Monday 29 December 2008

Profil Perekam Sejarah

Tiba-tiba saja muncul ide untuk membuat blog khusus berisi profil singkat orang-orang yang kami kenal.

Yang dimaksudkan orang-orang adalah teman, kerabat, atau sanak saudara kami, baik di lingkungan sekitar rumah, tempat kerja, sekolah, ataupun di tempat lain. Bisa berasal dari masa lalu dan juga masa sekarang.

Ada dua tujuan yang hendak dicapai dengan pembuatan blog ini. Pertama sebagai tempat menampung hasil latihan menulis profil, dan kedua sebagai rekaman sejarah yang kami dedikasikan kepada orang-orang yang kami kenal di sekitar kami.

Rencananya, tulisan akan dibuat oleh kami berempat. Formatnya dan gaya penulisan terserah yang menulis, tetapi diharapkan setiap profil tidak lebih dari 500 kata. Pilihan kata maupun gaya bahasa yang dipakai juga terserah yang menulis. Yang jelas, setiap profil mesti dilengkapi 1 foto wajah dari tokoh yang sedang diceritakan serta beberapa informasi dasar semisal umur dan tempat tinggal.

Biasanya profil yang menarik merupakan cerita asli dan unik, juga berisi satu dua filosofi dasar yang menjadi pegangan hidup sang tokoh yang bisa dijadikan sumber inspirasi bagi pembaca. Bila 'wawancara' tidak bisa dilakukan, profil dapat saja berisi kesan subyektif penulis tentang tokoh dalam tulisannya, terutama yang positif dan bermanfaat.

Saat menulis pendahuluan ini, yang terbayang untuk segera dibuatkan profil adalah Pak Husin - tetangga yang suka jagain rumah kalau kami bepergian, lalu Pak Jangkung - petugas sampah komplek perumahan kami yang kerap menawarkan bibit tanaman, Pak Herman yang menanam bayam di tanah kosong samping rumah, dan Bu Jajan (entah namanya siapa - nanti ditanyain ya) yang setiap pagi lewat depan rumah kami mengusung dagangannya sambil berteriak, "Kuee kueeeeeee." Ifa dan Aya bisa mulai dengan menulis profil Rifda, Rafif, Mba Nisa, Mbak Dila, atau teman-teman sekolahnya. Ibu bisa mulai dengan Bu Sarry, Pak Goen, atau teman-teman dari masa lalu seperti Pak Tri, Mbak Naroh, atau siapa saja yang.

Let's do it. Don't forget to include a picture!

Pak Husin

Tubuhnya kurus dengan kulit gelap mengkilap karena keringat. Kalau sedang membersihkan rumput di sekitar musholla di perumahan kami, Pak Husin suka memakai jaket hitamnya yang sudah tidak memiliki resluiting. Hanya jaket (tanpa baju dalam) dan celana panjang yang juga berwarna hitam. Bisa dibayangkan panasnya.

“Saya memang suka memakai warna hitam,” ujar lelaki berusia 58 tahun yang sejak Januari lalu diserahi tugas sebagai marbot Musholla An-Nur di perumahan kami, menggantikan marbot lama – Pak Yono – yang tiba-tiba jatuh sakit dan tidak bisa menjalankan tugasnya mengurus musholla.

“Ketika muda, saya memanjangkan rambut, keluar main pakai celana, baju, dan jaket hitam. Rasanya keren, apalagi ditambah dengan kalung besar, seakan menjadi anak band,” cerita lelaki yang lahir di Petamburan dengan nama lengkap Husin Basri.

Kalau melihat sosok Pak Husin sekarang yang kerap berbaju koko dan berkopiah putih siap mengumandangkan azan setiap datang waktu sholat, kita mungkin tidak menduga hobynya nonton film.

“Saya paling suka film silat China,” cerita Pak Husin sambil menyebutkan Bruce Lee, Jet Lee dan Jacky Chen sebagai aktor idolanya. “Saya suka mereka karena kalau bertarung gak pakai alat, alias tangan kosong.”

Ketika diajak nonton DVD Mummy III, Pak Husin langsung berujar, “Ah … udah nonton tuch. Di TV. Udah lama.” Nampaknya untuk urusan film silat china, Pak Husin tidak pernah ketinggalan.

Pak Husin dan istrinya, Bu Rusmiati, tinggal di sebuah rumah yang terletak di samping perumahan kami. Rumah sederhana itu dibanguan di atas tanah sisa warisan mertuanya.

“Orang tua istri saya dulu memiliki tanah seluas sekitar 4000 m3. Tanah tersebut sudah dijual dan sebagiannya dibagi-bagikan kepada anak-anaknya. Istri saya mendapat sebidang tanah yang sekarang kami tempati bersama 3 anak kami. Dua anak yang sudah besar sudah tidak tinggal bersama kami.”

Pak Husin menghidupi keluarganya dengan bekerja serabutan sejak berhenti bekerja sebagai supervisor pada sebuah perusahaan cleaning service yang melayani maskapai penerbangan Garuda Indonesia ketika masih di Lanud Kamayoran serta PT Telkom di kawasan Kota Lama.

“Terlalu jauh kalau saya ikut pindah ke Cengkareng. Saya tinggal di Depok. Waktu itu transportasi tidak selancara yang sekarang. Kalau saya bertahan di cleaning service, mungkin sekarang saya sudah menduduki jabatan yang bagus seperti beberapa teman seangkatan saya,” tutur Pak Husin tidak hendak menyesali keputusannya berhenti bekerja dan memilih tinggal di rumah mengurusi anak-anaknya yang masih kecil.

Pak Husin memiliki satu kesenangan unik yaitu bila sedang punya duit, dia akan pergi ke warteg memesan makan dengan lauk sambal ikan tongkol dan emping mlinjo. “Saya suka sekali makanan ini. Rasanya nikmat sekali, karena cocok dengan selera makan saya.”

Mengenai pekerjaannya sebagai marbot sekarang, Pak Husin bercerita bahwa fikirannya menjadi lebih tenang. “Mungkin karena tidak pernah pernah meninggalkan sholat seperti waktu-waktu lalu.”

Pak Husin mengaku sangat menyukai pekerjaannya sekarang walaupun dia digaji seadanya, yaitu sebesar Rp. 250.000 per bulan ditambah insentif Rp.20.000 setiap selesai mengumpulkan infaq bulanan warga.

“Saya hanya punya satu keinginan, yaitu mengantar anak saya yang paling kecil menyelesaikan sekolahnya. Setelah itu, saya akan merasa tenang dan saya fikir saya masih perlu meningkatkan ibadah saya sebagai persiapan bila suatu saat dipanggil yang Maha Kuasa.”

My Chevrolet Blazer (2)

Hari ini, lima belas hari sudah berlalu sejak keisenganku menelpon pengiklan mobil tanggal 14 Desember lalu. Sekarang, sebuah Chevrolet Blazer warna coklat muda tampak nyaman menempati kandang yang biasa ditempati Aerio Merah. Bagiku ini merupakan khayalan Poskota yang menjadi kenyataan.

Dua minggu terakhir merupakan waktu yang cukup melelahkan. Sempitnya waktu tidak memungkinkan untuk mendapatkan harga bagus untuk Aerio Merah. Awalnya, aku tawarkan Aerio di Bendi 21 Cinere dan beberapa show room mobil di jalan Margonda, Depok. Mereka rata-rata menyebut harga yang jauh dari keinginanku. Aku juga minta bantuan teman untuk menjual Aerio. Sayang sekali, beberapa tawaran bagus berdatangan justru setelah Aerio terjual. Good Bye Aerio Merah

Tanggal 22 Desember, aku harus akan segera berangkat ke Aceh menemani Ifa dan Aya menjemput ibunya yang sudah tidak kerja di Aceh lagi. Tiket promosi Lion Air yang kami pegang tidak memungkinkan perubahan jadwal. Karena tidak ada waktu lagi untuk negosiasi harga, apalagi harus mengurus sendiri pengambilan BPKB di Oto Multiartha Depok, aku lepas Aerio dengan harga 91.5 juta di Mobil 88 Simatupang. Sebuah harga yang pantas ditambah kesediaan Mobil 88 mengurus semua administrasi selama aku berada di Aceh. Semua berjalan lancar, sampai 2 hari lalu (27 Desember) aku membayar dan mengambil si Blazer Coklat di Sun Motor, dealer resmi Chevrolet di Jalan Panjang, Kebon Jeruk.

Sebenarnya, keinginan memiliki sebuah mobil blazer tidak muncul begitu saja. Keisengan tanggal 14 Desember lalu hanya merupakan puncak dari keinginan terpendam selama ini.

Aku masih ingat pertama kali mengenal mobil blazer sekitar 10 tahun lalu. Kantor tempatku bekerja di Jogja (BORDA – sebuah lembaga penelitian dan pembangunan Jerman) memiliki sebuah Opel Blazer berwarna putih. Aku pernah sekali ikut menumpang dan merasakan sensasi naik blazer. Sekali saja, tetapi itu sudah cukup membuatku merasa perlu mematri keinginan suatu saat memiliki blazer.

Karena belum berani ‘memelihara’ kebo – sebutan bagi blazer oleh para penggemarnya di mailinglist blazer, nyaliku hanya kuat untuk sebuah mobil Panther Hi-Sporty 1997 yang aku beli tahun 2003 lalu. Setelah aku pelihara sekitar 2 tahun, Panther aku lepas untuk bayar hutang dan kemudian memberanikan diri mencicil sebuah Suzuki Aerio. Selama mengendarai Aerio, keinginan untuk memiliki sebuah mobil SUV tidak pernah pudar. Sasaran pertama adalah Panther Grand Touring. Berhubung harganya terus melambung dan keadaan keuangan tidak memungkinkan, niat kembali ke Panther tidak pernah kesampaian sampai akhirnya sekarang justru mendapatkan sebuah blazer dari negeri impian.

Bagi banyak orang, memiliki sebuah mobil blazer bukanlah pilihan. Berbagai keluhan seperti akselerasi awal yang lemot, mahalnya suku cadang, atau borosnya konsumsi bahan bakar, membuat mereka lebih menyukai mobil-mobil produksi Jepang. Aku juga mendapat tantangan dari beberapa teman ketika bercerita tentang keinginanku memiliki blazer. Saran-saran mereka bahkan sempat membuat aku ragu dengan kemampuanku memelihara kebo sampai thread diskusi tentang blazer di Seraya Motor berhasil meyakinkanku. Sebanyak 62 halaman thread BLAZER masih worthed gak? (Part 1) habis aku baca berikut tambahan lebih dari 10 halaman di (Part 2).

Mungkin agak berlebihan bila aku sebut thread tersebut sebagai penyelamat, tetapi membaca diskusi tentang seluk beluk blazer (Opel maupun Chevrolet) membuat mataku terbuka akan berbagai kelebihan dan kekurangan blazer. Keyakinanku untuk mewujudkan impian menjadi makin kuat. Bahkan ketika mengecek kondisi Blazer Coklat yang sekarang sudah menjadi milikku, aku juga menggunakan 7 tips sederhana namun sangat berharga dari thread diskusi tersebut. Buat para dukun kebo di Seraya Motor, terimakasih ya ... Menurutku, si Blazer Coklat lulus tes.

Singkat cerita, waktulah yang akan membuktikan apakah pilihanku memelihara sekaligus menikmati blazer tepat atau tidak. Yang jelas, saat ini aku sedang merasa melambung, merasa senang sekali sudah bisa mewujudkan sebuah keinginan, memiliki sebuah mobil impian. Memiliki mobil yang kuat dan nyaman untuk membawa anak-anak keluar kota bila ingin jalan-jalan. Sekeluarga mengendarai sebuah Blazer LT (luxury touring) menuju tempat rekreasi alam, gunung dan pantai, merupakan impian sejak lama. Juga berkunjung ke teman dan kerabat di Pacitan, Wonosari, Jogjakarta, Surabaya, dan tempat-tempat lain yang yang memiliki torehan kenangan lama.

Mengharapkan nantinya ada kesempatan dan biaya untuk mewujudkan rencana itu rasanya sudah senang. Apalagi kalau benar bisa terwujud nanti. Aku ingin menikmati perasaan senang ini. Dengan perasaan seperti itu pula rasa-rasanya aku akan siap bila ternyata pilihan memelihara kebo terbukti tidak tepat. Hehe.

Saturday 27 December 2008

My Chevrolet Blazer (1)

“Selamat pagi pak, apakah blazernya sudah laku?” tanyaku begitu mendengar suara seseorang menjawab dering telponku. Minggu 14 Desember, jam 8 pagi. Aku sedang bermalas-malasan di bangku panjang teras belakang rumah.

Mengusir kantuk yang mulai datang lagi, iseng aku telpon sebuah nomor seluler yang aku dapatkan dari koran, nomor telepon seorang pengiklan yang ingin menjual sebuah mobil Chevrolet Blazer tahun 2006. “Kondisi bagus,” demikian iklan tersebut tertulis.

Sejak bangun sekitar jam 3 dini hari tadi, aku tidak bisa tidur lagi. Sudah beberapa bulan terakhir aku terbiasa masuk kamar tidur sekitar jam 8 malam, mengantar anak-anak tidur. Biasanya aku ikut ketiduran dan akan terbangun tengah malam. Anehnya, aku seringkali terbangun pada jam yang sama, yaitu pukul 00.08. Aku pastikan ini karena setiap terjaga aku langsung mengecek jam. Barangkali sekedar kebetulan, tapi kata orang itulah body clock.

