Friday 1 July 2016

Ramadan. Lalu Apa?

Sebentar lagi puasa Ramadan 1437 H - 2016 ini berakhir. Apa yang kita peroleh dari fasilitas latihan mengekang hawa nafsu setahun sekali ini? Semoga ada sesuatu. Aamin. Sebab alangkah sedihnya bila kita termasuk yang disebut Rasulullah sebagai sebagian orang berpuasa, tetapi hanya mendapatkan haus dan lapar. Naudzubillah.

Minggu awal puasa, aku ingat Syarrifa, anakku sulung, bilang kalau puasa kali ini dia tak merasa spesial. Ketika itu, kami bertiga sama adiknya Aya, semobil menuju suatu tempat aku lupa. Masih di Semarang.

Pertanyaan yang sama, selalu aku tanyakan pada diri, terutama dalam beberapa tahun Ramadan yang telah lewat. Aku selalu jawab bahwa spesial tidaknya Ramadan, tergantung dari usaha keras diri pribadi. Ramadan bak bulan biasa bila kita tak berpuasa dan menjalankan SEMUA sunnah di dalam bulan seribu bulan ini. Barangkali begitu? Entahlah.

Tetapi apa sih yang disebut dengan Ramadan spesial? Apakah Ramadan yang punya 'nuansa' sama seperti yang pernah kita rasakan saat kecil dulu di desa, di kampung, di kota, tempat kita tumbuh besar? Ada makanan khusus tersaji di meja makan. Ada bunyi-bunyian khas religi berkumandang. Ada suara orang tadarrus. Ada melek nunggu sahur. Ada sahur terlambat. Ada lemas dan loyo. Ada gembira tak terperi menjelang buka puasa. Ada puncak bahagia ketika esok adalah malam takbir menjalang Sholat Ied di lapangan.

Itukah yang dimaksud spesial? Yang bila kita tak temukan sekarang, gara-gara kita, misalnya, hidup di kota besar, di perumahan yang suaraa speaker musholla tak boleh keras-keras karena kuatir mengganggu istirahat tetangga? Atau hal-hal spesial lain yang tidak kita temukan karena kebetulan mengalami Ramadan di negara lain? Di Eropa? Yang urusan agama sudah dipandang sebagai urusan sendiri? Di negara yang tak mengenal razia tutup warung jualan pada siang hari? Di tempat jauh dimana kita tak bisa lagi memonitor layar TV yang menyiarkan berita mudik?

Apakah yang dimaksud spesial adalah suasana seperti itu semua? Hal-hal yang terjadi secara fisik di luar diri kita? Suara, bau, pemandangan, dll. yang kiranya membantu diri teringat sedang puasa, sedang berpuasa, sedang dalam bulan suci, atau sedang Ramadan?

Pernahkah kita suatu saat bertanya bahwa spesial tidaknya sesuatu adalah karena persepsi? Sesuatu dari dalam diri? Bukan karena sesuatu dari luar?

Bukankah kita pernah tahu ada yang tertawa bahagia karena hadiah undian 500 ribu, sementara ada yang tak merasa luar biasa mendapatkan keuntungan bisnis 'hanya' 500 juta?

Bukankah nilai 500 ribu dan 500 juta berada dalam domain persepsi?

Tidak bisakah kita buat diri mampu mempersepsi Ramadan adalah spesial tanpa harus bergantung pada suara-suara musik religi di mall tempat kita belanja? Tanpa harus mendengar bunyi mercon dilempar ke udara? Tanpa harus mendengar rama tadarrus dari musholla? Tanpa harus mencium aroma makanan khusu Ramadan? Tanpa harus melihat hiasan lengkung masjid di dekorasi kantor-kantor pemerintah dan pusat perbelanjaan?

Spesial tidaknya Ramadan, biarlah diserahkan pada pribadi masing-masing. Kata guyonnya, 'sesuai dengan amal perbuatan masing-masing.'

Lalu apa? Bagi yang merasa sedih Ramadan kali ini tak begitu spesial, entah karena tak banyak suasana luar yang membantu, atau karena diri sendiri tak banyak ngaji, beamal, dll, mari ingat setelah Ramadan ini, masih ada bulan-bulan lain penuh tantangan.

Sanggupkah kita 'berpuasa' selayak Ramadan dalam bulan non Ramadan? Kalau mau merasakan yang spesial-spesial, ada baiknya kita mulai dari sini: mengimplementasikan Ramadan dalam hidup. Bahkan bilapun Ramadan sudah berlalu.

Kalau dalam Ramadan rajin ngaji, rajin ke masjid, rajin beramal, raji baca, rajin silaturahmi, dll, maka .. di bulan setelah Ramadan, ada baiknya semua itu dapat ditingkatkan dan kita buat Ramadan hadir dalam hati masing-masing. Supaya kita tak menangis ditinggal Ramadan 1437 H yang usianya tinggal beberapa kali sahur ini.

No comments: