Saturday 4 December 2010

Dua Sakit Yang Tak Boleh

Aku selalu takut pada dua jenis sakit yang bagiku paling 'membunuh' di zaman serba komputer sekarang ini. Sakit mata dan sakit jari. Kalau sakit salah satunya, dapat dipastikan akan sangat mengganggu aktifitas sehari-hari, yang sudah terlanjur didominasi komputer (buat ngetik, buat cek email, Facebook, dll.).

Sakit jari tangan, atau sekitar jari tangan, yang menyebabkan tidak bisa mengetik atau pegang mouse, sama seperti sakit kaki bagi pelari. Bagaimana bisa lari tanpa kaki? Bagaimana bisa ngetik tanpa jari?

Yang kedua, yang aku alami sekarang .. sakit mata. Sudah lima hari ini aku rasakan. Bukan jenis belekan, tetapi mata kiriku merah (kalau dilihat di cermin, semua urat mata tampak merah). Terasa perih dan sering kali gatal. Berairnya itu yang gak nahan, sehingga mata selalu terasa kotor dan harus diseka. Hari ini, yang kanan juga suda terlihat merah.

Memang masih bisa dipakai buat baca layar komputer, tetapi was-was akan memperparah mata bikin segalanya gak enak.

Aku berlindung pada Tuhan dari dua jenis sakit ini ...

Friday 12 November 2010

Ingin Awet Muda? Singkirkan HP!

Ah .. we are getting older…no longer young …
But why letting ourselves killed?

Pulsa
Mbah Min, penjual nasi goreng bakmi jowo dekat rumahku, punya alasan mengapa ia tak punya HP.

“Boros,” ujarnya singkat saat kami ngobrol di depan counter pulsa Mas Hafidz, perempatan Cemara, Perumnas Banyumanik, Semarang. Jam 11 malam, beberapa waktu lalu.

“Kalau beli pulsa, 20 ribu gak sampe seminggu. Biasanya habis buat teman.”

Pulsa, teman-teman, dan Mbah Min yang kini berusia 73 tahun. Istri sudah dipanggil Yang Kuasa duluan. Aku berpikir cepat, memikirkan kemungkinan hubungan.

“Bukannya bisa minta pulsa sama teman,’ tanyaku.

“Wah, malah mereka yang minta pulsa,” tukas lelaki asal Cilacap itu terkekeh.

Mbah Min. Tak menampakkan wajah layu berkeriput seperti kebanyakan kakek-kakek seusianya. Lahir 13 Juni 1938. Datang merantau ke Semarang di usia 20 tahun, pertama-tama bekerja di pelabuhan Tanjung Mas membongkar vespa ndhog dari kapal yang baru tiba dari Itali. Mbah Min tahu gestok (Gestapu 1965). Masuk ke daerah Banyumanik tahun 1979, ketika Perumnas di daerah Semarang Atas tersebut mulai dibangun, ketika harga pembebasan lahan hanya Rp. 700 per meter, ketika cicilan bulanan rumah dipatok Rp. 8.000 untuk tipe 30 dan Rp. 12.000 untuk tipe yang lebih besar. Kini setiap sore sampai malam, Mbah Min sibuk dengan wajan besarnya, menyiapkan pesanan pelanggan. Mengalami rupa-rupa Semarang sejak 1958 sampai sekarang. Merasakan rupa-rupa nilai uang. Menganggap HP sebagai pemborosan.

Ilmuwan Gendeng
Dengan alasan mengantuk, aku pamit pulang. Bukan bantal guling yang aku tuju, tetapi layar komputer untuk cek Yahoo Mail, buka Facebook, dan baca website Liverpool untuk menyesali hasil seri pertandingan malam sebelumnya lawan Arsenal.

Tak lupa aku klik The New York Time Reader, mengecek menu gratis Most E-mailed, menemukan sebuah cerita pendek tentang lima ilmuwan psikologi Amerika yang berkelana naik perahu dan berkemah di Glen Canyon, Utah, tempat dimana sinyal HP tidak ada. Sengaja mereka tak membawa laptop. Tidak ada email. Tidak ada koneksi dengan dunia luar. Gendeng!

“As they head down the tight curves the San Juan has carved from ancient sandstone, the travelers will, not surprisingly, unwind, sleep better and lose the nagging feeling to check for a phone in the pocket.”

Unwind.
Sleep better.
Lose the nagging feeling to check for a phone in the pocket.

Aku tak melanjutkan membaca. Jadi, tak tahu akhir tulisan itu. Tapi aku ingat Mbah Min. Mungkinkah alasan tidak memiliki HP lebih dari sekedar menghindari pemborosan?

Terngiang ucapan Mbah Min ketika aku tanya resep awet muda.

“Netral,” katanya sambil mengetuk-ngetuk pelipis kanan dengan telunjuk. “Tidak memaksa memiliki apa yang tidak bisa dimiliki.”

Apakah Mbah Min sedang mengungkapkan sebuah filosofi hidup yang dalam bahasa Jawa disebut ‘nrimo?’ ... Aku tak bisa pastikan. Tadi aku tak tanyakan hal itu.

The Nagging Feeling
Renungan: adakah kenalan kita yang tidak memiliki HP? Teman kantor, teman baru ketemu di seminar, tukang sayur, abang becak, ojek langganan? Seberapa banyak orang yang kita lihat di pinggir jalan, halte bus, stasiun kereta, pasar, masjid, atau di mana saja (you name it!), yang tidak sedang memegang atau memainkan HP?

Renungan lagi: apakah kita termasuk yang tidak mematikan HP ketika akan tidur? Dan ketika bangun langsung memeriksa HP mengecek pesan masuk? Apakah kita termasuk yang merasa ‘hampa’ ketika tak membawa HP di saku? Yang merasa perlu mengutuk diri sebagai orang pelupa dengan sesal berkepanjangan karena HP tertinggal di rumah? .. apakah .. apakah ..?"

Lagi: apakah kita termasuk yang gak tahu arti the nagging feeling? Ada baiknya segera buka kamus … hehehe ...

Bagaimana dengan cek email? Buka Facebook? Twitter? Cek portal berita online kesukaan? Atau buka website lain yang bila tak kita lakukan sehari saja rasanya sudah ketinggalan zaman setahun, merasa ada yang tertinggal, belum terpenuhi, ada yang kurang, kosong?

Aku teringat lagi pada Mbah Min. Barangkali, selain menghindari pemborosan, resep awet mudanya adalah kemampuan membebaskan diri dari the nagging feeling, yang bagi kebanyakan kita datang tidak hanya dari dering telpon genggam, tapi juga buzz di Yahoo Messanger, suara ding BlackBerry Messanger, Facebook, Twitter, atau kotak email.

Ada baiknya bertanya pada diri: sudahkah kita menata pola konsumsi sehingga terhindar dari the nagging feeling lain dalam bentuk lebih ekstrim (sehingga namanya berganti the knocking bahkan devastating feeling) seperti ketukan pintu debt collector, tagihan koran telat 2 bulan, rekening listrik dan telpon yang membengkak, rengekan anak minta beli mainan mahal, atau hal-hal lain yang menghendaki pemaksaan tindakan di luar batas filosofi nrimo?

Kalau jawabannya belum, ada baiknya mempertimbangkan berkunjung ke warung Mbah Min, sudut perempatan depan Masjid Muhajirin, Banyumanik. Sambil menikmati resep mi jowo andalannya, barangkali ada resep awet muda lain yang bisa diperoleh.

Tuesday 19 October 2010

Kunjungan (Bukan) Muhibah

Kalau rumah anda jauh dari jalan raya, kunjungan rutin yang dapat anda nikmati masih terbatas tukang pos (sesekali), kurir bank penerbit kartu kredit (bulanan), kurir langganan majalah (tergantung frekuensi terbitan), atau tukang catat meter listrik atau air (ini juga bulanan). Sudah ... itu saja. Variasinya adalah satpam perumahan yang datang menagih iuran sampah atau keamanan. Yang satu ini bisa diminimalisir dengan bayar 3 atau 6 bulan di muka.

Lain halnya dengan berumah di pinggir jalan besar (contoh kasus: aku di Banyumanik, Semarang), kunjungan rutin akan lebih banyak lagi. Di awal puasa Ramadhan yang baru lalu, aku mendapat kunjungan sekurangnya 3 penjual stiker kata-kata mutiara berisi himbauan beramal. Satu aku kasi duit. Stiker aku tempel di kaca depan rumah. Satu lagi, anak muda bercelana jeans dengan rambut licin berminyak, aku tolak mentah-mentah. Yang ketiga, aku minta kakak iparku (kebetulan sedang nginap) untuk hadapi. Aku cuma nonton 'kegirangan' dari balik kaca. Kakak iparku pasang wajah keras mengusir penjual stiker malang.

Tak terhitung pengamen datang saban hari. Aku suka kasi duit kalau lagunya keroncong atau campur sari. Kalau lagu Bang Iwan, apalagi. Ada yang nyanyinya bener-bener bagus. Ada juga yang sekedar cek ecek kecek.

Seterusnya adalah gelombang pencari amal. Dari masjid atau musholla atau yayasan yatim piatu. Ada yang bawa map lusuh berisi gambar pembangunan rumah ibadah. Ada juga sekedar berbekal surat pengantar dengan stempel aneka warna penanda legalitas memenuhi hampir tiga perempat halaman. Pernah sampai ada yang masuk rumah, bersila dan membuka jurus pengajian. Lagaknya afdol dan takzim banget. Aku usir halus dengan memberi Rp. 5ooo.

Pengemis? Wow .... ini yang pakai aneka teknik. Ada yang gendong anak, menuntun orang tua, suara menghiba-hiba cerita adiknya perlu bantuan uang sekolah. Istriku pernah tanya seorang anak laki-laki usia 13-an yang mengaku tidak sekolah, di-drop bos untuk jualan, tapi ndilalah, ditinggal pergi mobil jemputan karena telat sampai di titik kumpul. Entah benar atau tidak, yang jelas istriku akhirnya mengeluarkan uang membeli kerupuk yang dia bawa.

Di lain kesempatan, penjual abate (bubuk tabur pengusir nyamuk di penyimpanan air) datang dengan polah seakan dia petugas RT yang sedang membagikan abate gratis. Awalnya aku pasang muka hormat dan senyum ramah, menyangka dia adalah petugas resmi RT atau Kelurahan. Maklum, warga baru harus menampakkan sikap suka kerja sama. Ketika dia minta uang ganti abate, aku langsung paham. Ini ternyata modus operandi baru bagiku. Segera aku kasi uang seribu dan suruh pergi membawa abatenya. Entah itu abate beneran atau cuma bubuk terigu, nobody knows.

Setengah jam lalu, seorang lagi penjual abate datang. Dia gak minta banyak duit. Cuma seribu 3 bungkus. Tapi karena lagi kesel dengan tugas kuliah yang ntar sore harus dipresentasikan, aku keluar dengan muka sangar, meminta dia pergi sebelum sempat bertukar kata. Mulanya dia menolak dengan mengeluarkan petuah kebajikan dan kesehatan terkait nyamuk dan abate. Aku tak terpengaruh.

Aku bilang, "Pergi saja ya ... aku sudah sering mendapatkan kunjungan beginian, dan semuanya aku tolak. Yang sekarang juga aku tolak .. OK!"

Dia menatap mataku, mungkin meraba kadar keseriusanku. Sesaat kemudian dia membalikkan badan, berlalu tanpa suara. Aku bisa kejam juga ya .. hehehe.

Thursday 14 October 2010

Bunga - Dewa, My Legend

Begitu banyak bunga ditamanku
Slalu menanti saat untuk dipetik
Ada yang merah dan ada yang putih
Kuning dan ungu
Beragam warnanya
Beragam warnanya

Chorus:
Tuhan tolonglah aku
Beri satu petunjuk
Aku ingin bahagia
Berikanlah yang indah
Untuk diriku ini
Untuk slama - lamanya
Satu bunga yang indah
Satu bunga yang indah

Mama Papa mohon nilai rangkaian
Rangkaian bunga Aku mohon restumu
Bila nanti ada yang tak berkenan
Katakan saja Aku slalu mendengar

Chorus
Banyak bunga layu Sebelum berkembang
Ada yang terindah Tapi wanginya tak slalu
Seindah bentuknya Malah mungkin durinya
Menusuk hatiku Lukai cintaku
Tapi kuyakin nanti ada satu untukku
Harumi hari Mengharumi hari

Info : http://musiklib.org/Dewa_19-Bunga-Lirik_Lagu.htm

Friday 8 October 2010

Minggir Kau, Aku Yang Duluan

Dengan sekuat tenaga, lelaki itu menahan gerobaknya agar tak laju ke depan. Sebentar kemudian, gerobak berisi barang rongsokan itu berhasil ditarik mundur, memberi jalan sebuah mobil kijang yang pengemudinya seperti tak sabaran ... dit diiit ... diiiit ... bunyi klakson berkali-kali.

---------------

Perempatan Cemara, begitu orang menamai persilangan empat jalan sibuk di dalam komplek Perumnas Banyumanik, Semarang. Ke Utara: Tusam Raya, Timur: Kanfer Raya, Selatan: Cemara Raya, dan ke Barat: Jati Raya. Rumahku terletak sekitar 25 meter dari poros perempatan. Aku bisa saksikan semua yang di jalan dari jendela depan ruang tempat aku mengetik.

Hujan deras sudah reda, pengguna jalan mulai turun ke jalan. Hampir jam 3 sore. Sebagian anak sekolah sedang dalam perjalanan pulang. Sepeda motor dan mobil aneka jenis mulai ramai berseliweran. Dari pojok tempatnya berteduh, lelaki itu mendorong gerobaknya pelan, masuk ke Tusam Raya. Diapun ingin segera sampai ke tujuan. Sebuah topi pet lusuh menahan sisa-sisa hujan membasahi kepala. Kain baju yang sudah tak menampakkan warna menempel di dadanya, lengket terkena udara lembab. Lengannya yang tak terbungkus kurus berotot berusaha sekuat tenaga menahan gerobak agar tak sampai menabrak kijang.

Dari segi posisi, lelaki pendorong gerobak memang salah. Dia mengambil badan jalan bagian kanan, jalan bagi kendaraan-kendaraan lain dari arah berlawanan. Tetapi nampaknya dia sedang tidak sabar ingin segera mencapai ruang kosong di seberang jalan, supaya kijang yang tiba-tiba belok dari Jati Raya dapat laju.

"Tidak mau!" Mungkin itu arti klakson mobil kijang, meneruskan apa yang ada di benak pengemudinya. "Kamu harus minggir. Aku pakai mobil, lebih prioritas dari kamu, pendorong gerobak kurus! Minggiiir, kamu salah jalan!"

Aku terenyuh menyaksikan lelaki itu, dengan lengan kurusnya yang berkilat basah kena keringat dan sisa air hujan, berusaha meminggirkan gerobak agar sang kijang bisa berlalu.

"Ah .. apa sih susahnya kijang ngerem sebentar, memberi jalan gerobak? Toh injakan rem tak perlu seberapa energi. Pasti jauh lebih sedikit dari energi pendorong gerobak menahan gerobaknya."

Aku geram.

-------------

Kejadian seperti ini bukan satu dua kali aku saksikan sejak berumah di Banyumanik. Kadang ada pengendara motor yang tidak mau memelankan lajunya walau dari jauh sudah terlihat seorang ibu dan anaknya mengangkat tangan ingin diberi kesempatan menyeberang.

Di lain kesempatan, aku lihat mobil yang tak mau berhenti memberi peluang mobil lain yang sedang dalam posisi tidak menguntungkan karena berusaha berputar arah. Berhenti sejenak bagi mobil pertama akan dapat mengurangi potensi kemacetan. Tapi kok ya seperti gak kepikiran begitu ya. .. Ah .. rambut sama hitam. Isi kepala siapa yang tahu ..

Sering juga aku lihat pengendara motor mencoba mendahului mobil dari sebelah kiri. Walau secara aturan salah, mungkin tidak terlalu riskan bila jalanan lurus dan lebar. Tetapi menyalip dari kiri, di sebuah belokan sempit, sementara mobil yang mau disalip juga akan belok kiri, dan sopirnya lebih konsentrasi memperhatikan arus kendaraan dari arah simpang jalan di sebelah kanannya, bukankah itu beresiko membuat motor terjepit. Kok ya seperti gak kepikiran bahaya ..

Belum lagi perilaku memotong jalan yang seperti tak pakai perhitungan. Sembarang maju, tak nengok kiri kanan. Mungkin di pikirannya, toh orang lain akan terpaksa ngerem. Dan memang begitu yang terjadi, orang lain dipaksa ngerem, padahal sedang laju di jalan yang menurut aturan lalu lintas adalah prioritasnya. Meleng sejenak, tabrakan! Untung selama ini aku belum pernah melihat kejadian seperti itu. Tetapi sumpah serapah pasti bertaburan di dalam kabin mobil yang harus ngerem mendadak.

Dalam kejengkelan, kadang aku pikir mengapa begitu banyak pengguna jalan lebih suka untuk tidak mengalah.

Ah .. inikah yang namanya egois? Tak mau didahului orang lain? Tak mau menunggu atau antre sejenak? Barangkali memang urusannya jauh lebih penting dibanding urusan orang lain. Tetapi bila semua memaksa untuk maju, macet itu pasti. Tak bolehkah distop barang sejenak? Tak pedulikah dengan orang lain? Tak adakah rasa kasihan pada penyeberang jalan renta? Pada anak-anak pengayuh sepeda? Tak pedulikah pada lelaki kurus berpakaian lusuh yang harus mengerahkan sisa-sisa tenaga menahan gerobak, sementara di dalam mobil, penumpang santai di empuknya jok mobil? .. Ah ...

Derita Orang Bodoh

Saat ini aku sedang frustasi. Sejak kemarin belum juga bisa menyelesaikan paper 'pesanan' istriku. Dia kuliah lagi. Minggu ini penuh dengan tugas kuliah. Juga harus travel ke luar kota untuk urusan kerjaan. Aku ingin bantu mengurangi bebannya (walau ini tak legal - aku tahu itu), tapi ternyata tidak mudah.

Sekedar menulis paper agak ilmiah saja tidak sesederhana yang aku bayangkan. Apa lagi yang ilmiah. Ampun deh ... Dalam tulisan ilmiah, nulis ternyata tidak bisa asal njeplak. Njiplak juga bukan sesuatu yang sederhana. Bahkan tidak mungkin dilakukan kalau tidak mau dicap plagiat.

Oh .. frustasi ... sudah 2 X 12 jam ... tulisan tidak bisa masuk ke bagian analisis karena aku tidak tahu alat analisis yang bisa dipakai, yang berwujud teori tertentu. Aku tidak punya ide sama sekali. Bukan ilmu yang selama ini aku tekuni. Upaya membentuk gambaran instan dengan membaca buku satu dua halaman, melihat paper orang di internet, tak bisa mengantarku ke mana-mana.

Aku menemukan kebenaran tagline Komunitas Minat Baca Indonesia: banyak baca jadi tahu, kurang baca jadi sok tahu.

Kasusku, sok tahu saja belum mampu. Apalagi menjadi tahu. Oh my god .. rasanya menderita banget.

Sunday 26 September 2010

Stop Membaca, Lestarikan Kebodohan

Bagus sekali motto toko buku Toga Mas. Cukup menggelitik saraf senyum dan beberapa hari lalu berhasil membuatku belanja buku seharga 800 ribu rupiah lebih. Motto yang tersulam rapi di punggung kaos seragam hitam berkerah para staf toko yang terletak di Jl MT Haryono (Semarang) ini sangat brilian dari sisi komunikasi. Pencetusnya tak hanya pintar memilih kata-kata, tetapi juga pandai menggugah semangat patriotik anak bangsa yang ingin maju dengan menghidupkan kembali budaya baca, sekurangnya untuk diri sendiri.

Susunan kata-kata 'menggoda' lain juga perlu mendapat pujian. Di seantero toko seluas sekitar 600 meter persegi tersebut tergantung poster-poster kecil berwarna merah bertuliskan 'DISKON Seumur Hidup.' Lalu ada standing banner 'Toko Buku Diskon TOGA MAS: NOL KM' dipajang di beberapa sudut toko, mirip petunjuk lalu lintas dengan rangkaian kata tambahan 'Harap Pelan-Pelan Banyak Diskon Bertaburan' tercetak dalam lingkaran merah berdasar putih. Seperti tanda STOP di jalan raya.

Di depan toko, terpampang banner bertulisan 'Jalan Menuju Diskon - Siap-siap Terjangkit Virus Diskon!"

Ah, aku baru ingat, istriku sudah 3 kali datang ke toko buku ini. Rupanya dia sudah menjadi salah satu korban virus baru. Tapi .. hmm ... jangan-jangan aku juga akan terkena. Rasanya badan sudah mulai demam. Tukang parkir toko, lelaki muda bercelana jeans dengan rantai monel berkilauan menjuntai di saku belakang, cerita kepadaku bahwa pada hari-hari tertentu (seringkali Sabtu dan Minggu), toko menawarkan diskon sampai 25%. Hari biasa, antara 10 dan 15%. Lumayan menggiurkan. Kalau berbelanja 100 ribu, cukup membayar 85-90 ribu rupiah! Tak heran beberapa pengunjung toko tak cuma beli satu dua buku, mereka memborong!

Melengkapi 'kebahagiaan' para pemborong, Toga Mas juga menyediakan layanan sampul buku gratis! Dikerjakan rapi dan cepat. Mau bukti? Coba datang sesekali .. (iklan dot com hehehe).

Bu Husin

Enam hari dalam seminggu, istri Pak Husin bekerja bantu kami bersih-bersih rumah dan cuci setrika di Depok. Datang tiap pagi saat kami siap-siap berangkat ke sekolah, Bu Husin langsung bekerja tak banyak bicara sampai semua 'pekerjaan' dia anggap selesai. Kalau tidak ada kerja tambahan, misal masak untuk makan siang kami, Bu Husin akan minta ijin pulang lebih awal, sekitar jam 11, untuk pergi ke sebuah tempat perawatan kesehatan terapi gratis di Jalan Margonda Raya. Katanya, terapi itu sangat membantu menghilangkan rasa pegal dan sakit di punggungnya. Terapi sudah ia jalani 2 tahun ini dan akan tetap berlanjut.

Kami tak pernah bisa ingat nama gadis Bu Husin. Ifa, anakku pertama, pernah tahu, tapi kemudian lupa. Hal itu bukan masalah besar, cuma kadang bikin penasaran saat kami sekeluarga lagi jalan-jalan, bermobil entah dimana, lalu tiba-tiba teringat dan jadi ingin tahu. Penasaran bukan? Cuma sesampai di rumah, atau ketemu Bu Husin besoknya, kami selalu lupa menanyakan namanya.

Dibawa suaminya kembali ke 'hutan' Depok dulu ketika baru punya anak dua, Bu Husin awalnya menolak. Dia sudah terbiasa hidup di kota, di bilangan Rawamangun. Memasuki Depok, kebonan di belakang rumah kami, dia seperti merasa masuk ke tempat gelap, jauh dari peradaban. Tetapi lama-kelamaan dia merasa senang.

Tanah yang ditempati adalah tanah warisan ibunya Bu Husin, sekitar 2000 meter. Setelah Ibunya meninggal dan tanah dibagi-bagi, yang tersisa hanya kurang 100 meter, lokasi rumah yang sekarang ditempati Bu Husin sekeluarga. Saudara-saudara Bu Husin lebih suka menjual tanah warisan mereka kepada orang lain.

Tulisan nanti dilanjutkan dengan kesan Ifa, Aya, dan Naning tentang Bu Husin.

Thursday 23 September 2010

Jambu Batu Dari Sorga

Di teras sempit depan rumah yang aku sewa di Banyumanik, Semarang, tumbuh sebatang pohon jambu batu. Sejak pertama menjumpainya tiga bulan lalu, pohon dengan lingkar batang tak lebih besar dari botol aqua ukuran nanggung ini tak henti berbunga, berbuah, berbunga lagi, berbuah lagi. Memang tak banyak, hanya satu dua, kadang tiga empat, tetapi bagiku ini adalah anugerah.

Barusan saja, saat berjemur, bermandi hangatnya sinar matahari pagi di depan rumah, mataku tak sengaja tertumpu 3 buah jambu yang sudah menguning. Tak menyiakan waktu, kuraih penggalah, pralon besi 3 meteran yang bersandar di tembok teras. Dengan sentakan terukur, 3 buah jambu batu segera berguguran ke tanah, tak bisa aku tangkap tangan. Tak mengapa, buah tak rusak. Nasib ketiga jambu ini, jambu batu merah kecil mungil, segera pindah ke dalam perutku. Tentunya setelah melalui proses pelumasan air keran di dapur.

Hubungannya dengan sorga? Aromanya, ya .. aroma jambu batu masak pohon itu yang membuatku bernostalgia ke masa-masa ketika hidup serasa di sorga, waktu kecil dulu, di kampung halaman, di Lombok sana.

Masa kecil yang penuh romantika dan petualangan. Sepulang sekolah, bersama teman-teman berjalan kaki menyusur pematang sawah, meretas semak belukar, meniti pinggir jurang, mengikuti desau angin, menjejakkan kaki di bebatuan sungai (gak pernah kepleset), menuju kebun dan ladang orang-orang tua kami, atau kebun ladang milik tetangga, atau milik orang lain dari desa sebelah yang tak kami kenal sama sekali, berburu buah-buahan masak pohon.

Kebiasaan di tempat kami, para peladang atau pemilik kebun jarang mengunjungi garapan mereka. Sekali seminggu termasuk sering. Mereka datang kalau mau panen kelapa saja. Ini kesempatan buat kami .. anak-anak kecil 'pencuri nakal.'

Para peladang juga memang tak peduli buah nanas matang sampai sematang-matangnya, hampir membusuk di belukar sudut kebun. Kalau lagi musim, buah duwet warna ungu kehitaman tanda siap petik, seperti tak mendapat perhatian. Kalau tak segera dipetik akan bergururan ke tanah, sia-sia. Semua itu, adalah sebagian harta tak ternilai yang dibiarkan jadi rebutan tupai, kalong, atau kami .. anak-anak nakal.

Bagi peladang, jambu monyet (begitu kami menyebut jambu mete di Lombok) tidak menarik kalau cuma satu dua. Tetapi, bagi kami, buah yang matang kuning kemerahan, hangat sehabis terpanggang matahari siang, terasa luar biasa di mulut. Manisnya meleleh di lidah. Airnya banyak. Tapi hati-hati, bibir jangan sampai terkena getah biji mete. Bisa terbakar! Orang-orang di pasar, yang suka berjudi sabung ayam, kadang pakai getah mete untuk bikin tato.

Pisang matang di pohon? Kalau beruntung, kami tak keduluan kalong. Nangka matang menebar aroma, beragam jenis, nangka bubur, nangka salak, dan lain lain aku tak ingat lagi, siap memuaskan kerakusan kami. Jambu batu juga tentunya. Buah tak berharga karena dianggap bikin sembelit. Yang matang, sering dibiarkan berguguran dari pohonnya.

Pagi tadi, aroma jambu batu yang menyeruak menggapai sulur saraf penciumanku begitu mulut rakusku memberi pagutan pertama, mengingatkanku pada sorga, sorga masa kecil.

Liverpool Kalah Teruuuus, tapi YNWA!!!

Setelah kekalahan 2-3 dari MU minggu lalu dalam lanjutan kompetisi Liga Premier Inggris, kekalahan yang wajar karena MU memang main kesetanan selayak gelarnya, the Devils, Liverpool berharap mendapatkan hiburan di Piala Carling ketika semalam berhadapan dengan klub Liga Kedua, Northampton Town. Apa daya, nasib menentukan lain. The Reds terlempar, kalah adu penalti 2-4 setelah dalam babak perpanjangan waktu skor tetap imbang 2-2.

Kalah teruuuuus ... Kapan dapat hiburannya Bos? Memang sih... kekalahan semalam juga tergolong wajar karena Roy Hodgson, manajer Liverpool, hanya menurunkan 5 pemain inti. Selebihnya pemain muda kurang pengalaman. Tentunya Roy mengorbankan keterpaduan tim demi memberi kesempatan bermain kepada pemain baru dan kesempatan istirahat pada pemain inti. Pemain senior seperti Gerrard, Torres, Carragher, Johnson, dll, perlu menyimpan tenaga, kompetisi Liga Premier masih panjang dan juga ada tugas menanti di Piala UEFA.

Apapun, tetap saja kekalahan berarti kesedihan, lawan kata kegembiraan. Dan saat ini aku sedang bermuram ...

Kalau ingat prestasi Chelsea yang mengumpulkan nilai sempurna TIDAK PERNAH KALAH, TIDAK PERNAH SERI, MENANG TERUUUUUUS dalam 5 pertandingan Liga Premier, juga di Liga Champions, dan kemenangan SELALU dengan perbedaan skor yang besar ... gol yang banyak, rasanya iri banget. Lalu lebih pedih lagi bila melihat nama Arsenal dan MU (dua klub rival utama the Reds) masih bertengger di urutan kedua dan ketiga klasemen, sementara Liverpool tetap tak beranjak dari urutan 13!

Ah .. kemuraman ini bertambah perih dengan rasa iri tak terperi pada prestasi klub lain.

Mbah Roy, kudoakan engkau bisa menghasilkan racikan terbaik sebagai tonik bagi permainan klub asal kota John Lennon yang disukai sebegitu banyak orang sejagat raya ini ...

Last but not the least, as always, YOU WILL NEVER WALK ALONE!

Tuesday 21 September 2010

Blog Baru

Aku bikin blog baru, namanya Catatan Kuliah Komunikasi. Blog tempat aku tuliskan hasil-hasil pelajaran selama ikut kuliah di Magister Komunikasi di UNDIP (mulai September 2010 ini). Juga tentang buku atau paper yang aku baca. Atau apa saja terkait isu-isu komunikasi. Namanya saja kuliah komunikasi .. :)

Aku merasa punya blog baru ini menyenangkan. Disamping untuk sekedar mengulang kembali (baca: belajar) apa-apa yang baru saja aku pelajari, menyajikan semua materi dalam blog itu dapat saja bermanfaat bagi siapapun yang kebetulan cocok dengan isinya.

Tentunya yang tidak kalah penting adalah latihan menulis. Dengan adanya blog baru ini, aku mendapat wahana lain untuk sekedar menyalurkan aktifitas latihan menulis, latihan mengetik apa saja ... Bukankah begitu sobat?

Saturday 18 September 2010

Mulai Lagi

Mulai lagi baca buku, ada rasa hangat menjalari hati. Dapat tambahan pelajaran dikit-dikit. Seperti ada semangat baru, bikin hati senang. Mulai lagi dengar lagu-lagu, sekeliling terasa makin indah. Mulai lagi dengan janji baru, untuk sholat beneran (minimal dengan bacaan sholat yang tak tergesa - kalau bisa dengan sholat sunat dan wirid dikit), lalu ada rencana puasa senin kamis ... ha ha ha ... hati kok terasa mulai agak enakan ... apalagi ntar kalau rencana ini kelakon semua ya ... Ah, gak berani membuat klaim ini semua karena Ramadhan yang baru saja berlalu atau 1 Syawal yang juga sudah lewat. Kayaknya jauh deh ... Apalagi selama Ramadhan cuma dapat haus dan lapar ... Lalu takbiran yang tak kena di hati ... sooo ... Yaa Tuhan .. beri kekuatan ... untuk bisa sabar, kontrol diri, dan mau menghadapkan wajah ke Tempat Akan Kembali.

Saturday 14 August 2010

BIC dan Kebahagiaan

Barangkali apa yang ditulis Stephanie Rosenbloom dalam artikel "But Will It Make You Happy?" (The New York Times: 9 Agustus 2010) tidaklah berbeda dengan apa yang sudah sering dilakukan anggota BIC (Blazer Indonesia Club) dalam memaknai uang mereka.

BIC merupakan sebuah klub otomotif yang berpusat di Jakarta dengan anggota hampir 1000 orang tersebar seantero nusantara. Guyon atau beneran, beberapa anggota BIC bersemboyan tiada hari tanpa touring. Website resmi klub www.bic.or.id penuh dengan cerita touring luar maupun dalam kota, panjang dan pendek, dengan atau tanpa kegiatan bakti sosial. Tidak sedikit uang dikeluarkan untuk sekali touring.

Dalam artikelnya, Rosenbloom menyitir penelitian Thomas DeLeire, profesor dari University of Wisconsin, yang menemukan bahwa membelanjakan uang untuk hal-hal berikut betul-betul bisa membuat orang bahagia: melancong, hiburan, olah-raga, dan peralatan seperti alat pancing. Selain itu, tidak.

Boleh jadi, apa yang dikatakan DeLeire sudah merasuk ke dalam jiwa sebagian besar anggota BIC, sehingga tanpa berfikir panjang setiap ajakan touring selalu disambut gembira.

“Mikir belakangan, yang penting ndaftar dulu!” kata Dwi Nuryanto, bapak 4 anak dari Semarang, yang sering didaulat menjadi Road Captain bila ada touring BIC Rayon Semarang yang berjuluk Toegoe Moeda. Dwi tidak pernah berhitung berapa biaya yang ia keluarkan untuk mengorganisir atau sekedar berpartisipasi dalam suatu touring.

"It’s better to go on a vacation than buy a new couch," kata Elizabeth W. Dunn, seorang profesor psikologi dari University of British Columbia, juga dalam tulisan Rosenbloom. Dunn sedang membandingkan kebahagiaan yang diperoleh dengan pergi melancong (baca: touring dalam kamus BIC) dan membeli sofa baru.

Nanang Fadjar, seorang anggota BIC yang berdomisili di Depok, selatan Jakarta, bercerita tentang peringatan istrinya ketika membeli sebuah kamera SLR merek Canon.

“Aku setuju kamu beli kamera, tapi jangan sekali-sekali ikut klub fotografi. BIC sudah cukup!” kata Nanang menirukan istrinya.

“Lagipula BIC adalah klub keluarga. Kalau hunting foto, kan susah bawa keluarga. Kalau touring pasti ajak keluarga. Dan ini yang saya sukai,” imbuh Nanang yang dikenal sebagai juru potret tak resmi BIC.

Apa yang dikatakan Nanang persis seperti yang disebutkan dalam laporan The Boston Consulting Group Juni lalu (dalam artikel Rosenbloom) bahwa sekarang ini orang lebih cenderung dengan gerakan “back-to-basics,” dimana hal-hal yang terkait dengan rumah dan keluarga menjadi kian penting.

Beberapa waktu lalu, rombongan 15 mobil blazer para Kstaria Gembokers, julukan bagi pengangon kebo (blazer) yang tinggal di daerah Depok, beriringan menuju suatu tempat rekreasi di Sukabumi. Di lokasi wisata, mereka makan siang dan mancing bersama. Dari foto-foto yang disebarkan di milis BIC maupun halaman Facebook, jelas sekali kebahagiaan terpancar dari wajah mereka, juga anak-anak mereka.

Di tengah kesibukan kerja dan kegiatan lain, BIC Rayon Semarang berencana mengadakan acara buka puasa bersama di Kampung Kopi Banaran, tempat peristirahatan berjarak lebih kurang 1 jam ke arah Salatiga. Touring pendek yang rencananya diikuti sekitar 13 blazer Cap Toegoe Moeda itu memerlukan biaya Rp. 50.000 per kepala. Ditambah uang bensin dan lain lain, paling tidak diperlukan Rp. 500.000 per keluarga. Belum lagi untuk kaos seragam BIC yang disainnya kadang gak nahaaan. Tidak menjadi masalah.

“Yang penting kebersamaan,” kata Rizky Syarif, Ketua Klub (Dan Yon) BIC Semarang. Rizky rencana membawa istri dan dua anaknya yang masih kecil-kecil dalam kegiatan buka bersama itu.

Penelitian membuktikan, tidak seperti belanja barang baru, pengeluaran untuk hal-hal yang bertujuan mempererat kebersamaan atau silaturahmi ternyata dapat memperkuat kebahagiaan. Tidak ada keraguan tentang hal ini. Terdapat korelasi kuat antara hubungan sosial dan kebahagiaan. Segala sesuatu yang memperkokoh kekerabatan sosial pasti akan membuat rasa hangat dan senang.

Tidak dapat dipungkiri, rasa hangat semacam itulah yang sebenarnya ‘bikin kangen’ para anggota BIC dimanapun berada.

Untuk touring Lampung yang diadakan BIC Rayon Pusat bulan April lalu, Pak Bekti dan Bu Rita dari Rayon Yogyakarta tak keberatan memacu blazer mereka selama lebih dari 10 jam untuk bisa menyusul rombongan 50 blazer yang akan menyeberang ke pulau Sumatra untuk touring 2 hari mereka.

Touring BSK (Blazer Saba Kuningan) yang dikoordinir Rayon Pusat bulan Juli lalu juga diramaikan rombongan blazer Semarang. Tak terhitung jumlah touring kecil-kecilan yang diselenggarakan para anggota BIC di Jakarta, Bogor, Depok, Semarang, Solo, Denpasar, Surabaya, hingga Aceh dan Papua.

Milis BIC tak pernah sepi dengan obrolan serius seputar perawatan blazer maupun olok-olok sesama penunggang kebo (sebutan bagi pengendara blazer). Kegiatan bakti sosial tak jarang diikuti perwakilan BIC.

Bukankan touring dan segala rupa kegiatan klub otomotif makan biaya, tanaga dan waktu? Tapi bila dibanding dengan kebahagiaan yang diperoleh, hal itu bukan masalah bagi sebagian besar anggota klub otomotif yang sebentar lagi akan memasuki usia 9 tahun. Bukan begitu kawan? Siap untuk touring selanjutnya? Untuk kebahagiaan episode berikutnya?

Sunday 8 August 2010

Renungan Menjelang Ramadhan 2010

“Setidaknya ada empat tingkatan beragama, “ begitu Ustazd Kastori memulai ceramahnya. “Yang pertama sporadis, lalu musiman, agama sebagai beban, dan agama membawa nikmat.”

“Dengan Ramadhan, kita berharap dapat belajar mencapai tingkatan keempat, dimana beribadah terasa nikmat, membawa kedamaian dan kebahagiaan,” ujar pendiri Yayasan Ulul Abshar, penyelenggara pendidikan TK dan SD di Banyumanik (Semarang) dengan pendekatan pesantren terpadu, tempat anakku Syarrifa dan Aya sekolah.

Ustadz Kastori sedang berceramah singkat dalam pertemuan dengan para orang tua murid menjelang Ramadhan tahun 2010 ini. Aku tuliskan beberapa hal menarik dari ceramah pagi tadi, siapa tahu ada manfaatnya bagi pengunjung blog. Ini adalah tentang ilmu, kebersihan hati, puasa, bulan Ramadhan, dan Quran.

Mengenai ilmu sebagai alat mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Imam Buchari menekankan pentingnya ilmu sebelum amalan. Diperlukan ilmu dalam beragama. Salah satu masalah besar umat Muslim dewasa ini adalah hilangnya tradisi belajar yang baik di dalam mempelajari ilmu-ilmu agama. Bila mempelajari ilmu-ilmu lain, kita sangat tekun, efisien, dan sistematis. Bila menyangkut ilmu-ilmu Qur’an, kita belajar seakan tak pakai pedoman, sporadis, dan tidak telaten.

Yang juga terkait dengan ilmu adalah penjelasan tentang kebersihan hati sebagai pangkal masuknya cahaya ilmu. Ilmu Alloh adalah cahaya. Tak kan merapat pada hati yang maksiat. Himbauan: takwalah kepada Alloh maka Alloh akan mengajarimu ilmu.

Kecerdasan sangat tergantung pada kebersihan hati. Kebersihan hati merupakan manfaat puasa, sunnah maupun wajib. Orang yang berpuasa diberi ketenangan. Kecerdasan berbanding lurus dengan ketenangan. Bila ingin cerdas, puasalah. Himbauan: Latihlah anak-anak berpuasa sejak kecil sebagai alat untuk mereka kelak menjadi manusia-manusia yang tenang.

Terkait dengan Ramadhan yang akan segera kita masuki beberapa hari lagi. Ramadhan adalah hadiah. Hadiah bagi kita untuk membersihkan diri. Mari kita jalankan ibadah ini sebaik mungkin supaya mendatangkan manfaat dan tidak sia-sia belaka. Perbanyak belajar agama, ibadah lain, juga bersadaqah. Himbauan: Setidaknya selama Ramadhan, jadikan Qur’an sebagai buku yang menerima perhatian terbesar dari kita.

Tentang ajakan kepada berbuat baik dan menghindari maksiat. Panggilan Tuhan kadang kita abaikan. Kalau yang memanggil adalah Ketua RT, RW, Lurah, Camat, Bupati, Gubernur, atau Presiden, kita akan tergopoh-gopoh memenuhi. Berbeda bila yang memanggil adalah Sang Pencipta, padahal Ia adalah pencipta semua presiden!

Dua penyakit yang harus dihindari. Kebodohan dan syahwat (perut dan di bawah perut). Akan hilang nilai keberadaban seseorang bila ia hanya memperturutkan syahwat. Pameo mengatakan, berbuat baik laksana naik gunung, berat sekali, tetapi berbuat maksiat seperti turun gunung, cepat sampai dasar.

Pesan utama: Puasa, Qur’an dan Ramadhan adalah hadiah bagi kita untuk membersihkan hati, menghapus segenap kesalahan, kesempatan meraih ketenangan, kecerdasan, dan ilmu. Amiiin.

Uruslah Sampahmu Sendiri

Pakaian bagus dan semerbak parfum ternyata bukan jaminan perilaku baik tentang sampah. Mengenai yang satu ini, harus diakui kita masih perlu belajar banyak. Yang aku lihat 7 Agustus lalu di Mall Paragon Semarang membuktikan hal ini.

Mall terbaru yang disebut-sebut sebagai tempat belanja kalangan menengah ke atas ini terletak di salah satu sudut utama kota, berseberangan dengan Hotel Novotel. Mall megah, ikon kemajuan masa sekarang. Terawat dan hangat. Staf keamanan perlente. Petugas pembersih tak henti menyatroni setiap sudut, tak segan berjongkok mengepel lantai agar tetap mengkilat. Toilet bersih bebas aroma pesing. Tempat-tempat sampah dari baja stainless. Toko-toko terang dan glamour, menggoda mata pengunjung yang datang walau tak niat belanja.

Waktu itu aku nonton Inception (Leonardo di Caprio), film berdurasi lebih dari 2 jam tentang mimpi di dalam mimpi.

Theater XXI di Mall Paragon. Aroma pop-corn dan caramel memenuhi lobby yang dipenuhi pengunjung antre tiket untuk film-film hari itu: Inception, Salt dan How to Train Your Dargon. Rombongan anak sekolah riang dan sedikit berisik. Ibu muda dengan anaknya yang tak henti minta main balap mobil di game-zone tak jauh dari antrean. Ibu setengah baya dan anak gadisnya. Bapak-bapak dengan istrinya. Pasangan muda sedang memadu kasih. Seorang gadis sendirian. Blackberry di tangan. Tas tangan dikempit. Lalu paras-paras Jawa dan Tionghoa. Senyuman. Bulu-bulu mata yang bagus. Bibir bergincu tak norak. Sisiran klimis. Tak ada bau keringat asem. Bersih dan rapi.

Dua jam kemudian. Ketika film berakhir. Ketika lampu theater kembali memendarkan cahaya. Ketika penonton mulai beranjak perlahan bergerak mencari jalan keluar. Ironi itu nampak jelas. Sampah bertebaran di mana-mana!

Di atas kursi. Di kolong. Di koridor pemisah barisan kursi. Bahkan di celah-celah sandaran. Kerapian kursi empuk berbalut beludru merah hati itu rusaklah sudah. Sangat kontras dengan dandanan lelaki dan perempuan muda yang masih kelihatan rapi. Duduk 2 jam tak membuat pakaian kusut! Tapi kalau anda tak peduli, bekas duduk andalah yang jadi korban.

Himbauan di layar di akhir film "PERIKSA KEMBALI BARANG BERHARGA ANDA JANGAN SAMPAI KETINGGALAN" memang betul-betul diterapkan. Botol-botol kosong bekas minum, kertas pembungkus snack, kemasan pop-corn yang isinya sudah pindah ke perut, tissu bekas, semuanya memang bukan barang berharga. Layak untuk ditinggal.

"Toh nanti akan ada yang membersihkan!" Mungkin itu yang ada di benak para penonton yang masih terjerat racun realitas film yang baru saja ditontonnya.

Kilas Balik, Bandar Udara Schipol, Beberapa Waktu Lalu.

Matahari terhalang awan. Udara awal musim dingin membuat jari-jari terasa kaku. Tak nyaman. Di langit tinggi terlihat garis-garis putih bersilangan, menandakan jalur yang baru saja dilintasi pesawat. Awan membeku, di atas Amsterdam, jam 6 pagi.

Aku bergegas meninggalkan meja imigrasi. Lega karena bagasiku tidak diperiksa. Berpuluh keping sofware komputer bajakan khas Mangga Dua ada di dalamnya. Juga berbungkus-bungkus rokok Sampoerna Mild. Titipan buat QQ, teman yang menjemputku di bandara.

"Ngopi yuk," ajakku sesaat setelah menemukan QQ. Dia kuliah S3 di Utrecht dan sudah berbaik hati bangun pagi-pagi untuk bisa mengejar kereta ke Schipol, demi membuatku tidak menjadi orang linglung di negeri yang baru pertama kali aku kunjungi ini. QQ saja merasa perlu pakai mantel panjang dan syal tebal untuk menghalau dingin. Dalam udara yang membekukan ini, ngopi dengan Djarum Super pasti nikmat!

Kami pesan dua kopi di Wendy's terdekat. Aku juga pesan roti bakar. Lumayan untuk mengisi perut, antisipasi tour keliling beberapa kota Belanda yang sudah aku rencanakan sebelumnya. Aroma keretek kami tak urung membuat beberapa orang menoleh. Baunya gak nahaaan! Atau kami disangka sedang menghisap asap daun terlarang? Mungkin.

Puas ngopi-ngopi, aku meraih tas laptop dan siap melangkah namun ditahan QQ. "Bekas minummu!" katanya kepadaku sambil mengerling ke arah seorang perempuan di meja samping.

Perempuan itu, baru saja selesai sarapan, sedang sibuk mengelap remahan burger di atas mejanya, mengumpulkan kertas pembungkus dan cangkir kertas bekas kopi, lalu membawanya ke tempat sampah di pojok ruangan. Buang sampah sendiri!

"Di sini tak ada pelayan. Semua diurus sendiri."

Kembali ke Sampah di XXI Paragon.

Ada atau tidak ada petugas kebersihan yang akan membereskan sampah di kursi penonton, tidakkah akan lebih indah bila kita bertanggung jawab pada sampah masing-masing? Tidakkah membuat ringan pekerjaan petugas kebersihan merupakan amal baik? Yang akan meninggikan martabat kita masing-masing? Bukankah orang pembersih dipandang 'lebih baik' ketimbang pengotor? Tidakkan kita tertarik disebut orang yang peduli kebersihan? Peduli pada sampah sendiri?

Aku ingat kebiasaan baik di Cafe CIFOR, di tempat aku dulu kerja di Bogor. Kopi gratis, self-help, tapi kalau selesai ngopi, jangan lupa kembalikan gelas dan sendok kotor anda ke tempat yang sudah disiapkan. Anda tidak perlu mencuci sendiri. Ada staf Cafe yang akan melakukannya. Tidak hanya untuk kopi gratis ini. Bila anda makan (ini tidak gratis) anda harus bertanggung-jawab pada piring, mangkok, sendok, garpu, dan gelas yang anda pakai. Sama, bereskan dan bawa ke tempat peralatan kotor. Indah bukan? (1) beramal membantu meringankan pekerjaan teman Cafe, dapat pahala (2) kita juga senang karena menjadi bagian dari komunitas pembersih, dapat rasa bangga.

Soo .. bila kita masih belum terbiasa mengurus sampah sendiri dan masih berharap ada orang lain yang akan mengerjakannya untuk kita, marilah tinjau kembali pikiran itu.

Thursday 29 July 2010

Memaksa Menulis

Menulis mungkin sama dengan mengerjakan PR bagi anak-anak atau pekerjaan kantor bagi kita yang sudah pada tua ini. Bila ditunda akan menyengsarakan. Mengapa? Karena diperlukan energi beberapa kali lipat untuk dapat mengingat-ingat detail peristiwa bila sudah terlewat satu dua hari. Apalagi kalau tidak ada catatan atau coretan ide-ide penting. Hmmm .. bakal pening deh kepala. Belum lagi kalau harus menggambarkan kembali emosi saat peristiwa atau kejadian berlangsung. Pening itu pasti. Dan kalau tak kuat, menyerah!

Beberapa kali aku alami hal yang sama. Hari kedua ikut touring BIC ke Lampung bulan April 2010 lalu, aku berhasil menuliskan antusiasme dan kegirangan peserta yang sejak malam sebelumnya bahkan ada yang tidak berani tidur takut kebablasan. Peserta diharapkan berada di tikum (titik kumpul) jam 3 pagi! Kegembiraan dan semangat yang tercermin ketika iring-iringan sekitar 50 kendaraan (dominan blazer) mulai bergerak di tol Merak menuju pelabuhan, nyebrang ke Lampung, dan aktifitas peserta di sekitar hotel, semua tergambarkan apik dalam satu tulisan pendek 3 halaman, sampai peristiwa kegagalan software komputer yang aku pakai ngetik di hotel menghapus semuanya.

Mencoba bangkit dari putus asa karena kehilangan file, aku mencoba mengais ingatan, menuliskan kembali poin-poin penting, dan BERJANJI akan menulis ulang ketika sudah kembali ke rumah dua hari kemudian. Hasilnya bisa ditebak. Janji tinggal janji.

Juni lalu, sebulan sebelum pindah ke Semarang, aku sudah membuat janji baru. Menulis tentang Semarang, tentang apa saja. Dua minggu pertama menempati rumah sewaan di Banyumanik berlalu begitu saja. Padahal kalau mau diingat, ada beberapa tulisan yang mestinya sudah bisa dituangkan ke blog ini: tentang pengalaman cari rumah sewaan, rasa senang tinggal tak jauh dari pasar, Semarang yang tak kenal macet, sekolah baru anak-anak, dan masih banyak lagi. Tak satupun terwujud, hanya karena satu kata: penundaan.

Rasanya perih bila mencoba mengingat kembali perasaan atau emosi yang menyertai munculnya sebuah ide tulisan, susah! Rasa yang ada sekarang mungkin sudah beda. Paling tidak, sudah tak lengkap lagi. Sedih, serasa kehilangan barang berharga, kehilangan momentum.

Judul 'Memaksa Menulis' mungkin adalah harapan akan obat. Bila ditunda terus, PR tak akan pernah jadi. Anak-anak harus terburu-buru mengerjakan sesaat sebelum berangkat sekolah, melupakan sarapan yang diperlukan tubuh mereka untuk tahan beraktifitas seharian. Bila ditunda, maka pekerjaan kantor akan terus menggayuti pikiran, membuat tidur tak nyenyak, mengacaukan semua urusan, membuat wajah burem nan suram. Jadi kelihatan cepat tua, kata orang.

Menunda menulis mungkin diperlukan bila memang direncanakan. Misal, karena harus menunggu data lengkap atau komputer sedang dipakai orang lain (hari gini, masih ada yang share komputer .. hihihihi). Menunda yang mematikan adalah bila merasa akan punya waktu nanti, besok, atau minggu depan, atau bahkan bulan dan tahun depan. Jadi, marilah memaksa diri menulis. Memaksa diri setidaknya menuliskan ide-ide penting yang kebetulan muncul agar tak hilang begitu saja karena ditindih ide lain yang datang belakangan. Setelah itu, setiba di rumah atau tempat lain yang nyaman, segeralah mengetik. Jamin dech, anda akan bahagia. (Just like me now!!!!) hehehe

Wednesday 28 July 2010

28 Juli dan Pencerahan Baru (Again??!!)

Hari ini adalah haru ulang tahun istriku, Naning. Tapi dia sedang tidak ada di rumah: lagi ke Brebes, acara kantornya. Sayang sekali, dia lupa bawa HP. Jadilah aku sekretarisnya, menjawab SMS ucapan ulang tahun dari teman-temannya yang aku tahu dan kira-kira tahu aku juga. Aku sendiri sudah telepon ke hotel tempatnya menginap semalam. Thanks Google, you gave me the hotel phone number! Lumayan, gak bakal dituduh sebagai suami yang tak perhatikan istri .. hehehe.

Pencerahan baru? Bentaa....ar. Sabar dikit napa sich? (*ABG language mode on*). Maaf, ini tidak ada kaitannya dengan hari ulang tahun, tapi dengan dengan apa yang kulakukan tadi pagi ketika iseng hapus-hapus email kadaluarsa dari inbox.

Salah satu yang biasanya langsung aku delete adalah email notification dari Library tentang publikasi, buku, majalah, atau artikel jurnal-jurnal ilmiah yang baru saja mereka terima. Kami di kantor dimanjakan Library yang menawarkan artikel apa saja yang sepanjang mereka bisa carikan. Dan aku termasuk yang selama ini 'tak banyak memanfaatkan' layanan mahal dan gratis tersebut. Sayang sekali bukan?

Nah .. tadi pagi, email dari Library tidak langsung aku hapus tapi aku baca dulu. Terutama judul-judul artikel terbaru dari Jurnal Nature volume 466 (7302), 2010. Kalu mau lihat, klik di sini.

Setelah lihat-lihat, aku pesan beberapa artikel tentang komunikasi, tapi tidak termasuk tulisan dari Shelly Li yang berjudul The End of God (Halaman 150). Bukan artikel itu yang aku bahas di sini, tetapi tentang Shelly sendiri, yang dari websitenya aku tahu baru berusia 14 tahun! Bayangkan, di usia 14 tahun doi sudah menghasilkan begitu banyak tulisan, termasuk novel. Dan beberapa tulisannya dimuat di Nature - jurnal ilmiah yang banyak jadi referensi penelitian. The End Of God sendiri menerima banyak komentar dari pembaca Nature. Banyak komentator menanyakan kriteria publikasi Nature sebagai sebuah jurnal ilmiah yang dihormati, tetapi mengapa memasukkan tulisan fiksi seperti Harry Potter. He he he. Itu bukan urusan kita lah yauuw!

Kembali tentang Shelly Li. Aku coba pelajari lagi websitenya: http://www.shelly-li.com/ Wow, selain daftar tulisan 'serius' yang pernah ia publikasikan, ternyata doi juga membuat tulisan yang ditampung di bawah menu blog, barangkali dimaksudkan sebagai semacam buku harian. Buktinya, tiap hari nulis! Mulai tanggal 22 Juli sampai 26 Juli. Hari selanjutnya? Belum ada .. he he he .. Barangkali Shelly lagi gak enak badan, jadi gak bisa lanjut menulis. Tapi tulisan tanggal 22, 23, 24, dan 26 memberikanku inspirasi, pencerahan, atau tepatnya mengembalikan ingatan akan apa yang pernah aku canangkan di akhir tahun 2008 lalu bahwa aku akan menulis blog setiap hari, yang sampai detik ini belum kesampaian!! Kalo gak percaya tentang janji itu, nich liat buktinya!

Shelly Li mengingatkanku pada new year resolution itu .. dan mulai hari ini, I promise I will be back! :)) itu doa loh ... amiiin ... see you tomorrow!

Friday 14 May 2010

A Very Unproductive Year, But Why?

Sudah hampir tiba di pertengahan tahun, hanya ada tiga postingan. Februari dan April berlalu tanpa tulisan satupun. Memalukan! Aku juga sudah hampir lupa username dan password untuk masuk ke blog ini. Dulu aku mengira dengan berhenti bekerja di Bogor, berhenti bolak balik pagi sore Depok Bogor, aku akan punya banyak waktu untuk menulis blog. Aku salah.

Anugerah berupa waktu yang banyak ternyata bukan jaminan tulisan menjadi banyak. Terbukti, antara 2008-2009, ketika aku masih kerja di Bogor, sekaligus menjadi single parent buat kedua anakku sementara ibu mereka kerja dan tinggal di luar kota, aku mampu menulis banyak judul.

Well, aku bisa saja berargumen bahwa dengan berhenti bekerja di Bogor bukan otomatis aku punya waktu lebih banyak. Senin sampai Jumat, aku bangun pagi untuk siapin sarapan dan bekal makan siang anak-anak. Jam 7 pagi aku sudah harus di mobil antar anak-anak sekolah. Jam 8.30 aku sudah sampai kembali di rumah. Hidupin laptop dan segera tenggelam dalam kerjaan. Oh ya .. aku lupa cerita, setelah melepaskan status fixed-term staf di Bogor, aku menjadi pekerja kontrakan (konsultan), dengan kontrak diperbaharui 6 bulan sekali (kalau diperpanjang). Sore, jam 4.30, anak-anak pulang sekolah. Salah satu akan bilang 'pinjem laptop donk' membuatku tersingkir dari meja kerja. Sudah tidak bisa apa-apa lagi karena sebentar lagi maghrib menjelang. Malam? Kalau tidak siapin makan malam, sibuk urus anak (suruh sholat, mandi, belajar, dll. dll.) sampai mereka tidur dan aku ikut tertidur. Kapan buat nulisnya?

Malam aku terbiasa bangun. Biasanya sekitar jam 2 pagi. Dan tak bisa tidur lagi sampai subuh dan rutinitas persiapan anak-anak dimulai lagi. Untuk membunuh waktu, biasanya aku buka internet cek skor pertandingan EPL (kalau ada yang main), lalu buka FB dan email. Setelah itu, lihat-lihat berita terbaru di Detik.com atau portal berita mana saja. Kadang tak terasa azan shubuh sudah selesai dikumandangkan. Pertanyaan: mengapa bukan waktu dini hari ini dipakai untuk menulis?

Hmm .. tunggu dulu ... Memang sih, banyak teman yang bilang mereka suka mendapatkan inspirasi pada malam menjelang dini hari yang hening. Aku kok tidak ya ... Mungkin ini yang membuatku tak bisa menulis apa-apa. Not my style kalee ... Sayang juga!

Inspirasi? mungkin inilah penjelasan yang lebih tepat. Dulu, ketika sibuk menyeimbangkan kerjaan kantor dan rumah, lalu rasa capek berkendara pagi sore, dll. dll. berbagai inspirasi sering muncul. Entah karena lihat ogah keren di persimpangan jalan lalu terinspirasi menulis tentang pendapatan mereka, lihat konvoi klub kendaraan menguasai jalan (timbul inspirasi menulis tentang psikologi klub atau konvoi), pagi-pagi gak punya ide masak apa juga membuat terinspirasi tentang suka duka ibu rumah tangga, jutek sama teman kerja membuat ingin menulis tentang relasi teman di kantor, dll. dll. Ini mungkin jawaban mengapa tulisan tidak muncul lagi di blogku. Selama kerja di rumah, urus anak-anak, perjalanan rutin ke airport Jumat malam dan Senin subuh antar jemput istri, Sabtu Minggu leyeh-leyeh di rumah atau keluar anter anak-anak dan istri ke suatu tempat, otakku mungkin tidak banyak terpapar berbagai variasi hidup dan kehidupan. Pandangan hanya monoton, otak jadi tumpul dan inspirasi tak timbul-timbul.

Tentang upaya menimbulkan inspirasi, banyak yang bilang membaca buku adalah obatnya. Nah ini dia. Aku merasakan betul kebenaran ungkapan itu. Setiap mulai membaca buku, apalagi sampai menyelesaikannya, bintik-bintik inspirasi seakan timbul di otak. Rasanya jadi ingin menulis banyak hal, walau sekedar satu dua paragraf. Nampaknya aku harus mulai tambah porsi baca buku dan tak lupa siapin buku notes kecil untuk merekam ide yang muncul bila tak ingin buku tercoret-coret, kasian pembaca selanjutnya!

Sempitnya waktu dan bertubinya tekanan hidup nampaknya merupakan kombinasi bagus buat mereka yang mencari inspirasi bahan tulisan. Rasanya aku pernah mendengar seorang teman bercerita tentang Arswendo Atmowiloto yang menyebut penjara sebagai tempat yang bagus baginya buat berkarya. Barangkali Arswendo merasakan kemunculan berbagai emosi yang tidak muncul kalau dia tidak di dalam hotel prodeo, emosi-emosi yang membuat inspirasi tulisannya bermunculuan. Itu satu hal.

Ada satu hal lain yang ingin aku tulis, sebagai penutup tulisan yang aku harapkan sedikit menandai kembalinya masa produktif bagiku (ini doaku .. amiiiin). Adalah tentang membaca yang merupakan hakikat dari aktifitas menulis. Ayu Utami bilang membaca adalah upaya membuat jaring. Makin banyak bacaan kita, makin besar dan kuatlah jaring untuk menangkap inspirasi. Jangankan ikan besar, ikan kecil pun akan lewat begitu saja di bawah hidung kita bila tak punya alat penangkap.

Catatan: hari ini aku bisa menulis blog karena sedang di kantor istri di Semarang (apakah Semarang menginspirasi?), lalu ketimbang nganggur bikin bete, aku mulai mengetik satu dua kata di blogku. Apa yang dikatakan Harry Bhaskara (dulu Redaktur Tempo) terbukti benar. Menulislah dan jangan berhenti menulis. Penting atau tidak penting, tetaplah menulislah. Barangkali artikel ini tidak penting-penting amat, tetapi minimal ia telah berhasil membuatku senang karena merasa sudah BERHASIL menyelesaikan 1 judul. Ha ha.

Semarang, 14 Mei 2010.

Thursday 4 March 2010

Ayu Utami: Berani Berpendapat

Judul tulisan ini merupakan intisari dari pelajaran menulis (atau mengarang) yang aku dapat dalam sesi 2 jam ngobrol bareng Ayu Utami di Teater Utan Kayu semalam.

Bertempat di Studio Utan Kayu, Jakarta Timur, bersama 12 peserta kursus menulis Narasi Pantau, aku beruntung mendapat kesempatan emas mendengar langsung Mbak Ayu, begitu kami memanggil pengarang Saman, Larung, dan Bilangan Fu itu, menceritakan perbedaan antara pengarang dan penulis (juga 'tukang' menulis), selain berbagi cerita proses kreatif yang dia lalui dalam berkarya. Bagi Ayu, pengarang merupakan profesi yang lebih mengarah pada seni, mirip seniman-seniman lain.

Sejak kecil Ayu sudah senang menulis. Ketika masih kuliah di Jurusan Sastra Rusia di Universitas Indonesia, Ayu sudah menjadi wartawan. Bersama Andreas Harsono, Goenawan Mohamad, dan beberapa nama lain (maaf aku lupa), Ayu ikut membidani lahirnya Pantau. Nah loh .. ketemu juga dengan Ibu atau mungkin Bapak yang bertanggungjawab melahirkan Pantau, tempat kami kursus menulis. Gak nyangka ya ...

Berani bersuara beda: itulah yang aku lihat pada diri seorang Ayu yang tetap enerjik walau harus berbicara hampir 2 jam malam itu. Keberanian yang tidak sembarangan tentunya. Ayu sangat paham dengan riset pemenulisan. Pengalaman dan kedisiplinan selama menjadi wartawan juga menempanya. Sekurangnya 2 kali Ayu mengulang wejangan seorang yang terkenal (lagi-lagi aku lupa namanya - gak bawa catatan sich), "kamu harus mengetahui 7 kali lebih banyak dari yang kamu tulis." Ini menunjukkan bahwa keberanian Ayu didukung kekuatan ilmu pengetahuan mengenai topik yang sedang ia tulis atau karang.

Menurutku, kesuksesan beberapa novel yang Ayu karang tidak terlepas dari hal-hal di atas. Kalau boleh meringkas yang di atas, kira-kira sebagai berikut:
1) pengarang (mestinya penulis juga) harus punya pendirian (tidak asal mengekor)
2) pengarang (mestinya penulis juga) harus banyak ilmu (kudu rajin baca!)

Ayu boleh dikatakan beruntung lahir dan besar dari sebuah keluarga (di Bogor) yang memberinya kebebasan untuk memilih cara dan jalan hidup. Mungkin ini yang memberi pengaruh pada 'kemampuan' Ayu untuk memiliki pendirian. Masih sedikit loh manusia yang kayak gini, apalagi perempuan. Pendidikan tinggi yang ia lakoni serta pengalaman selama jadi wartawan mengajarkannya tradisi keilmuan. Dua kombinasi ampuh yang akan membuat kita menjadi pengarang (mungkin juga penulis)

Kepada kami yang sedang belajar menulis dan mengarang, Ayu menyarankan untuk menyiapkan jaring.

"Kalau jaring tidak ada, bagaimana anda bisa menangkap informasi untuk kemudian anda tulis? Jaring dibentuk melalui banyaknya bacaan!"

Hmm .. jangan-jangan apa yang disebut Ayu terakhir ini yang menjadi sebab aku tidak banyak posting di blog ini lagi .. (1) gak punya jaring (2) gak punya ilmu. Hiks ...

OOT (Out of Topic) dikit:
Aku merasa lebih ingat Ayu pakai atasan kaos ketat tanpa lengan. Kalau gak hitam, warnanya merah (seperti malam itu). Aku lupa tanya kenapa. Apa dia gak kedinginan atau gimanaa gitu. Ada yang tahu?

Oh iya .. hampir lupa. Untuk mengetahui lebih banyak tentang Ayu Utami dan berbagai tips dan tricks mengarang, bisa kunjungi www.ayuutami.com

Tuesday 19 January 2010

Tuhan Tak Mengirimku Jamur Hari Ini

Pagi-pagi tadi aku intip halaman depan bawah pohon rambutan. Yang ada hanya kilauan kertas plastik bekas pembungkus permen terbawa angin. Juga potongan keramik rusak warna krem. Selebihnya daun rambutan kering bertebaran di atas tanah coklat kehitaman. Di bawah pohon rambutan, tak ada jamur seperti yang kuharap.

Kemarin sore menjelang magrib, ketika menutup jendela kamar, pandanganku terantuk sosok jamur bulan menyembul dari tanah. Bentuknya sempurna. Belum tersentuh rayap perusak. Nampak baru muncul tak lebih sejam sebelumnya. Bukan di tempat biasa, di pojok lembab pas di bawah tanggul pohon rambutan, tetapi agak ke tengah mendekati tembok rumah. Dengan girang aku panggil anak-anak, kutunjukkan anugerah Tuhan sore itu. Aya, anakku kedua, sangat suka makan oseng jamur dengan irisan bawang merah yang aku buat. Garamnya lebihin sedikit. Nikmatnya tak terlupa.

Aku punya kenangan tentang jamur. Jamur bulan adalah jenis jamur terbaik yang pernah aku tahu. Dibandingkan dengan jamur kuping, jamur merang, ataupun jamur lainnya, rasa jamur bulan sungguh nikmat. Cukup diiris kecil-kecil, ditambahi garam, dibungkus daun pisang, lalu panggang di atas api. Kurang 5 menit, airnya akan menetes-netes dari lipatan daun pisang pertanda jamur sudah matang. Rasa asinnya lezaaat tak terkira. Banyak yang bilang, gurihnya melebihi ayam panggang. (Jangan bayangkan rasa ayam potong tak segar yang biasa kita konsumsi di Jakarta).

Di Lombok, waktu kecil dulu, ketika jamaah sholat subuh baru saja menyelesaikan rakaat terakhir, bersama satu dua teman sepermainan, aku sudah jauh di luar batas kampung, dalam gelap meniti pematang sawah yang sudah kami hapal bak jalan perkotaan di bawah terang lampu listrik. Tak berapa lama kemudian kami sudah berada di kebun-kebun milik orang tua kami, membuka mata lebar-lebar dalam gelap yang masih menggayut, meraba tanah lembab dalam semak di bawah rimbunan pohon-pohon bambu, tak peduli duri dan ular. Di benak kami hanya ada harapan menemukan sosok kuncup jamur dan (doa kami) bulatnya jamur bulan yang mekar sempurna.

Jamur membuat kami cepat bangun pagi tetapi menomorduakan solat subuh. Kalau terlambat, jamur-jamur kami pasti sudah diambil anak-anak lain. Kami pernah keduluan dan hanya melengos pura-pura tak peduli ketika berpapasan dengan gerombolan anak-anak kampung sebelah yang mengangkat untaian jamur dengan tawa penuh kemenangan.

Sore ini, sebelum cahaya langit tertelan malam, aku berharap kembali melihat jamur di bawah jendela. Tak ada. Tuhan tidak memberi jamur hari ini.

Mungkin ini yang disebut banyak orang tentang misteri rezeki. Kadang diusahakan dengan kerja keras, hasil tak seperti harapan. Di suatu ketika, tak usaha apa-apa, Tuhan membimbing pandangan ke jamur bulan.

Sejak awal musim hujan lalu, aku sudah bilang ke anak-anak, mungkin jamur sudah tak mau lagi tumbuh di bawah rambutan karena sampah dedaunan sudah dibersihkan Pak Husin, tetangga kami yang sering bantu rapikan halaman. Koloni rayap yang aku percaya sebagai sumber kemunculan jamur memang masih banyak di bawah tanah, tetapi kelembaban sudah tak ada. Jamur tidak suka tempat kering.

Kalau saja kemarin sore bukan aku yang menutup jendela, kalau saja jendela tidak perlu ditutup, mungkin jamur tak akan terlihat. Tetapi Tuhan mengingatkanku untuk menutup jendela dengan menumbuhkan kekhawatiran nyamuk masuk kamar. Tuhan menunjukkan jalan, memberi rezeki dengan caraNya. Syukur Alhamdulillah.