Setelah bangkit dari tempat tidur, biasanya aku menuju jendela, memeriksa gerendel dan mengintip ke luar berharap menangkap sosok mencurigakan mengendap-endap dalam kegelapan malam. Kalau sedang ada perasaan ‘gak enak’, akan kunyalakan lampu ruang tamu, pura-pura batuk beberapa kali seakan mengirim pesan kepada tamu tak diundang (kalau ada) bahwa pemilik rumah sudah terjaga dan tidak ingin diganggu.

Rutinitas berlanjut dengan mondar-mandir antara dapur, ruang tengah, depan laptop, lalu ke teras belakang, atau ke kamar periksa Ifa dan Aya yang masih nyenyak. Tak ada kegiatan yang berarti. Tidak ada TV yang menyiarkan Liga Inggris. Juga no body to talk with! Biasalah .. for the last three years .. been only me and the girls!

Berbaring atau duduk-duduk menunggu terang di bangku panjang teras belakang memang menjadi pilihan favorit. Tentunya ditemani teman setia - kopi dan rokok. Beberapa jam sebelumnya, penyelamatku tiba. Suara bundelan koran terhempas di lantai teras depan terdengar merdu menjanjikan harapan. Siapakah yang tidak tertarik sekedar melihat halaman depan koran hari ini? Serasa menjadi yang paling beruntung sebagai orang pertama yang akan membaca koran, aku bergegas membuka pintu dan memungut koran yang masih terlipat rapi - kerapian yang kadang membuatku heran. Bukankah bundelan koran biasanya di lempar begitu saja? Sesaat kemudian aku tenggelam dalam kesibukan membolak balik koran.

Sinar matahari sudah mulai menerobos celah daun pisang dan melinjo yang tumbuh dekat tembok samping. Terasa silau karena atap teras belakang memang cukup tinggi memungkinkan sinar matahari pagi bebas menyorot.

Semua tulisan di Kompas sudah habis aku lihat sekilas. Selain tulisan Samuel Mulia, iklan lowongan kerja, dan halaman karikatur – terutama si Kribo – gak ada lagi yang menarik. Surat Pembaca hari ini juga berisi isu yang sudah garing: protes seorang pembaca tentang cara debt collector menagih tunggakan kartu kredit.

Setelah membaca halaman Sosok dan Tokoh, aku merasa sangat bosan. Harum hangat kopi sudah tak tersisa. Lidahku terasa manis. Asap rokok sudah tidak enak lagi. Saat putus asa mulai menghampiri, pandanganku tertumbuk gulungan koran Poskota. Setiap minggu, Poskota juga dikirim oleh tukang koran langgananku. Kuraih Poskota dan mulai membaca.

Selain kolom cerita Nah Ini Dia yang berisi cerita seputar seks dan juga kolom konsultasi seks, apalagi yang menarik di Poskota? Adaaaa .. iklan mobil. Sangat menarik untuk memeriksa harga pasaran kendaraan dan terutama sebagai sumber berkhayal, memimpikan dapat membeli salah satu mobil yang diiklankan.

Menghayal seperti itu sering aku lakukan karena aku percaya, suatu saat khayalan itu akan berujung kenyataan. Mobil pertamaku, sebuah Panther Hi Sporty, juga berawal dari khayalan Poskota. Begitu pula mobil Aerio yang aku pakai sekarang (sudah terjual saat tulisan ini dibuat). Dan mungkinkah sebuah Chevrolet Blazer juga akan menjadi kenyataan?

“Belum!” jawab laki-laki di ujung telpon.

“Warnanya apa? Tahun berapa? Harga?,” tanyaku beruntun.

“Warna silver, tahun 2006, harga dibuka 105jt!”

“Hmm .. lumayan,” gumanku dalam hati. Beberapa waktu lalu, sebuah Chevrolet Blazer tahun 2006 ditawarkan sekitar 118 jt. Seminggu kemudian ada yang menawarkan 115 jt. Aku fikir 105jt adalah harga yang fantastis. “Aku mauuu,” teriakku dalam hati.

“Tapi maaf pak, saya sebenarnya sedang tidak punya duit. Tapi kalau saya tuker tambah dengar Suzuki Aerio, apakah bisa?” iseng aku tawarkan kemungkinan yang tiba tiba muncul di kepala karena ketika telpon pandanganku tertumbuk bagian depan mobil Aerio yang menyembul di garasi.

“Hmm .. ntar saya tanyakan ke teman saya,” jawab lelaki yang belakangan aku tahu bernama Yoga, seorang sales representative Sun Motor, dealer resmi Chevrolet di Jalan Panjang, Kebon Jeruk. "Dia main Suzuki, kali aja mau."

Pembicaraan aku tutup, tak berharap ada kelanjutan. Namanya saja iseng.

Lanjut baca di sini:

Teriakan Tengah Malam

Suatu tengah malam beberapa waktu lalu, aku terjaga dari tidurku karena mendengar bunyi tak biasa di dekat jendela kamar … bunyi yang ditimbulkan gerakan tangan yang sedang mencoba membuka pengait daun jendela. Ada orang di dekat jendela kamar tidur! Di tengah malam yang gelap!

Aku yakin itu suara tangan orang karena terdengar berirama, berbeda dengan bunyi terpaan angin atau kucing yang hendak menyelinap masuk. Bunyi itu sempat jeda sejenak. Mungkin orang itu sedang mengawasi sekeliling, khawatir ada yang memergoki. Sesaat kemudian, bunyi klotakan kembali muncul. Kali ini terdengar lebih halus. Orang itu pasti berharap bunyi yang ditimbulkannya jangan sampai membangunkan penghuni kamar yang sedang terlelap.

Kedua daun jendela kamar tidur memang biasa aku buka supaya angin malam yang dingin leluasa masuk mengusir udara pengap kamar tidur kami yang tidak menggunakan AC. Di sampingku anak-anak tergolek pulas dibuai mimpi. Waktu berangkat tidur tadi, kami lupa mematikan lampu kamar yang menyala terang benderang. Aku menduga, orang yang di luar jendela sudah sempat menyibak gorden penutup jendela, melongokkan kepala, dan mengawasi kami yang sedang nyenyak. Membayangkan itu, aku merasa seperti ditelanjangi pencuri kurang ajar itu. Untung aku tidur pakai pakaian lengkap.

Malam itu, nampaknya si calon pencuri sedang apes. Aku sudah lama terjaga karena mendengar bunyi klotakan persinggungan lengan besi pengait jendela dengan kait cantelannya.

Kalau si calon pencuri ini cukup lihai, dia bisa membuka jendela tanpa menimbulkan bunyi apapun. Dengan menyandarkan punggung di tembok, memposisikan lengan kirinya sebagai tumpuan, dia bisa mendorong daun jendela sedikit saja untuk melepaskan sentuhan lengan cantelan jendela dengan besi pengaitnya. Tahan nafas sejenak supaya tangan tidak gemetar dan perlahan cantelan diangkat. Cantelan terlepas sudah dan sekarang dia bisa meloloskan badannya masuk ke dalam kamar, bila itu yang dia rencanakan. Calon pencuri ini kurang lihai.

Aku biarkan bunyi itu beberapa saat sambil tergolek siaga memikirkan tindakan yang akan aku ambil. Ada dua pilihan, (1) membiarkan pencuri menuntaskan usahanya membuka jendela dan menunggu sampai dia melongokkan kepala masuk ke kamar, atau (2) berteriak maling membuat dia terkejut dan lari terbirit-birit.

Dengan cepat aku kalkulasi semua kemungkinan. Kalau aku biarkan si pencuri melongokkan kepala, aku bisa tendang kepalanya, mungkin fatal baginya. Tetapi kalau dia beruntung dan bisa memaksa menerobos masuk, situasi pasti akan membahayakan, terutama bagi kedua anakku yang sedang terlelap. Aku bayangkan duel akan terjadi, dan pasti berdarah-darah (keren gak? he he). Aku ngeri membayangkan itu semua.

Tak ingin kelamaan berfikir, aku melontarkan tubuh sekuat tenaga bangkit dari kasur. Secepat kilat aku sibak gorden dan berteriak mengeluarkan sumpah serapah “WOOOACCCCH!!!!! OOOOIIIII, MALIIIIIINNNNG, MALIIIIIIINNNGG!!!!! KURANG AJAR!!!!!!! OOOOIIII … OOOOOOIIII!!!! HA HA HA HA HA (KETAWA NGAKAK LEGA BANGET)” Semua terjadi dalam hitungan detik. Teriakanku menggelegar di malam yang sepi, kodok dan jangkrik menghentikan nyanyiannya sejenak. Kubebaskan umpatanku lepas menggelontor melewati kerongkongan, melampiaskan segenap emosi benci, takut dan marah.

Seseorang yang berbadan tidak terlalu besar dan hanya mengenakan celana pendek warna coklat terang terlihat melesat menuju gerbang halaman yang tak berpintu. Sesaat kemudian bayangannya lenyap di balik kegelapan kebun jati di samping musholla dekat rumah.

Oh .. what a hit! Nampaknya teriakanku mampu membuat pencuri itu terkejut dan lari lintang pukang. Sementara nafasku ngos-ngosan menahan emosi, ada kelegaan terasa. Mungkin karena berhasil berteriak mengeluarkan segenap emosi dan membuat si pencuri terbirit-birit. Herannya, kedua anakku seakan gak terusik suara-suara yang aku timbulkan. Setelah menutup jendela, aku segera ke dapur mengambil air minum dan menenangkan diri.

Malam kembali menyelubungi, jangkrik kembali bernyanyi. Suara kodok kembali bersahutan. Aku membuka pintu, melihat sekeliling. Tak nampak sedikitpun pengaruh suara gaduhku. Rumah-rumah tetanggaku memang terletak agak jauh, terpisah tanah-tanah kosong. Mereka pasti tak mendengar teriakanku yang penuh horor. Malam masih panjang. Aku tutup pintu dan mencoba kembali tidur.

Selingan Sejenak - Gratis!

Karena sedang ada gangguan teknis pada penyedia layanan, pernah selama lebih dari 3 jam kami sekantor tidak bisa menggunakan internet. Untuk sementara waktu, kami tidak terhubung dengan dunia. Tidak bisa menjelajah internet. Tidak bisa menggunakan fasilitas chatting. Tidak bisa kirim atau terima email.

Memang bukan terputus sama sekali karena kami masih bisa menggunakan telkomnet instan untuk kirim email penting. Beberapa teman bahkan menggunakan blackberry untuk berkomunikasi. Tetapi bagi sebagian besar yang lain, putusnya koneksi berarti kelegaan sejenak. Walau terasa agak senyap, beban hingar 'maya' yang memenuhi rongga fikiran terasa terangkat. Putusnya jaringan merupakan kesempatan untuk sekedar jeda dari terpaan aliran instruksi kerja ini dan itu yang kerap datang melalui email. Bahkan, bila kebetulan suatu laporan belum selesai, ketiadaan koneksi seperti itu bisa dijadikan alasan mengulur waktu.

Terputusnya koneksi internet adalah excuse termasuk yang paling valid di dunia kerja. Dulu, ketika genset belum banyak dikenal, pemadaman listrik juga merupakan excuse yang bagus. Bagaimana bisa kerja kalau ruangan gelap? Mesin ketik listrik tidak bisa dipakai? Begitu kira-kira para karyawan berucap sambil bergegas keluar ruangan menemui satu dua teman untuk sekedar ngobrol dan menikmati rokok. Ada kesempatan untuk sejenak merasa lega dari tekanan kerja.

Kemacetan lalu lintas (terutama di Jakarta) juga sering dijadikan alasan terlambat masuk kerja. Bila sedang merasa malas dan terlambat tiba di kantor, seorang karyawan bisa dengan santai berucap, “Macetnya parah banget hari ini!” Kalau mood atasan lagi OK, biasanya dia akan siap memaklumi.

Hujan sering dipakai sebagai alasan untuk terlambat berangkat ke sekolah, terutama oleh mereka yang sedang dihinggapi rasa malas belajar pagi-pagi. Di zaman yang akrab dengan teror bom, adanya isu bom bisa saja menjadi penyelia sejenak (asal bukan bom beneran). Semua wajib meninggalkan meja kerja, sepenting apapun pekerjaan - nyawa masih jauh lebih penting! Latihan evakuasi kebakaran di gedung bertingkat kadang merupakan selingan menarik. Tentu saja bila kita tidak sedang dikejar deadline maha penting.

Begitulah, banyak hal bisa menjadi selingan di dunia kerja. Selingan untuk sekedar melepaskan tekanan kerja. Mari kita nikmati bila suatu saat kita 'dipaksa' jeda sejenak. Apalagi tidak ada keharusan untuk membayar biaya partisipasi! Banyak loh, teman-teman kita yang bahkan harus mengeluarkan duit untuk bisa berjeda-jeda sejenak .. Nonton film butuh duit, apalagi jalan jalan ke luar kota. So, sekali lagi ... bila ada kesempatan, mari santai sejenak.

Monday 22 December 2008

Liverpool, Hujan, Ke Aceh

Saat ini baru 2 menit lewat tengah malam. Tanggalan di kalender mestinya sudah berubah. Aku masih menunggu babak kedua Liverpool vs Arsenal. Jangan salah, aku tidak sedang menonton TV karena tidak berlangganan TV Aora yang memegang hak siar siaran langsung Liga Inggris. Aku mengikuti perkembangan pertandingan lewat Live Score Centre, sebuah halaman web yang dibuat oleh portal English Premier League. Aku juga pantau perkembangan komentar webmaster Liverpoolfc.tv, sambil belajar bagaimana laporan tertulis juga bisa sangat updated.

Di luar hujan deras. Sekeliling terasa sepi. Sebenarnya aku mulai merasa capek, tapi tak hendak aku lewatkan informasi hasil pertandingan babak ke-2 yang sudah dimulai.

Aku akan tetap pantau dan akan coba tidur walau sekedar 1 atau 2 jam karena jam 4 nanti, taxi Express akan datang menjemput kami untuk diantar ke airport Cengkareng. Kami berempat, aku, istriku, dan kedua anak perempuanku, akan ke Aceh untuk berlibur seminggu, sekalian menandai minggu terakhir istriku bekerja di Aceh, setelah 3 tahun ini bekerja di UNICEF Banda Aceh.

Saat ini skor masih 1-1. Aku merasa malam ini Liverpool akan bisa membawa pulang tiga angka penuh dan akan menjadi pemuncak klasemen sementara Liga Inggris menjelang tutup tahun. Sebuah hadiah bagiku yang menggemari Liverpool sejak era Ian Rush dan Kenny Dalglish ketika aku masih kecil di tanah kelahiran Lombok sana. :)

Semoga perasaan ini benar, karena biasanya setiap kemenangan Liverpool atas lawan-lawannya akan menghadirkan rasa senang dan nuansa ceria di hatiku bila pagi menjelang. Kalau besok masuk kantor, pasti perjalanan ke kantor akan kulalui dengan bersiul. Pekerjaan kantor juga akan terasa ringan. Sekali lagi, semoga Liverpool memang, dan perjalanan ke Aceh akan menyenangkan.

Sunday 21 December 2008

Good Bye Aerio Merah

Hari ini, 21 Desember 2008. Tepat 32 bulan sudah si Aerio Merah Maroon setia menemani kami. Sejak aku beli kredit di Suzuki Depok bulan April 2006 lalu, mobil ini tidak pernah rewel, selalu nyaman dan enak dipakai. Hanya sekali aku harus reparasi kaki-kakinya yang sempat lemah karena dihajar jalan berlubang di sekitar Depok. Pada tahun kedua aku pakai, aku juga sempat ganti ban. Di luar itu, tidak ada perawatan khusus kecuali ganti olie dan tune up rutin. Benar-benar hemat di ongkos.

Aku ingat 3 tahun lalu, Aerio diantar sore sore menjelang magrib ke rumah kami di Vila Santika. Segera setelah pengantar pulang, aku coba kemudikan Aerio maju mundur di jalan samping rumah membiasakan diri dengan setir mobil kecil. Sebelumnya aku pakai Panther Hi-Sporty dan sebelum Aerio datang, ada waktu jeda sekitar 4 bulan tidak pegang mobil. Aku merasa perlu segera membiasakan diri karena malamnya, aku akan ke airport menjemput Naning istriku. Menjemput istri yang pulang dari Aceh (tempat dia bekerja) dengan mobil baru merupakan pengalaman yang mengasyikkan. Kedua anakku, Ifa dan Aya, sangat senang ikut menjemput walau mereka segera terlelap begitu mobil berjalan beberapa saat. Sebuah kenangan indah.

Hari ini, 21 Desember 2008. Aku terpaksa menjual si Aerio ke Mobil 88 Lebak Bulus. Sesaat sebelum keluar dari parkiran Mobil 88, aku menengoknya untuk terakhir kali sambil berucap dalam hati, terimakasih ya ... telah menemani kami sekeluarga selama ini.

Aku berharap pemilik baru Aerio akan dapat merawatnya dengan lebih bagus. Diam diam aku berdoa, suatu saat kami bisa berpapasan di jalan. Aku tentu akan mengenalinya ... Tulisan pendek ini didedikasikan buat si Aerio Merah. Sampai jumpa ...

Gagal Ngobrol Bareng Riri Reza 5

Can't do further dramatization on what happened that moment, but in brief I would tell you I didn't make it to Pantau. I drove back home in grief, then had an idea to send some text messages to Mbak Fiqoh asking her help to get Riri's signature for my daughter Syarrifa whose 8th birthday would be in two days (December 16).

To my excitement, Mbak Fiqoh was sooo helpful. She was really symphatetic even when I asked her to get another Riri's signature. This time was for my Aya, Syarrifa's sister.

Riri's autograph would be the best ever birthday present to Syarrifa who had long finished reading Laskar Palngi (Andrea Horata), then watched the movie, and finished reading Di Balik Layar Laskar Pelangi.

Thanks to Riri and especially to Mbak Fiqoh for all the happiness Syarrifa would undoubtedly enjoy once she receives her birthday present. (Sampai sekarang masih disimpan Mbak Fiqoh di Pantau, aku blom sempat ambil he he he)

Friday 12 December 2008

Gagal Ngobrol Bareng Riri Reza 4

Kalau ke Jakarta naik mobil, aku suka mendengarkan Radio Elshinta. Terutama ingin memantau keadaan lalu lintas di jalan-jalan yang aku rencanakan akan aku lewati. Sayang sekali, sejak mulai tersendat beberapa puluh menit lalu, tak ada berita apapun dari jalan Cirendeu ini. Aku punya nomor telpon seluler Elshinta untuk laporan keadaan jalan. Aku raih Nokiaku, aku ketik sebuah SMS: “Sudah 1 jam tidak bergerak di Cirendeu ke arah Lebak Bulus. Ada apakah? Fauzh, Depok.” Karena pencet tuts HP sambil pegang setir, Fauzi tercetak Fauzh. Aku tak peduli, aku segera kirim ke 0811806543.

SMS-ku tak segera terbaca, karena sesaat kemudian Elshinta menghubungkan diri dengan Radio BBC London untuk menyiarkan berita dunia. Ga apa apa. Lumayan bisa dengar berita sambil menunggu. Lima belas menit berlalu, aku mulai kehilangan harapan. Aku berbisik perlahan, “Kayaknya, Riri Reza bakal gagal nich.”

Sesaat setelah jingle musik Radio BBC berlalu menandakan berakhirnya siaran berita, muncul suara penyiar Elshinta. “Terimakasih kepada Bapak Fauzi yang telah berbagi informasi. Jalan Cirendeu yang ke arah Lebak Bulus macet total. Sudah 1 jam tidak bergerak. Tidak ada petugas di sana. Mohon bantuan petugas segera.”

Sangat mencengangkan. Penyiar tersebut tahu namaku Fauzi, bukan Fauzh seperti yang terkirim lewat SMS. Dia juga sangat pintar mengedit SMS-ku menjadi lebih komunikatif dan bernada urgen sehingga bantuan petugas kepolisian untuk mengurai kemacetan bisa segera datang - sesuatu yang tak mungkin, fikirku. Mana ada petugas kepolisian yang akan datang membantu pada jam-jam nanggung seperti ini, lanjutku dalam hati.

Tiba-tiba aku ingat sesuatu. “Oh My Gooooooood!!!!!!” teriakku penuh horor. “Ini diaaaaa!!!! Aku ternyata telah menjadi korban!!!

Dua hari lalu, ketika aku iseng membuka Detik.com mencari berita tentang kemenangan away Liverpool, tim kesayanganku, atas PSV Eindhoven 3-1 dalam ajang kualifikasi Piala Champion Eropa, aku temukan berita tentang perempatan FedEx – Ciputat yang macet total karena ada pengerjaan gorong-gorong yang bikin pusing semua orang.

Hari ini aku jadi korbannya! Aku tak mungkin lolos kemacetan ini. Tak mungkin bisa melewati kolong tol Lebak Bulus! Tak mungkin! Apalagi aku masih belum keluar dari jalan Cirendeu yang namanya tiba-tiba menumbuhkan rasa benci di hatiku!

Perlahan aku matikan harapan. Harapan bertemu dengan Riri Reza. Harapan bertanya satu dua pertanyaan tentang film dan pembuatan film. Tentang penulisan skenario berdasarkan novel. Harapan mendengarkan teman-teman kursus Pantau yang biasanya pintar mengajukan pertanyaan pintar. Kumatikan harapan belajarku kali ini.

Kumatikan pula harapanku untuk ketemu temanku Dinda, yang sudah confirm datang ke Pantau untuk sesi ini. Dinda, yang emailnya tentang kepastian waktu ngobrol bareng itu, membuat Mbak Fiqoh merasa perlu menyebarkan sebuah email reminder susulan kepada semua anggota mailinglist pantau.yahoogroups. Kumatikan harapan bertemu Mbak Fiqoh, untuk membayar 2 buku yang aku pesan, sekaligus menjelaskan rencanaku mengikuti kurus menulis intensif 2 minggu di bulan Januari nanti.

Dengan sedih kuingat kamera dan alat rekam yang sudah aku siapkan dengan seksama. Aku sedih mengingat buku “Di Balik Layar Laskar Pelangi” yang sengaja aku bawa, untuk minta tandatangan Riri Reza, buat Syarrifa (anakku) yang akan ulang tahun ke 8 tanggal 16 Desember minggu depan.

Tadinya aku berfikir tanda tangan Riri Reza dan sedikit guratan tangannya akan menjadi hadiah terindah buat Syarrifa yang hobi membaca. Dia sudah selesai membaca Balik Layar Laskar Pelangi sementara aku sendiri belum … hi hi hi malu nich

Lanjut Baca: Tulisan terakhir, berisi kabar gembira.

Gagal Ngobrol Bareng Riri Reza 3

Aku memacu mobil dengan santai, suatu kesempatan yang jarang aku dapatkan. Biasanya aku berkendara seperti merasa ada yang mengejar atau menunggu, membuat laju kendaraan tak aman bagi diriku maupun pengguna jalan lain. Kudendangkan lagu tak berjudul menikmati rasa nyaman itu. Senyum kurasakan mengembang di bibir. Pengaruhnya kurasakan melemaskan otot wajah, juga mengendorkan otot jantung. Perasannku begitu riang namun tenang. Kalau harus memacu kendaraan dalam kondisi telat, sementara kita tak tahu menahu keadaan jalan atau kepadatan arus kendaraan, rasanya tidak nyaman bukan? Sore itu, rasa tidak nyaman itu jauh dariku. Kulanjutkan berdendang … na na na na na na … kali ini lagu Sheila On7 kesukaan istriku.

Sekitar jam 5.30, aku melintasi perempatan Gaplek, perempatan yang mempertemukan arus kendaraan dari Ciputat, BSD, Patung, dan Lebak Bulus. Aku belok kanan ke arah Cirendeu – Lebak Bulus, kurang lebih 1 jam sejak aku berangkat dari kantor. Masih cukup banyak waktu. Aku bayangkan tidak lama lagi Aerioku akan segera melintasi kolong tol Lebak Bulus, belok kanan ke arah Pondok Indah, lalu Permata Hijau, dan berakhir di Pantau. Aku putuskan tidak akan lewat jalan pasar Kebayoran Lama. Sudah 3 bulan lebih aku tidak lewat jalan itu, aku tidak yakin seperti apa situasinya. Aku tak mau ambil resiko.

Sebuah truk mengerdipkan lampu depannya meminta kesempatan mendahului. Sudah dari tadi dia menguntit di belakangku. Nampaknya sopirnya sudah mulai tidak sabar melihat Aerio merah melaju santai. Aku mengurangi laju mobilku, menepi sedikit untuk memberi jalan. Monggo, kataku dalam hati, aku ikhlas disalip. Tidak ada rasa dongkol atau rasa negatif lainnya seperti dalam situasi yang biasa.

Priit .. prit .. prit .., suara sempritan seorang tukang parkir membuyarkan dendangku. Ada apa gerangan? Tak nampak sesuatu yang luar biasa. Seorang tukang parkir berusaha membantu sebuah mobil memasuki badan jalan. Namun sesaat kemudian, di depanku nampak antrean kendaraan cukup panjang. Ah … paling paling ada kemacetan dikit di perempatan setelah lapangan udara Pondok Cabe. Itu biasa …

Aku menunggu. Kendaraan belum pada bergerak. Aku sabar saja. Sepuluh menit berlalu. Tidak ada perubahan. Sudah duapuluh menit hanya beranjak kurang dari 10 meter. Aku mulai menengok kiri kanan mencoba mencari tahu apa yang terjadi. Tak ada satupun tanda-tanda yang bisa dibaca untuk mengetahui keadaan. Aku lirik jam, jam 5.50. Sebentar lagi jam 6. Dan aku masih di jalan Pondok Cabe, waktuku tinggal 1 jam. Hmm … aku mulai bertanya, apakah akan bisa sampai di Pantau tepat waktu?

Jam 6 kurang sedikit, azan Magrib lamat-lamat terdengar dari sebuah masjid yang tak tahu entah di mana. Antrean kendaraan bergerak sangat lambat. Aku mulai merasa kritis. Tak kubiarkan sebuah sedan Mitsubishi mendahului. Aku pepet kanan, tetapi dari kiri sebuah angkot mengambil kesempatan. Ah .. tak ada gunanya salip-salipan dalam kondisi jalan macet dan arus kendaraan dari arah berlawanan, Lebak Bulus, tak henti mengalir. Aku biarkan sedan mengambil jalan di depanku. Aku berusaha sabar menguntit. Diam-diam muncul penyesalan, mengapa aku tidak ambil jalan tol saja? Mengapa aku takut mengeluarkan duit tak sampai 20 ribu untuk membayar tol? Kalau aku lewat tol, barangkali jam 6 aku sudah berada di sekitar Pondok Indah Mall melaju santai menuju Kebayoran Lama. Ah .. andai saja …

Lanjut Baca: Gagal Ngobrol Bareng Riri Reza 4

Gagal Ngobrol Bareng Riri Reza 2

Good moment! Tanggal 9 Desember, aku dapati si bos tidak masuk kantor. Ini berarti tak perlu cari cari alasan untuk menjelaskan rencana kepulangan awal. Sebenarnya memang gak perlu perlu amat cari alasan karena ke Pantau ini bukan semata untuk keperluan pribadi, tapi untuk pengembangan diri. Aku yakin pelajaran dari Riri nantinya juga akan sangat berguna bagi kepentingan kantor. Kan mau dipakai buat bikin film di Nanggung.

Pagi pagi sekali, di rumah, aku periksa baterai alat perekam digital Philips punyaku. Dengan merekam, kupastikan tidak akan kehilangan satu katapun dari apa yang dikatakan Riri. Aku periksa Canon D400 yang selalu setia menemaniku kemana pergi. Siap pakai. Aku bayangkan dimana aku akan duduk, di kursi pojok sebelah kanan pintu masuk ruang kelas tempat kami belajar. Posisi terbaik untuk mendapatkan beberapa foto close up Riri, juga suasana ngobrol yang pastinya akan seru. Tak lupa aku siapkan baju kaos kesayanagnku, abu-abu bergaris biru yang berpenutup kepala. Kaos ini paling sering aku pakai kalau ke Pantau karena aku sering kedinginan karena AC, atau karena kehabisan energi saking serunya diskusi atau konsentrasi berlebih memahami slide presentasi pembimbing kami, Andreas Harsono.

Jam 4 sore, aku sudah matikan Dell Latitude D420, laptop kerja yang baru beberapa minggu lalu aku peroleh. Laptop ini sudah bekas. Seorang staf senior di kantorku baru beli laptop yang lebih canggih. Aku dapat lungsuran. Bagiku gak mengapa, sudah lebih dari cukup. Lagipula karena bentuknya yang kecil, tipis, dan enteng, can’t ask no more man! Sudah puas banget! :D

Selesai memasukkan laptop dan berbagai peralatan lain ke tas, aku beranjak ke musholla – sholat Ashar memohon doa semoga semua berjalan lancar, selamat di jalan. (Sounds like a taat wise guy yach he he.)

Jam 4.20 aku keluar gerbang kantor yang dijaga 4 satpam berpakaian biru gelap. Dua orang bertugas buka tutup portal penghalang, seorang mencatat nomor kendaraan yang keluar masuk, dan seorang lagi ada di dalam pos duduk depan komputer. Kantorku berada di dalam komplek seluas 20 hektar milik Pusat Penelitian Kehutanan Internasional atau CIFOR. Penjagaan biasanya juga diperketat bila ada isu bom.

Kulirik jam mobil, pukul 4.34 saat aku melewati jembatan setelah terminal Bubulak menuju menuju kompleks Perumahan Yasmin Bogor. Cukup waktu, sekitar 2.5 jam, begitu gumanku dalam hati. Tidak perlu tergesa. Biasanya aku perlu waktu 2 jam sampai di Pantau saat kursus dulu. Jadi aku amat yakin hari ini aku akan tiba bahkan mendahului teman-teman yang lain. Akan ada kesempatan godain Mbak Fiqoh atau berkenalan dengan teman-teman kursus menulis dari angkatan lain.

Di perempatan Yasmin, aku belok kiri masuk ke jalan Raya Semplak yang aspalnya sudah makin penuh dengan borok bahkan lubang dalam, terutama di depan komplek perumahan angkatan udara Atang Senjaya. Aku pilih ke Jakarta lewat jalan raya Parung-Bogor karena pertimbangan jarak. Bensin mepet. Duit cekak. Lagipula sayang kalau harus bayar tol, :D perhitungan amat ya …

Pertimbangan yang mulanya aku anggap bijaksana ini, karena ada unsur penghematan di dalamnya, nantinya akan menjadi sesuatu yang terpaksa aku bayar mahal! Mahal sekaliii ...

Lanjut baca: Gagal Ngobrol Bareng Riri Reza 3

Thursday 11 December 2008

Gagal Ngobrol Bareng Riri Reza 1

Khawatir tidak kebagian tempat kalau telat konfirmasi, aku langsung membalas email dari Mbak Fiqoh, …ikuuut ….. Peserta terbatas: cuma 8 orang! Begitu kira-kira pesan dalam email undangan menghadiri sesi ngobrol bareng Riri Reza yang akan diadakan jam 19.00 – 21.00 tanggal 9 Desember 2008, di kantor Yayasan Pantau di Kebayoran Lama. Mbak Fiqoh adalah panggilan akrab Siti Nurrofiqoh, staf Pantau yang aktif menulis cerita perjuangan buruh Tangerang.

Adalah kesempatan langka bisa ngobrol dekat dengan Riri, sang sutradara terkenal berambut awut-awutan, yang baru saja sukses lewat film Laskar Pelangi. Aku berguman, “Lengkap sudah!” Setelah membaca buku Laskar Pelangi, menonton filmnya, lalu membaca buku ‘Di Balik Layar Laskar Pelangi’, tentu saja akan sangat sempurna bila cerita ditutup dengan sebuah obrolan langsung dengan orang yang paling bertanggung jawab atas keberhasilan film yang dipuji banyak kalangan.

Aku sendiri sedang meyiapkan konsep liputan untuk acara DAAI TV. Jangan salah, aku bukan staf TV yang membawa pesan cinta kasih tersebut, tetapi aku memang sedang merintis kerjasama dengannya untuk mengenalkan konsep-konsep agroforestri yang merupakan subyek penelitian lembagaku, the World Agroforestry Centre (ICRAF-SEA). DAAI TV berencana mengunjungi lokasi penelitian kami di Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, untuk pengambilan gambar.

Akan sangat berguna bila aku bisa mendengarkan tips dan trick pembuatan film langsung dari Riri untuk bisa aku aplikasikan dalam shooting yang kami rencanakan akhir Desember ini. Pengalaman membuat video program penelitian 2 tahun silam menunjukkan kepadaku keasyikan membuat film, mulai dari merancang konsep, membuat script, membuat story board, mengatur pengambilan gambar, dan editing sekaligus memilih ilustrasi musik. Aku sangat mengharapkan sesi ini ...

Segera aku set alarm pengingat di HP Nokia bututku. Aku tentukan tanggal 8 Desember jam 10 pagi, tanggal 9 Desember jam 10 pagi dan jam 13 siang. Semuanya berisi pesan pengingat tentang sesi ngobrol di Pantau. Aku tidak ingin terlupa. Segera kuceritakan rencana bertemu langsung dengan Riri Reza ke kedua anakku, Syarrifa dan Ayasha, yang sampai saat ini masih ingin nonton Laskar Pelangi untuk yang kedua kalinya. Syarrifa sendiri sudah menyelesaikan buku tulisan Andrea Hirata sekaligus buku Di Balik Layar Laskar Pelangi. Dia senang sekali bapaknya akan ketemu dengan orang yang dia kenal hanya lewat tulisan, gambar, dan layar TV.

Jauh-jauh hari, aku sudah siapkan alasan untuk bisa pulang lebih awal dari kantor. Paling tidak, aku perlu sekitar 2 jam untuk sampai di Pantau dengan mobil dari kantorku di Bogor Barat. Aku tahu persis karena pada bulan Mei sampai Agustus lalu, setiap hari Selasa sore aku berangkat dari Bogor ke Pantau untuk ikut Kursus Jurnalisme Sastrawi IV.

Lanjut baca: Gagal Ngobrol Bareng Riri Reza 2

Monday 1 December 2008

Tiga Nasehat Penuntun

Sekurangnya ada tiga hal yang beberapa waktu terakhir ini sering aku jadikan penuntun, terutama di tempat kerja.

Yang pertama: "Work smart, not hard! We appreciate hard work, but we pay for results!"

Kata-kata bijak tersebut diungkapkan Linus Kabhuta, seorang teman dari ICRAF Nairobi, sesaat setelah mobil yang kami tumpangi keluar pintu tol Ancol dalam perjalanan menuju Mangga Dua. Linus, bekerja di bagian finance, sedang berada di Indonesia dalam kunjungannya ke kampus CIFOR - ICRAF Bogor bulan September lalu.

Seperti yang dikatakan Linus, nasehat tersebut bukanlah asli darinya, tetapi dari seorang CEO yang diangkat untuk mengembalikan kejayaan KODAK beberapa waktu lalu. Linus bercerita, CEO itu berhasil.

Seringkali, seorang karyawan bekerja melebihi jam kerja yang seharusnya. Ia ingin menunjukkan betapa keras ia bekerja. Mengikuti nasehat bijak CEO di atas, seharusnya hal tersebut tidak perlu terjadi bila ia dapat bekerja secara efektif dan efisien (smart). Lagipula, bila bekerja lebih lama sang karyawan akan kekurangan waktu untuk berbagai aktifitas lain di luar tempat kerja, baik sebagai anggota masyarakat maupun sebagai bagian dari keluarganya.

Work for results berarti bekerja dengan target untuk mewujudkan hasil. Intinya bekerja harus menghasilkan sesuatu. Hasil kerja bisa berarti penjualan yang meningkat, jumlah artikel yang berhasil ditulis dalam satu minggu, seminar terselenggara dengan baik, terselesaikannya laporan perjalanan, atau diterbitkannya sebuah buku. Pendek kata, ada sesuatu yang dapat dijadikan bukti sebagai hasil kerja (outputs). Untuk apa bekerja bila tidak menghasilkan sesuatu? Itulah yang disebut "we pay for results - kami membayar anda untuk apa yang anda hasilkan.' Percayalah, walaupun (kelihatan) bekerja keras tetapi hasil tidak ada, anda sendiri yang akan merasakan akibatnya.

Berpegang pada nasehat tersebut, aku mencoba merancang apa yang dapat aku selesaikan dalam suatu rentang waktu (misal seminggu), lalu mengingat-ingat semua target tersebut, dan tentu saja pada akhir minggu dapat menunjukkan hasil kerjaku pada supervisor. Dengan cara ini, aku merasa berguna dan tentu saja hatiku menjadi senang.

Nasehat kedua aku dengar dari seorang pembicara dalam diskusi radio beberapa waktu lalu. Walaupun aku lupa nama si pembicara, juga radio yang menyiarkannya, nasehat itu tetap melekat dalam ingatanku: tentang pain motivator.

Tanyakan pada diri apa akibat terburuk bila menunda atau tidak segera menyelesaikan suatu pekerjaan. Selain akan membuat kewalahan karena pekerjaan lain akan terus berdatangan, tentu saja dampak terburuk adalah hilangnya kepercayaan supervisor yang dapat berujung pemutusan hubungan kerja.

Siapa yang tidak takut pada PHK? Apalagi di tengah situasi perekonomian dunia yang kata orang sedang tidak sehat? Ingatlah kemungkinan anda di-PHK. Jadikan PHK sebagai pain motivator.

Pain motivator disarankan si pembicara radio karena ternyata dapat merangsang munculnya semangat kerja, sama halnya dengan sistem kekebalan tubuh yang akan berusaha melindungi tubuh bila terserang penyakit.

Dalam keseharian di tempat kerja, aku berusaha ingat nasehat ini, terutama bila sedang kehilangan semangat/gairah kerja. Ajaib! Tiba-tiba saja energi baru terasa muncul. Siapa sih yang tak takut PHK? :D

Beberapa jam yang lalu, aku ke tukang pijat. Sudah 3 minggu ini pergelangan kaki kananku bengkak di atas mata kaki karena keseleo saat main futsal. Aku mulai merindukan lari dan teriak lepas membuang stres dengan bermain futsal 2 kali seminggu tiap Selasa Kamis di indoor stadium di kantorku. Berharap kesembuhan, aku nekat menerobos hujan rintik-rintik bersama Kawasaki ZX, motor andalanku.

Di rumah tukang pijat inilah nasehat ketiga aku dapatkan, sebuah nasehat yang aku fikir sangat cocok diterapkan dalam menjalani hidup. Sambil dipijat, aku menonton acara MTGW, Mario Teguh Golden Ways, yang ditayangkan Metro TV. Beberapa waktu lalu, aku pernah ikut seminar MT di Jakarta, tetapi apa yang dikatakannya dalam acara TV tadi betul-betul menggugah.

Menjawab seorang penanya tentang cara menghormati seseorang yang tidak pantas dihormati, MT menjawab dengan perumpamaan seorang pendekar yang minum air dari gelas kosong. Sang pendekar mengangkat gelas kosong dan terdengarlah suara gemericik air tertuang membasahi kerongkongannya yang haus.

MT berkata, "Hanya pendekar besar yang bisa melakukan keajaiban seperti itu. Hanya pendekar besar yang bisa menghormati orang yang sesungguhnya tidak patut dihormati."