Sunday 11 January 2009

Kapten Fauzi

Si Deni bisa saja. Kepada perempuan cantik penjaga toko mobil eks Singapura di Kota Sabang, aku dikenalkan sebagai seorang personel Angkatan Udara berpangkat kapten. Dia sendiri mengenalkan diri sebagai prajurit rendahan.

“Bos ini orangnya low-profile lho mbak,” begitu Deni menambahkan. Lahir 21 tahun lalu di Belawan, Sumatera Utara, Deni lari ke ibukota sejak lulus SMP setelah ditinggal mati orang tuanya. Deni menjalani sebagian masa remajanya sebagai anak jalanan Jakarta. Sekarang Deni tinggal di Bogor dan bekerja sebagai fasilitator pengorganisasian anak. Bersama beberapa fasilitator lain termasuk istriku, Deni sedang berlibur memanfaatkan akhir minggu setelah bekerja memberi pelatihan hak anak bagi relawan Child Center UNICEF di Aceh dan Nias. Aku dan kedua datang dari Jakarta ikut berlibur.

“Mana ada kapten gendut tak terawat.” Begitu fikirku sambil senyum senyum. Aku sengaja tak mengeluarkan suara, takut kewibawaan seorang ‘kapten’ tercemari suaraku yang kurang meyakinkan. Tak urung, perkenalan iseng itu membuat aku merasa perlu mematut wajah dan merapikan rambut di depan cermin, memperbaiki posisi kacamata hitam, dan mencoba memasang senyuman terbaik – lupa anak istri di kamar sebelah.

Siang yang panas. Angin dari laut terasa sejuk. Aku, Deni dan rombongan sedang berada di Asrama Perwira Pangkalan Udara Sabang. Bagian depan bangunan peninggalan Belanda yang didominasi warna putih dengan jendela besar-besar bercat abu-abu tua itu disulap menjadi kantor penjualan dan showroom mobil. Di bawah kerindangan pohon asam di halaman berjejer mobil bekas aneka model, impor dari Singapura.

Agaknya perempuan penjaga showroom percaya penuturan Deni. Dia kikuk menjaga perilaku. Sempat tak pede menjelaskan persyaratan yang harus dipenuhi bila membeli mobil bekas. “Emmm ... Bos saya belum datang, emm .. emm ... dia yang tahu tentang surat-surat!”

Perempuan muda itu pantas tak berani gegabah. Rombongan kami tiba di asrama tersebut dengan diantar langsung Komandan Pangkalan Udara Sabang, penguasa militer tertinggi di Pulau Weh. Mereka yang memahami strata kemiliteran akan mudah menduga kami bukan tamu biasa.

Ini lucu. Kenyataannya, mengaku sebagai tamu biasa saja belumlah cukup terhormat. Kami berada di sini karena suami teman istriku, seorang perwira di Mabes TNI AU Halim Perdanakusuma, berteman baik dengan sang Komandan. Sang Komandan, yang siang itu bersama istrinya mengantar kami makan siang di sebuah restoran Padang di pinggir pantai Sabang, berujar “Kualat kalau sampai tidak menemui dan menjamu kalian. Kami di Angkatan Udara semua bersaudara!”

Beberapa jam sebelumnya, rombongan kami sudah berada di dermaga pelabuhan Balohan di ujung timur Pulau Weh menunggu kapal cepat Pulo Rondo yang akan membawa kami kembali ke Ulee Lheue, Banda Aceh. Malam sebelumnya kami menginap di Pantai Iboih, menikmati kesunyian dan keindahan si surga tersembunyi, setelah sebelumnya prihatin menyaksikan monumen terkenal Kilometer Nol yang dibiarkan terlantar tak terjaga.

Sang komandan nampaknya tidak rela bila kami melawat ke Sabang tanpa sepengetahuannya. Serta merta sebuah mobil yang disopiri seorang prajurit Angkatan Udara dikirim menjemput kami kembali ke kota Sabang untuk makan siang, istirahat, dan mandi. Di Pantai Iboih tidak ada kamar mandi. Kami juga diantar menelusuri jalan di sepanjang pinggiran pantai Pulau Weh, menyaksikan keindahan pantai tak terjamah.

Dalam perjalanan kembali ke Banda Aceh, tawa geli keluarga besar Kapten Fauzi tak pernah putus mengenang cerita di showroom mobil, terutama kenorakan sang kapten berfoto di depan mobil–mobil mewah yang dipajang. Di Jakarta, mana ada kesempatan seperti itu.

No comments: