Thursday 14 July 2016

Yuk Berhemat

Selesai mengosongkan kandung kemih, dengan perasaan lega aku tekan tombol guyuran air di bagian atas peturasan porselen. Byuuuuuuuurrr .. Air mengalir keluar. Banyak sekali. Iya, banyak sekali. Bahkan mungkin terlalu berlebihan buat sekedar menggelontor sedikit sisa air kencing di lubang peturasan.

Aku kaget. Tak menduga air keluar sebanyak itu. Tetapi ku akui, ada rasa senang. Senang lihat air banyak. Bukankah air banyak bisa membersihkan bekas kencing dengan tuntas? Hasilnya memang beda. Peturasan kempling. Udara ruangan relatif lebih segar. Beda jauuh dengan aroma tempat kencing di pom bensin atau masjid sekalipun.

Aku bergeser ke wastafel. Mau cuci tangan. Kaget kedua muncul. Biasanya kalau buka keran, air mengalir malas. Tapi di sini, air keluar deras sekali. Tak berhenti kalau aku tidak buru-buru menurunkan tuas keran. Air tersedia tak terbatas. Luar biasa. Lokasi: sebuah hotel berbintang di kawasan Solo Baru, Surakarta, Jawa Tengah.

Di airport atau di pusat-pusat perbelanjaan, aku sering temukan keran air model ditekan baru keluar air. Sesaat kemudian berhenti otomatis. Jumlah air yang keluar tak banyak. Tak memuaskan. Kadang sampai ada yang merasa perlu menekan keran beberapa kali untuk mengumpulkan lebih banyak air. Di sini, di hotel ini, air keluar seperti langsung dari sumber air dengan persediaan tak terbatas.

Aku merasa berdosa.

Mungkin kalau air bersih sebanyak itu adanya di mata air di kaki gunung atau di hulu sungai, aku tak seberapa kepikiran. Ini adanya di kota besar. Dari mana air bersih sebanyak itu? Mungkin dari Bengawan Solo? Bisa jadi. Tetapi untuk mengalirkannya ke hotel, pasti butuh pipa sangat panjang. Kalaupun pakai air PDAM, seberapa banyak debitnya? Bukankah PDAM juga perlu mengolah air sungai sedemikian rupa (dan biaya pasti mahal untuk menghasilkan air sebersih ini) untuk kemudian mengalirkannya ke hotel?

Aku merasa boros.

Aku ingat dulu sekitar 15 tahun lalu, aku berkunjung ke rumah teman di sebuah desa di Gunung Kidul - Yogyakarta yang terkenal sebagai daerah kurang air. Untuk wudlu, kami pakai air gentong dengan lubang keran sebesar pensil. Air mengalir sanat pelan. Dan sangat sedikit. Tetapi toh kami bisa wudlu dan tetap sah untuk sholat.

Dulu aku bilang pada diri, temanku ini pelit sekali. Bahkan mungkin karena pelit (atau hematnya itu) kemudian dia bisa nabung dan bikin rumah besar? Hahaha. Pelit atau bukan, temanku itu sangat menghargai air. Dia paham benar susahnya mengumpulkan air. Maka dari itu dia tak ingin boros air.

Aku juga ingat seorang teman Australia yang kebetulan sekamar denganku menginap di sebuah hotel di Kuningan - Jawa Barat, ketika kami ada pekerjaan di sana, sekitar 10 tahun lalu. Dia ajari aku tidak mengguyur toilet sebelum kami pipis sampai 10 kali. Dia bilang, air sangat mahal (mungkin pengalamannya di kampung halaman). Sekali pipis sekali guyur adalah pemborosan luar biasa baginya. Memang sih, kamar hotel kami jadi bau pesing. Hahaha. Tetapi jiwa hematnya itu patut dicatat.

Beberapa hari lalu aku lihat postingan di Facebook tentang sebuah peringatan bagi pengunjung restoran untuk mikir-mikir sebelum mengambil makanan. Intinya pengunjung diharapkan mengambil makanan secukupnya saja supaya tak ada yang tersisa. Restoran tersebut mengancam akan mendenda pengunjung bila ada makanan yang tidak dimakan.

Aku malu.

Kadang aku pakai air berlebih. Pakai listrik berlebih. Ambil makan kadang kebanyakan. Dan tak bisa aku habiskan. Kata tulisan di restoran, anda bisa beli, kamipun bisa beli. Tetapi pemborosan itu berat bagi negara. Iya .. tak hanya bagi negara, tetapi mungkin bagi kita semua sebagai bangsa. Karena sebenarnya sumber daya alam ini, apapun bentuknya, sebenarnya untuk kita bersama. Tak boleh ada yang memboroskannya walau mampu sekalipun.

No comments: