Friday 19 August 2016

Facebook. Tolol. Salah Sendiri

"Mas, komen lo gk penting amat, apa hubungan dengan Opa Ferguson, ha ha ha .. Tolol!" kata seorang pemilik akun tak punya wajah (blank) menanggapi komentarku yang mengomentari sebuah status di sebuah grup Facebook.

Kemarin, saat aku tulis komentar, aku sudah menduga akan ada kemungkinan salah tafsir dan salah duga atau salah tanggap tentang apa yang aku tulis.

Bagaimana tidak, aku sedang menggunakan bahasa dan jenis guyonan yang selama ini dianggap biasa saja, bahkan dinikmati, di grup Facebook lain yang aku ikuti.

Aku paksakan tetap nulis dengan tujuan membuktikan asumsi bahwa akan ada yang menanggapi 'beda.' Dan aku benar.

Hari ini terbukti. Seorang komentator, entah siapa, aku gak kenal, menulis komentar seperti dalam awal tulisan ini. Dalam pandanganku, komentar di atas sangat melukai dan tak sopan.

***

Begitulah Facebook atau media sosial lainnya. Sebuah media yang menggabungkan berjuta orang dengan berjuta latar belakang, berjuta kondisi fisik dan kejiwaan, berjuta minat, dan berjuta-juta perbedaan lainnya. Semua dikumpulkan jadi satu dalam forum status Facebook.

Apa nggak runyam kalau demikian? Tentu saja iya, apalagi bila dalam menulis status atau komentar kita tak berhati-hati atau tak ingat bahwa kita sedang muncul dalam suatu medan belantara dengan riuh rendah perbedaan dengan dengan kemungkinan adanya multi-tafsir yang sangat-sangat multi. Hahaha.

Hati-hati dalam menulis status atau komentar bila tak ingin repot.

***

Untung aku sedang bijaksana. Komentar di atas aku jawab dengan santun, minta maaf atas tidak perkenannya. Aku jelaskan bahwa aku sedang guyon. Dia menanggapi positif.

Tentu jawaban komentator tadi beda bila aku jawab, "Ah elo .. kayak kurang pikinik saja."

Pasar. Passion. Langganan

Kadang aku tak berselera menawar. Berapapaun harga yang disebutkan pedagang, sejumlah itu pula yang aku berikan. Tak ada minat. tak ada tenaga. Bayar lalu pergi. Tak peduli berapapun harganya.

Hari ini pun begitu. Aku beli pisang kepok, di Pasar Damar. Kukeluarkan duit, 12 ribu. Si ibu pedagang, aku sering beli padanya, memberikan satu sisir. Aku tak tertarik bersendagurau seperti biasanya. Pisang berpindah tangan. Aku berlalu. Tak ada passion.

Waktu beli sawi sendok, aku merasa tenaga cuma cukup buat ambil seikat. Aku kasikan duit 10 ribu kepada si mas pedagang, juga langganan, lalu nunggu kembalian.

Dia menyapa, 'Kok cuma satu ikat?" Aku jawab, "Ngapain beli dua ikat?" sambil berlalu setelah menerima kembalian. Tak tertarik obral obrol.

Kadang ke pasar seperti itu. Mungkin karena terdorong ingin cepat kembali ke rumah. Toh belanjaan tak banyak. Hari ini aku cuma beli pisang kepok, persiapan ada teman mau datang nanti sore, lalu sawi sendok dan nanas buat bikin jus detox usus, plus kantong plastik sampah harga 5 ribu dan sebendel plastik buat bungkus sambal atau mayonaise bekal anak-anak sekolah.

Oh iya, tadi aku juga beli bawang putih, Seperapat. Aku kasi 10 ribu. Aku agak kaget ketika si ibu pedagang, bukan langganan, mengembalikan 2 ribu. Aku tak menduga bawang putih 'rasanya' mahal. Tapi aku tidak peduli. Sedang tidak peduli. Berapapun harga, aku bayar. Pingin cepat berlalu. Di rumah sepertinya ada banyak bacaan sdang menunggu.

Proses beli semua itu cuma makan waktu tak lebih 10 menit. Tak pakai milih-milih. Tempat beli juga sudah kebayang. Sebagian adalah langganan. Prosesnya cepat. Apalagi lagi tak ada minat berlama-lama.

Hari ini belanja tanpa passion.

Di hari lain, aku kadang nyinyir dengan harga. Tetap lebih suka beli di langganan, tetapi aku akan tawar sampai detail, terutama bila beli pisang kepok. Entah kenapa. Tetapi aku merasa bila tak menawar, si ibu langganan itu suka kasi harga tinggi. Hehehe.

Wah aku jadi ingat. Perlu diceritakan di sini, Bahwa ternyata aku beli kebutuhan dapur di pedagang yang itu-itu saja. Di pasar Damar dekat rumah, aku punya sekitar 5 atau 6 pedagang 'langganan.'

Beli sayur kangkung, tomat, wortel, brokoli, dan pisang susu di mas pedagang. Aku tak pernah tahu namanya. Tetapi aku rasa dia selalu kasi harga murah. The best pedagang.

Beli pisang kepok di ibu tua yang aku ceritakan di atas. Dia suka pakai kain penutup rambut, bukan jilbab. Tadi waktu aku bilang tak ada pisang yang bagus, dia menimpali begini, "Pisang gak bagus, tapi yang beli bagus." Seneng juga rasanya dipuji. Walau aku tahu, aku sudah tak mandi 2 hari, sikat gigi terakhir baru semalam saja, hahaha, pakai pakaian awut-awutan dan kumis cambang tak disentuh cukuran selama 4 hari terakhir.

Untuk buah, aku tak begitu suka ketiga pedagang tempat aku TERPAKSA beli. Yang satu tak banyak bicara. Terkesan angkuh. Yang satu banyak bicara. Tetapi suka kasi harga mahal. Nanas 3 ribu dia jual ke aku 5 ribu. Karena aku tak tahu, aku bayar juga. Setelah tahu, aku putuskan tak akan pernah beli lagi ke dia. Satu lagi, pedagang buah, ibu jilbab di pojok pintu masuk pasar. Dia tak banyak bicara, tetapi juga tak diam-diam amat. Suka senyum, tetapi aku merasa dia pelit. Secara khusus, aku belum punya preference untuk tempat beli buah.

Untuk ikan, aku suka beli ke ibu yang dari dandanannya, aku fikir dia bukan muslim. Rasanya dia tak ada sifat tipu-tipu. Aku lebih nyaman beli padanya ketimbang ibu-ibu pedagang ikan lainnya. Ada satu pedagang ikan asap. Entah kenapa, aku selalu janji pada diriku untuk tidak akan beli padanya. Tetapi sesekali kalo aku perlu, aku selalu mampir padanya. Beli cepat-cepat. Tak pingin mengenalnya. Aku tak begitu nyaman dengannya. Tapi mebngapa selalu beli padanya? Padahal di sampingnya ada pedagang ikan asap lain. Hmm. Ntar aku pikir kenapa.

Ayam? Ada seorang ibu yang paling bagus kualitas jualannya di antara para pedagang ayam lainnya. Kadang aku juga beli daging sapi sama dia. Suaminya di sebelah yang jualan.

Apa lagi yaa? Plastik .. iya .. aku suka beli hanya ke toko yang satu itu. Tak ke tempat lain. Kerupuk, aku ada langganan, tetapi nampaknya si ibu muda itu agak genit. Suka mainan android. Kalau tak terpaksa, aku tak beli padanya.

Oh iya, beras. Aku ada langgaan baru. Berasnya cocok. Harum dan segar. Sebenarnya sebelumnya aku beli di pedagang lain berjarak 3 toko. Tetapi entah kenapa aku lama-lama gak nyaman sama pedagang sebelumnya. Setiap aku lewat di depannya, atau agak jauh dan dia melihat, dia selalu menyapa, "Bos mau beli apa." Aku merasa risih. Lama-lama aku tak beli beras dan telur sama dia. Aku beli di langganan baru saja. Tentu dengan sembunyi-sembunyi, supaya dia tak melihat aku beli tidak di tempatnya.

Hehehe .. nulis apa ini .. Wkwkwkw .. Namanya saja nulis apa-apa yang terlintas.

Kopi dan Pisang Goreng

Hidup nikmat yang masih belum aku rasakan membosankan adalah hidup yang dimulai dengan segelas kopi dan sepiring pisang goreng. Tetapi ada syaratnya lho .. Dibikinkan oleh Bi Sar .. Hehehe

Beda lho kalau bikin sendiri. Pertama rasa (terutama) pisang goreng tak dijamin enak kalau aku bikin sendiri. Kalau kopi sih tak masalah. Dan, ini alasan yang kedua, saat menunggu kopi dan pisang goreng siap, aku bisa ngetik blog seperti yang aku lakukan saat ini. Sedap bukan?

Hidup yang nikmat adalah yang setelah kopi dan pisang goreng siap, lalu dilanjutkan dengan memulai mencicil pekerjaan. Pekerjaan apa? Pekerjaan yang jelas (bukan tak jelas), artinya yang aku tahu apa yang harus aku kerjakan, aku punya gambaran mana yang akan aku kerjakan terlebih dahulu, dan yang paling penting aku senang melakukannya. Di sini pekerjaan bukan selalu berarti ada duitnya, karena sebagian besar pekerjaanku saat ini adalah tak menghasilkan duit. Hahahaha.

Ambil contoh, revitalisasi website Mukena Indonesia, kegiatan sosial cuci muekan gratis yang selama 6 tahun terakhir ini aku komandoi. Aku paham apa yang aku butuhkan untuk mengerjakan website tersebut. Teks apa yang aku perlukan. Image apa yang aku akan pakai. Struktur web seperti apa yang aku inginkan. Semuanya jelas. Asyik mengerjakan semuanya. Cuma memamng butuh waktu dan kesabaran saja. Kadang kalo lagi 'gak sehat' ya kerjaannya tak maju-maju.

Contoh lain adalah mempelajari semua dokumen yang bisa aku kumpulkan, online maupun offline, tentang sebuah hal yang aku tertantang untuk menguasainya. Aku pelajari semua hal terkait. Aku baca semua yang bisa aku baca. Lalu aku susun rencana bagaimana aku akan mengerjakan semua tugas terkait, aku rancang presentasi untuk menjelaskan apa yang ingin aku jelaskan. Semuanya asyik. Bisa nambah ilmu baru. dan berharap pekerjaan tersebut suatu saat akan mendatangkan uang.

Aku juga sedang berencana nulis buku. Bagaimana aku akan menulisnya sudah terancang dalam benak. Aku merasa bisa mengerjakannya. Cuma belum mulai aja kok. Hehehe.

Hidup ini nikmat. Bila mengerjakan hal-hal yang kita suka, mengerjakan apa yang kita bisa, mengerjakannya tanpa merasa ada yang kejar-kejar, dan tentu saja bila dimulai dengan atau sambil menikmati kopi dan pisang goreng.

BTW: ternyata pisang goreng tak ada pagi ini. Pisangnya belum beli ..

Kaboorrr ke pasar bentar aahhh ...

Wednesday 17 August 2016

Hidup itu Memilih

Aku yakin tak ada seorangpun suka hidup menderita, jiwa tertekan, langkah tak bebas, badan diikat banyak hal yang melilit.

Dikejar deadline itu, apapun jenisnya, tidak menyenangkan. Kalau salah menyikapi, bisa bikin serangan jantung.

Tenggat pekerjaan. Harus jadi besok untuk presentasi di depan tim yang memberi pekerjaan. Sementara itu, teman yang diharap menyediakan bahan presentasi tidak kunjung muncul. Tidur jadi tak jenak. Bangun juga tak tahu apa yang dikerjakan. Itu tak menyenangkan.

Bagaimana dengan lilitan hutang? Sama saja.

Aku ada teman yang setiap akhir minggu 'menderita' karena kewajiban membayar para tukang yang mengerjakan proyek konstruksinya. Bersama teman ini, aku juga terlilit hutang di sebuah koperasi, gak dink, gak cuma satu, tapi BEBERAPA ... hahaha .. apa gak bikin kepala pening bila tiap akhir bulan ditelpon bahkan didatangi penagih hutang? Hidup terasa berjalan di jalan tol. Tak aman, Tiap saat bisa disambar mobil yang lari kencang.

Alangkah indahnya hidup bebas. Tak ada yang kejar-kejar. Tak ada yang memerintah. Tak ada yang menyalahkan. Tak ada yang memarahi atau memaki. Tak ada rasa takut. Tak ada rasa khawatir. Desau angin terasa nyaman di pendengaran. Semilir udara sejuk pegunungan terasa nikmat hingga ke rongga dada. Adem tenterem. Terpaan mentari terasa hangat di kulit. Semua enak.

Sayangnya, hidup tak selalu enak. Tak selalu bebas.

Sayangnya lagi, enak atau tidak, bebas atau tidak, nyaman atau tidak, ternyata pilihan diri sendiri.

Kita sendiri kok yang memilih berhutang. Coba dulu tidak meneken kontrak kredit dengan debitur.

Kita sendiri kok yang memilih mengambil pekerjaan yang tidak kita kuasai, yang kemudian harus tergantung pada orang lain, lalu muring-muring saat teman yang diharap tak bisa diharapkan.

Kita sendiri kok yang memilih jalan berduri.

Kita sendiri kok memilih berteman dengan orang-orang yang selalu berfikiran negatif.

Kita sendiri kok yang memilih semua itu.

Mengapa kita tidak pilih hidup tanpa hutang? Sehingga tak harus menderita dikejar penagih?

Mengapa kita tidak pilih jalan halus? Mengapa harus pilih jalan terjal?

Mengapa kita tak pilih hidup secukupnya, supaya tak harus susah payah memenuhi kebutuhan hidup neko-neko?

Mengapa kita tak pilih baca buku-buku yang mengajarkan kesejukan? Supaya hati tenang dan tenteram?

Hidup ternyata memilih. Memilih tenang atau tidak tenang. Terserah masing-masing deh.

Tuesday 2 August 2016

Jakarta oh Jakarta

Aku selalu suka perjalanan ke Jakarta yang tak lama-lama. Artinya, kalau bisa .. datang pagi, selesaikan tugas, lalu sore atau malam balik ke Semarang. Pola seperti itu yang beberapa kali terakhir aku alami. Entah kenapa, tetapi Jakarta tak lagi (atau belum lagi) bisa bikin aku nyaman.

Tak nyaman seperti apa?

Mungkin karena di Jakarta aku sudah tak punya engagement - keterikatan dengan seseorang, sekelompok orang, suatu organisasi, program, atau apa saja, sebuah keterikatan yang bersifat rutin, sehari-hari, dalam bentuk pekerjaan permanen.

Jadi, ke Jakarta itu seperti pergi ke kota asing. Sekedar untuk menyelesaikan suatu misi. Sesudah misi berakhir, tak ada lagi yang ditunggu. Pulang ke Semarang adalah pilihan terbaik.

Mungkin karena aku selalu tak punya uang lebih bila ke Jakarta. Hanya cukup ongkos dan bekal sekali dua kali makan. Ada ketakutan bila aku berlama-lama di Jakarta, aku tak akan bisa makan. Tak ada teman tempat mampir makan. Saudara jauuh di bagian selatan kota, padahal seringkali aktifitas yang aku tuju adanya di bagian tengah atau utara. Pulang ke Semarang adalah jaminan sampai di rumah dan ada nasi di mejikjer.

Itu mungkin satu dua alasan mengapa aku tak bisa atau tepatnya prefer not to berlama-lama di Jakarta. Eh . jadi ingat, mungkin salah satu alasan lain adalah karena dua bontotku, dua cewek ABG Ifa dan Aya, adanya di Semarang. Tak jenak meninggalkan mereka berlama-lama, tak ada yang urus makan dan antar jemput sekolah mereka. I don't feel comfortable to be far from home.

Entahlah. Tapi memang yang aku ingat, beberapa perjalanan terakhir ke Jakarta, aku hanya habiskan waktu tak lebih dari 12 jam.

Contoh terakhir, beberapa minggu lalu, aku tiba di Jakarta, di Terminal Bis Rawamangun sekitar jam 4.30 pagi. Kali ini aku naik bis karena paling murah dibanding kereta apalagi pesawat.

Setelah sholat subuh di masjid samping terminal, aku naik taksi ke Komplek Duta Merlin. Sesampai di sana, tentu saja kantor yang aku tuju belum buka. Maka aku habiskan waktu berkeha-leha baca buku di musholla pojok parkiran komplek perkantoran terkenal ini.

Jam 8 pagi aku masuk ke kantor yang dituju. Urusan selesai tak lebih dari 15 menit. Lalu aku naik ojek ke Gambir. Tujuan mau ke airport pakai DAMRI. Biar hemaaat. Hehe. Karena masih banyak waktu, pesawat ke Surabaya jam 2.40, aku ngopi dulu di Dunkin, tempat aku HAMPIR SELALU mampir bila lewat Gambir.

Selesai ngopi, aku naik bus khusus ke airport dengan ongkos (hmm.. berapa yaa) mungkin 30 ribu. Iih aku lupa berapa hehehe. Sejam kemudian sampai di airport. Nunggu pesawat. Dan terbang ke Surabaya.

Tak sampai 12 jam di Jakarta, bukan? Selepas Jakarta (batasnya, pesawat mengudara), aku merasa nyaman .. Iya SELEPAS .. seperti terlepas dari sesuatu yang mengikat. Ah .. tak tahulah ..

Rizki Tak Selalu Berbentuk uang

"Alhamdulillah. Inilah rizki," kata Pak Cipto sembari menyeruput teh hangat manisnya.

"Makan tak berpantang adalah salah satu bentuk rizki,'" lanjut Pak Cipto sambil meraih toples kerupuk, mengambil satu rempeyek dan menikmatinya.

Pagi menjelang siang. Aku dan Pak Cipto, teman di Blazer Indonesia Club - Semarang, sedang berada di sebuah warung soto di jalan Wolter Monginsidi.

Beberapa saat sebelumnya Pak Cipto hampiri aku di bengkel langganan kami, Mas Adi Zero, di jalan Arteri Soekarno Hatta. Mobilku sedang diperbaiki.

Per telpon sebelumnya, aku janji akan ke rumah Pak Cipto di Tanah Mas, buat ngobrol ngopi-ngopi. Tetapi karena mobilku ternyata perlu waktu lama untuk pasang kembali dinamo starter yang baru saja diperbaiki (ganti laher dan merapikan yang tak rapi), Pak Cipto menawarkan dia yang datang. Dia datang bawa X-Trail hitamnya yang nyaman.

***

Kami duduk berhadapan di salah satu dari dua meja yang tersedia di warung soto. Ada tulisan garang asem. Tetapi kata si ibu pemilik warung, garang asem sudah habis.

"Hari ini cuma bikin sepuluh porsi, dan sudah diborong oleh salah satu langganan," jelas pemilik warung yang nampaknya senang obrol dengan pelanggannya. Ada juga lho pemilik warung yang tak bersuara sedikitpun sampai pelanggan pergi setelah bayar makan.

Aku dan Pak Cipto lalu pesan soto.

Aku lupa bilang pisah, artinya nasi dan soto disajikan dalam dua mangkuk berbeda. Tapi tak apa. Kami menikmati soto sampai sendok terakhir lalu pesan satu tambahan teh hangat manis. Manis lho ..

Beberapa teman kami sudah tak minum teh manis.

Kalau pesan makan di warung, mereka akan bilang, "Teh tawar." Kuatir sakit ini dan itu gara-gara kabanyakan gula.

Jadi, cukup beralasan bila Pak Cipto bilang kami harus bersyukur atas rizki yang dilimpahkan Tuhan hari ini, makan tak harus berpantang, dan masih tak masalah dengan teh manis. :D

Begitulah rizki. Ada banyak bentuk rizki bila kita mampu melihatnya. Tak harus dalam bentuk uang.

"Bahkan kesempatan bertemu inipun juga adalah rizki," kata Pak Cipto.

Iya .. Sudah beberapa bulan bahkan sebelum puasa Juli lalu, kami belum pernah ketemu fisik. Ketemunya hanya virtual, di group WhatsApp.

Terimakasih Ya Allah. Sudah mengingatkan akan berbagai rizki dariMu.