Wednesday 17 August 2016

Hidup itu Memilih

Aku yakin tak ada seorangpun suka hidup menderita, jiwa tertekan, langkah tak bebas, badan diikat banyak hal yang melilit.

Dikejar deadline itu, apapun jenisnya, tidak menyenangkan. Kalau salah menyikapi, bisa bikin serangan jantung.

Tenggat pekerjaan. Harus jadi besok untuk presentasi di depan tim yang memberi pekerjaan. Sementara itu, teman yang diharap menyediakan bahan presentasi tidak kunjung muncul. Tidur jadi tak jenak. Bangun juga tak tahu apa yang dikerjakan. Itu tak menyenangkan.

Bagaimana dengan lilitan hutang? Sama saja.

Aku ada teman yang setiap akhir minggu 'menderita' karena kewajiban membayar para tukang yang mengerjakan proyek konstruksinya. Bersama teman ini, aku juga terlilit hutang di sebuah koperasi, gak dink, gak cuma satu, tapi BEBERAPA ... hahaha .. apa gak bikin kepala pening bila tiap akhir bulan ditelpon bahkan didatangi penagih hutang? Hidup terasa berjalan di jalan tol. Tak aman, Tiap saat bisa disambar mobil yang lari kencang.

Alangkah indahnya hidup bebas. Tak ada yang kejar-kejar. Tak ada yang memerintah. Tak ada yang menyalahkan. Tak ada yang memarahi atau memaki. Tak ada rasa takut. Tak ada rasa khawatir. Desau angin terasa nyaman di pendengaran. Semilir udara sejuk pegunungan terasa nikmat hingga ke rongga dada. Adem tenterem. Terpaan mentari terasa hangat di kulit. Semua enak.

Sayangnya, hidup tak selalu enak. Tak selalu bebas.

Sayangnya lagi, enak atau tidak, bebas atau tidak, nyaman atau tidak, ternyata pilihan diri sendiri.

Kita sendiri kok yang memilih berhutang. Coba dulu tidak meneken kontrak kredit dengan debitur.

Kita sendiri kok yang memilih mengambil pekerjaan yang tidak kita kuasai, yang kemudian harus tergantung pada orang lain, lalu muring-muring saat teman yang diharap tak bisa diharapkan.

Kita sendiri kok yang memilih jalan berduri.

Kita sendiri kok memilih berteman dengan orang-orang yang selalu berfikiran negatif.

Kita sendiri kok yang memilih semua itu.

Mengapa kita tidak pilih hidup tanpa hutang? Sehingga tak harus menderita dikejar penagih?

Mengapa kita tidak pilih jalan halus? Mengapa harus pilih jalan terjal?

Mengapa kita tak pilih hidup secukupnya, supaya tak harus susah payah memenuhi kebutuhan hidup neko-neko?

Mengapa kita tak pilih baca buku-buku yang mengajarkan kesejukan? Supaya hati tenang dan tenteram?

Hidup ternyata memilih. Memilih tenang atau tidak tenang. Terserah masing-masing deh.

No comments: