Friday 19 August 2016

Facebook. Tolol. Salah Sendiri

"Mas, komen lo gk penting amat, apa hubungan dengan Opa Ferguson, ha ha ha .. Tolol!" kata seorang pemilik akun tak punya wajah (blank) menanggapi komentarku yang mengomentari sebuah status di sebuah grup Facebook.

Kemarin, saat aku tulis komentar, aku sudah menduga akan ada kemungkinan salah tafsir dan salah duga atau salah tanggap tentang apa yang aku tulis.

Bagaimana tidak, aku sedang menggunakan bahasa dan jenis guyonan yang selama ini dianggap biasa saja, bahkan dinikmati, di grup Facebook lain yang aku ikuti.

Aku paksakan tetap nulis dengan tujuan membuktikan asumsi bahwa akan ada yang menanggapi 'beda.' Dan aku benar.

Hari ini terbukti. Seorang komentator, entah siapa, aku gak kenal, menulis komentar seperti dalam awal tulisan ini. Dalam pandanganku, komentar di atas sangat melukai dan tak sopan.

***

Begitulah Facebook atau media sosial lainnya. Sebuah media yang menggabungkan berjuta orang dengan berjuta latar belakang, berjuta kondisi fisik dan kejiwaan, berjuta minat, dan berjuta-juta perbedaan lainnya. Semua dikumpulkan jadi satu dalam forum status Facebook.

Apa nggak runyam kalau demikian? Tentu saja iya, apalagi bila dalam menulis status atau komentar kita tak berhati-hati atau tak ingat bahwa kita sedang muncul dalam suatu medan belantara dengan riuh rendah perbedaan dengan dengan kemungkinan adanya multi-tafsir yang sangat-sangat multi. Hahaha.

Hati-hati dalam menulis status atau komentar bila tak ingin repot.

***

Untung aku sedang bijaksana. Komentar di atas aku jawab dengan santun, minta maaf atas tidak perkenannya. Aku jelaskan bahwa aku sedang guyon. Dia menanggapi positif.

Tentu jawaban komentator tadi beda bila aku jawab, "Ah elo .. kayak kurang pikinik saja."

Pasar. Passion. Langganan

Kadang aku tak berselera menawar. Berapapaun harga yang disebutkan pedagang, sejumlah itu pula yang aku berikan. Tak ada minat. tak ada tenaga. Bayar lalu pergi. Tak peduli berapapun harganya.

Hari ini pun begitu. Aku beli pisang kepok, di Pasar Damar. Kukeluarkan duit, 12 ribu. Si ibu pedagang, aku sering beli padanya, memberikan satu sisir. Aku tak tertarik bersendagurau seperti biasanya. Pisang berpindah tangan. Aku berlalu. Tak ada passion.

Waktu beli sawi sendok, aku merasa tenaga cuma cukup buat ambil seikat. Aku kasikan duit 10 ribu kepada si mas pedagang, juga langganan, lalu nunggu kembalian.

Dia menyapa, 'Kok cuma satu ikat?" Aku jawab, "Ngapain beli dua ikat?" sambil berlalu setelah menerima kembalian. Tak tertarik obral obrol.

Kadang ke pasar seperti itu. Mungkin karena terdorong ingin cepat kembali ke rumah. Toh belanjaan tak banyak. Hari ini aku cuma beli pisang kepok, persiapan ada teman mau datang nanti sore, lalu sawi sendok dan nanas buat bikin jus detox usus, plus kantong plastik sampah harga 5 ribu dan sebendel plastik buat bungkus sambal atau mayonaise bekal anak-anak sekolah.

Oh iya, tadi aku juga beli bawang putih, Seperapat. Aku kasi 10 ribu. Aku agak kaget ketika si ibu pedagang, bukan langganan, mengembalikan 2 ribu. Aku tak menduga bawang putih 'rasanya' mahal. Tapi aku tidak peduli. Sedang tidak peduli. Berapapun harga, aku bayar. Pingin cepat berlalu. Di rumah sepertinya ada banyak bacaan sdang menunggu.

Proses beli semua itu cuma makan waktu tak lebih 10 menit. Tak pakai milih-milih. Tempat beli juga sudah kebayang. Sebagian adalah langganan. Prosesnya cepat. Apalagi lagi tak ada minat berlama-lama.

Hari ini belanja tanpa passion.

Di hari lain, aku kadang nyinyir dengan harga. Tetap lebih suka beli di langganan, tetapi aku akan tawar sampai detail, terutama bila beli pisang kepok. Entah kenapa. Tetapi aku merasa bila tak menawar, si ibu langganan itu suka kasi harga tinggi. Hehehe.

Wah aku jadi ingat. Perlu diceritakan di sini, Bahwa ternyata aku beli kebutuhan dapur di pedagang yang itu-itu saja. Di pasar Damar dekat rumah, aku punya sekitar 5 atau 6 pedagang 'langganan.'

Beli sayur kangkung, tomat, wortel, brokoli, dan pisang susu di mas pedagang. Aku tak pernah tahu namanya. Tetapi aku rasa dia selalu kasi harga murah. The best pedagang.

Beli pisang kepok di ibu tua yang aku ceritakan di atas. Dia suka pakai kain penutup rambut, bukan jilbab. Tadi waktu aku bilang tak ada pisang yang bagus, dia menimpali begini, "Pisang gak bagus, tapi yang beli bagus." Seneng juga rasanya dipuji. Walau aku tahu, aku sudah tak mandi 2 hari, sikat gigi terakhir baru semalam saja, hahaha, pakai pakaian awut-awutan dan kumis cambang tak disentuh cukuran selama 4 hari terakhir.

Untuk buah, aku tak begitu suka ketiga pedagang tempat aku TERPAKSA beli. Yang satu tak banyak bicara. Terkesan angkuh. Yang satu banyak bicara. Tetapi suka kasi harga mahal. Nanas 3 ribu dia jual ke aku 5 ribu. Karena aku tak tahu, aku bayar juga. Setelah tahu, aku putuskan tak akan pernah beli lagi ke dia. Satu lagi, pedagang buah, ibu jilbab di pojok pintu masuk pasar. Dia tak banyak bicara, tetapi juga tak diam-diam amat. Suka senyum, tetapi aku merasa dia pelit. Secara khusus, aku belum punya preference untuk tempat beli buah.

Untuk ikan, aku suka beli ke ibu yang dari dandanannya, aku fikir dia bukan muslim. Rasanya dia tak ada sifat tipu-tipu. Aku lebih nyaman beli padanya ketimbang ibu-ibu pedagang ikan lainnya. Ada satu pedagang ikan asap. Entah kenapa, aku selalu janji pada diriku untuk tidak akan beli padanya. Tetapi sesekali kalo aku perlu, aku selalu mampir padanya. Beli cepat-cepat. Tak pingin mengenalnya. Aku tak begitu nyaman dengannya. Tapi mebngapa selalu beli padanya? Padahal di sampingnya ada pedagang ikan asap lain. Hmm. Ntar aku pikir kenapa.

Ayam? Ada seorang ibu yang paling bagus kualitas jualannya di antara para pedagang ayam lainnya. Kadang aku juga beli daging sapi sama dia. Suaminya di sebelah yang jualan.

Apa lagi yaa? Plastik .. iya .. aku suka beli hanya ke toko yang satu itu. Tak ke tempat lain. Kerupuk, aku ada langganan, tetapi nampaknya si ibu muda itu agak genit. Suka mainan android. Kalau tak terpaksa, aku tak beli padanya.

Oh iya, beras. Aku ada langgaan baru. Berasnya cocok. Harum dan segar. Sebenarnya sebelumnya aku beli di pedagang lain berjarak 3 toko. Tetapi entah kenapa aku lama-lama gak nyaman sama pedagang sebelumnya. Setiap aku lewat di depannya, atau agak jauh dan dia melihat, dia selalu menyapa, "Bos mau beli apa." Aku merasa risih. Lama-lama aku tak beli beras dan telur sama dia. Aku beli di langganan baru saja. Tentu dengan sembunyi-sembunyi, supaya dia tak melihat aku beli tidak di tempatnya.

Hehehe .. nulis apa ini .. Wkwkwkw .. Namanya saja nulis apa-apa yang terlintas.

Kopi dan Pisang Goreng

Hidup nikmat yang masih belum aku rasakan membosankan adalah hidup yang dimulai dengan segelas kopi dan sepiring pisang goreng. Tetapi ada syaratnya lho .. Dibikinkan oleh Bi Sar .. Hehehe

Beda lho kalau bikin sendiri. Pertama rasa (terutama) pisang goreng tak dijamin enak kalau aku bikin sendiri. Kalau kopi sih tak masalah. Dan, ini alasan yang kedua, saat menunggu kopi dan pisang goreng siap, aku bisa ngetik blog seperti yang aku lakukan saat ini. Sedap bukan?

Hidup yang nikmat adalah yang setelah kopi dan pisang goreng siap, lalu dilanjutkan dengan memulai mencicil pekerjaan. Pekerjaan apa? Pekerjaan yang jelas (bukan tak jelas), artinya yang aku tahu apa yang harus aku kerjakan, aku punya gambaran mana yang akan aku kerjakan terlebih dahulu, dan yang paling penting aku senang melakukannya. Di sini pekerjaan bukan selalu berarti ada duitnya, karena sebagian besar pekerjaanku saat ini adalah tak menghasilkan duit. Hahahaha.

Ambil contoh, revitalisasi website Mukena Indonesia, kegiatan sosial cuci muekan gratis yang selama 6 tahun terakhir ini aku komandoi. Aku paham apa yang aku butuhkan untuk mengerjakan website tersebut. Teks apa yang aku perlukan. Image apa yang aku akan pakai. Struktur web seperti apa yang aku inginkan. Semuanya jelas. Asyik mengerjakan semuanya. Cuma memamng butuh waktu dan kesabaran saja. Kadang kalo lagi 'gak sehat' ya kerjaannya tak maju-maju.

Contoh lain adalah mempelajari semua dokumen yang bisa aku kumpulkan, online maupun offline, tentang sebuah hal yang aku tertantang untuk menguasainya. Aku pelajari semua hal terkait. Aku baca semua yang bisa aku baca. Lalu aku susun rencana bagaimana aku akan mengerjakan semua tugas terkait, aku rancang presentasi untuk menjelaskan apa yang ingin aku jelaskan. Semuanya asyik. Bisa nambah ilmu baru. dan berharap pekerjaan tersebut suatu saat akan mendatangkan uang.

Aku juga sedang berencana nulis buku. Bagaimana aku akan menulisnya sudah terancang dalam benak. Aku merasa bisa mengerjakannya. Cuma belum mulai aja kok. Hehehe.

Hidup ini nikmat. Bila mengerjakan hal-hal yang kita suka, mengerjakan apa yang kita bisa, mengerjakannya tanpa merasa ada yang kejar-kejar, dan tentu saja bila dimulai dengan atau sambil menikmati kopi dan pisang goreng.

BTW: ternyata pisang goreng tak ada pagi ini. Pisangnya belum beli ..

Kaboorrr ke pasar bentar aahhh ...

Wednesday 17 August 2016

Hidup itu Memilih

Aku yakin tak ada seorangpun suka hidup menderita, jiwa tertekan, langkah tak bebas, badan diikat banyak hal yang melilit.

Dikejar deadline itu, apapun jenisnya, tidak menyenangkan. Kalau salah menyikapi, bisa bikin serangan jantung.

Tenggat pekerjaan. Harus jadi besok untuk presentasi di depan tim yang memberi pekerjaan. Sementara itu, teman yang diharap menyediakan bahan presentasi tidak kunjung muncul. Tidur jadi tak jenak. Bangun juga tak tahu apa yang dikerjakan. Itu tak menyenangkan.

Bagaimana dengan lilitan hutang? Sama saja.

Aku ada teman yang setiap akhir minggu 'menderita' karena kewajiban membayar para tukang yang mengerjakan proyek konstruksinya. Bersama teman ini, aku juga terlilit hutang di sebuah koperasi, gak dink, gak cuma satu, tapi BEBERAPA ... hahaha .. apa gak bikin kepala pening bila tiap akhir bulan ditelpon bahkan didatangi penagih hutang? Hidup terasa berjalan di jalan tol. Tak aman, Tiap saat bisa disambar mobil yang lari kencang.

Alangkah indahnya hidup bebas. Tak ada yang kejar-kejar. Tak ada yang memerintah. Tak ada yang menyalahkan. Tak ada yang memarahi atau memaki. Tak ada rasa takut. Tak ada rasa khawatir. Desau angin terasa nyaman di pendengaran. Semilir udara sejuk pegunungan terasa nikmat hingga ke rongga dada. Adem tenterem. Terpaan mentari terasa hangat di kulit. Semua enak.

Sayangnya, hidup tak selalu enak. Tak selalu bebas.

