Thursday 26 December 2013

Ide Tulisan: Mau Menulis Apa?

Ada banyak ide yang ingin aku tuangkan jadi tulisan. Tulisan blog atau artikel ke koran (buat nyari honor) atau dalam bentuk buku tebal.

Untuk blog, aku ingin tulis jawaban pertanyaan ini: 'What do I think of a profession?' tentang bagaimana aku memandang sebuah profesi.

Misal: lawyer. Jenis kelaminnya pria. Pelakunya kalau tak banyak bacaan, minimal wanian (bahasa Jawa: pembrani), pintar bersilat lidah (tentu dengan dasar-dasar yang memang legal atau ada, dan juga perlente. Ini kok jadi personifikasi temenku yang lawyer ya .. hehehe .. doi suka pakai hem bergaris, lengan panjang, dan di pergelangan tangan kiri melingkar gelang batu (yang diragukan keaslian batunya) dibeli pas waktu ke Sangiran .. wkwkwkwk ...

Bagaimana tentang profesi tukang rumput? Yang ngangon kambing atau sapi? Makelar tiket? Pengoprek coding komputer? Tukang angkot? Guru? Pegawai Bappeda? Ahli batu mulia? Penjual gorengan? Mbak penjaga toko mas? dll dll.

Semuanya punya 'jenis kelamin' - stereotyping yang ingin aku tuliskan plus semua yang pernah aku lihat dan rasakan terkait suatu profesi. Seru deh kayaknya.

Lalu untuk blog, yang juga ingin aku tulis adalah tentang The Color of City in My Mind - tentang warna kota di benakku. Tak peduli apakah kota tersebut pernah aku kunjungi atau belum.

Misal Surabaya. Aku lihat berwarna putih tapi abu-abu. Bandung Hijau kecoklatan, ada merahnya. Lalu Palembang kuning. Canberra putih tertata. Mumbay, warna warni, tak teratur namun exotic. Helsinki, hitam mengkilat. Mataram, tak jelas. Banjarmasin, ada banyak benda tajam di sekelilingnya. Bandar Sri Begawan, punya banyak sungai berkelok dengan perahu berlayar tinggi (lah ini kan bukan warna) - yaa ... kota ini di benakku berwarna hijau dan putih lembut. Begitu seterusnya.

Untuk artikel koran, aku pingin nulis tentang berbagai fenomena di masyarakat, kejadian unik di sekeliling, lalu aku kasi moral of the story sedikit saja. Tak perlu banyak. Kalau banyak, sayang, honornya tak banyak, masak nulis semua siih. Satu moral, satu tulisan, satu honor. :D

Untuk buku? Sekurangnya saat ini aku punya 2 ide: 1) CSR dengan MindMap - rencana aku mau kerjakan bersama teman yang ahli MindMap, dan 2) HR Management dan segala seluk beluknya - berbentuk satu seri buku. Ini juga sama satu teman yang ahli dan praktisi Human Resources.

Ada banyak ide lain yang pernah masuk di fikiran. Tetapi karena aku tidak aku rekam (tulis atau foto), hanya mengandalkan ingatan, maka ternyata ide-ide itu hilang. Harapannya akan muncul lagi suatu saat bila ada yang mentriggernya.

Begitulah sekelumit tulisan ngawur menjelang subuh yang sebentar lagi datang ..

Tuesday 3 December 2013

Orang Gila Jalanan. Apa Yang Bisa Kita Lakukan Untuk Bantu Mereka?

Sampai saat ini aku belum tahu jawaban judul tulisan pendek ini. Pikirku, bantuan tersebut seharusnya bersifat 'long term', model lembaga swadaya masyarakat, ada fokus dan program, punya maksud dan tujuan yang jelas, ada tujuan akhir, long term goals, dll. Mungkinkah?

Lalu apa tujuan membantu orang gila jalanan? Supaya apa? Bikin mereka sembuh atau kembali ke keluarganya yang akan merawat, dll? Ahh. Aku belum bisa temukan jawaban.

Apa pula tujuan membantu mereka? Sekedar amal? Berderma? Untuk 'perubahan'? Gak tahulah.

Saat ini yang bisa aku (atau pembaca) lakukan cuma prihatin. Lalu sesekali hampiri orang gila yang kebetulan papasan di jalan atau yang kelihatan sedang berteduh. Kasi duit atau makanan. Bisa dipastikan wajahnya akan tetap tanpa ekspresi saat menerima apa yang diberi.

Tapi tak semua mau menerima lho. Ada yang menolak, dan malah menjauh. Tujuan kasi-kasi cuma sederhana. Biar si orang gila bisa makan sesuatu. Isi perut. Atau kalau pegang duit, bisa beli makanan (bila mereka paham duit, dan paham duit bisa ditukar makanan).

Orang gila jalanan. Mengenaskan sekali melihat mereka. Badan setengah telanjang. Pakaian compang camping. Warnanya jauh lebih buruk dari kain pel atau keset. Rambut awut-awutan. Berjalan entah kemana. Muka tanpa ekspresi. Tak hirau dengan bunyi motor mobil menderu di jalanan ramai.

Kenapa yaa mereka ada di jalanan. Tak adakah yang urus? Kemana keluarganya?

Ada juga yang telanjang bulat. Risih juga melihat mereka. Sebagian besar kulitnya menghitam, penuh daki, tentu tak pernah mandi. Juga mungkin karena tidur di sembarang tempat. Emperan toko mungkin lebih baik, lantainya sering disapu. Tapi kadang mereka terlihat tidur di trotoar. Berselimut debu.

Ada yang tua. Ada yang masih muda. Ada yang laki-laki. Ada juga yang perempuan. Tak tergambarkan perasaan melihat mereka telanjang.

Sebagian besar tak mengganggu orang (dalam arti membuat onar atau bikin takut). Hanya satu dua saja yang kelihatan mengkhawtirkan bila kita dekati.

Apa yaa yang bisa dilakukan untuk membantu mereka?

Sekedar kasi makan? Supaya mereka bisa bertahan hidup?

Aku  pernah lihat di Nairobi - Kenya, seorang bapak-bapak tua berkulit putih bercelana pendek berbaju kotak kotak dan memakai topi, memanggul karung (aku duga berisi makanan), membagikan roti untuk para gelandangan kulit hitam di sebuah ruas jalan. Waktu itu udara sedang dingin-dinginnya. Para gelandangan terlihat tiduran berselimut tebal di bawah pohon-pohon pinggir jalan, dan ketika melihat di bapak tua datang, mereka bergerak menyongsong roti yang diulurkan. Mulia sekali si Bapak Bertopi.

Tapi ini untuk gelandangan. Bagaimana dengan orang gila? Apakah model ini bisa ditiru? Setiap hari mengumpulkan roti atau makanan siap makan untuk dibagikan kepada orang gila yang ditemui di pinggir jalan?

Gelandangan mungkin menarik untuk dibantu, karena mereka memang mungkin hidup susah, sedang tak punya apa apa buat makan hari itu. Mereka masih 'waras'. Bila sudah makan barangkali mereka lalu bisa berfikir cari kesibukan (kerja) untuk menyambung hidup.

Tetapi kalau orang gila? Dikasi makan? Lalu setelah makan mereka tetaaap saja berjalan telanjang tanpa ekspresi, dengan tatapannya yang kosong. BUKAN menerawang lho, karena menerawang adalah aktifitas otak yang dilakukan dengan kesadaran, bukan sesuatu yang dimiliki orang gila.

Kasi makan terus? Supaya mereka bertahan hidup? Begitukah seterusnya?

Apakah membuat mereka bisa makan punya perbedaan dengan tak menghiraukan mereka sama sekali. Membuat mereka tetap hidup atau membiarkan mereka mati saja? Mungkin tak ada pengaruhnya. Tak akan bikin mereka sembuh dari gilanya. Tak akan bisa merubah hidup mereka.

Barangkali membiarkan mereka mati, diambil nyawanya oleh yang membuat mereka - Tuhan kita, adalah tindakan lebih bijak. Biarkan mereka hilang karena kena penyakit mematikan, atau keprosok lubang, tak ada yang menolong berhari-hari - lalu mereka mati?

Ataukah berharap atau membiarkan aparatus pemerintah menggaruk mereka untuk dibuang di hutan-hutan sepi, mengenyahkan mereka dari peradaban, biar tak mengganggu pemandangan? (Cara ini adalah cerita angin - kali tak benar. Tapi banyak juga lho orang gila di pinggir hutan Alas Roban (perbatasan Kendal - Batang, Jawa Tengah). Apakah mereka 'buangan' tadi? Tak tahulah.

Maaf banget. Ini ditulis terutama karena prihatin saja. Juga tak berangkat dari kepahaman akan peran Dinas Sosial negara atau Rumah Sakit Jiwa dalam mengurus makhluk Tuhan berjenis orang gila jalanan.

Begitulah kawan. Kali ada pembaca yang punya solusi?

Salam Peduli