Monday 10 January 2011

Mudahnya Kirim Dokumen dan Barang

Urusan kirim-mengirim sesuatu tidak pernah semudah sekarang. Siapkan dokumen atau paket yang akan dikirim, kurir seakan berlomba menjemput bola datang ke rumah. Bayar langsung dan dapatkan nomor resi. Buka internet, lacak kiriman tanpa repot telpon sana telpon sini.

TIKI dan JNE adalah dua nama yang kita sudah kenal. Pengalaman mereka selama ini merupakan jaminan. Lagipula, dengan outlet penerimaan kiriman yang makin tersebar luas, rasanya tak ada kerepotan lagi. Dalam beberapa bulan terakhir, aku sering pakai JNE untuk kirim HT dari Semarang untuk direparasi di Jakarta. HT tak kunjung sembuh, kunjungan ke JNE juga tak rampung-rampung. Yang aku tahu, untuk sekitar Banyumanik, JNE ada di dekat Pasar Jati dan di Studio Foto Walet, Jl. Setiabudi. Harga murah, barang sampai keesokan hari.

Pernah coba kirim dokumen atau paket pakai jasa travel atau bis? Ini juga pilihan yang menarik. Barusan aku kembali dari agen Cipaganti di ujung tol Banyumanik (depan Swalayan Ada). Bayar 40 ribu, dokumen dijamin sampai jam 2 siang di Jogja. Terhitung lama karena Cipaganti harus lewat Solo antar penumpang. Gak masalah, tidak terburu-buru. Aku diberi nomor HP sopir yang membawa dokumen untuk kepastian keamanan kiriman. Penerima tinggal datang ke pool Cipaganti di Jalan Magelang KM 6 Jogja untuk ambil.

Di sini ada juga Bis Nusantara yang siap membantu mengirimkan paket atau dokumen dari Semarang ke Jogja. Kiriman sampai, ambil di pool. Murah meriah. Dulu ketika kuliah di Jogja, aku juga sering kirim barang pakai bis. Adalah Safari Dharma Raya jurusan Jogja - Lombok yang sering aku pakai. Gak pernah ada keluhan. Sebuah TV Toshiba yang aku kirim dari Jogja sebagai hadiah buat Ibu di Lombok sana ternyata sampai sekarang masih fungsi normal. Sudah lebih 10 tahun!

Kantor Pos juga tidak kalah bagusnya sekarang. Adikku biasa pakai jasa BUMN ini untuk kirim ikan asin dan terasi dari Lombok. Dua hari sampai. Nyaman.

Kayaknya sekarang kita gak perlu repot buat kirim kirim sesuatu. Semua jenis layanan ada, siap membantu meringankan urusan dengan biaya yang tak mahal.

Hidup, Rumah, dan Setelah Ini

Kemarin ketika ke airport, Naning tiba-tiba bertanya. "Punya feeling gak dimana kita akan menghabiskan masa tua?"

Naning akan ke Jakarta dan Bogor untuk acara kantornya. Ngobrol setengah jam di mobil, jarak rumah kami di Banyumanik dengan airport Ahmad Yani Semarang, adalah kesempatan emas. Tak ada interupsi Ifa dan Aya, anak-anak kami. Ha ha.

Aku tak langsung menjawab, tetapi berusaha menilik pikiran dan hati menemukan jawaban. Aku tak berhasil. Kerucut feeling itu tak aku rasakan. I don't have a strong feeling about a particular place. Saat ini kami tinggal di Semarang. Tapi kami punya rumah di Depok. Naning selalu punya keinginan tinggal di Jogja. Tetapi kemungkinan pekerjaan dapat saja melemparnya ke Surabaya atau tempat lain.

"Mungkin aku lebih suka tinggal di Depok. Di sana ada rumah kita. Hasil keringatmu kerja. Juga adik ada di sana (anak kami ke-3, anak laki mungil berusia 33 hari, dimakamkan di sana). Lagipula, kalau aku cari kerja, Jakarta kemungkinan bisa memberiku kesempatan. Kita juga kan punya keinginan mengelola beberapa kegiatan sosial. Rumah Depok cukup besar untuk perpustakaan anak-anak, sanggar musik dan gambar, atau kegiatan lain. Jakarta juga bisa berarti koneksi yang lebih dekat dengan teman-teman lama."

"Iya sih," jawab Naning. "Tapi untuk sementara, aku lebih suka anak-anak sekolah di luar Jakarta dulu. Jakarta terlalu berat untuk anak-anak. Ntar kalau mereka sudah lebih dewasa, kita bisa kuliahkan di sana."

Life, life, life. Our life.

We've been simply following where the wind blows.

Setelah menikah tahun 2000 di Surabaya, kami tinggal di Pacitan selama beberapa tahun. Sebelumnya Naning memang kerja di sana (total 9 tahun). Kemudian kami pindah ke Wonosari, lalu ke Jogja, sebelum ke Depok. Pekerjaan Naning melempar kami kesana kemari. Kami enjoy aja.

Punya anak membuat kami perlu memikirkan tempat menetap. Anak-anak perlu sekolah dan berteman. Depok diambil karena ada saudara di sana. Lagipula aku kerja di Bogor. Perlu waktu beberapa tahun untuk kami berani putuskan pindah ke Semarang, tempat kami sekarang. Pindah berarti aku berhenti kerja dan anak-anak pindah sekolah. Ternyata tidak terlalu susah. Anak-anak juga kelihatan enjoy.

Begitulah sekelumit cerita kami. Cerita yang kami sendiri tak tahu kapan berhenti atau dihentikan. Kami tak tahu kemana angin akan membawa kami setelah ini. Doa aja deh .. kemanapun kami ditiup, itu adalah tiupan sayang Yang Kuasa. Kami akan ikhlas menerimanya.

Kita Semua Kan Kembali

Nurul menyalamiku lama. Dari caranya menggenggam tanganku, tidak ingin segera dilepaskan, aku merasa ia sedang mencari tempat pegangan. Matanya merah. Sudah tak berair. Mungkin habis terkuras sejak kemarin sore pertama kali ia mendapat kabar bapaknya meninggal dunia.

Ia berbisik lirih, "Belum sempat menyenangkan Bapak ..."

Mendengar kata-kata itu, aku merasa mataku menggenang. Saved by a friend! Pak De Pul, seorang teman klub mobil Blazer, juga temannya Nurul, datang menghampiri. Malu donk kalau terlihat menangis. Tapi di dalam hati, aku ingat peristiwa hampir 10 tahun lalu ketika mendengar Bapakku telah berpulang. Aku juga kepikiran hal yang sama.

Tak ada kesempatan melankolis. Beberapa teman lain bergabung. Ada Pak Miko dan istri, juga anak mereka Naura. Lalu Pak Beggy yang sibuk dengan HT untuk koordinasi dengan teman-teman Blazer yang sedang parkir di jalan raya depan rumah duka.

Bapaknya Nurul meninggal dunia pada usia 70an tahun. Beberapa tahun dalam masa hidupnya dilewati dalam rawatan intensif keluarga.

"Bolak-balik terserang stroke ringan. Bolak balik ke rumah sakit," cerita Nurul. Secara mental ia sebenarnya sudah siap akan datangnya berita duka.

"Sebelum ini, aku siap 24 jam stand by. Gak pernah sekalipun aku meninggalkan HP jauh dariku. Tapi kemarin itu, HP ada mobil. Aku sedang isi acara di Merapi, di Jogja. Aku baru ngeh Bapak sudah tak ada, setelah lebih 2 jam."

Innalillahiwainnaailaihiroojiuun. Semua yang bernyawa pasti akan kembali kepada Sang Pemberi Hidup.

Menuju parkiran selepas pemakaman, dengan guyon aku tunjukkan ke Nurul sebuah nisan yang kami lintasi. Sebuah nama indah milik perempuan muda usia 24 tahun menancap di atas gundukan tanah makam yang kelihatan belum lama dibangun.

"Perempuan bernama indah, perempuan muda, mungkin dia cantik, ia tak juga bisa menolak maut," kataku diiyakan Nurul.

Beberap hari yang lalu, aku lihat status FB seorang teman yang mengabarkan kematian temannya. Juga seorang perempuan muda yang sedang dalam masa menikmati kemudaan dengan sekolah, bekerja dan berteman.

"Usia kita adalah usia-usia rawan," kembali aku katakan ke Nurul. "Kita sangat dekat dengan berita kematian. Entah kematian orang tua kita, teman dan kerabat mereka. Saudara kita. Teman seusia kita, adik dan kakak. Atau kita sendiri. Usia rawan. Beda dengan usia tujuh belas dua puluh ketika kita belum begitu paham arti kosakata 'meninggal.'

Nurul hanya mengangguk. Ia masih sedang membayangkan masa-masa ketika Bapaknya masih ada.

Jangan khawatir teman, kita masih punya ibu atau saudara orang tua kita, saudara dan teman-teman kita, adik kakak keponakan. Semuanya masih ada untuk kita bahagiakan.

**Teriring doa untuk almarhum .. Kiranya Yang Maha Kuasa memberi tempat terbaik. Amiin ...

Harapan Tahun Baru 2011

Hari ini tidak bisa lagi dikatakan awal tahun baru. Sudah lewat 10 hari. Tetapi masih belum terlalu telat untuk buat sebuah new year resolution. Kali ini masih tak jauh beda dengan yang dulu dulu .. ingin nulis lebih banyak.

Yang sekarang, aku perlu selalu ingatkan diri untuk menulis tanpa beban. Tanpa merasa tulisan akan dibaca orang dan berharap bakal diberi pujian. Sekedar nulis. Tentang apa saja. Tentang semua hal. Tak peduli besar kecil. Penting gak penting. Panjang atau pendek. Yang penting nulis.

Itulah yang harus aku lakukan. Sekedar menuangkan pikiran. Biar gak mengganjal di sudut pikiran. Mengeluarkan apa-apa yang ada di benak seperti ini dapat juga sebagai usaha mengumpulkan koleksi pengingat peristiwa yang telah lalu. Peristiwa di dalam benak dan peristiwa di luar benak. Semuanya.

Ada rasa senang membaca tulisan 2 atau 3 tahun lalu. Luar biasa. Rekaman peristiwa lama seperti terputar ulang. Sebagai sebuah rekreasi jiwa. Aku membayangkan, lima atau enam, tujuh tahun ke depan, tulisan ini juga akan membuatku tersenyum. Insya Alloh.