Sayangnya lagi, enak atau tidak, bebas atau tidak, nyaman atau tidak, ternyata pilihan diri sendiri.

Kita sendiri kok yang memilih berhutang. Coba dulu tidak meneken kontrak kredit dengan debitur.

Kita sendiri kok yang memilih mengambil pekerjaan yang tidak kita kuasai, yang kemudian harus tergantung pada orang lain, lalu muring-muring saat teman yang diharap tak bisa diharapkan.

Kita sendiri kok yang memilih jalan berduri.

Kita sendiri kok memilih berteman dengan orang-orang yang selalu berfikiran negatif.

Kita sendiri kok yang memilih semua itu.

Mengapa kita tidak pilih hidup tanpa hutang? Sehingga tak harus menderita dikejar penagih?

Mengapa kita tidak pilih jalan halus? Mengapa harus pilih jalan terjal?

Mengapa kita tak pilih hidup secukupnya, supaya tak harus susah payah memenuhi kebutuhan hidup neko-neko?

Mengapa kita tak pilih baca buku-buku yang mengajarkan kesejukan? Supaya hati tenang dan tenteram?

Hidup ternyata memilih. Memilih tenang atau tidak tenang. Terserah masing-masing deh.

Tuesday 2 August 2016

Jakarta oh Jakarta

Aku selalu suka perjalanan ke Jakarta yang tak lama-lama. Artinya, kalau bisa .. datang pagi, selesaikan tugas, lalu sore atau malam balik ke Semarang. Pola seperti itu yang beberapa kali terakhir aku alami. Entah kenapa, tetapi Jakarta tak lagi (atau belum lagi) bisa bikin aku nyaman.

Tak nyaman seperti apa?

Mungkin karena di Jakarta aku sudah tak punya engagement - keterikatan dengan seseorang, sekelompok orang, suatu organisasi, program, atau apa saja, sebuah keterikatan yang bersifat rutin, sehari-hari, dalam bentuk pekerjaan permanen.

Jadi, ke Jakarta itu seperti pergi ke kota asing. Sekedar untuk menyelesaikan suatu misi. Sesudah misi berakhir, tak ada lagi yang ditunggu. Pulang ke Semarang adalah pilihan terbaik.

Mungkin karena aku selalu tak punya uang lebih bila ke Jakarta. Hanya cukup ongkos dan bekal sekali dua kali makan. Ada ketakutan bila aku berlama-lama di Jakarta, aku tak akan bisa makan. Tak ada teman tempat mampir makan. Saudara jauuh di bagian selatan kota, padahal seringkali aktifitas yang aku tuju adanya di bagian tengah atau utara. Pulang ke Semarang adalah jaminan sampai di rumah dan ada nasi di mejikjer.

Itu mungkin satu dua alasan mengapa aku tak bisa atau tepatnya prefer not to berlama-lama di Jakarta. Eh . jadi ingat, mungkin salah satu alasan lain adalah karena dua bontotku, dua cewek ABG Ifa dan Aya, adanya di Semarang. Tak jenak meninggalkan mereka berlama-lama, tak ada yang urus makan dan antar jemput sekolah mereka. I don't feel comfortable to be far from home.

Entahlah. Tapi memang yang aku ingat, beberapa perjalanan terakhir ke Jakarta, aku hanya habiskan waktu tak lebih dari 12 jam.

Contoh terakhir, beberapa minggu lalu, aku tiba di Jakarta, di Terminal Bis Rawamangun sekitar jam 4.30 pagi. Kali ini aku naik bis karena paling murah dibanding kereta apalagi pesawat.

Setelah sholat subuh di masjid samping terminal, aku naik taksi ke Komplek Duta Merlin. Sesampai di sana, tentu saja kantor yang aku tuju belum buka. Maka aku habiskan waktu berkeha-leha baca buku di musholla pojok parkiran komplek perkantoran terkenal ini.

Jam 8 pagi aku masuk ke kantor yang dituju. Urusan selesai tak lebih dari 15 menit. Lalu aku naik ojek ke Gambir. Tujuan mau ke airport pakai DAMRI. Biar hemaaat. Hehe. Karena masih banyak waktu, pesawat ke Surabaya jam 2.40, aku ngopi dulu di Dunkin, tempat aku HAMPIR SELALU mampir bila lewat Gambir.

Selesai ngopi, aku naik bus khusus ke airport dengan ongkos (hmm.. berapa yaa) mungkin 30 ribu. Iih aku lupa berapa hehehe. Sejam kemudian sampai di airport. Nunggu pesawat. Dan terbang ke Surabaya.

Tak sampai 12 jam di Jakarta, bukan? Selepas Jakarta (batasnya, pesawat mengudara), aku merasa nyaman .. Iya SELEPAS .. seperti terlepas dari sesuatu yang mengikat. Ah .. tak tahulah ..

Rizki Tak Selalu Berbentuk uang

"Alhamdulillah. Inilah rizki," kata Pak Cipto sembari menyeruput teh hangat manisnya.

"Makan tak berpantang adalah salah satu bentuk rizki,'" lanjut Pak Cipto sambil meraih toples kerupuk, mengambil satu rempeyek dan menikmatinya.

Pagi menjelang siang. Aku dan Pak Cipto, teman di Blazer Indonesia Club - Semarang, sedang berada di sebuah warung soto di jalan Wolter Monginsidi.

Beberapa saat sebelumnya Pak Cipto hampiri aku di bengkel langganan kami, Mas Adi Zero, di jalan Arteri Soekarno Hatta. Mobilku sedang diperbaiki.

Per telpon sebelumnya, aku janji akan ke rumah Pak Cipto di Tanah Mas, buat ngobrol ngopi-ngopi. Tetapi karena mobilku ternyata perlu waktu lama untuk pasang kembali dinamo starter yang baru saja diperbaiki (ganti laher dan merapikan yang tak rapi), Pak Cipto menawarkan dia yang datang. Dia datang bawa X-Trail hitamnya yang nyaman.

***

Kami duduk berhadapan di salah satu dari dua meja yang tersedia di warung soto. Ada tulisan garang asem. Tetapi kata si ibu pemilik warung, garang asem sudah habis.

"Hari ini cuma bikin sepuluh porsi, dan sudah diborong oleh salah satu langganan," jelas pemilik warung yang nampaknya senang obrol dengan pelanggannya. Ada juga lho pemilik warung yang tak bersuara sedikitpun sampai pelanggan pergi setelah bayar makan.

Aku dan Pak Cipto lalu pesan soto.

Aku lupa bilang pisah, artinya nasi dan soto disajikan dalam dua mangkuk berbeda. Tapi tak apa. Kami menikmati soto sampai sendok terakhir lalu pesan satu tambahan teh hangat manis. Manis lho ..

Beberapa teman kami sudah tak minum teh manis.

Kalau pesan makan di warung, mereka akan bilang, "Teh tawar." Kuatir sakit ini dan itu gara-gara kabanyakan gula.

Jadi, cukup beralasan bila Pak Cipto bilang kami harus bersyukur atas rizki yang dilimpahkan Tuhan hari ini, makan tak harus berpantang, dan masih tak masalah dengan teh manis. :D

Begitulah rizki. Ada banyak bentuk rizki bila kita mampu melihatnya. Tak harus dalam bentuk uang.

"Bahkan kesempatan bertemu inipun juga adalah rizki," kata Pak Cipto.

Iya .. Sudah beberapa bulan bahkan sebelum puasa Juli lalu, kami belum pernah ketemu fisik. Ketemunya hanya virtual, di group WhatsApp.

Terimakasih Ya Allah. Sudah mengingatkan akan berbagai rizki dariMu.

Monday 25 July 2016

Pingin Jalan-Jalan Naik Kapal

Aku pingin jalan-jalan. Kali ini sepertinya akan pakai kapal laut. Mestinya naik kapal laut bisa lebih menarik karena merupakan pengalaman jarang-jarang.

Naik bis malam sudah biasa. Kereta dan pesawat juga. Sudah tak menarik. Malah kadang takut. Kecelakaan bis sering terjadi. Masalah pesawat terbang seperti mengintai, apalagi mendengar bahwa rating keamanan perusahaan penerbangan tanah air tak ada yang bagus. Naik bisa tak tenang. Pesawat bikin deg-degan. Kereta masih lebih baik. Tapi kadang bosan.

Aku pingin jalan-jalan pakai kapal laut ke pulau pulau yang tak terjangkau layanan kereta api dari Jawa seperti Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, dll.

Pengalamanku naik kapal (kalau ferry bisa disebut kapal) hanya sekitar Jawa-Bali-Lombok. Lewat Ketapang - Gilimanuk atau Padang Bai - Lembar bolak balik, sudah lama banget, lebih dari 20 tahun lalu ketika masih mahasiswa di Jogja dan kalau mau pulang ke Lombok.

Pernah sih .. sekitar dua atau tiga tahun lalu nyebrang pakai ferry ke Bali. Rasanya memang agak beda (walau tak beda jauh) dengan apa yang tersimpan di memoriku tentang proses penyeberangan ferry, turun naik bis malam, berdiri di geladak, suara musik dangdut yang diputar keras di kabin penumpang, lalu aroma pop mie dan kopi yang dipesan penumpang, juga kebosanan dan tak kepedulian awak ferry (mereka nyebrangkan orang bolak balik tiap hari - mungkin capek juga), lalu kerasnya pluit kapal, riak air selat, dan tentunya matahari terbit plus hangat sinarnya menerpa kulit.

Aku ingin jalan jalan naik kapal. Iya .. kapal beneran. Bukan ferry penyeberangan. Mestinya nuansa dan rasanya berbeda. Di kapal jarak jauh pasti lebih banyak orang. Lebih banyak polah tingkah manusia yang bisa dilihat. Lebih banyak hal terkait administrasi dan pengaturan persiapan keberangkatan dan kedatangan plus kesibukan di dalam kapal yang bisa diamati. Sepertinya dinamikanya banyak.

Mungkin akan menarik berangkat dari Tanjung Emas Semarang ke salah satu pelabuhan di Kalimantan, nginap semalam, jalan-jalan pakai motor keliling kota seharian, lalu pulang lagi ke Semarang. Pakai kapal lagi. Kalau bisa pakai kapal lain. Supaya pengalamannya beragam.

Banyak pelabuhan di Sulawesi atau pulau-pulau di sekitaran Maluku. Bahkan di Papua dan Nusa Tenggara yang juga bisa disinggahi. Banyak lagi di Sumatera.

Melihat pelabuhan dan kita atau desa sekitar pelabuhan adalah hal yang menyenangkan. Bisa mengamati perilaku orang, cara berpakaian, arsitektur rumah atau bangunan lain. Model angkutan kota juga pasti beragam. Bisa mendengar suara mereka berbahasa Indonesia atau bahasa lokal, mencermati apa yang mereka obrolkan. Bisa membaui pasar, mencoba kopi warung, dll. Banyak hal menarik bisa dilakukan.

Mengapa harus pakai kapal? Selain karena alasan-alasan di atas, mungkin karena harga tiket relatif masih murah. Mungkin cukup sekitar 1 juta saja sudah bisa pergi pulang, nginap di losmen seadanya, makan murah, sewa motor buat keliling kemana saja. Keinginan jalan-jalan ke tempat-tempat yang belum pernah disinggahi bisa tercapai.

Thursday 14 July 2016

Yuk Berhemat

Selesai mengosongkan kandung kemih, dengan perasaan lega aku tekan tombol guyuran air di bagian atas peturasan porselen. Byuuuuuuuurrr .. Air mengalir keluar. Banyak sekali. Iya, banyak sekali. Bahkan mungkin terlalu berlebihan buat sekedar menggelontor sedikit sisa air kencing di lubang peturasan.

Aku kaget. Tak menduga air keluar sebanyak itu. Tetapi ku akui, ada rasa senang. Senang lihat air banyak. Bukankah air banyak bisa membersihkan bekas kencing dengan tuntas? Hasilnya memang beda. Peturasan kempling. Udara ruangan relatif lebih segar. Beda jauuh dengan aroma tempat kencing di pom bensin atau masjid sekalipun.

Aku bergeser ke wastafel. Mau cuci tangan. Kaget kedua muncul. Biasanya kalau buka keran, air mengalir malas. Tapi di sini, air keluar deras sekali. Tak berhenti kalau aku tidak buru-buru menurunkan tuas keran. Air tersedia tak terbatas. Luar biasa. Lokasi: sebuah hotel berbintang di kawasan Solo Baru, Surakarta, Jawa Tengah.

Di airport atau di pusat-pusat perbelanjaan, aku sering temukan keran air model ditekan baru keluar air. Sesaat kemudian berhenti otomatis. Jumlah air yang keluar tak banyak. Tak memuaskan. Kadang sampai ada yang merasa perlu menekan keran beberapa kali untuk mengumpulkan lebih banyak air. Di sini, di hotel ini, air keluar seperti langsung dari sumber air dengan persediaan tak terbatas.

Aku merasa berdosa.

Mungkin kalau air bersih sebanyak itu adanya di mata air di kaki gunung atau di hulu sungai, aku tak seberapa kepikiran. Ini adanya di kota besar. Dari mana air bersih sebanyak itu? Mungkin dari Bengawan Solo? Bisa jadi. Tetapi untuk mengalirkannya ke hotel, pasti butuh pipa sangat panjang. Kalaupun pakai air PDAM, seberapa banyak debitnya? Bukankah PDAM juga perlu mengolah air sungai sedemikian rupa (dan biaya pasti mahal untuk menghasilkan air sebersih ini) untuk kemudian mengalirkannya ke hotel?

Aku merasa boros.

Aku ingat dulu sekitar 15 tahun lalu, aku berkunjung ke rumah teman di sebuah desa di Gunung Kidul - Yogyakarta yang terkenal sebagai daerah kurang air. Untuk wudlu, kami pakai air gentong dengan lubang keran sebesar pensil. Air mengalir sanat pelan. Dan sangat sedikit. Tetapi toh kami bisa wudlu dan tetap sah untuk sholat.

Dulu aku bilang pada diri, temanku ini pelit sekali. Bahkan mungkin karena pelit (atau hematnya itu) kemudian dia bisa nabung dan bikin rumah besar? Hahaha. Pelit atau bukan, temanku itu sangat menghargai air. Dia paham benar susahnya mengumpulkan air. Maka dari itu dia tak ingin boros air.

Aku juga ingat seorang teman Australia yang kebetulan sekamar denganku menginap di sebuah hotel di Kuningan - Jawa Barat, ketika kami ada pekerjaan di sana, sekitar 10 tahun lalu. Dia ajari aku tidak mengguyur toilet sebelum kami pipis sampai 10 kali. Dia bilang, air sangat mahal (mungkin pengalamannya di kampung halaman). Sekali pipis sekali guyur adalah pemborosan luar biasa baginya. Memang sih, kamar hotel kami jadi bau pesing. Hahaha. Tetapi jiwa hematnya itu patut dicatat.

Beberapa hari lalu aku lihat postingan di Facebook tentang sebuah peringatan bagi pengunjung restoran untuk mikir-mikir sebelum mengambil makanan. Intinya pengunjung diharapkan mengambil makanan secukupnya saja supaya tak ada yang tersisa. Restoran tersebut mengancam akan mendenda pengunjung bila ada makanan yang tidak dimakan.

Aku malu.

Kadang aku pakai air berlebih. Pakai listrik berlebih. Ambil makan kadang kebanyakan. Dan tak bisa aku habiskan. Kata tulisan di restoran, anda bisa beli, kamipun bisa beli. Tetapi pemborosan itu berat bagi negara. Iya .. tak hanya bagi negara, tetapi mungkin bagi kita semua sebagai bangsa. Karena sebenarnya sumber daya alam ini, apapun bentuknya, sebenarnya untuk kita bersama. Tak boleh ada yang memboroskannya walau mampu sekalipun.

Wednesday 13 July 2016

Menulis. Menulis. Menulis.

Tak sekali kita baca tentang manfaat menulis sebagai pelepas stres. Sebagai terapi bagi pikiran. Bahkan jadi obat bagi jiwa yang sedang tak sehat. Kalau setuju menulis ada manfaat (walau ini tak berarti kita sedang stres atau tak sehat), nampaknya kita perlu segera ambil balpoin dan bloknot untuk menuangkan ide, atau hidupkan laptop untuk menulis di blog.

Mari menulis .. .

Aku tidak menyebut 'menulis status di Facebook' sebagai menulis bila tulisan tersebut hanya satu dua kalimat atau satu dua komentar tentang sesuatu hal yang di-repost atau share. Menurutku, satu dua paragraf di kolom status  Facebook masih belum mampu memenuhi keinginan membuat tulisan tuntas. Keculai memang selama ini Facebook difungsikan selayak blog di Blogspot atau Wordpress atau lain-lain, memanfaatkan kolom status atau fasilitas Note untuk menuangkan gagasan tentang sesuatu hal secara tuntas.

Aku juga tidak menyebut cuitan di Twitter sebagai menulis karena keterbatasan karakter yang dibolehkan dan Twitter tak cukup bila menginginkan menulis lengkap. Nampaknya Twitter diciptakan untuk maksud lain. Tidak seperti Blogspot atau Wordpress yang memang untuk 'menulis'.

Mari menulis .. .  Menulis di lembar-lembar buku catatan atau di halaman blog.

Menulis adalah masalah besar bila kita tak tahu mau menulis apa. Bila kita tak terlatih menuangkan fikiran ke dalam tulisan. Bila tak tahu tujuan menulis.

Kita tahu apa yang akan ditulis bila otak ada isinya. Untuk membuat otak berisi, tentu saja kita perlu mengisinya. Bisa dengan pengalaman, atau sekedar mengamati, melihat dan mendengar sesuatu. Cara lain adalah dengan membaca buku. Ya .. .baca buku yang banyak. Ada yang bilang, tulisan bagus datangnya dari bacaan yang bagus. Artinya kalau seseorang tak baca maka ia tak akan punya bahan untuk menulis

Bila tak terlatih menulis, maka menggoreskan pena atau mengetik keyboard akan terasa berat. Fikiran penuh dengan ide, tetapi tak tahu dari mana harus mulai menulis. Bila misalnya menulis sudah dimulai, bisa saja ada rasa tak puas karena tulisan tak memiliki struktur baik yang akan memudahkan pembaca paham. Atau mungkin kita tidak bisa menemukan kata yang tepat untuk mewakili ide tertentu dalam fikiran. Menulis jadi berat bila kita tak tahu cara menulis. Ada beberapa ilmu dasar menulis, misal ilmu tata bahasa, ilmu tanda baca, ilmu kosakata. Perlahan kemudian kita akan membangun keterampilan menulis yang lebih rumit, bila memang menulis itu rumit. Hahaha.

Bila bahan menulis ada, dorongan menulis juga besar, tetapi tetap saja kesulitan menulis, barangkali itu karena kita tak tahu apa tujuan menulis. Tujuan menulis bisa saja sekedar untuk bercerita, menuangkan fikiran, tak peduli enak atau tidak kalau dibaca orang. Menulis bisa saja untuk diri sendiri. Tak berharap dibaca orang apalagi untuk dikomentari. Ada juga yang menulis supaya mendapatkan komentar banyak. Menulis bisa juga untuk cari duit atau untuk menjadi bangga punya karya tulis. Semua itu adalah tujuan. Dengan memiliki tujuan menulis, maka tulisan akan punya arah.

Mari menulis ...

Menulis boleh saja bermanfaat untuk melepas stres, bikin rasa senang, jadi terapi atau obat, buat melepaskan beban. Tetapi untukbisa melakukannya, kita perlu tahu apa yang ingin kita tulis (punya bahan), lalu tahu cara menulis (keterampilan), dan punya alasan mengapa menulis (tujuan).

Mari menulis ...

Being Porductive is Enjoyable

Being productive is always enjoyable and can make you feel high. Kira-kira begitu. Makanya, perlu bagi kita untuk melakukan sesuatu, menyelesaikan sesuatu, walaupun kecil-kecil, untuk menciptakan rasa 'sudah melakukan sesuatu', kalau bisa dengan embel-embel sukses atau tuntas. Dengan cara itu, otak merasa senang, hati riang, dan siap mengerjakan atau menyelesaikan hal-hal lain, yang mungkin lebih besar.

Contoh hal-hal kecil yang bisa kita kerjakan 10-30 menit untuk menciptakan rasa sukses dan produktif, menghindarkan rasa tak berguna dan klumbrak-klumbruk * tak karuan.

1. Cuci piring sekalian membersihkan wastafel. Menyikat kotoran yang tak hilang sekedar dengan dilap.

2. Membersihkan lemari penyimpanan peralatan dapur, sekalian mencuci ulang, mengusir debu yang melekat di piring atau gelas atau peralatan masak yang lama tak dipakai.

3. Membersihkan tempat tidur, ganti seprei, ganti sarung bantal, sekalian jemur bantal bila ada matahari. Tak lupa tentunya menyapu kamar.

4. Mengelap frame lukisan atau foto yang tergantung di dinding, yang sudah lama tak tersentuh. Biasanya bagian atasnya banyak debu.

5. Senang dengan kamar mandi bersih? Yang lantainya tak licin, atau tak beraroma kamar mandi pesing? Membersihkan kamar mandi bisa dikerjakan 15 menit.

6. Instal ulang Windows supaya kinerja PC di rumah bisa cepat lagi. Hehehe. Bila berani dan bisa (punya pengetahun dan pengalaman), bongkar PC, bersihkan debu-debu yang melekat di kabel dan jeroan komputer, tak lupa dinding casing.

7. Sapu halaman atau potong rumput juga bisa sekalian olahraga bukan?

8. Pergi bawa motor atau mobil ke tempat cucian. Paling bagus cuci sendiri. Bisa lebih detail dan bikin puas.

Ada banyak lagi hal-hal kecil lain yang bila kita kerjakan sendiri akan membuat kita merasa berguna, produktif, dan senang. Hati gembira akan bikin dunia terlihat terang dan kita menjadi siap untuk tantangan berikutnya.

*Klumbrak klumbruk adalah bahasa yang aku kenal di Semarang yang mewakili kondisi seseorang sedang merasa malas, bingung tak tahu berbuat apa, lalu berdiam diri tiduran di atas sofa atau tikar, mainan HP atau menghidupkan TV tapi tak menontonyya, otak jutek dan tumpul, dll.

Ide Muncul. Segera Rekam

Pagi ini, aku ada punya setidaknya dua ide tulisan untuk blog ini. Ide yang sangat cemerlang menurutku. Hehehe. Tadi, ketika ide itu muncul, alur tulisan sangat terang benderang. Bahkan kalimat pembuka dan paragraf pertama sudah terancang. Tinggal ditulis, lima belas menit sebuah judul pasti beres. Tetapi kenyataannya adalah yang sebaliknya. Ide tersebut hilang. Tak berbekas. Kucoba aduk-aduk kepala beruban ini, tak kutemukan. Ide-ide tersebut hilang. Entah kemana.

Aku ingat pepatah lama China ... Pensil pendek masih lebih panjang dari ingatan. Itu benar sekali. Coba saja tadi aku ingat untuk segera mencatat ide tersebut, minimal judul atau topiknya, dan kalau memungkinkan ide-ide yang akan mengisi outline, maka aku tak akan merasa sekosong ini, kehilangan ide. Coba saja aku cepat menemukan bolpoin, menuliskan di lembar kertas yang tertemukan, atau di papan whiteboard dengan spidol permanen sekalipun (kan ntar bisa dihapus - pakai odol, iya .. pasta gigi), maka ide tersebut tak akan lenyap.

Banyak guru menulis menyarankan untuk bawa catatan kemana pergi. Sebuah bloknot kecil dan sepotong pensil dalam saku atau tas. Maksudnya adalah untuk segera bisa menuliskan ide tulisan begitu muncul. Otak manusia bekerja sangat luar biasa. Begitu melihat atau mendengar atau membaui sesuatu hal, maka otak bekerja menyusun rencana, menyusun ide, berproses memproduksi sesuatu (not necessarily new and original, buat existing for sure) yang kemudian disimpan dan lenyap bila kapasitas mengingat rendah. Maka dari itu, catatan yang disarankan para guru menulis menjadi sangat relevan.

Ada juga saran untuk membawa rekaman. Misal memanfaatkan gadget atau smartphone yang kebetulan dibawa. Pasti ada sofware rekamannya bukan? Bagi orang yang cocok dengan metode ini, tak apa-apa. Pasti berguna. Tetapi bagiku, lebich cocok menulis diatas kertas. Mencoret dan membentuk jejaring ide dengan cepat, berpacu dengan ingatan yang berangsur menghilang atau menulis cepat ide-ode baru yang bermunculan sesaat setelah ide awal tertulis lalu terbaca lalu terproses (reconsidered, reevaluated, rethought) dalam fikiran, untuk bereproduksi kembali (brainstroming).

So, next time an idea happens to pop up in your mind, quickly grab something to write it down to avoid any regrets.

Tuesday 12 July 2016

Dua Pelajaran Ramadan 1437 H

Walaupun Ramadan 1437 H (Juni-Juli 2016) sudah berlalu, dan rasanya tak meninggalkan pengaruh perbaikan fisik dan mental bagi diriku (ini sangat disayangkan), setidaknya aku ingat ada dua pelajaran yang tak sengaja aku terima.

Yang pertama muncul di awal Ramadan. Lagi putar radio. Cari-cari gelombang. Aku menangkap sepotong ceramah seorang ustadz di radio. Beliau sedang menjelaskan cara membedakan kebutuhan dengan keinginan, dua hal yang tak mampu aku bedakan. Kalaupun paham sedikit, pemahaman itu buat sendiri saja, tak pede dijelaskan kepada orang buat berbagi pengetahuan. Mendengar ceramah ustadz radio tersebut, aku merasa jadi tahu.

Begini penjelasannya (menurut ustadz radio lho).

Bayangkan kita sedang berpuasa. Sejam dua jam menjelang berbuka, kita sedang di jalan, OTW home, jadi pingin mampir beli makanan. Ada aneka ta'jil berupa makanan kecil dan minuman dijajakan di pinggir jalan. Ada buah segar, nanas dan pepaya. Ada Sprite dan Coca Cola dingin di Alfamart atau Indomaret. Ada nasi rendang, ikan goreng dan lele goreng plus sayur khan masakan padang. Ada pula nasi bebek goreng dan nasi ikan bakar, Karena punya duit, maka kita beli semuanya. Sesampai dirumah, semua makanan dan minuman ditata di meja makan. Begitu azan maghrib kedengaran, alhamdulillah, mulailah meneguk minumam dingin yang terasa nikmat sekali.

Sampai di situ, terasa betul kebenaran firman Allah SWT yang menjanjikan kenikmatan saat berbuka puasa bagi yang sedang puasa. Hati dipenuhi rasa damai. Tenggorokan sudah basah. Perut juga sudah terasa tenang. Rasa haus lenyap. Dan tiba-tiba perut tak terasa lapar lagi. Pandangan menyapu seluruh permukaan meja. Minuman dan makanan siap disantap. Mau diapakan semua yang belum tersentuh ini?

Keinginan adalah ingin menghabiskan semua makanan dan minuman di meja. Kebutuhan adalah kemampuan perut menampung. Mungkin satu gelas jus buah dan sepiring nasi plus sepotong lauk sudah cukup.

Monggo dipilih. Mau memenuhi keinginan atau mau memenuhi kebutuhan?

Pelajaran kedua yang aku terima muncul pada hari terakhir puasa Ramadan. Aku di Rumah Surabaya. Mudik. Hari ke 30 puasa itu aku bertekad memasang instalasi air dari pipa PAM ke seluruh tempat di dalam rumah. Aku perlu sambung pipa sepanjang 40 meter untuk membuat 5 mata keran. Di dapur. Kamar mandi (perlu dua). Tempat wudu dan tempat cuci pakaian.

Sejak bangun sekitar jam 2 pagi lalu sahur dan sholat subuh, aku tak bisa tidur lagi. Setelah menggambar instalasi dna merancang kebutuhan, sekitar jam 6.30 aku ke daerah Kapasan. Naik motor. Tujuan berburu keran, pipa, dan aneka peralatan di lapak-lapak loakan sepanjang Jalan Kapasari. Loakan tak ramai. Besok orang sudah lebaran. Sebagian besar penjual sudah pada pulang mestinya. Aku berhasil beli tang, gergaji, catut dan keran dengan harga jauh lebih murah dibanding di toko bangunan. Untuk beli pralon dll, aku perlu toko bangunan. Bersyukur masih ada satu yang buka di ujung Jalan Kapasan. Aku beli lima pralon dan peralatan lainnya.

Singkat cerita. Di tengah pekerjaan instalasi, aku harus keluar ke toko bangunan sekali lagi. Ada peralatan yang kurang. Panas terik. Naik motor. Kerja tak berhenti sampai menjelang buka puasa. Aku kehausan yang sangaaaat.

Buat buka puasa, secara khusus aku minta dibuatkan es buah. Sirup. Susu. Isi buah. Kasi es. Nikmat membayang. Dan itulah yang aku rasakan ketika azan magrib berkumandang. Aku minum sampai 5 gelas besar. Betul betul kesetanan. Rasanya ingin nambah dan nambah. Rasanya belum puas. Pingin lagi dan lagi. Setengah jam kemudian, setelah selesai sholat magrib, aku sakit perut. Rasanya melilit gak karuan. Ke kamar mandi sampai 5 kali. Aku lemas dan MALU. Gara-gara haus puasa, aku seperti kesetanan tak menahan diri. Malu jadi setan. Hahaha. Lupa kemampuan perut.

Selama puasa 29 hari sebelumnya, tak pernah aku alami sakit perut atau keluhan lain karena makan dan minum di Semarang hanya 'seadanya' - tak ada yang masak, dan kadang tak ada bahan (duit lagi cekak). Tetapi subhanallah, perut aman.

Di sini, pada hari terakhir puasa, aku puas puaskan minum. Hasilnya: Allah SWT memberikan pelajaran. Bahwa semestinya aku bisa menjinakkan hawa nafsu dengan latihan selama Ramadan 1437 H, ternyata gagal. Tak kira kira minum es buah plus susu sampai 5 gelas besar. Jadinya sakit perut. Untung dikasi obat sama Titia. Selepas Isya bisa baikan dan aku tertidur. Hahaha.

Aku jadi bertanya, kalau Allah SWT berkenan memberiku rizki berlimpah, bisakah aku menjaga amanah tersebut? Dikasi es buah berlimpah saja, minumnya tak pakai mikir. Coba kalau dikasi 5 milyar, mampukan aku menggunakan duit itu dengan baik? Belum tentu.

Nah itu dia dua pelajaran Ramadan 1437 H.

Setelah ini, pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana aku bisa selalu mengingat pelajaran itu dan mempraktekkan hikmahnya untuk hari-hari yang akan datang? Bulan-bulan yang akan datang? Dalam puasa Ramadan selanjutnya (bila Allah SWT berkenan kasi umur panjang?)

Cemunguuudd .. Anda pasti bisaaaa .. :D

Puasa. Sehat. Produktif.

Mengapa puasa itu menarik dan sebenarnya juga menyenangkan?

Aku kenal seorang tetangga yang rajin puasa daud. Sehari puasa, Sehari berbuka. Dia sehat di usia lebih 50 tahun. Badannya langsing dan masih kuat lari pagi jauh-jauh. Kalau aku, sekedar naik tanjakan keluar perumahan saja, nafas sudah terengah-engah. Haha.

Ibu di Lombok juga sejak dulu rajin puasa. Beliau sudah 73 tahun lebih. Tetapi masih kuat ke sana kemari bahkan jalan kaki. Misal ke sawah peninggalan almarhum Bapak, Ibu masih kuat dan semangat nengok orang persiapan menanam atau sekedar petik sayur buat cucu-cucunya. Rahasia umur panjang Ibu ada di puasa. Kali begitu. Insya Allah.

Aku sendiri tak biasa puasa selain yang wajib seperti Ramadan kemarin. Tak kuat. Fisik dan mental. Tak kuat semangat lebih tepatnya. Karena kalau orang bersemangat, sebenarnya apapun bisa ia dilakukan. Termasuk sekedar menahan diri untuk tidak makan dan minum tak lebih dari 13 jam.

Tetapi penghalaman puasa Ramadan kemarin mengajarkanku beberapa hal.

Pertama, ternyata orang yang sedang berpuasa, urusannya bisa lebih sederhana kalau tak mau dibilang lebih sedikit. Tak ada ritual bikin kopi, ngopi, dan cuci gelas. Tak harus bingung kalau tak ada gula. Tak harus berfikir mau sarapan apa. Dan kalau tak ada makanan buat sarapan, tak perlu berpayah ke pasar mencari bahan, bikin lauk, makan, dan kemudian beres-beres dapur dan peralatan makan. Puasa bikin hidup lebih sederhana dan tak banyak urusan.

Catatan: alangkah baiknya bila energi yang tak dikeluarkan untuk kesibukan mengurus perut tadi dapat dimanfaatkan untuk menulis, membaca buku, sholat sunnah atau ngaji. :D

Kedua, ternyata puasa itu bikin sehat. Bikin sehat perut. Tak merasa kenyang. Kalau kenyang rasanya berat dan lambat. Selain itu, puasa bikin terhindar dari merasa berdosa karena makan terlalu banyak (sementara kapasitas perut tak mampu, dan bila menengok ke jalanan, ada banyak yang bahkan tak punya makanan buat menyambung hidup)  Di satu sisi kita poya-poya, di sisi lain ada orang kelaparan. Bikin merasa berdosa bukan? Iya ... kecuali kita tak berperasaan. Hahahaha.

So what's next? Jadi pingin berpuasa. Pingin tak banyak repot dengan urusan mulut dan perut. Pingin mengalihkan waktu dan energi yang dihemat tersebut buat nulis atau kerja produktif lain. Pingin sehat juga. Pingin perut kempes dan badan tak terasa berat bikin lamban dan loyo bergerak.

Produktif dan sehat. Itu dua hal yang bikin senang bukan? Puasa itu menarik dan membuat senang. Yuk puasa .. :D

Pusatindo. Personal dan Murah.

Aku pertama kali kenal Mas Mahfud ketika dulu sering mengantar istriku ke UNICEF di komplek kantor Bappeda Jawa Tengah di Semarang. Istriku dan Mas Mahfud kerja di lembaga PBB yang mengurus permasalahan anak tersebut. Mas Mahfud adalah penanggungjawab perawatan dan perbaikan komputer, jaringan, dll. Bila ada masalah dengan laptop staf, apapun jenis masalahnya, hardware maupun software, Mas Mahfud adalah orang yang dicari. Sering disebut dukun komputer, karena terkadang, sebelum laptop yang bermasalah sempat disentuhnya, laptop jadi benar sendiri. Cukup dengan kehadirannya, masalah komputer lenyap, semua kembali normal. Aneh.

Setelah UNICEF tak lagi berkantor di Semarang, karena semua program dikendalikan dari Surabaya, Mas Mahfud 'menganggur' dan mulai mewujudkan keinginannya punya toko komputer, pusat pembelian dan servis segala rupa PC, laptop, jaringan, dll. Dia menyebut tokonya PUSATINDO, terletak di pertigaan Jalan Woltermonginsidi - Genuk - Bandardowo. Aku tak ingat apa nama pertigaan tersebut, tetapi lokasinya mudah dicari.

Aku sering sekali 'main' ke PUSATINDO. Beli hardisk. Cari RAM. Ganti layar LCD. Tukar tambah laptop. Cari mouse atau kabel LCD projector. Butuh instal ulang Windows. Minta software OFFICE. Ada banyak hal terkait masalah komputer yang aku konsultasikan atau minta bantuan Mas Mahfud untuk selesaikan.

Jarak rumahku dengan tokonya Mas Mahfud terbilang jauuh untuk ukuran Semarang. Perlu lebih dari setengah jam pakai kendaraan roda empat melewati Sigarbencah, Kedungmundu, Majapahit, Arteri Soekarno Hatta, dan melintasi Jalan Woltermonginsidi yang panjang sekali. Walau banyak toko komputer lain di seputaran Kampus UNDIP Tembalang, di jalan Ngesrep dll., aku lebih suka jauh-jauh ke Genuk. Mengapa yaa? Ini alasannya.

Pertama. Aku kenal Mas Mahfud. Aku bisa memperoleh layanan 'personal', bisa ngobrol tentang apapaun, bisa mendapat jawaban atas semua isu komputer yang hinggap di kepalaku. Bahkan dengan bertanya konyol sekalipun. Tak perlu malu diketawain. Itu membuat senang. Ada juga perbedaan antara mendapat jawaban di Mbah Google dengan secara langsung dari seorang teknisi komputer berpengalaman. Tentu aku lebih suka berada di PUSATINDO sampai masalah komputerku selesai , melihat langsung semua dikerjakan, sambil mendapat penjelasan ini dan itu. Beda bukan dengan hanya diam membaca solusi yang ditawarkan mesin pencarian Mbah Google?

Kedua. Harga-harga miring dan miring banget. Mas Mahfud sering menyarankan pakai hardware seken ketimbang baru. Ini membuat dompet tersenyum. RAM baru bisa seharga 200 ribu. Di Mas Mahfud bisa dapat maksimal 100 ribu. Kemarin aku minta hardsik baru buat PC. Kalau baru mungkin sekitar 500-an ribu. Buru-buru Mas Mahfud menyarankan pakai yang seken saja. Sayang duitnya kalau beli baru, begitu katanya. Aku manut. Tetapi kemarin tak jadi nambah hardisk karena PCku sudah punya 2 hardisk. Kata anak buahnya Mas Mahfud, kuatir power supply tak kuat. Rencanaku ganti kipas posessor juga ditentang anak buah Mas Mahfud (sayang aku lupa namanya) karena kipas yang ada sudah bagus. Itu kipas gaming, lebih bagus, katanya sambil menunjukkan kipas prosesor yang biasa-biasa saja. Aku ikut sarannya.

Layanan personal dan hemat. Itu mungkin yang membuat toko Mas Mahfud beda dengan toko-toko lain yang ada di tempat lain. Biasanya, pelayan atau pemilik toko hardware (yang kita tak kenal) tidak merasa perlu bertanya masalah komputer apa yang sedang kita hadapi. Mereka cukup ambilkan hardware yang kita cari. Harga cocok. Bungkus, Bayar. Selesai. Kalau salah beli, yaa resiko pembeli kecuali ada perjanjian boleh tukar. Pendekatan personal yang diterapkan Mas Mahfud dan anak buahnya dalam berbicara dan melayani konsumen perlu dipertahankan. Konsumen adalah teman. Konsumen senang berteman dengan toko komputer. :D

Sunday 10 July 2016

Tanam Pohon Menuai Harapan

Aku sedang menerjemahkan sebuah teks yang menjelaskan tentang program penanaman pohon oleh pemerintah. Tiba-tiba aku ingat keinginanku bertanam pohon. Jadi pingin punya tanah pekarangan yang lumayan luas buat tanam segala pohon.

Memang sih, sudah ada di Depok, areal pekarangan lebih dari 500 m2. Sudah aku tanami sekitar 200 mahoni. Ada juga mangga. Durian. Rambutan. Pete. Sawo. Entah apa lagi. Tetapi aku tak bisa melihatnya sehari-hari. Tak bisa menikmatinya. Gimana bisa? Aku kan sekarang tinggal di Semarang. hehehe.

Aku suka bertanam. Mungkin pengalaman waktu kecil, dulu punya proyek tanan nanas dan tanam singkong sama Amat Oli (temanku waktu kecil saat kami di masih SMP Tanjung), proyek sederhana menanami lahan di lendang (sebutan kami di Lombok untuk sebidang tanah di sepanjang bukit dari Geres sampai semua ujungnya) kering kerontang seluas tak sampai 2000 meter persegi milik Bapak almarhum. Kami berkhayal sukses menjual singkong dan nanas. Tapi itu semua sekedar khayalan karena tanaman kami tak sampai berproduksi. Tak ada air. HUjan jarnag turun. Tapi pada akhirnya ada juga yang berhasil berbuah atau berumbi. Cukup bila pingin bakar singkong buat nemenin minum kelapa muda.

Aku suka bertanam. Mungkin karena melihat Bapak almarhum menanam kelapa dan melihat bagaimana pohon kelapa tanaman Bapak bisa membuat kami tetap bersekolah.  Bapak punya sebidang Kebon Timuk dekat Kokok Jaok. Lalu punya Kebon Punik jauh di bawah Lendang Bao (ujung utara Lingkokdudu). Bapak punya lendang. Bapak juga punya sawah. Semua ditanami banyak pohon kelapa. Tak terkecuali sawah, tentu di pinggirnya. Kata Bapak, supaya bisa dijual untuk sekolah. Dan itu terbukti, Ketika harus bayar SPP, tak segan Bapak potong kelapa yang sudah tua, dijual, dan hasilnya dikirim ke kami yang sekolah di Jogja (aku dan adik - Om Man, berdua sekolah di Jogja). Setelah itu, tak lupa Bapak tanam Lagi. Ibu (Puk Tuan) ingat sering diminta Bapak membawakan bibit pohon kelapa untuk ditanam mengganti pohon-pohon yang sudah ditebang.

Aku suka bertanam. Dulu waktu kerja enam tahun di ICRAF Bogor, aku saksikan bagaimana areal kantor kami penuh pohon aneka rupa, pohon hutan segala jenis, juga pohon buah. Semuanya indah dan teduh. Aku juga saksikan para ilmuan peneliti kami berdiskusi tentang pohon, tentang tanah, tentang kebun campur, tentang petani, dan tentang dampak ekonomi dan lingkungan dari bertanam pohon. Semuanya mengasyikkan.

Aku suka bertanam. Tak cuma pohon. Aku suka menanam segala tanaman. Suka saja. Senang rasanya melihat tanaman tumbuh dan memberi harapan (buah dan aneka produknya) entah kapan. Punya harapan itu menyenangkan. Dan melihat tanaman tumbuh, itu merupakan sumber harapan yang tak putus-putus. Selalu ada tiap hari. Selalu memperbaharui harapan. Siapa yang tak suka bahagia tiap hari?

Berada di tengah tanaman. Alangkah nyaman rasanya. Tanaman tak banyak bicara. Banyaknya diam. Memang karena tak bisa bicara. Tetapi lambaian daunnya. Gesekan dahannya. Desiran angin yang mereka ciptakan. Teduh yang mereka berikan. Semuanya adalah dialog. Dialog dalam keheningan. Aku tak pernah merasa kesepian di tengah pohon-pohon yang aku tanam. Selalu merasa tenteram dan kedamaian memenuhi jiwa. Sungguh tak ternilai.

Aku suka tanam pohon. Mungkin karena memang sangat bernilai.

*Aku sangat suka mendengar program rebiosasi atau penananam pohon di mana saja, di lahan hutan yang sudah tak berpohon, di pekarangan, di tepi jalan, di mana saja ada tanah kosong. Aku juga ada tanah di Belanting. Ada 2 hektar. dan yang satunya sekitar 2000 meter. Semuanya ditanami pohon. Tetapi tak tahu apakah ada yang bisa tumbuh, terutama yang di lokasi 2 hektar. Soalnya tak ada sumber air. Yang di 2000 meter, ada banyak pohon jati tumbuh, usianya sudah sekitar 10 tahun. Dan hujan cuma ada di musim penghujan. Sudah bisa dimanfaatkan kalau mau. Mungkin buat bantu bikin kusen bila Bibi Imah jadi bikin rumah.

Tulisan Harus Fokus

Menulis blog perlu ingat untuk selalu jaga fokus. Jangan biarkan tulisan melebar ke mana-mana. Pembaca mestinya lebih senang sebuah topik selesai dalam satu kali baca. Tak diganggu ide lain. Apalagi ide yang tak ada hubungannya dengan topik tulisan.

Bila, misalnya, sedang menulis tentang kenyamanan mengendari mobil Blazer, maka fokuslah tentang aspek-aspek yang membuat penulis yakin Blazer nyaman dikendarai. Misalnya keleluasan pengemudi memandang jalan, aneka fitur keselamatan yang tersedia, kemewahan fasilitas dalam kabin, suspensi lembut namun kuat, dll.

Jangan memasukkan unsur lain, apalagi dalam porsi besar, misalnya tentang kemunduran ekonomi Amerika yang pernah berpengaruh pada pabrikan General Motors produsen Chevrolet sehingga pabrik Blazer di Pondok Ungu Bekasi berhenti beroperasi. Tak ada hubungan langsung dengan kenyamanan mengendarai Blazer bukan?

Tetapi bisa saja memasukkan unsur lain asal tetap dijaga agar informasi tambahan tersebut tak mengganggu fokus. Misalnya, ketika menulis tentang aktifitas klub penggemar mobil Blazer, ulasan singkat tentang kegiatan klub Ertiga, misalnya, dapat dimasukkan sebagai pembanding.

Fokus adalah benang merah tulisan. Benang merah tersebut boleh saja becabang tetapi warna merah benang utama tetap terlihat atau terasa lebih jelas ketimbang warna cabang.

Write for Memories

Hari ini sudah tanggal 10 Juli. Aku baru punya tulisan blog sebanyak enam judul. Tentu kurang empat dari target sepuluh bila konsisten dengan ide satu tulisan per hari. Ini bisa dimaklumi karena akses ke komputer selama perjalanan mudik ke Surabaya dan lanjut Lombok tak semudah bila di rumah Semarang.

Semangat nulis tiap hari kian kuat terutama karena kemarin sempat dengar Ifa (my first daughter) bilang dia tertarik untuk nulis blog lagi setelah baca tulisan Bapak tentang mudik.

Dulu Ifa rajin nulis. Entah kenapa dia berhenti. Dan yang sangat disayangkan, dia juga hapus semua tulisan blognya. Tak ada arsip. Sayang sekali bukan? Tulisan lama ketika dia SD dulu sebenarnya bisa diibaratkan harta karun masa lalu yang kalau dibaca sekarang bisa mengundang senyum dan membantu memutar kembali banyak memori.

Memutar ulang memori setidaknya akan sangat terbantu bila ada tulisan. Ada bukti hitam di atas putih kata orang zaman dulu. Sekarang kan layar tak harus putih. Dan ketikan tak harus hitam. Hehehe. Tetapi itulah maksudku menulis lagi. Menulis  yang banyak. Menulis segala tetek bengek kehidupan. Bahkan yang tak penting sekalipun. Ibarat nulis diary, semua dituangkan ke blog ini. Blog ini adalah diary dan konsistensi satu tulisan sehari harus tetap dijaga. Mengapa? Supaya semua remeh temeh kehidupan terekam. Pasti menyenangkan membacanya ulang 10 atau 20 tahun lagi. What do you think?

So, I will write as much as possible. First, to practice writing. Second, as a memory tool for me, as an eternal bank of stories. Yuuk menuliss ....






Pulang Ke Lombok Part 2

Lanjutan Pulang Ke Lombok Part 1

Nonton semifinal Euro 2016 antara Wales dan Portugal bola sukses terlaksana walau aku terlambat bangun setengah jam. Selesai bola sudah hampir azan subuh. Aku ikut sholat subuh ikut berjamaah di Musholla Al Ikhlas di pinggir Kokok Dirang - tak jauh dari rumah.

Yang jadi imam adalah Syukur. Yang makmum termasuk Amak Atun (kakaknya Amak Buser) dan juga Halir  - nampaknya personel ini tak berubah semenjak bertahun-tahun lalu, hahaha. Hanya ada 2 makmum 'baru' - masih muda, tapi aku gak kenal nama mereka.

Musholla ini punya kenangan khusus bagiku. Bersama Amat Oli, (sekarang dia di Palembang) selama sekitar 3 tahun waktu SMP, kami tidur di sini, menjaga sekaligus sebagai tukang azan.

Air musholla bersumber di Jerangjang sekitar 2 km ke arah barat, sebuah mata air berlokasi di dekat Kubur Reban. Air dialirkan dengan pipa besi. Aku dulu ikut gotong-royong membangun jarfingan pipa ini. Tadi sebelum subuhan, aku sempatkan mandi. Guyur badan tak pakai sabun. Sekedar merasakan segar dan bersihnya air Jeranjang.

Semalam Ibu bilang pagi ini, lebaran hari kedua, kita sekeluarga akan ke kuburan Bapak di kubur Lendang. Hampir semua abak dan cucu Papuk Paridah dimakamkan di sini. Ada Inak Kake Paridah. Inak Kake Mildan, Inak Kake Kame, Inak Kake Sene. Amak Kake Tihan. Inak Kake Rahmah. dan Bapak. Beberapa kuburan baru juga dibuat di sini. Buat Kak Abduh dan Kan Doan.

Keluarga Kak Lutfi (Amak Kake Tihan) dan Kak Nur (Inak Kake Sene) ternyata juga sudah siap berangkat. Aku, Ibu, Kak Nur, dan Kak Aen jalan kaki ke kuburan, Jaraknya sekitar 2 km. Ibu tak sabar nunggu Om Man datang bawa mobil. Waktu ditelpon suruh datang, Om Man bilang dia lagi cari channel berita TV buat nonton cuplikan bola. Dia tak nonon Wales Portugal semalam. Hahaha.

Singkat cerita, jadilah kami sekitar 40 orang, cucu dan cicit Papuk Paridah, berkumpul di pemakaman, di Kubur Lendang, berdoa dipimpin Utstadz Amin, suami Kak Acah,

Selesai berdoa, aku inisiatif minta mereka semua berfoto. Buat kenang-kenangan. Sudah di-upload di Facebook sama Kak Nur. Setelah itu, keluarga Kak Amin berangkat ke Korleko - mau berkunjung ke kuburan keluarga di sana. Yang lain menyebar ke kuburan keluarga masing-masing di tempat lain.

Aku, Ibu, dan anak-anak Bibi Imah (Sofya, Salik, Nurul, Iman), ikut mobil Mirage Om Man ke Kuburan Kelayu - mau berkunjung ke Makam Puk Masa, Puk Alim, Amak Patah, Amak Kake Udin, dan Anak Can. Bibi Imah pakai motor bersama suaminya Irwan. Aanknya yang  paling kecil, Yani, ikut naik motor.

Bagi banyak orang, hari kedua lebaran dimanfaatkan untuk berkunjung ke makam keluarga. Jalan-jalan menuju kuburan ramai. Jalanan juga jadi ajang bertemu dan salam-salaman dengan sanak saudara jauh yang kebetulan ketemu.

Sepulang dari kuburan, kami sarapan urap-urap pelecing kangkung. Bibi Imah beli di warung. Tak lama kemudian Bibi Ijah datang bersama suaminya Om Lukman dan anaknya Patria. Aku putuskan untuk ikut ke rumah mereka di Keling. Ibu ikut. Juga anak-anaknya Bibi Imah. Kami semua ikut Blazer-nya om Lukman. Mampir sebentar di Peken Pancor beli cumi-cumi, terasi, dan ikan asin, buat dimasak dan dibawa oleh-oleh pulang ke Surabaya.

Di Keling cuma santai, obral obrol sama Om Irwan dan Om Lukman. Malamnya, setelah antar Imah dan anak-anaknya pulang ke Tanjung, aku dan Ibu ke Rumah Kelayu ketemu Kak Ani, Bi Umang (adik Ibu, Amak Har sedang pergi tahlilan), Bibi. Di sini ada  Farhi, juga suami dan anaknya, dan Ipok dan Azhari. Ada juga anak-anaknya Bibi Umek, ada Pian dan Hukman yang sudah balik dari kerja di Saudi. Kali ini mampir di Rumah Kelayu sebentar saja, salaman lalu pamit.

Begitulah cerita perjalanan 36 jam pulang ke Lombok. Pagi pagi sekali tanggal 8 Juli, aku diantar Om Lukman, Bi Ijah dan Patria, juga Ibu, ke BIL di Praya. Alhamdulillah check in dll lancar. Sebelum take off, aku ikut sarapan di parkiran. Bi Ijah bawa nasi dan lauk. Cuma sayang bumbu pelecing kangkung ketinggalan di rumah Keling. Anaknya Bi Ijah, Listya dan Fira, lupa masukin ke mobil.

Setelah pamitan sama Ibu, aku masuk ke terminal. Penumpang sudah dipanggil untuk boarding.

Sejam kemudian aku mendarat di Juanda. Kaget banget lihat Zafira kotor sekali. Rupanya pohon tempatnya bernaung adalah tempat burung tidur kalau malam hari. Ada banyak kotoran burung di sekujur badan mobil. Menutup hampir 65% . Ornag-orang memandang aneh saat mobil bergerak keluar bandara. Setelah gagal menemukan tempat cucian mobil yang buka, aku cuci sendiri di Rumah Pucang. Alhamdulillah air PAM lancar jaya.

Sore hari tanggal 8, kami ke Ciputra Mall lagi. Mau antar Titia dan Ibu Naning nonton Rudy Habibie. Aku, Ifa, dan Aya di Gramedia saja, beli buku dan perlengkapan buat persiapan sekolah.

Kami pulang ke Semarang pagi-pagi tanggal 9 sekitar jam 8 pagi. Perjalanan lancar walau volume kendaraan arus balik sudah terasa sejak masuk Tol Pasar Turi. Sebelum masuk Kota Lamongan, perjalanan sempat dibantu pengaturan contra flow oleh polisi setempat. Tak jadi mampir beli wingko karena pertigaan Babat ramai sekali. Kami beli di sebuah tempat makan di Tuban. Setelah lewat Lasem, tak lupa mampir makan siang di RM Lestari kesukaan Aya di seberang alun-alun Rembang agak maju ke arah Pantai Kartini.

Setelah mampir sholat di POM Bensin di luar Kota Rembang (ke arah Semarang - sebelah kiri), perjalanan pulang berlanjut. Juwana, Pati, Kudus, Demak semua lancar. Bahkan depan terminal Terboyo yang biasanya dihambar rob kini kering dan lancar. Kami masuk tol dan keluar di Pintu Tembalng. Sebelum sampai rumah mampir Superindo beli beberapa keperluan. Alhamdulillah. Perjalanan mudik lebaran berakhir aman tenteram.

Pulang Ke Lombok Part 1

Pulang ke Lombok di hari Lebaran tanggal 6 Juli 2016 ini sebenarnya tak direncanakan. Semua bermula dari iseng pagi-pagi jam 4 buka aplikasi Traveloka di Xiaomi Redmi2, buat lihat-lihat harga tiket pesawat Surabaya Lombok.

Aku kadang iseng begitu, nyoba lihat harga tiket dari satu kota ke kota lain, entah dalam negeri atau luar negeri, sekedar membayangkan seberapa banyak duit diperlukan untuk terbang atau kemudian berkhayal suatu saat nanti rute tersebut bisa aku lalui. Rute Surabaya Lombok di hari lebaran ini ternyata tak perlu terlalu panjang dikhayalkan. Harganya terjangkau. Dengan total sekitar 924 ribu, sudah bisa dapat tiket bolak balik pakai Lion Air.

Setelah konsultasi sejenak dengan Naning,dan anak anak, tentang plus minus pulang ke Lombok, akhirnya aku putuskan berangkat. Ada banyak yang diperoleh dengan membelanjakan 924 ribu. Yang terutama adalah silaturahmi ketemu Ibu. Tahun ini Ibu berusia kira-kira 73 tahun. Lalu ketemu adik-adik, Menuntaskan banyak obrolan yang selama ini hanya lewat telpon. Lalu melihat anak-anak mereka. Salaman ke semua keluarga yang bisa dijangkau dalam kunjungan singkat berdurasi sekitar 36 jam. Oh iya, ini perjalanan aku sendiri yang berangkat. Berhubung keterbatasan bla bla bla, Naning dan anak-anak terpaksa tak ikut.

Pesawat Lion berangkat jam 17.30 dari Juanda Surabaya. OTW ke Juanda, aku drop Naning dan anak-anak di Mall Ciputra di jalan Mayjen Soengkono sebelum aku masuk tol menuju Juanda.

Sempat kepikiran sedikit, kalau Zafira yang aku kendarai ada masalah dalam perjalanan menuju Juanda, keberangkatanku ke Lombok pasti tertunda. Aku tak akan bisa tinggalkan mobil di jalan lalu lanjut taksi, misalnya, karena Pakde Banyo yang bisa bantu urus mobil sedang ke Depok sekeluarga.

Tapi alhamdulillah, bayangan kekhawatiran tersebut tak terwujud. Aku tiba di Bandara International Juanda 1.5 jam sebelum jadwal take off. Ada cukup waktu untuk cari parkiran. Suasana Terminal 1 Juanda sangat ramai, terutama di sekitar terminal kedatangan. Ada banyak orang berseliweran datang menjemput keluarganya. Parkiran penuh. Alhamdulillah aku dapat parkir di bawah sebuah pohon. Mobil aku inapkan. Hanya 30 ribu rupiah semalam kok, Kalau mobil ditinggal di rumah lalu transport ke dan dari Juanda pakai taxi, biaya lebih mahal. Perlu sekitar 200 ribu.

Check in aman. Lancar. Atas saran Naning, aku nunggu di Lounge. Masih ada waktu sekitar 45 menit. Cukup untuk 3 mangkok soto ayam plus minum satu dua gelas. Hahaha. Iya lapar banget. Habis sholat ied tadi belum sempat makan banyak. :D

Jam 17.10 boarding. Pesawat Boeing 737-900ER Lion Air tinggal landas tepat jam 17.30. Alhamdulillah mendarat juga tepat waktu. Om Man sudah siap dengan Mirage-nya menjemput untuk membawa ke Lombok Timur. Overall, Mirage punya Om Man masih bagus. Mesin halus. Suara sound system masih membahana. Tetapi setiran terasa agak tak halus. Mungkin masalah di ban atau kaki-kaki. Perlu servis.

Tetapi perjalanan lancar. Aku yang nyetir sampai rumah. Biar Om Man santai sejenak karena dia rencana balik lagi ke Mataram - dia sedang mudik di rumah mertua, bawa anak anak (jumlahnya 6) hahaha. Banyak sekali anak Om MAn, kata Ifa dan Aya. Absen dulu ah namanya siapa, supaya tak lupa lagi: Adit, Fakih, yang ke tiga (tak ingat namanya), lalu Nora dan si kembar cewek-cewek (lupa lagi namanya). hahaha. Ntar deh ditanyakan lagi sama Om Man. :D ... *

Sesampai di rumah Tanjung, ternyata anak-anak Bi Imah masih belum tidur. Mereka nunggu Pak De Anong. Sayang sekali Pak De tak bawa oleh-oleh. Bi Imah sudah sediakan beberok kangkung dan rawon ayam buat semua makan bersama. Nyam nyam nyam. Selesai makan malam, obral obrol sama Ibu dan Irwan (suami Bi Imah) tentang berbagai hal.

Selesai obral-obrol di rumah, sekitar jam 10 malam, aku ke Rumah Om Ujik, tetangga sebelah, buat memastikan apakah nanti malam TV di rumahnya bisa nangkap siaran bola, semifinal Euro 2016 antara Wales dan Portugal. Ketemu Kak Opan. Terakhir bertemu sekitar 7 tahun lalu di Cakranegara ketika beliau masih kerja di Money Changer. Sekarang sudah jadi pegawai Pemkot Mataram. Dibuatkan kopi sama Otong yang tinggal di rumah sebelah.

Setelah obrol sejam, aku pamit pulang. Mau tidur untuk kemudian bangun nanti jam 3 (WITA) buat nonton bola. TV punya Otong ternyata bisa nangkap siaran TV dari India. Alhamdulillah. Mengandalkan antene luar, TV tak bisa tangkap siaran apa-apa. Sebagian kemudian menggunakan parabola untuk bisa menangkap gelombang TVRI atau TV swasta lain. Yang kreatif adalah pakai TV kabel. Dengan membayar sekitar 2 ribu rupiah per bulan kepada Pengusaha TV Kabel, mereka sebutnya begitu, aneka channel TV dalam dam luar negeri bisa ditangkap. Termasuk channel TV India yang siarkan bola. (lanjut ke Pulang Ke Lombok Part 2)

*setelah ditanyakan ke Bibi Yati, nama anak ke tiga Om Man adalah Yayat dam si kembar Safa dan Sakina :D

Wednesday 6 July 2016

Laporan Mudik Keluarga 2016

Senin 4 Juli 2016. Seperti yang direncanakan sebelumnya, kami bertiga (Bpk, Ifa, Aya) berangkat dari rumah Semarang. Tujuan: mudik ke Surabaya.

Memang sih, molor 17 menit dari rencana pas jam 8 pagi sudah harus berangkat. Tetapi itu dapat dimaafkan mengingat ide melakukan persiapan semalam sebelumnya tak kesampaian. Ifa dan Aya sibuk mainan HP semenara Bpk ada kerjaan menyelesaikan terjemahan teks pesanan Ibu Naning (yang masih dan sudah di Surabaya) dan juga tentunya nonton bola Islandia versus Perancis.

Untungnya pertandingan perempat final Euro 2016 ini berakhir antiklimaks buat Islandia (kebobolan 4 gol di babak pertama) yang karenanya Bpk jadi ngantuk dan putuskan tidur saja buat hemat energi nyetir ke Surabaya.

Semalam Bpk suruh Aya dan Ifa sahur jam 2 pagi. Supaya tidur cukup dan bisa bangun pagi sehingga ada waktu menyiapkan pakaian yang akan dipakai selama di Surabaya dan beresin rumah sebelum ditinggal lama. Kan gak nyaman ninggalin rumah dalam keadaan kotor.

Setelah pasang nomor polisi Zafira yang 2 hari lalu lepas (lemnya sudah tak kuat - untung gak lepas saat di jalan raya), Bpk lanjutkan beres-beres dengan cuci piring, bersihkan dapur, dan buang sampah.

Sebenarnya Aya yang kebagian tugas nyuci piring. Tetapi dia cuci yang mudah saja. Nyuci panci dan wajan berminyak diambil alih Bpk. Ifa kebagian nyapu.

Setelah semua tas dan bantal dimasukkan ke Zafira, perjalanan dimulai dengan bismillah. Ada rasa cemas menghantui karena satu indikator Zafira (tanda bintang di dalam kotak) menyala setelah perbaikan AC bila hari (ganti kondensor dan bersihkan filter udara, habis 1.45 juta di Farros Karangrejo - Mas Yanto).

Itu sebenarnya tak seberapa mengkhawatirkan karena dua hari terakhir mobil ditest Bpk keluar (sekalian antar Ifa dan temannya Azki bawain bingkisan lebaran ke beberapa mantan guru SMP mereka), mobil tak ada masalah.

Yang lebih bikin deg-degan adalah munculnya suara seperti karet mendengung akibat kepepet (barangkali tali kipas yang perputarannya kurang sempurna karena puli tensioner dan laher dinamo amper sudah goyang menurut analisis Bengkel Adi dan Bengkel Andi langganan).

Singkat cerita, Zafira mulai meluncur santai. Jalur yang diambil adalah Mulawarman, Sigar Bencah, Kedungmundu, Majapahit, Arteri Soekarno Hatta, Wolter Monginsidi terusss menuju pertigaan pantura di Genuk. Jalan ini diambil berdasarkan saran Mas Adi pemilik Bengkel Adi yang semalam Bpk telpon. Mas Adi buka bengkel di Soekarno Hatta dan mestinya paham berita banjir rob Kaligawe yang membuat Jalan Citarum tak bisa dilalui dan juga mestinya cukup updated tentang rob depan Terminal Terboyo.

Benar. Perjalanan lancar sampai pertigaan Genuk. Aya sempat komentar tentang keramaian pasar sebelum pertigaan Genuk terutama tentang banyaknya ayam yang sedang diperjualbelikan menjelang Hari Lebaran (Rabu 6 Juli).

Zafira meluncur nyaman. AC dingin. Alhamdulillah. Setelah lama didera penyakit AC, baru kali ini Zafira terasa enaaaaak sekali. Maka nikmat manakah yang kamu dustakan? hehehe.

Aya duduk depan berpelukan bantal guling. Ifa tiduran di jok tengah mainan HP. Jok belakang dilipat buat barang bawaan.

Semua aman terkendali. Demak lewat. Kami ambil linkar luar. Kudus lancar. Ambil lingkar luar juga. Jalanan relatif sepi. Kendaraan berat truk dan sejenisnya sudah tak boleh lewat jalur pantura untuk memberi keleluasaan bagi pemudik. Dan memang akhirnya Pati, Juwana, Kaliori, Rembang, Lasem, semua dilewati dengan leluasa. Dan Zafira sehaat. Dua kali muncul suara mendengung pendek, tetapi oleh Bpk kopling ditekan kejut, dengung hilang sendiri. Barangkali tali kpias yang bikin mendengung berubah posisi.

Selepas Lasem, Bpk berhenti karena papasan dengan teman Blazer Indonesia Club - Om Joets Hartono yang kebetulan keluar rumah (beliyo tinggal di Lasem) buat perbaiki knalpot mobil blazernya. Tukang bengkel tutup. Om Joets kecewa. Bpk minta difoto dengan pose berdiri belakang Zafira. Buat dishare Om Joets di grup WA. Hehehe. Kami pamitan.

Zafira tancap gas. Kali ini dibawa Bpk agak kencang. Bpk bilang nampaknya kondisi Zafira tidak seperti yang dikhawatirkan. Jadi bisa diajak lebih ngebut sekitar 80-100 kpj. Gapura perbatasan Jateng Jatim dilewati dengan aman. Bpk ikut ngebut di belakang bis. Ngetutke bis, itu bahasa Jawanya. Bpk suka dengan teknik konvoi seperti ini karena bis diibaratkan sebagai poor ridjers - pembuka dan pengaman jalan. Zafira cukup konsentrasi jaga jarak dengan bokong bis. Jalan depan tak perlu dihiraukan. Aman sepanjang bisa dimasuki bis.

Sesaat sebelum masuk Tuban, bus berhenti. Bab ngetutke bis langsung tamat. Bpk lanjut memacu Zafira melintasi kota, ambil kanan lewat Babat, Lamongan, dan masuk tol Kebo Mas. Sekitar sejam kemudian, Zafira sudah berada di Pom Bensin dekat Tugu Pahlawan Surabaya. Isi pertamax. Dihitung Bpk, konsumsi BBM sekitar .2 km per liter. Not bad walau masih bad. Hehehe.

Waktu mau distarter kembali, Zafira matot alias mati total. Karena sudah pernah alami yang sama, Bpk santai saja. Kipas mesin nyala sendiri. Berarti mesin kepanasan dan Zafira minta waktu. Bpk pakai waktu nunggu buat sholat Zuhur dan Ashar digabung jadi satu. Fasilitas bagi musafir.

Sehabis solat, seorang staf SPBU mendekati Bpk menyarankan untuk dorong mobil menepi dari jalur pengisian BBM. Bpk terpaksa tolak karena mesin Zafira otomatik tak bolah didorong sembarangan. Lagipula mesin Zafira tersayang sudah bisa hidup lagi. Horeee .. Zafira segera meluncur riang dan santai menuju rumah Pucang.

Mudik Surabaya artinya pulang ke rumah peninggalan Mbah Kakung dan Eyang Uti di kawasan Pasar Pucang - Kertajaya - Gubeng. Mereka sudah lama tak ada. Yang tinggal di rumah Pucang adalah Bude Ninia, Pak De Banyo, dan Bude Titia plus Al(fonso). Berempat saja. Sehari-hari Bude Titia dibantu Ibu (seorang tetangga jauh) mengurus rumah. Ar(fonso), adiknya Al(fonso), bersama orangtuanya (Bapak Dana dan Ibu Novi) sekarang tak lagi tinggal di sini. Mereka di Rumah Mama (mertua Bapak Dana). Mbak Lita, sudah nikah dan barusan punya anak Mea-Mea, sekarang tinggal di Bekasi. Sementara anak terkecil keluarga Pakde Banyo yaitu MeMe, tinggal di rumah Depok menyelesaikan kuliah di Fakultas Hukum - Universitas Indonesia. Lebaran tahun ini, Mama Ninia, Pakde Banyo, dan Al(fonso) 'mudik' ke Rumah Depok, naik kereta dari Surabaya sampai Semarang, disambung pakai Chevy Blazer ke Jakarta. Jadilah lebaran 6 Juli 2016 semua pisah-pisah. Seperti itu ceritanya.

Tadi pagi, yang lebaran di Rumah Pucang melakukan sholat Ied Fitri di Taman Surya - halaman depan Balaikota Surabaya. Bpk bilang, sudah bosen sholat ied di jalan aspal depan Makam Ngagel dan pingin suasana lain.

Oleh Ibu Naning, semua disuruh siap-siap berangkat jam 5 pagi karena menurut informasi, sholat Ied di Taman Surya mulai jam 6 tepat. Yang berangkat Ibu Naning, Bpk, Ifa, Aya, dan Titia. Rumah kosong. Dikunci dari luar saja.

Dan benar. Tepat jam 6 sholat Ied dimulai. Khutbahnya tak begitu menyentuh. Isinya isu awang-awang. Ada juga beberapa yang menarik. Tapi agaknya gagal bikin jamaah bilang WOOWWW.

Setelah itu, rombongan ke Taman Makam Pahlawan di Jalan Mayjen Sungkono karena sebagai veteran AL, Mbah Kakung dimakamkan di sana.

Ibu Naning dan Titia menyempatkan menikmati Semanggi - semacam pecel khas Surabaya sebelum masuk ke makam buat berdoa. Aya pesen bakso tetapi nampaknya tak dimakan. Bpk ke ujung lain parkiran makam mau pesan lontong balap. Tetapi karena bosan nunggu, pesanan dibatalkan. Ada Bapak Dana dan Ibu Novi datang ke Makam pakai motor membawa Ar(fons) dan adiknya baru lahir Azka. Mereka pakai helm GOJEK.

Setelah berdoa di pusara Mbah Kakung dipimpin Bpk dengan doa-doa yang dihafalnya (lupa bawa Buku Yasin), rombongan pulang. Sebelum istirahat, Bpk, Ibu Naning, dan Ninia sempatkan ke Makam Pucang menjenguk pusara Mbah Uti. OTW home, mampir di rumah Mbak Puri dan Mbak Endang, tetangga, sekaligus orang-orang terdekat keluarga Pucang.

Cerita sampai di sini saja. Bpk mau siap-siap ke Juanda. Mau pulang ke Lombok satu dua hari menjenguk Puk Tuan dan keluarga besar di sana. Sayang sekali, Ibu Naning, Ifa dan Aya tak bisa ikut. Duit ongkos tak ada .. hehehe. Tak apa. Insya Allah di lain kesempatan. Aamiin.

Sunday 3 July 2016

Berita Macet. Tak Bisa Dipercaya.

Berita radio atau televisi tentang kemacetan lalu lintas selama mudik lebaran mungkin ada manfaat sedikit, ya .. sedikit .. hanya bagi pemudik yang bawa mobil pribadi, yang mobilnya punya radio, dan kebetulan memantau berita, dan berada di seputaran wilayah yang sedang diberitakan. Selebihnya berita semacam itu tak banyak berguna. Hanya bikin bising dan hati resah bagi yang memantau.

Terus menerus memantau Radio Elshinta pasti bikin pening kepala bukan? Posisi kendaraan sedang terjebak di Tol Cipali, tetapi berita yang muncul adalah tentang halangan rob bagi pemudik yang sedang melintas di Semarang. Tak relevan. Paling dekat, berita yang bisa didengar adalah tentang kemacetan di Ketanggungan, jalaur ke arah Purwokerto.

Tetapi apakah itu bermanfaat bagi sang pengemudi mobil, yang lalu akan bertindak cepat membuat keputusan manuver balik arah atau cari jalur lain?

Kayaknya gak deh. Soalnya yang namanya macet sama dengan mobil tak bisa bergerak sama sekali. Mana bisa putar balik? Emang odong-odong? wkwkw.

Informasi jalan paling mutakhir yang bisa mereka peroleh adalah dari para penjual asongan pinggir jalan yang kadang (secara salah) diasumsikan sebagai orang setempat yang tahu informasi jalan.

Padahal, ini yang sering dilupakan pengemudi dalam kondisi kepepet macet, tak semua penjual asongan pernah punya pengalaman ke luar kota. Mungkin mereka pernah ke luar kota, tetapi pakai bis atau naik motor. Informasi bisa beda-beda. Penjual asongan (yang diandalkan) bahkan mungkin sama sekali buta dengan jalur alternatif yang ditanyakan, tapi sok pede dan ngawur kasi penjelasan.

Berita tentang kemacetan hanya bikin bising. Tak semua anak di dalam mobil suka berita. Mereka mungkin akan meminta cari gelombang radio yang setel musik. Bapak (misalnya) yang sedang mengemudi merasa perlu memantau berita. Anak-anak pingin tenang. Bertengkar deh jadinya. Hahaha.

Bagaimana halnya dengan pemudik motor?

Sering kita dengar di radio, reporter berita meminta pejabat yang sedang diwawancarai untuk memberikan himbauan (yang basi) kepada para pemudik. Isinya begini kira-kira: bagi pemudik motor, hati-hati di jalan. Hindari jalan ini dan itu. Istirahat bila ngantuk, bla bla bla.

Apa pemudik motor bisa dengar suara mereka? Apa pemudik motor bisa mengambil manfaat dari himbauan atau berita seperti itu? Apakah mereka bawa radio transistor? Naik motor sambil dengar radio? Pakai headset? Kayaknya gak deh.

Pemudik motor bisanya cuma pasrah bila ketemu macet, lalu mengikuti insting apakah balik arah atau ikut rombongan lain melanjutkan perjalanan tanpa kepastian apakah di depan lancar, atau memilih berteduh istirahat melemaskan otot badan yang kaku.

Berita mudik, tak ada manfaat bagi mereka. Kalaupun sempat memantau, misalnya lewat TV saat mampir di warung atau radio dari pengeras suara pom bensin (yang lebih malah seringnya putar dangdut koplo), berita yang mereka terima saat itu adalah tentang arus lalu lintas di Pekanbaru, lokasi berjarak 2000 KM dari posisi mereka di Brexit, misalnya. Mana ada gunanya.

Di rumah ... ketenangan rumah Simbah di Klaten diganggu berita terus menerus dari TV tentang macet, macet, dan macet di Cikunir, Exit Pejagan, Brebes Timur, Tegal, dll. Berita macet tak ada guna bagi Simbah sekeluarga. Memangnya mereka butuh berita lalu lintas? Iya ...ada juga sih manfaatnya .. itu akan membuat mereka bersyukur bukan menjadi bagian dari mereka yang sedang diberitakan di TV. Mereka bisa prihatin atau menertawakan (ada juga sih yang sikapnya begini) melihat penderitaan para pemudik yang lagi macet.

Berita macet TV atau radio bikin hati resah. Mendengar berita negatif hanya bikin jiwa tak tenang. Beda bukan kalau dengar kelenengan gamelan Jawa atau lagu streaming Calm Radio di TuneIn berisi musik country pilihan yang menenangkan?

Kalau mau berita macet atau pilihan alternatif jalan, yang paling bisa diandalkan adalah teman atau saudara yang kebetulan rumahnya berada di lokasi yang diduga macet atau ada halangan lalu linas.

Telpon mereka sebelum memutuskan jalur mana yang akan dilalui.

Kalau mengandalkan berita TV atau radio atau bahkan pantauan kepolisian, kayaknya efektifitasnya rendah deh. Soalnya, kadang berita sudah basi. Dan kita juga tahu, yang namanya jalanan, perubahan dapat terjadi begitu cepat. Jalan macet tiba-tiba lancar. Jalan lancar tiba-tiba macet. Tentu tanpa ada penjelasan.

Apakah kita bisa pastikan kru TV atau reporter radio atau polisi dapat segera ke lokasi untuk memantau dan memproduksi berita buat kita? Gak janji deh.

Catatan: Hal yang sama terjadi juga dengan berita online lho . .jangan kira informasi detik.com selalu anyar.

Terus gimana dong? Mari ikuti berita macet di radio atau TV dengan santai. Baca berita online buat seneng-seneng. Buat sekedar tahu saja. Bukan sebagai pertimbangan membuat keputusan merencanakan jalur mudik.

Selebihnya, bismillah, mari jalan.

Macet? Nikmati saja. Asal tak lupa bawa persiapan pampers ekxtra, bensin jirigen isi 100 liter, makanan ringan dan berat, air dua galon, dan mungkin portabel closet atau terpal buat bikin tebeng bila pingin pipis. Hahaha.

Selamat Mudik. Selamat Menikmati Macet. Selamat Lebaran. Mohon Maaf Lahir Batin.

Saturday 2 July 2016

Menulis. Merekam Masa Kini. Untuk Hiburan Masa Depan.

Sudah lama aku vakum menulis. Tentu saja dalam tajuk 'menulis apa yang terlintas,' bercerita tentang hal-hal sepele yang aku alami atau jalani sehari-hari. Di rumah, di jalan, bertemu orang, rasa haru atau bahagia. Tentang apa saja. Sudah lama blog ini tak berisi cerita.

Sudah lama aku vakum menulis. Mungkin karena tak punya ide mau nulis apa berhubung tak pernah membaca. Makin sedikit bacaan, makin tak berisi kepala, makin susah diperas buat nulis.

Dua hari terakhir ini, aku bongkar-bongkar tulisan lama. Apa yang aku cita-citakan dahulu ketika memulai menulis blog ini, merekam peristiwa sehari-hari, mengabadikan kenangan buat bacaan masa depan, subhanallah, aku rasakan kebenaran ide itu.

Beberapa tulisan kembali membuatku tertawa, bahkan menangis, teringat kembali emosi saat dulu mengetiknya. Aku berbahagia, aku punya catatan kehidupan, betapapun tak lengkap, tetapi blog ini cukup menghiburku. Ada cerita tentang perasaan terhadap tim sepakbola kesayangan, fikiran dan ide baru tentang apa saja, juga perasaan terhadap anak, tentang orang gila jalanan, tentang kesukaan mendengarkan radio gelombang pendek, dan banyak lagi.

Belum sampai ada 200 judul. Tak banyak bila dibandingkan dengan pengalaman sepele namun menarik yang semestinya bisa aku tulisakan di sini. Tak apalah. Hari ini aku bertekad. Memulai menulis lagi. Menulis sesering mungkin. Bila perlu tiap hari. Menulis tentang apa saja. Tak perlu panjang. tapi minimal lebih panjang dari status di Facebook.

Buat sumber kenangan 5, 10, 15, 20 tahun lagi .. bila Yang Maha Kuasa berkenan beri umur panjang.

Enam Alasan Mengapa Orangtua Sebaiknya Mengalah Pada Anak

Bertengkar dengan anak? Hanya satu pilihan bagi orang tua: mengalah. Itu lebih baik ketimbang membiarkan hati galau sepanjang hari, wajah jadi jutek, dan mood berantakan. Berikut ini penjelasannya.

1) Penyebab pertengkaran seringkali sepele. Misal anak tidak melipat mukena dan sajadah selesai sholat atau lupa mematikan lampu sehabis dari kamar mandi. Menanamkan kebiasaan baik pada anak (merapikan alat sholat atau hemat energi) butuh waktu bukan?

2) Anak adalah anak. Mereka masih labil. Sekarang marah, sejam dua jam gembira lagi. Paling banter mogok bicara semalaman. Besoknya, sepulang sekolah, mereka sudah ceria kembali. Bagi anak, pertengkaran bukanlah hal serius. Kalau orang dewasa, bisa dendam setahun lho. Wkwkwkwk.

3) Bertengkar dapat menimbulkan 'luka'. Bekasnya juga tak mudah hilang. Terutama bagi jiwa halus anak-anak. Bukankah orang tua tak ingin anak kesayangan luka? Kalau orang dewasa luka, mungkin tak mengapa. Mereka punya lebih banyak cara menghibur diri atau sembuh dari luka.

4) Tak ada orang yang suka bertengkar. Dewasa maupun anak-anak. Hati galau atau mood tak karuan gara-gara bertengkar dapat membuat runyam urusan lain. Coba saja ingat, kalau hati lagi senang, orang-orang sekeliling nampak menyenangkan dan pekerjaan berat sekalipun akan terasa ringan.

5) Lagipula, bukankah bila anak senang, hati orang tua ikut senang? Marilah mengalah bila memang bisa bikin anak senang. Misal, di toko pakaian, anak lebih memilih gaun warna merah menyala ketimbang hijau pupus pilihan ibu. Ibu mengalah. Anak senang. Akhirnya semua akan senang.

6) Orang tua sering lupa kalau anak adalah subyek. Mereka belajar banyak hal dari melakukan sesuatu. Larangan berarti kesempatan belajar hilang. Tak perlu bertengkar bila anak pulang terlalu sore. Anak juga bisa tanggung jawab terhadap diri mereka sendiri bukan?

Masih mau bertengkar dengan anak? Kalau ya ... silahkan saja. Tapi mood tak karuan, monggo ditanggung sendiri .. :D

Friday 1 July 2016

Ramadan. Lalu Apa?

Sebentar lagi puasa Ramadan 1437 H - 2016 ini berakhir. Apa yang kita peroleh dari fasilitas latihan mengekang hawa nafsu setahun sekali ini? Semoga ada sesuatu. Aamin. Sebab alangkah sedihnya bila kita termasuk yang disebut Rasulullah sebagai sebagian orang berpuasa, tetapi hanya mendapatkan haus dan lapar. Naudzubillah.

Minggu awal puasa, aku ingat Syarrifa, anakku sulung, bilang kalau puasa kali ini dia tak merasa spesial. Ketika itu, kami bertiga sama adiknya Aya, semobil menuju suatu tempat aku lupa. Masih di Semarang.

Pertanyaan yang sama, selalu aku tanyakan pada diri, terutama dalam beberapa tahun Ramadan yang telah lewat. Aku selalu jawab bahwa spesial tidaknya Ramadan, tergantung dari usaha keras diri pribadi. Ramadan bak bulan biasa bila kita tak berpuasa dan menjalankan SEMUA sunnah di dalam bulan seribu bulan ini. Barangkali begitu? Entahlah.

Tetapi apa sih yang disebut dengan Ramadan spesial? Apakah Ramadan yang punya 'nuansa' sama seperti yang pernah kita rasakan saat kecil dulu di desa, di kampung, di kota, tempat kita tumbuh besar? Ada makanan khusus tersaji di meja makan. Ada bunyi-bunyian khas religi berkumandang. Ada suara orang tadarrus. Ada melek nunggu sahur. Ada sahur terlambat. Ada lemas dan loyo. Ada gembira tak terperi menjelang buka puasa. Ada puncak bahagia ketika esok adalah malam takbir menjalang Sholat Ied di lapangan.

Itukah yang dimaksud spesial? Yang bila kita tak temukan sekarang, gara-gara kita, misalnya, hidup di kota besar, di perumahan yang suaraa speaker musholla tak boleh keras-keras karena kuatir mengganggu istirahat tetangga? Atau hal-hal spesial lain yang tidak kita temukan karena kebetulan mengalami Ramadan di negara lain? Di Eropa? Yang urusan agama sudah dipandang sebagai urusan sendiri? Di negara yang tak mengenal razia tutup warung jualan pada siang hari? Di tempat jauh dimana kita tak bisa lagi memonitor layar TV yang menyiarkan berita mudik?

Apakah yang dimaksud spesial adalah suasana seperti itu semua? Hal-hal yang terjadi secara fisik di luar diri kita? Suara, bau, pemandangan, dll. yang kiranya membantu diri teringat sedang puasa, sedang berpuasa, sedang dalam bulan suci, atau sedang Ramadan?

Pernahkah kita suatu saat bertanya bahwa spesial tidaknya sesuatu adalah karena persepsi? Sesuatu dari dalam diri? Bukan karena sesuatu dari luar?

Bukankah kita pernah tahu ada yang tertawa bahagia karena hadiah undian 500 ribu, sementara ada yang tak merasa luar biasa mendapatkan keuntungan bisnis 'hanya' 500 juta?

Bukankah nilai 500 ribu dan 500 juta berada dalam domain persepsi?

Tidak bisakah kita buat diri mampu mempersepsi Ramadan adalah spesial tanpa harus bergantung pada suara-suara musik religi di mall tempat kita belanja? Tanpa harus mendengar bunyi mercon dilempar ke udara? Tanpa harus mendengar rama tadarrus dari musholla? Tanpa harus mencium aroma makanan khusu Ramadan? Tanpa harus melihat hiasan lengkung masjid di dekorasi kantor-kantor pemerintah dan pusat perbelanjaan?

Spesial tidaknya Ramadan, biarlah diserahkan pada pribadi masing-masing. Kata guyonnya, 'sesuai dengan amal perbuatan masing-masing.'

Lalu apa? Bagi yang merasa sedih Ramadan kali ini tak begitu spesial, entah karena tak banyak suasana luar yang membantu, atau karena diri sendiri tak banyak ngaji, beamal, dll, mari ingat setelah Ramadan ini, masih ada bulan-bulan lain penuh tantangan.

Sanggupkah kita 'berpuasa' selayak Ramadan dalam bulan non Ramadan? Kalau mau merasakan yang spesial-spesial, ada baiknya kita mulai dari sini: mengimplementasikan Ramadan dalam hidup. Bahkan bilapun Ramadan sudah berlalu.

Kalau dalam Ramadan rajin ngaji, rajin ke masjid, rajin beramal, raji baca, rajin silaturahmi, dll, maka .. di bulan setelah Ramadan, ada baiknya semua itu dapat ditingkatkan dan kita buat Ramadan hadir dalam hati masing-masing. Supaya kita tak menangis ditinggal Ramadan 1437 H yang usianya tinggal beberapa kali sahur ini.

Terjemah dan Pingin Jalan

Beberapa hari ini aku sibuk dengan kerjaan terjemahan. Bahasa Inggris ke Bahasa Indonesia. Aku suka pekerjaan ini karena bisa memaksaku membaca. Ya iyalah. Bagaimana bisa menerjemahkan kalau tak baca teksnya ... hahaha.

Memaksa membaca. Membaca teks, bahkan dalam topik yang bukan tergolong jurusan sendiri. Ini bagus, karena bisa isi waktu dengan membaca (merasa nyaman karena waktu dipakai untuk hal-hal bermanfaat). Juga menyenangkan karena bisa 'rekreasi' ke tempat baru.

Membaca teks baru ibarat jalan-jalan di sebuah kota, mungkin sudah pernah dikunjungi sebelumnya walau terbatas di seputar jalan utama, lalu pada sebuah kunjungan, ada kesempatan jalan agak jauh, ke jalan dan gang-gang sempit, serta merta  takjub menemukan pojok-pojok kota yang bahkan tak pernah terbayangkan rupa dan keberadaannya.

Itu yang aku alami ketika arus menerjemahkan teks tentang kebijakan publik. Istri dulu kuliah di jurusan ini dan beberapa kali dia minta bantuanku meringkas teks berbahasa Inggris ke dalam Bahasa Indonesia. Aku jadi mengenal kenyataan bahwa berbagai permasalahan birokrasi dan pelaksanaan program pembangunan di negara kita ini ternyata pernah dialami (dan kemudian dipecahkan) oleh pemerintah sebuah kota di Amerika sana.

CATATAN: kalau saja para birokrat pelaksana pemerintahan negara kita ini mau membaca, pasti tak perlu mengulang kesalahan akibat coba-coba aneka strategi pembangunan atau pengelolaan pemerintahan. Sudah biaya mahal, tak berhasil lagi. Kenapa sih tak mau belajar dari pengalaman di tempat lain? Hehehe.

Membaca tentang agroforestri di Sumba Timur, hmm .. apa pula ini ... tetapi teks terjemahan yang saat ini aku kerjakan, memaksaku belajar tentang adanya empat kabupaten di Pulau Sumba, pulau terbesar di Nusa Tenggara Timur, provinsi paling tenggara kepulauan Nusantara kita.

Baca teks dan cari Google Map membuat aku melihat selayang pandang hamparan daerah pesisir sekeliling pulau yang PASTINYA - aku jamin deh .. punya PANTAI INDAH .. .INDAH .. dan INDAH .. Belum lagi hamparan perbukitan yang menurut teks yang aku terjemahkan, memiliki ekologi yang berbeda dengan sebagian besar wilayah lain di tanah air.

Aku jadi pingin ke sana.

Pingin mewujudkan mimpi jalan-jalan mengelilingi Indonesia. Mulai dari Sumbawa, Flores, Timor, Sumba? Bisaaaaaa .. Ntar tunggu ada duit aah ... hehehe.

Nah begitulah. Akibat menerjemahkan, harus baca, menemukan dunia baru, jadi pingin jalan-jalan deh. :D