan sampah bertebaran, pengemis di setiap pojokan, dan juga kelompok pengamen di tangga, sekarang bagaimana?

Memang sudah ‘bersih’, tetapi ubin itu masih lepas.

No comments: