Monday 19 January 2015

DERU DEBU (Tentang Seorang Lelaki)

Seorang bapak muda hati-hati menaiki angkot yang kutumpangi. Badannya kurus. Pipinya bukan pipi orang yang berkecukupan makan. Pinggangnya tampak membayang ramping dari kaos putih merah berkerah yang ia kenakan. Sesosok anak perempuan, nampak ringan, terlelap dalam dekapannya. Sesaat kemudian, seorang perempuan ikut naik angkot. Istrinya. Membawa tas perlengkapan untuk si kecil. Mereka duduk berdampingan tak bersuara di bangku angkot di sisi pintu masuk. Walau di angkot hanya ada satu penumpang lain, duduk di hadapan mereka, aku yang di pojok belakang sopir, mencoba mengerutkan badan, memeluk ransel, berharap memberi ruang lebih pada mereka. Ah .. selega apakah sebuah angkot di senja yang mulai gelap?

Adzan magrib sudah lama berlalu. Ini adalah sebuah cerita silam. Di Parung Bingung, dalam angkot jurusan Parung - Depok. Aku sedang perjalanan pulang dari kerja di Bogor.

Aku tak sanggup melihat mata sang bapak. Mata nanar bersorot pendek, nampak sarat dengan beban yang membuat bibirnya tak dihinggapi senyum. Mau kemana mereka? Pulangkah? Dari mana? Apakah sedang mencari dokter untuk anaknya? Atau menjenguk saudara jauh? Aku hanya bisa menebak: kalaupun sedang perjalanan pulang, mereka akan sampai rumah paling cepat 1 jam lagi. Angin di luar menderu membawa butiran air hujan. Belum deras. tetapi sudah bikin khawatir. Mata nanar itu makin nanar saja. Semoga mereka membawa payung.

Yang ingin aku ceritakan di sini adalah dekapan hangat, pelukan erat sang bapak melindungi anaknya dari dingin yang menerabas pintu dan jendela angkot. Aku punya dua anak perempuan. Aku bisa merasakan apa yang dirasakan si bapak. Memberikan segala apa yang dipunya untuk buah hatinya. Menyalurkan sisa sisa hangat dada kerempengnya untuk si kecil. Tak peduli badan sendiri menggigil digigit angin. Bapak yang sayang anak. Sayang keluarga.

Kadang di jalan aku papasan dengan seorang ibu yang 'bekerja berat' sementara suaminya seperti tak peduli. Dengan satu anak dalam gendongan dan tangan kiri membawa tentengan, si ibu masih direpotkan memegang tangan satu anak kecilnya yang meronta ingin melepaskan diri. Sang suami tetap saja lenggang kangkung dengan rokok di tangan. Mungkin fikirnya tentengan dan anak adalah tugas istri. Yang aku lihat di angkot adalah hal sebaliknya. Seorang bapak, seorang suami, lelaki yang sayang pada anak dan istrinya, 

Kupalingkan wajah, menyembunyikan air mata yang menggenang. Tak sanggup aku berbuat apa apa untuk sekedar membantu mereka. (Kok gak terpikir ya mentraktir mereka ongkos angkot) :D ... Semoga asumsiku tentang keadaan mereka yang penuh keprihatinan salah ..

(Cerita ini didedikasikan untuk para lelaki, bapak yang sayang anak-anaknya, juga suami yang sayang pada istrinya, siapa lagi kalau bukan kita semua).