Thursday 15 January 2009

Datang Cukup Sekali Saja

Disambarnya kopiah dan baju koko putih yang tersampir di pintu musholla. Matahari sudah mulai tinggi. Pak Husin tergesa membenahi kancing baju sambil berjalan ke arah perumahan. Di ketiak kirinya terselip map plastik warna biru berisi beberapa lembaran kertas. Sebuah bolpoin hitam ada di dalam map.

“Mau keliling dulu,” pamitnya pada beberapa orang yang sedang ngobrol di tangga musholla.

Sejak marbot lama mendapat stroke ringan dan tidak bisa lagi merawat musholla, Pak Husin ditunjuk Pengurus RT dan Dewan Musholla sebagai pengganti. Tugasnya termasuk menjemput sumbangan rutin bulanan warga muslim di perumahan Vila Santika di kawasan Pancoran Mas, Depok.

“Biasanya saya keliling di awal bulan, orang-orang sudah gajian. Sabtu atau Minggu. Pagi jam 7 sampe jam 9, pas orang-orang lagi di rumah. Saya tidak datang malam-malam, khawatir mengganggu.”

Rumah pak Pak Husin terletak di belakang perumahan. Penghuni komplek sudah lama mengenalnya. Mereka kadang minta bantuannya membersihkan halaman atau selokan. Juga bayar listrik atau telepon.

“Mulai Januari ini saya dibekali surat pengantar Ketua RT dan Dewan Mushola. Bukan karena penghuni dianggap tidak percaya saya, tetapi mungkin perlu bila ada yang tanya-tanya, atau bila ada warga baru.”

“Warga sudah paham. Melihat map yang saya bawa, mereka tahu saya datang ambil sumbangan. Ada yang beri 10 ribu, ada juga yang 50 ribu.” Setiap penyumbang diminta menulis sendiri nama dan jumlah sumbangannya. Kepada mereka diberikan selembar kertas berisi daftar sumbangan dan laporan penggunaan dana bulan sebelumnya.

Dalam menjalankan tugasnya, Pak Husin memegang prinsip cukup sekali datang. Bila ada warga yang kebetulan tidak bisa memberikan sumbangan ketika dia datang, Pak Husin tidak akan “menagih-nagih”.

“Cukup sekali saja. Kalau besoknya saya datang lagi, itu berarti pemaksaan. Saya tidak mau orang menyumbang karena terpaksa. Kalau kebetulan saat ini sedang tidak punya, mungkin bulan depan ada.”

Tuesday 13 January 2009

Ulang Tahun Janet

Bu Riris menghentikan langkah tepat di ambang pintu geser di bagian belakang ruang kelas. Dia tidak ingin dilihat oleh teman-teman yang sedang mendengarkan pelajaran, juga oleh Janet – guru kami. Selain aku yang duduk di deretan belakang, tampaknya memang tak seorangpun menyadari kedatangannya.

Hari ini, Jumat 9 Januari, merupakan hari ketiga Kursus Jurnalisme Sastrawi XVI. Kursus yang diadakan oleh Yayasan Pantau, Jakarta ini menghadirkan Prof. Janet Steele dari George Washington University – Amerika dan Andreas Harsono, wartawan senior Pantau.

Bu Riris menaruh jari telunjuk di ujung bibirnya. Membaca gerakan bibirnya, aku menebak dia berucap, “Psssst ... Janet ulang tahun ... Abis ini kita rayakan!” Aku menduga, sebuah pesta kejutan sedang disiapkan oleh Fiqoh dan the gang. “Kebetulan yang amat tepat,” fikirku. Hari terakhir Janet mengajar bukanlah hari yang ringan. Seusai kelas dia dijadwalkan naik taksi ke airport mengejar pesawat ke Washington DC. Mendapatkan kejutan ulang tahun sebagai pemungkas hari pastilah menyenangkan.

Aku perhatikan dandanan Janet, nampak sedikit berbeda dari dua hari sebelumnya. Hari ini, dia kelihatan lebih muda dengan hem putih lengan panjang dan rok warna coklat. Barangkali polesan tipis lipstik merah di bibir membuatnya kelihatan lebih segar. Atau bisa jadi karena hari ini adalah hari ulang tahunnya dan sudah sempat menerima beberapa ucapan selamat dari keluarga, teman dan kerabat yang tahu.

Jam di dinding menunjukkan kurang 20 menit jam 3 sore. Menurut rencana yang aku dengar ketika keluar mengambil minum, tepat jam 14.50 nanti kami semua akan menyanyikan lagu selamat ulang tahun – buat Janet.

Tiba-tiba Pak Masli masuk ke ruang kelas dengan kameranya. “Excuse me Janet, can I take your picture?” Sambil tersenyum, Janet mengiyakan, “Oh ... OK .. I will take off my glasses”. Mungkin Janet merasa lebih pede di depan kamera tanpa kacamata.

“Pintar sekali panitia yang mengatur semua ini,” kagumku dalam hati. “Semua sudah disiapkan, kue ulang tahun, dan sekarang .... seorang fotografer juga didatangkan.”

Kelihatan tak sabar, Fiqoh masuk ruang kelas. Nampaknya dia yang akan bertugas memberi kode bagi pembawa kue untuk masuk ke ruangan. Ekor matanya tak lepas dari jarum jam di dinding di belakang Janet. Yang di luar, Irma, Basil, dan Nur nampak lebih tak sabar lagi. Tanpa menunggu aba-aba, Irma menerobos masuk membawa kue ulang tahun. Pak Masli minggir terdorong Basil dan Nur yang ikut di belakang Irma.

Janet melongo dan menghentikan penjelasannya. Mengernyitkan alis dia tersenyum, mencoba menerima interupsi yang tidak disangka ini. “Wow ... nice cake! Whose birthday is it today?”

“YOURS”, serempak semua yang di ruangan menjawab. Lagu happy birthday mulai bergema.

Terperanjat, Janet bangkit dari tempat duduknya. “Me??!!!!!! But my birthday is in June!”

Nah loh! Lagu ulang tahun mendadak fals, serta merta hilang dari pendengaran.


Catatan:
Tempat kejadian: Ruang kelas Kursus Jurnalisme Sastrawi XVI (tanggal 9 Januari 2009) di kantor Pantau di Kebayoran Lama www.pantau.or.id

Peserta Kursus: Riris, Putri, Irma, Titi, Aan (perempuan), Aan (laki2), Yatna, Melly, Badrus, Angga, Ken Ken, Fauzi

Janet: Prof. Janet Steele, Profesor di George Washington University, mengajar kursus kami selama 3 hari, tanggal 7, 8, dan 9 Januari 09

Fiqoh: Siti Nurrofiqoh, bersama Nur sebagai pengurus administrasi Pantau. Basil adalah salah seorang sahabat Pantau yang sedang berada di lokasi kejadian.

Pak Masli: Pemilik gedung di Kebayoran Lama yang membolehkan Pantau memakai Lantai 4 untuk berkantor dan beraktifitas.

Sunday 11 January 2009

Kapten Fauzi

Si Deni bisa saja. Kepada perempuan cantik penjaga toko mobil eks Singapura di Kota Sabang, aku dikenalkan sebagai seorang personel Angkatan Udara berpangkat kapten. Dia sendiri mengenalkan diri sebagai prajurit rendahan.

“Bos ini orangnya low-profile lho mbak,” begitu Deni menambahkan. Lahir 21 tahun lalu di Belawan, Sumatera Utara, Deni lari ke ibukota sejak lulus SMP setelah ditinggal mati orang tuanya. Deni menjalani sebagian masa remajanya sebagai anak jalanan Jakarta. Sekarang Deni tinggal di Bogor dan bekerja sebagai fasilitator pengorganisasian anak. Bersama beberapa fasilitator lain termasuk istriku, Deni sedang berlibur memanfaatkan akhir minggu setelah bekerja memberi pelatihan hak anak bagi relawan Child Center UNICEF di Aceh dan Nias. Aku dan kedua datang dari Jakarta ikut berlibur.

“Mana ada kapten gendut tak terawat.” Begitu fikirku sambil senyum senyum. Aku sengaja tak mengeluarkan suara, takut kewibawaan seorang ‘kapten’ tercemari suaraku yang kurang meyakinkan. Tak urung, perkenalan iseng itu membuat aku merasa perlu mematut wajah dan merapikan rambut di depan cermin, memperbaiki posisi kacamata hitam, dan mencoba memasang senyuman terbaik – lupa anak istri di kamar sebelah.

Siang yang panas. Angin dari laut terasa sejuk. Aku, Deni dan rombongan sedang berada di Asrama Perwira Pangkalan Udara Sabang. Bagian depan bangunan peninggalan Belanda yang didominasi warna putih dengan jendela besar-besar bercat abu-abu tua itu disulap menjadi kantor penjualan dan showroom mobil. Di bawah kerindangan pohon asam di halaman berjejer mobil bekas aneka model, impor dari Singapura.

Agaknya perempuan penjaga showroom percaya penuturan Deni. Dia kikuk menjaga perilaku. Sempat tak pede menjelaskan persyaratan yang harus dipenuhi bila membeli mobil bekas. “Emmm ... Bos saya belum datang, emm .. emm ... dia yang tahu tentang surat-surat!”

Perempuan muda itu pantas tak berani gegabah. Rombongan kami tiba di asrama tersebut dengan diantar langsung Komandan Pangkalan Udara Sabang, penguasa militer tertinggi di Pulau Weh. Mereka yang memahami strata kemiliteran akan mudah menduga kami bukan tamu biasa.

Ini lucu. Kenyataannya, mengaku sebagai tamu biasa saja belumlah cukup terhormat. Kami berada di sini karena suami teman istriku, seorang perwira di Mabes TNI AU Halim Perdanakusuma, berteman baik dengan sang Komandan. Sang Komandan, yang siang itu bersama istrinya mengantar kami makan siang di sebuah restoran Padang di pinggir pantai Sabang, berujar “Kualat kalau sampai tidak menemui dan menjamu kalian. Kami di Angkatan Udara semua bersaudara!”

Beberapa jam sebelumnya, rombongan kami sudah berada di dermaga pelabuhan Balohan di ujung timur Pulau Weh menunggu kapal cepat Pulo Rondo yang akan membawa kami kembali ke Ulee Lheue, Banda Aceh. Malam sebelumnya kami menginap di Pantai Iboih, menikmati kesunyian dan keindahan si surga tersembunyi, setelah sebelumnya prihatin menyaksikan monumen terkenal Kilometer Nol yang dibiarkan terlantar tak terjaga.

Sang komandan nampaknya tidak rela bila kami melawat ke Sabang tanpa sepengetahuannya. Serta merta sebuah mobil yang disopiri seorang prajurit Angkatan Udara dikirim menjemput kami kembali ke kota Sabang untuk makan siang, istirahat, dan mandi. Di Pantai Iboih tidak ada kamar mandi. Kami juga diantar menelusuri jalan di sepanjang pinggiran pantai Pulau Weh, menyaksikan keindahan pantai tak terjamah.

Dalam perjalanan kembali ke Banda Aceh, tawa geli keluarga besar Kapten Fauzi tak pernah putus mengenang cerita di showroom mobil, terutama kenorakan sang kapten berfoto di depan mobil–mobil mewah yang dipajang. Di Jakarta, mana ada kesempatan seperti itu.

Thursday 8 January 2009

Suatu Pagi di Rumah Tempe

Menolehpun tidak. Lelaki berambut keriting itu sibuk menggoyangkan saringan bambu di atas permukaan air dalam gentong kayu, memisahkan kulit kedelai yang mengambang. Butiran kedelai yang sudah tak berkulit mengendap di dasar gentong. Kulit kedelai dikumpulkan dalam sebuah bak plastik. Tidak dibuang, tapi dijadikan pakan sapi milik bosnya – sang pengusaha tempe.

Sambil melemparkan saringan bambu ke atas lantai batu bata, lelaki berkulit gelap yang hanya mengenakan celana pendek kusam itu sigap memutar badan meraih sebuah ember aluminium, menyerokkannya ke dalam sebuah gentong plastik dan mengangkat seember penuh kedelai rendamam semalam. Segera kedelai dituangkan ke dalam mulut mesin giling pemisah kulit kedelai. Mesin penggiling menderu halus. Kembali lelaki itu meraih saringan bambu, memisahkan kulit kedelai. Sesekali ia menambahkan kayu bakar memastikan api di tungku tidak mati. Ia juga sedang merebus kedelai dalam sebuah drum besi yang bertengger di atas tungku.

“Kedelai direbus sampai matang dan didiamkan semalam. Pagi-pagi kulitnya dipisah dan diberi ragi tempe, siap dibungkus daun pisang.” Seorang perempuan berbaju daster menjelaskan proses pembuatan tempe sambil meneruskan kesibukannya mencuci pakaian di depan kamar mandi tak jauh dari mesin giling yang bertenaga listrik.

Bau asap pembakaran dan aroma busuk air rendaman kedelai mengambang di udara, bercampur bau pesing dari arah kamar mandi dan harum deterjen pencuci pakaian. Ruangan gelap berjelaga berukuran sekitar setengah lapangan tenis itu merupakan sebuah ruangan serbaguna. Di pojok yang agak tinggi dari lantai, bertumpuk karung kedelai 50 kg. Label di luarnya terbaca ‘American Soy Bean No. 1. Di seantero ruangan berjejer gentong-gentong kayu dan plastik penampung kedelai rendaman. Bak-bak fiber dipasang permanen di samping sebuah tangki air penghasil uap untuk memasak bubur kedelai. Selain tempe, rumah tersebut juga menghasilkan tahu. Di sisi yang dijadikan dapur, teronggok sebuah kompor gas tak terawat. Piring dan alat masak bertebaran di sekitarnya. Di pojok ruangan, sebuah para-para didirikan untuk menyimpan kedelai yang sudah dibungkus daun pisang. Bakteri fermentasi sibuk bekerja dalam gelap mengurai kedelai menjadi tempe.

Di luar, di dekat tumpukan potongan kayu bakar, seorang lelaki muda bercelana jeans dan bersepatu boot istirahat sejenak. Bangun lebih awal, dia bertugas menjaga api pembakaran tangki air. Seorang lelaki lain nampak keluar dari kamar yang dijadikan tempat tidur bersama. Sarung biru kotak-kotak masih melilit di tubuhnya. Headset HP-nya masih terpasang di telinga. Dia melongokkan kepala ke luar. Seorang anak perempuan berusia sekitar 4 tahun sedang jongkok buang air besar di saluran pembuangan yang mengalirkan limbah produksi tahu tempe ke sungai kecil di depan rumah produksi tempe yang terletak di ujung Perumahan Mampang Indah 2, Depok. Matahari mulai menyembul di balik pepohonan. Sebentar lagi, para pekerja yang lain akan bangun dan memulai kesibukan mereka hari itu.

Thursday 1 January 2009

Refleksi Blog 2008

Hari terakhir di tahun 2008. Aku sempatkan membaca kembali semua tulisan yang aku posting di blog ini – blog yang aku bikin bulan Mei lalu sejak minggu pertama mengikuti Kursus Jurnalisme Sastrawi di Pantau.

Kesan pertama: tulisan di bulan-bulan pertama terasa lebih baik dibandingkan yang aku buat akhir-akhir ini. Terasa lebih mengalir, santai, dan enak dibaca. Detail digarap dengan cukup apik. Juga pilihan kata, tidak asal pasang. Singkatnya, aku dapat mengenali dan melihat diriku dari tulisan-tulisan awal tersebut. Dulu ketika pertama kali posting, aku ingat betul asumsiku yang mengatakan tulisanku lama kelamaan akan menjadi tambah baik seiring bertambahnya waktu. Mungkin asumsi seperti itu tidak selamanya benar.

Tetapi kalau mau lebih obyektif dalam membuat perbandingan, tentunya faktor-faktor lain perlu dipertimbangkan. Contoh exposure to writing experience. Tulisan-tulisan yang aku bikin ketika masih kursus di Pantau mungkin memang lebih baik karena ada faktor-faktor berikut: (1) ada yang membantu mengedit bahasa dan mengkritik isi, yaitu teman dan pembimbing kursus, (2) pembahasan hasil latihan menulis, juga ulasan contoh tulisan penulis besar, presentasi ‘ilmu menulis’, dan tatap muka dengan beberapa penulis terkenal. Semuanya menciptakan suatu environment menulis yang berdampak pada kualitas tulisan.

Akhir-akhir ini, environment tersebut sudah tidak aku miliki. Makanya aku ingin sekali mengikuti kursus intensif di Pantau tanggal 9-16 Januari nanti. Selain ingin menghadirkan environment, aku juga berharap environment itu sendiri dapat melekat, terinternalisasi dalam diriku sehingga aku tidak merasa perlu lagi mencari environment bila ingin menulis. Masalah environment bukanlah hal sepele sampai-sampai ada juga ajaran bijak yang menyarankan bergaul dengan orang pintar bila ingin kecipratan kepintaran mereka.

Sedikit refleksi mengenai blog ini, aku juga merasakan tulisan yang aku buat akhir-akhir ini agak berbau narsis. Entah tepat atau tidak kalau disebut narsis, yang jelas aku rasakan tulisanku sekarang banyak bernuansa penggambaran diri dilambari keinginan bercerita tentang diri sendiri kepada orang lain.

Apakah itu yang disebut narsis? Agak gak enak mengakui hal ini karena sama saja dengan mengamini apa yang diungkapkan pemilik blog ndorokakung dalam sebuah talk show radio menjelang Pesta Blogger Indonesia di Jakarta akhir November lalu.

Ketika ditanya alasan utama orang membuat blog, ndorokakung mengatakan karena narsis! Jangan-jangan aku juga narsis. Tetapi gak apalah, yang penting niat awal ingin berlatih menulis bisa tetap jalan terus, apapun motivasi menulis dan apapaun isi tulisan, baiknya aku tidak perlu terlalu khawatir. Saat ini aku lebih mementingkan kuantitas posting ketimbang kualitasnya. Mungkin di tahun 2009 nanti, kualitas bisa lebih diperhatikan disamping tentunya tetap meningkatkan frekuensi menulis. Apakah ini merupakan my new year’s resolution?

Bolehlah kalau itu disebut cita-cita. Yang jelas beberapa keinginan yang termasuk dalam cita-cita tersebut adalah meneruskan beberapa tulisan tentang perjalananku ke Afrika bulan April lalu, dan mungkin satu dua tulisan tentang kesan mengenai Belanda ketika aku ikut sebuah konferensi lingkungan di Amsterdam, serta kesan-kesan dari perjalanan ke berbagai tempat di Indonesia. Mengingat moto blog ini adalah menulis apa yang terlintas, mestinya keinginan menulis sekurangnya satu artikel per hari tidaklah terlalu sulit. Ada banyak hal yang melintas di depan mata, di dalam fikiran, mulai dari pertumbuhan rambatan pohon pare di belakang rumah, beres-beres rumah yang tak kunjung usai, kemacetan jalan yang tak pernah bosan mengganggu, galian di jalan yang silih berganti, dll. dll. Semoga …

Dalam hal mengelola blog, aku nampaknya boleh sedikit berbangga. Praktik menulis sudah mulai aku tularkan ke anak-anak. Mereka sekarang sudah punya blog sendiri: Aya Sukanya dan Syarrifa Fauzia. Walaupun frekuensi menulis mereka masih rendah, punya blog merupakan awal yang bagus. Target tahun 2009 bagi mereka: satu tulisan perbulan.

Di penghujung 2008, aku juga berhasil membuat beberapa blog lain. Fotofotokita, kelaspresentasi, dan terakhir profilkerabat. Semuanya aku kelola sendiri. Mengelola beberapa blog mengajariku satu pelajaran berharga: perlu pengelompokan tulisan berdasarkan topik (misal topik ringan atau berat, keluarga atau kantor, hobi dan cerita pribadi, dll. dll.) untuk membantu pembaca menikmati tulisan dengan lebih fokus.

Sekali lagi, semoga di tahun 2009, aku bisa menelurkan tulisan lebih banyak lagi dengan kualitas yang juga lebih baik.