Saturday 21 June 2008

The Magic of Sepak Bola

Ketika tim sepakbola Belanda berhasil lolos ke babak Perempat Final Euro 2008, komentator pertandingan yang bertugas ketika itu bersorak, “One of the many ways to put yourself in the quarter final is doing it in style.”

Dari nada suaranya, jelas sang komentator sangat suka cita. Bukan karena menjagokan Belanda, komentator dilarang memihak, tetapi karena sangat terhibur dengan permainan yang ditunjukkan para pemain muda tim Negeri Kincir Angin.

Edwin van der Saar memimpin teman-temannya menghancurkan finalis World Cup 2006 Perancis 3-1 pada pertandingan kedua penyisihan Grup C. Sebelumnya tim Oranye juga mempermalukan pemegang tropi paling bergengsi sepakbola sejagad Italia 3 gol tak terbalaskan. Belanda melengkapi keberhasilan tampil sebagai juara grup dengan menggasak Romania 2-0.

Doing it in style adalah ungkapan yang sangat tepat menggambarkan keindahan gaya total football tim asuhan sang maestro Marco van Basten. Keindahan adalah perpaduan gerak terampil individu menggocek bola serta kekompakan tim menyusun serangan dan merapatkan pertahanan. Hampir tidak ada operan salah. Pemain sayap dan pemain tengah sama-sama membahayakan. Setiap sepak pojok adalah saat mendebarkan bagi tim lawan. Umpan tarik selalu berpotensi gol. Dalam hampir 90 menit masa pertandingan, para pemain Belanda tak kenal lelah mengisi setiap ruang kosong lapangan pertandingan. In style adalah bermain efektif dan efisien. In style adalah ungkapan yang menggambarkan kejelian pelatih menentukan strategi dan kejeniusan pemain membuat keputusan cepat dan akurat kapan harus menahan atau melepaskan bola. Seorang Ruud van Nistelrooy adalah jenius. Begitu pula Arjen Robben, Robin van Persie, Dirk Kuyt, Giovanni van Bronchorst, dan pemain lainnya.

Ketika Wesley Sneijder melesakkan gol dari sudut sempit ke gawang Perancis yang dijaga Coupet yang malang, sebuah gol yang ditembakkan dari sudut yang dikenal dengan sebutan sudut mustahil, komentator tidak lupa mengingatkan penonton, “The skill, only van Basten can show.” Sang komentator membawa penonton menerawang masa ketika van Basten muda membius publik dengan gol ajaibnya, juga dari sudut yang hampir mustahil, membawa Belanda juara Eropa tahun 1988.

Para penggemar bola sangat menyukai keindahan seperti itu. Keindahan yang setara dengan keindahan-keindahan yang lain. Tuhan Maha Kuasa menghadirkan kebahagiaan di hati mereka.

Hati mereka juga dipermainkan oleh hal yang dipercaya hanya milik Tuhan. Takdir. Pertandingan baru bisa dikatakan selesai hanya ketika wasit telah meniup pluit panjang. Sebelum itu, walapun hanya sekedar 2 detik, pertandingan masih belum bisa dianggap usai. Pemenang pertandingan belum ditentukan.

Menjelang subuh dini hari tadi, Tuhan kembali menyadarkan manusia akan takdir. Takdir menentukan nasib Turki untuk lolos ke babak Semi Final Euro 2008 untuk yang pertama kalinya hanya 2 detik sebelum wasit meniup pluit mengakhiri pertandingan.

Setelah bermain 2 X 45 menit tanpa gol, pemenang pertandingan perempat final Turki melawan Kroasia harus ditentukan lewat penambahan waktu 2 X 15 menit. Tidak ada yang terjadi pada 15 menit pertama. Kedudukan imbang 0-0 juga bertahan sampai menit ke 29 babak tambahan kedua.

Ketika semua orang menduga pertandingan akan segera berakhir dan pemenang harus ditentukan lewat adu finalti, Ivan Klasnic, pemain pengganti yang dimasukkan pelatih Kroasia Slaven Bilic membuat kejutan. Tandukan kepalanya membobol gawang Rustu Recber pada pertengahan menit ke 29. Stadion Ernst Happel di kota Wina meledak. Suporter Kroasia bersorak gembira. Pendukung Turki menunduk lesu, bertanya dalam hati apa salah kami? Turki is over! Kata komentator pertandingan. Apa yang dapat dilakukan Turki dalam 1 menit tambahan waktu?

Satu menit bukan waktu yang panjang. Satu menit hanyalah 60 detik. Ada banyak orang di dunia ini yang sanggup menahan nafas bahkan lebih dari 60 detik. Hanya satu menit. Kadang tak berarti.

Tetapi dini hari tadi, 60 detik adalah waktu yang sangat bermakna bagi rakyat Turki. Juga bagi para warga negara keturunan Turki di berbagai negara di seluruh dunia yang kadang lebih militan menggilai bola. Pada dua detik terakhir sisa pertandingan, secara tak terduga penyerang Turki Semih Senturk berhasil memanfaatkan celah sempit menendang bola ke arah gawang Kroasia. Bola melesat deras, menyentuh kaki kanan salah satu pemain belakang Kroasia yang mencoba menghalangi, membelokkan luncuran bola ke arah kanan gawang, menipu kiper Stipe Pelitikosa yang sudah terlanjur melempar badan ke arah kiri, gooooooooool.

Untuk sesaat, tidak ada yang percaya dengan apa yang terjadi. Siapa yang dapat menduga Turki bisa menyamakan kedudukan menjadi 1-1 hanya dalam waktu kurang dari 1 menit? Waktu itu, logika berpihak pada Krosia. Waktu tinggal 1 menit. Cukup kerahkan semua pemain mempertahankan gawang. Lambatkan tempo permainan dengan memasukkan pemain pengganti. Slaven Bilic berusaha melakukan hal ini tapi tidak digubris wasit. Hanya dalam 1 menit keadaan berbalik.

Gol itu membuat stadion Ernst Happel bergemuruh sekali lagi. Kali ini gemuruhnya lebih membahana. Pelatih Fatih Terim berjingkrak kegirangan. Slaven Bilic tertunduk lesu. Mimpi apa dia semalam. Pendukung Kroasia memandang dengan tatapan kosong. Tak percaya. Mereka baru saja terkena sentuhan sihir takdir. Tuhan membuat keputusan tak terduga. Hanya beberapa detik menjelang pertandingan berakhir, tiket semi final yang sudah ada di tangan terampas begitu saja. Hampa.

Wasit meniup peluit panjang. Pemenang harus ditentukan lewat adu finalti. Seperti yang dicatat sejarah subuh dini hari tadi, Turki lolos setelah 3 algojo Kroasia gagal menuntaskan tugas dari titik putih yang hanya berjarak 10 meter dari garis awang.

Harapan akan keindahan dan keajaiban. Itulah yang sering membuat penonton bola bertahan tak tidur untuk menunggu waktu pertandingan sepakbola tim kesukaan mereka. Memiliki harapan adalah sikap optimis. Berdoa takdir akan berpihak adalah kesadaran bahwa manusia tunduk di hadapan sang empunya takdir. Penggemar sepakbola memiliki dua sikap ini. Menarik untuk mengetahui apa pengaruh hal ini bagi kehidupan mereka sehari-hari. Ada yang berminat mencari tahu?

Friday 20 June 2008

GM 2 - Pelajaran

Setelah dipersilahkan oleh Andreas Harsono, Goenawan Muhamad memulai berbicara dengan sebuah apology. Mengaku tak siap mengatakan apa, GM berbicara sekitar 1 jam. Tanggal 19 Juni, Ruang Teater Utan Kayu terisi sekitar 30 orang dari kelas narasi Pantau berbagai angkatan untuk mendengarkan GM bertutur pengalaman berkarya. Berikut adalah beberapa petikan pelajaran.

Sama seperti naik sepeda, menulis tidak memiliki teori. Makin sering berlatih makin terampil seseorang mengayuh sepedanya, mengarahkan ke arah yang ia kehendaki. Pelajaran: rajin-rajinlah berlatih menulis. GM berkata, “Sampai saat ini saya tetap berlatih menulis. Ketika menulis, saya sebenarnya sedang berlatih.”

Ketika menulis non-fiksi, dahulukan sikap empiris. Jangan mulai dengan teori apalagi asumsi. Hipotesis boleh dipakai, tetapi hanya berlaku sementara. Baru-baru ini the New York Times menulis bahwa pengungkapan terorisme yang dilakukan pemerintah Indonesia masih lebih baik dibandingkan negara manapun. I Mangku Pastika melakukan pekerjaan detektif, mengumpulkan fakta dari hasil penelitian serpihan-serpihan bekas ledakan Bali. Dari situ dia menyususn teori persekutuan jahat penghilang nyawa manusia. Hal ini berbeda dengan cara pengungkapan kasus gaya orde baru. Ketika bom meledak, sebuah teori konspirasi serta-merta dimunculkan. Fakta-fakta disusun belakangan dan dipakai untuk mendukung teori yang sudah terlanjur diumumkan. Anekdot mumi dipaksa berbicara menggambarkan bagaimana semua hal dilakukan hanya untuk mendukung suatu teori, sekalipun teori tersebut keliru. Pelajaran: bila menulis dengan didahului teori, maka fakta-fakta akan cenderung kita cocok-cocokkan. Ini adalah pertanda kemalasan berfikir. Salah satu peran jurnalisme adalah memerangi hal tersebut.

Dalam sastra generasi Ayu Utami, kesadaran akan craft makin meningkat. Ini berbeda dengan era Pujangga Baru dimana bahasa abstrak masih banyak dipakai. Dalam tulisan Ayu Utami, nama jalan disebutkan. Era Pujangga Baru hanya cukup menyebutkan nama kota. Pohon jati lebih kongkrit dibandingakan dengan hutan. Pelajaran: pakailah bahasa yang kongkrit.

Sebuah kalimat atau paragraf haruslah segar. Tulisan secara umum haruslah muncul dengan kata-kata ataupun ide-ide segar. George Bush diolok-olok hanya memiliki 20 kata dalam perbendaharaannya. Pidatonya hanya berisi kata democracy dan injustice, kata-kata abstrak yang tak bermakna nyata. Obama tampil lebih menawan karena dia berbahasa lebih kaya. Gunakan variasi kata atau frase supaya tulisan tidak membosankan. Kamus dan thesaurus hendaknya menjadi teman dekat penulis. Pelajaran: Hindari menggunakan 2 kata yang sama dalam kalimat yang sama. Kalau bisa dalam paragraf yang sama, tidak terdapat pengulangan kata. Ini akan memberikan nuansa segar dalam tulisan kita.

Tulisan yang bagus, dengan bahasa yang bagus, dan memperkenalkan hal-hal baru, akan menggugah orang untuk berproses mencari jawaban. Tulisan semacam itu akan menggugah pembaca untuk berfikir. Tulisan hendaknya menjadi semacam pemicu untuk berfikir lebih lanjut. Kita harus menghormati kemampuan pembaca untuk berfikir, bertanya, dan menemukan jawaban sendiri. Jurnalisme hendaknya ditujukan untuk melibatkan (to engage) pembaca. Jurnalis tidak tahu keseluruhan jawaban. Dia hanya tahu sedikit. Penulis berperan sebagai pencetus proses pencarian kebenaran. Kita semua bersama-sama berproses menemukan jawaban. Pelajaran: Readers’ Theory.

Dalam sastra, penulis dianggap mati karena begitu tulisannya dilepaskan ke khalayak pembaca, ia tidak bisa mengontrolnya lagi. Pelajaran: Beauty is in the eyes of the beholder.

Tanda karya yang baik: setiap kali kita membacanya, kita akan menemukan hal-hal baru. Begitu seterusnya. Ia menginspirasi penemuan berbagai kemungkinan jawaban. Tulisan yang baik dapat memprovokasi (to provoke) proses berfikir. Pelajaran: jangan menggurui.

Bacalah karya bermutu sebanyak-banyaknya. Sayang sekali dalam bahasa Indonesia, karya bermutu tidak sebanyak dalam bahasa asing. Di samping itu, karya tulis dalam bahasa Indonesia jarang memperoleh kritikan yang cukup. Indonesia tidak terbiasa dengan budaya kritik sastra. Media tidak membicarakan karya sastra tetapi lebih suka mengulas penulisnya. Penulis di Indonesia seperti selebritis. Orang sibuk berbicara tentang si penulis, bukan tentang karyanya. Ini pendangkalan! Pelajaran: pelajari bahasa asing supaya bisa belajar banyak dari karya tulisan bermutu.

Kiat khusus GM dalam menulis: menghindarkan diri dari apa yang sudah umum diketahui orang. Hindarkan diri dari menerima asumsi-asumsi umum yang banyak orang sudah tahu. Avoid predictability! Misal, semua orang tahu kenaikan harga BBM akan membuat orang susah. Lalu orang dininabobokkan dengan ide blue energy. Tetapi jarang ada orang yang mau tahu kalau menurunkan harga BBM adalah sesuatu yang mustahil dalam situasi harga BBM dunia seperti sekarang ini.

Pesan GM: Jurnalis jangan gede rasa, menganggap tulisannya akan sanggup merubah dunia. Tidak pernah ada dalam sejarah sebuah tulisan menyebabkan perubahan tanpa adanya faktor-faktor lain seperti aksi turun ke jalan dll.

Jurnalis memiliki ingatan pendek. Selesai menulis, apa yang ditulis segera dilupakan karena harus segera menulis sesuatu yang baru. Salah satu kearifan jurnalis adalah karena bisa menjadi fragmentaris. We are only writing fragments (of the big picture). In other words, we admit that we are aware of our lack of knowledge of the whole story.

Kiat mencari ide: Kita harus percaya diri. Ide yang biasa-biasa saja bagi orang lain, mungkin luar biasa bagi kita. Kita tidak harus mengikuti anggapan atau pendapat orang lain. Bagi seorang bidan, proses kelahiran adalah hal biasa. Bagi pasangan yang baru dikaruniai anak setelah menikah 20 tahun, kelahiran bisa sangat bermakna.

GM 1 - Wajah

Terakhir yang aku ingat tentang Goenawan Mohamad adalah wajahnya yang kelihatan mulai menua. Aku lihat di layar televisi ketika itu, wajah yang kelihatan kuyu, rambut berwarna pudar tak disisir, serta kumis berewok tak terawat. Khas wajah orang kurang tidur dan banyak fikiran. Kalau tidak salah, saat itu adalah ketika Tempo – majalah berita mingguan yang ia asuh – sedang bermasalah dengan pemerintah. Soeharto berniat membredel Tempo.

Diam-diam aku merasa sedih. Sedih atas keadaannya. Aku tidak kenal dia. Aku hanya tahu namanya kerap muncul dalam diskusi kelas bahasa kami di sekolah. Nama Goenawan Mohammad atau biasa disingkat GM disebut sebagai salah satu sastrawan besar yang dimiliki bangsa ini. Mungkin aku menaruh simpati karena mendengar keberaniannya menyoal berbagai ketidakadilan yang dialami negeri ini. Kala itu, tidak banyak orang berani bersuara nyaring. Sebagai mahasiswa yang ikut kejar-kejaran dengan militer sebelum Soeharto tumbang, aku menganggap GM wakilku bersuara.

Aku pernah lihat foto wajah GM di majalah Tempo di perpustakaan daerah kami, tahun 90an. Tampan. Bersih dan berkarakter kuat. Tidak ada ketakutan dalam sorot matanya yang tajam. Kedalaman berfikir tergurat dalam keseluruhan urat wajah. Belakangan, aku ingat GM mulai sering memakai kopiah hitam memberi aksen pada wajahnya yang masih tetap terlihat tegas.

Tentang kopiah, betapa aku naif waktu itu. Aku anggap aksesoris hitam itu sebagai identitas peningkatan religiusitas. Aku sempat merasa GM cenderung atheis dari beberapa tulisannya di Catatan Pinggir yang sering menggunakan kata-kata dari bahasa Rusia dan berceritra tentang Lenin Stalin dengan sangat fasih. Aku bukan satu-satunya orang yang dibodohi kampanye pemerintah orde baru bahwa segala yang berbau Rusia adalah identik dengan komunis, dan komunisme identik dengan atheisme. Lagi pula, apa yang salah dengan atheisme?

Setelah era kopiah itulah GM, dalam ingatanku, mulai identik dengan wajah tak terurus. Kronologi perubahan, dari wajah klimis dan kuat, berkopiah, dan lalu menua tak terurus, sangat membekas di fikiranku. Bisa jadi aku salah. Salah ingat dan salah membuat gambaran. Perubahan itu mungkin hanyalah proses alami seiring bertambahnya usia seseorang. Tetapi bagi aku yang cenderung visual, hal itulah yang aku ingat tentang GM, sampai kemarin (19/6) aku bertemu langsung dengannya. Aku beruntung berkesempatan menjadi sedikit orang dari kelas Pantau yang mendapat kuliah tentang menulis langsung dari GM di Komunitas Utan Kayu di kawasan Jakarta Timur.

Kali ini, aku melihat langsung wajah kuyu dengan rambut-rambut kumis dan berewok tak terawat itu. Namun kuakui melihat wajah itu lengkap dengan tubuh tempat ia tersematkan memberi kesan berbeda. Apalagi setelah mendengar langsung ungkapan demi ungkapan sarat makna meluncur lancar dengan artikulasi apik tertata. Wajah kuyu menjadi hidup. Kekuyuan dan ketidakberaturan hanyalah kosmetik. Usia ternyata tidak mempengaruhi rima berfikir dan berbicara seorang GM. Barangkali GM sekedar kurang tidur.

Aku suka mengamati mata penulis. Kulit belakang sebuah buku kadang memuat foto penulisnya. Aku suka memandang mata yang ada di foto tersebut. Nancy Pelusso, peneliti Amerika yang melakukan studi ekologi politik permasalahan kehutanan di daerah Blora Jawa Tengah, memiliki mata riang tetapi tegas. Dia memerlukan mata itu dalam berinteraksi dengan masyarakat Jawa yang tinggal di pinggiran hutan, juga dengan aparat kehutanan di lokasi penelitiannya. Perhatikan mata arif Paulo Coelho yang terkenal dengan the Alchemist. Pandangan Ayu Utami mengandung kegusaran dan perlawanan. Mata jenaka yang memandang dunia dengan tersenyum adalah milik Malcolm Gladwell penulis buku Tipping Point.

Tak terganggu gelambir yang nampak berat menggayut, mata GM memancarkan keteguhan hati dan kedalaman berfikir. Mata yang keras dalam kemarahan, tapi penuh kasih dan kelembutan terhadap sesama. Mata orang berilmu diwarnai kerendahan jiwa. Wajah boleh berkeriput dan rambut berubah warna. Namun mata itu tidak akan kehilangan sorotnya. Aku berdoa semoga GM dikarunia usia panjang dan terus berkarya membangunkan anak negeri bangkit dari kebodohan.

Monday 16 June 2008

Katuk & Kucai dari Nanggung

“Keduanya harus serentak,” jawab H. Udi (petani 70 tahun) ketika ditanya mana yang harus dilakukan terlebih dahulu, berproduksi lalu memasarkan ataukah mencari pasar lalu memulai produksi.

Selama ini, pemerintah dan berbagai pihak lainnya sudah banyak membantu petani meningkatkan hasil pertanian. Tetapi pada saat panen, petani kebingungan tidak tahu kemana menjual hasil panen. Hal ini dikemukakan Dr. Anas Susila dari Institut Pertanian Bogor (IPB) dalam ceramahnya di hadapan para petani peserta pelatihan pasca produksi sayur katuk yang meliputi teknik panen, pemilihan, dan pengikatan.

Lebih dari 100 petani dari desa Hambaro, Sukalunyu, dan Parakanmuncang Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor mengikuti pelatihan di Agromedika yang terletak di Desa Hambaro di kaki Gunung Halimun. Agromedika merupakan lokasi penelitian dan pengembangan tanaman obat yang dikelola oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) di atas tanah seluas 2 hektar milik PEMDA Kabupaten Bogor. Pelatihan itu dilanjutkan dengan kunjungan ke beberapa lahan uji coba penanaman katuk dan kucai.

Pelatihan yang dilakukan pada tanggal 2 Juni 2008 ini merupakan salah satu kegiatan Proyek Penelitian dan Pengembangan Sayuran di Lahan Wanatani yang merupakan bagian program bertajuk Sustainable Agriculture and Natural Resource Management atau dikenal dengan SANREM atas dukungan dana USAID (United States Agency for International Development).

Berangkat dari pengalaman selama ini, tim peneliti pemasaran dari World Agroforestry Centre yang bermitra dengan IPB mencoba menerapkan pendekatan terbalik, yaitu menyiapkan pasar sebelum memulai proses produksi. Dengan alat yang dikenal dengan RMA (Rapid Market Appraisal), mereka membantu petani memastikan tersedianya pasar sebagai dasar perencanaan produksi.

“Di awal program, anggota tim melakukan studi terhadap beberapa jenis sayuran lokal yang potensial untuk dikembangkan termasuk berkeliling mencari informasi pedagang yang bersedia membeli hasil produksi sayuran tersebut, yang akhirnya diambil keputusan untuk mengembangkan katuk (Sauropus androgynus) dan kucai (Allium tuberosum).”, demikian dijelaskan oleh Iwan Kurniawan – ahli pemasaran dari World Agroforestry Centre. “Kami menemukan seorang pedagang sayuran dari Pasar Cengkareng, Pak Kastolani, yang menyatakan kesediannya membeli katuk dan kucai yang dihasilkan petani.”

Bersama dengan beberapa petani lainnya dari desa-desa yang dalam lingkup proyek penelitian ini, H. Udi merelakan 2 petak lahannya masing-masing berukuran 800 m2 dan 500 m2 sebagai lahan uji coba penamanam katuk dan kucai Proyek SANREM menyediakan bibit, pupuk, dan obat-obatan yang diperlukan. Kelak bila berhasil, H. Udi diwajibkan menggulirkan modal yang ia terima kepada petani lainnya.

Salah satu hal menarik dari proyek penelitian ini adalah pelibatan petani sejak awal dalam proses-proses RMA. Petani dipercayai memiliki informasi tentang para pedagang yang biasa membeli sayuran hasil kebun mereka. Selain untuk menyusun rencana produksi dan pemasaran, pertemuan-pertemuan dengan para petani dimaksudkan untuk membiasakan petani dengan langkah dalam RMA. Bila proyek sudah berakhir, para petani diharapkan dapat menerapkan RMA secara independen.

Selama ini, Kecamatan Nanggung dikenal sebagai pemasok berbagai jenis sayuran dan buah-buahan ke Jakarta yang letaknya tidak terlalu. Setiap hari, berton-ton komoditas seperti kacang panjang, mentimun, pisang, dan ubi kayu dikirim ke Jakarta dengan mobil pick-up berukuran kecil maupun sedang.

“Nantinya bila proyek ini berhasil, di Kecataman Nanggung akan dibentuk suatu badan pengelola tata niaga dan produksi sayur mayur (Nanggung Agro Enterprise) yang beranggotakan para petani dan orang-orang seperti Pak Kastolani, ” tutur Iwan ketika ditanya dampak proyek ini bagi masa depan masyarakat tani di Nanggung. “Badan ini akan berperan menentukan komoditas yang akan ditanam sesuai dengan kebutuhan pasar, menentukan patokan harga, dan merupakan ajang pertemuan petani dan pembeli. Permasalahan kurangnya informasi pasar dan jauhnya lokasi produksi semoga bisa ditanggulangi.”

Bersama rekan peneliti lainnya, Iwan berharap petani Nanggung memiliki alternatif untuk meningkatkan pendapatannya. Permasalahan banyaknya pemuda dan pemudi Nanggung yang pergi ke Jakarta untuk mencari pekerjaan diharapkan juga bisa dipecahkan bila bertanam sayuran mampu memberikan hasil yang menjanjikan.

Afrika (5) SQ Juga Bisa Salah

Aku menyodorkan tiket dengan tenang kepada petugas security bandara. Drama taksi sudah aku lupakan. Faktanya aku tiba tepat waktu. Sekarang waktunya siap bila bagasiku diaduk-aduk petugas mencari barang yang tidak boleh dibawa masuk ke pesawat atau dianggap kelebihan bagasi. Aku juga membawa titipan teman yang lumayan berat.

Lancar. Semua tanpa halangan. Kuamati ruang check in penerbangan internasional yang nampak lebih bersih dibanding penerbangan domestik. Beberapa penumpang duduk membaca buku di korsi-korsi yang tersedia dipojok dekat jalan ke toilet dan musholla. Beberapa dari mereka sibuk dengan telpon genggamnya, menulis SMS. Konter bank yang menerima pembayaran fiskal tampak santai menunggu calon penumpang menyerahkan duit 1 juta rupiah per kepala. Aku tak tahu mengapa bank-bank itu tertarik membuka konter dengan aktifitas terbatas – sekedar menampung duit pembayaran fiskal para penumpang. Mungkin mereka mendapat komisi sekian persen dari setiap duit yang diterima.

Seorang petugas security berdiri santai tak jauh dari konter check in SQ. Aku mendekatinya dan bertanya, jam berapa check in tutup. “Biasanya SQ baru menutup konter check in 45 menit sebelum boarding,” jawabnya dengan senyum. “Haaaaah,” teriakku dalam hati. “Kalau tahu begitu, mengapa aku harus sport jantung di taksi? Ah … salahku sendiri yang tidak berpengalaman tentang penerbangan internasional.”

Kuterima SMS dari Widya dan Budhi – dua teman dari CIFOR yang juga akan ke Addis Ababa. Mereka bilang mobil yang mereka tumpangi masih di Slipi. Kena macet. Aku tersenyum dalam hati. Kujawab suruh mereka sabar, karena SQ akan menunggu mereka. Masih banyak waktu sebelum check in tutup.

Tidak ada ketergesaan lagi. Aku sempat sholat di musholla sebelum menemui Widya dan Budhy yang sudah melewati pemeriksaan sekuriti.

Kami segera antri di konter SQ, menunggu dengan sabar sambil mengamati kecekatan petugas menimbang dan memberi label bagasi penumpang. Tiba giliran kami, Widya serahkan tiket kami kepada petugas. Sejurus kemudian, nampak petugas tersebut mengangkat telpon dan berbincang serius dengan seseorang di ujung sana. “Masalah apa lagi yang menungguku?” gumanku dalam hati sambil terus berusaha tenang.

Petugas perempuan itu menutup telpon dan menyampaikan kepada kami kalau pesawat SQ yang akan membawa kami ke dari Jakarta ke Singapore akan terlambat mendarat. Dia khawatir, kalau kami menunggu pesawat itu, kami akan ketinggalan pesawat SQ lainnya yang akan membawa kami dari Singapore ke Bangkok. Ah ada ada saja, fikirku. Ini berarti kami harus menggunakan pesawat lain yang bisa mendaratkan kami tepat waktu di Changi sehingga kami memiliki cukup waktu untuk naik ke pesawat yang akan ke Bangkok.

Seorang petugas SQ lainnya datang dan mengajak kami ke konter check in Garuda Indonesia yang ada di ujung ruangan. Seorang lagi membantu mengangkat bagasi kami. Garuda sudah siap boarding. Untung masih ada kursi kosong. Kami check in dan setelah membayar fiskal kami ikut boarding. Diam-siam aku bertanya dalam hati, apakah yang seperti ini manfaat Garuda, menerima limpahan penumpang dari maskapai penerbangan lain? Ah semoga salah. Ngomong-ngomong tentang salah, setelah kejadian ini aku jadi tahu ternyata SQ tidak selalu sempurna.

Afrika (4) Balada Taksi

Sabtu 12 April. Pagi jam 10.30. Berdegub jantungku tak karuan. Aku salah lihat jadwal penerbanganku. Sejak semalam aku berencana berangkat dari rumah di Depok selepas Zuhur. Aku kira pesawat Singaporean Airlines yang akan membawaku ke Singapore berangkat jam 7 malam. Setelah aku teliti kembali tiketku, ternyata pesawat akan tinggal landas jam 4 sore. Sudah hampir jam 11 aku masih di rumah, dan beberapa persiapan packing terakhir belum selesai. Untuk penerbangan internasional, penumpang diharapkan chek in 3 jam sebelumnya. Ini berarti aku hanya punya waktu 2 jam untuk mencapai Cengkareng. Tidak mungkin! Siang-siang begini paling tidak perlu 2.5 jam. Itupun kalau tidak macet.

Aku starter motor. Minta seorang teman menemani ke jalan besar untuk cari taksi. Aku terselamatkan. Tampak taksi Blue Bird berjejer di dekat mall kecil bernama Depok Town Centre atau biasa disebut DTC. Blue Bird adalah jaminan. Begitu kira-kira yang aku ketahui. Melihat Bapak Sopir yang nampak cukup senior, aku menarik nafas lega. “Dia pasti tahu jalan lewat BSD dan Tangerang,” gumanku dalam hati.

Setelah menegaskan kepada Pak Sopir pilihan rute belakang lewat Parung, Gunung Sindur, Puspitek Serpong, BSD City, Tangerang, dan masuk bandara lewat Teluk Naga, aku coba duduk santai dan melihat jam. Paling tidak, kalau taksi jalan agak cepat, aku akan bisa sampai tepat waktu. Aku coba kirim SMS ke anak-anak yang tidak sempat aku pamiti, mengabarkan aku sudah di jalan.

Jantungku mulai berdegub kembali ketika tahu taksi memasuki jalan yang belum aku kenal. Pak Sopir berkata ini jalan pintas ke arah BSD. “Ketimbang lewat Puspitek, ini lebih dekat pak. Ntar lihat saja.” Begitu katanya berusaha menyakinkanku. Timbul keraguan dalam hatiku, apakah kami bisa mencapai bandara tepat waktu. Sebuah truk besar menghambat laju kendaraan-kendaraan yang beriringan melewati jalan aspal sempit itu. Pak Sopir mulai mengeluh,”Coba tidak ada truk itu, kita pasti bisa lebih cepat lagi.” Dari tadi dia berusaha menyalip tapi tak berhasil. Aku was was. Lututku mulai terasa gemetar. Aku pernah merasakan perasaan ini. Sekitar 2 bulan lalu, aku ketinggalan pesawat yang seharusnya membawaku ke Yogyakarta. Aku terjebak kemacetan di tol. Aku sampai di bandara 1 jam setelah pesawat tinggal landas. Tiket murah tidak bisa diuangkan kembali.

Kali ini, aku sedang mengejar sebuah penerbangan internasional. SQ terkenal tepat waktu. Pastinya, mereka tidak akan mau menunggu seorang penumpang tidak penting sepertiku. Tetapi bagiku penerbangan ini adalah penerbangan maha penting. “Mau ke Afrika,” demikian pamitku pada keluarga. Akan malu sekali kalau aku tidak jadi berangkat gara-gara ketinggalan pesawat.

Pak Sopir berhasil menyalip truk. Dia sempat mengklakson dan melemparkan pandangan marah ke arah sopir truk yang dianggapnya menghambat laju taksinya. Hambatan berikutnya adalah jalan berlubang. Pak Sopir mengaku terakhir kali dia jalan rute itu, jalanan masih mulus. Aku merasa putus asa. Tak ada gunanya marah padanya. Aku coba tenangkan diri dan menggumankan doa dalam hati, semoga jalan dilancarkan.

Menyadari besarnya kekhawatiranku tertinggal pesawat, Pak Sopir mulai memacu taksinya lebih kencang lagi. Tetapi bagiku keterampilan menyetirnya tidak seperti sopir taksi lain yang beberapa waktu lalu membawaku pulang dari bandara. Pak Sopir ini terlalu hati-hati tetapi kehati-hatiannya bukan jenis yang membawa perasaan aman di hatiku. Kalau anda perhatikan, ada sopir yang membawa kendaraannya dengan ngebut dan cenderung nekat, tetapi anda tetap merasa aman. Sopir taksiku kali ini bukan yang seperti itu. Aku tak tahan. Terfikir aku untuk menyuruh dia duduk di korsi penumpang dan aku menggantikannya menyetir. Tapi aku diam saja. Degub jantungku makin tak tertahankan.

Aku hanya punya waktu 40 menit ketika taksi keluar dari kawasan BSD memasuki wilayah Tangerang. Macet sebelum jembatan Cikokol kelihatan lebih parah dari waktu-waktu sebelumnya. Lajur kiri penuh dengan kendaraan umum yang berhenti menaikkan dan menurunkan penumpang, sementara lajur kanan tersendat karena ada banyak sekali belokan. Di jalur tengah ada truk besar menghadang. Aku mulai merasakan lututku kehilangan tenaga. Tak pernah aku merasa begitu putus asa sampai aku tak kuasa menahan diri, memohon pada sopir taksi, “Pak, tolong saya pak. Jangan sampai terlambat.” Suara memelasku tak merubah keadaan. Tak ada gunanya. Jalanan penuh sekali dengan aktifitas hari Sabtu siang. Aku tidak menduga akan seramai itu.

Aku mulai merasa aku harus menyerah. Aku selonjorkan kaki, berkata pada diri sendiri, “Sudahlah, kalau memang ketinggalan pesawat, ya sudahlah. Mungkin bukan rezekiku berangkat ke Afrika kali ini.”

Selepas belokan terakhir di mulut Jembatan Cikokol, perlahan terasa jalanan mulai longgar. Harapanku mulai terbangun. Aku memanjatkan syukur dalam hati. Waktuku sekitar 30 menit lagi. Pak Sopir kelihatan mulai riang. Dia kebut kendaraan melebihi kebiasannya. Sempat kami berargumen jalan mana yang akan dipilih untuk menembus kota Tangerang. Belum sempat kami buat keputusan, petunjuk jalan ke arah bandara nampak terpampang menyolok di depan kami. Tak menyiakan kesempatan Pak Sopir berbelok cepat. Setelah sekitar 1 kilometer, dia nampak ragu. “Bener gak ya jalan ini? Tapi tadi kan ada petunjukknya,” katanya ragu. Aku lemas. Nampak senior bukan berarti tahu jalan. Blue Bird mengecewakanku. Aku merasa in the middle of nowhere. Aku sendiri tidak tahu arah di dalam kota Tangerang yang luas itu.

Dengan perasaan marah tertahan, aku minta Pak Sopir berhenti untuk bertanya kepada orang di pinggir jalan. Aku jarang seperti itu, main perintah orang. Tapi kali ini, aku merasa perlu melakukannya. Waktu makin pendek. Kami harus bertindak cepat. Menyadari kesalahannya, dia meloncat turun, menyambangi orang yang sedang duduk di depan sebuah kios, bergegas balik ke taxi, dan tancap gas. “Bener pak, bener ini jalannya,” katanya gagap.

Sesaat kemudian di depanku nampak persimpangan yang di salah satu sisinya terdaat Lapas Anak Tangerang. Aku kenal betul daerah ini karena aku pernah masuk ke Lapas tersebut ketika ada kunjungan kerja lembaga tempat istriku bekerja. Aku lirik waktu di dashboard taxi. Kami punya waktu 15 menit sebelum jam 1 siang – waktu yang aku patok kami harus sampai di bandara. Dari persimpangan itu, perlu waktu sekitar 20 menit untuk mencapai pintu belakang bandara bila tidak ada halangan. Diam diam aku mulai merasa relax sampai Pak Sopir belok kanan di sebuah persimpangan. Nampaknya dia membaca petunjuk arah: Belok Kanan Banadara Soekarno Hatta. Bener saja, itu adalah arah ke bandara. Tetapi lewat tol!! Artinya apa? Kami harus melwati jalan memutar untuk bisa masuk ke bandara, lewat pintu depan. Terus apa gunanya memacu kendaraan lewat BSD kalau pada akhirnya tetap masuk ke bandara lewat pintu gerbang depan yang entah mengapa bergapura gaya Bali, padahal ini bandara di Jakarta? Ah, bukan saat yang tepat untuk memikirkan hal seperti itu.

Cepat kuminta Pak Sopir berhenti. Kepala batu juga dia rupanya, sampai dengan tegas aku minta dia turun dan tanyakan arah kepada seorang bapak baru keluar dari rumahnya. Si bapak masih berkalung handuk, sepertinya baru saja selesai mandi. Bapak itu membenarkan, kami harus balik arah untuk bisa masuk ke aiport lewat Teluk Naga. Ah, 6 menit yang sia-sia.

Taksi berbalik arah. Tetapi persoalan baru siap menghadang. Apa yang terjadi bila petugas tidak membolehkan taksi kami masuk? Menurut aturan bandara, jalan belakang memang bukan jalan keluar masuk sehari-hari, kecuali bagi kendaraan yang ditumpangi pemegang tiket. Masalahnya, terkadang aturan itu tidak berlaku karena sesuatu hal yang tidak jelas, semua kendaraan – dengan atau tanpa tiket – harus kembali berputar mengikuti jalan masuk ke bandara lewat tol. Aku keluarkan tiket siap aku lambaikan kepada petugas. Bila tidak berhasil, aku siap memelas agar dibolehkan lewat kali ini saja.

Kekhawatiranku tak terbukti. Taksi masuk dengan mulus. Waktu tepat pukul 1 siang. Aku masih punya waktu 3 jam sebelum pesawat tinggal landas. Pak Sopir buka mulut, “Maafkan saya ya pak, saya tidak begitu hafal jalan. Saya sudah lama tidak lewat jalan ini.” Aku tidak peduli. Aku sibuk menenangkan diri sambil mengucap syukur dalam hati, memanjatkan puji pada Tuhan. Yang penting aku sudah selamat sampai di dalam lingkungan aiport pada jam yang seharusnya. Kutenangkan Pak Sopir, “Kadang memang tidak bisa kita hindari pak. Yang penting sudah sampai,” kataku sembari ucapkan terimakasih.

Afrika (3) Vaksin Kuning

Untungnya aku sudah punya paspor. Pernah aku pakai waktu ke Amsterdam tahun lalu. Tak perlu lagi menghabiskan waktu dan tenaga mengurus berbagai dokumen (antara lain KTP, akte kelahiran, surat nikah, kartu keluarga) untuk pembuatan paspor baru di kantor Imigrasi Bogor. Memang saat ini membuat paspor tidak susah. Dan kalau tidak mau repot-repot, anda cukup meminta agen perjalanan mengurusnya. Tetapi tetap saja, anda harus menyiapkan beberapa dokumen pribadi dan hadir di kantor imigrasi saat pengambilan foto dan sidik jari.

Visa yang menjadi masalah. Warga negara Indonesia belum mendapat fasilitas VOA (Visa on Arrival). Permintaan visa harus diajukan jauh-jauh hari sebelum memasuki Ethiopia. Konsulat Ethiopia yang terdekat berada di Tokyo dan juga melayani permintaan visa negara-negara di sekitar Jepang seperti Indonesia dan Filipina. Perlu waktu 2 minggu kerja untuk pengurusan visa. Demikian informasi yang diperoleh di situs konsulat Ethiopia. Aku sempat menelpon ke Tokyo. Dalam Bahasa Inggris yang sangat jelas, seorang staf konsulat dengan ramah menjelaskan semua persyaratan yang harus segera dikirim ke Jepang mengingat terbatasnya waktu. Permasalahannya, sampai saat itu surat undangan resmi dari penyelenggara pelatihan belum ada di tangan. Tanpa surat tersebut, Tokyo tidak memiliki dasar untuk mengeluarkan visa. Beberapa email yang aku tujukan kepada panitia meminta surat undangan tidak mendapatkan jawaban.

Aku sempat berfikir tidak akan jadi berangkat karena permasalahan visa. Tetapi ternyata ada prosedur lain yang bisa ditempuh. Ethiopia ternyata bisa memberi VOA bagi visitors from non-VOA listed countries bila disetujui oleh imigrasi setempat. Panitia penyelenggara pelatihan memahami ini. Mereka sudah mengajukan nama beberapa peserta untuk diberikan VOA setiba di Addis Ababa. Dengan salinan surat persetujuan tersebut di tangan, siapapun boleh masuk ke Ethiopia.

Widya, temanku dari CIFOR (Center for International Forestry Research) yang juga akan berangkat ke Addis Ababa, mengingatkanku untuk mendapatkan sertifikat vaksinasi demam kuning (yellow fever). Dia juga menyarankan aku untuk menghubungi Klinik Kesehatan Lanud Halim. Seorang petugas Klinik bernama Pak Ahmad (021-99503807) bersedia datang pada hari Sabtu untuk memberikan vaksinasi. Klinik tersebut sebenarnya buka hanya Senin-Jumat, tetapi dengan perjanjian, mereka bisa memberikan pelayanan di luar hari kerja. Biaya Rp. 300.000.

Sertifikat tanda bukti vaksinasi yellow fever yang berwarna kuning itu berlaku 10 tahun dan diakui secara internasional. Bila seorang pengunjung tidak memiliki sertifikat, dia akan dikarantina selama 10 hari sebelum dibolehkan memasuki wilayah suatu negara. Beberapa waktu lalu aku mendengar dari radio, seorang pria keturunan India yang sedang dalam perjalanan pulang untuk menghadiri pernikahan putrinya terpaksa menjalani karantina di bandara New Delhi. Malam sebelumnya, dia terpaksa menginap di Nairobi karena pesawatnya ditunda. Walau mengaku tidak keluar dari hotel, tetap saja bagian imigrasi New Delhi menolak membolehkannya keluar bandara sebelum melewati masa karantina 10 hari. Pernikahan anaknya tidak bisa ditunda.

Afrika (2) Kabar Brangkat

Kate Langford, seorang sahabat dari Australia yang membantu pekerjaan komunikasi di organisasi kami memutuskan pindah kerja. Sejak pertengahan tahun lalu, Kate berada di Bogor di bawah program VIDA (Volunteering for International Development from Australia) yang banyak memberikan bantuan teknis kepada organisasi nirlaba di Indonesia termasuk kepada organisasi kami, the World Agroforestry Centre (ICRAF) – Southeast Asia Program.

Sebelumnya, dalam sebuah teleconference rutin dengan kantor pusat Nairobi, kami mengetahui Kate akan mewakili organisasi kami dalam sebuah pelatihan menulis (Media and Story Development Workshop) yang diselenggarakan oleh Consultative Group for International Agricultural Reasearch (CGIAR) bagi kelima belas lembaga penelitian yang menjadi anggotanya. Pelatihan tersebut akan diadakan pada bulan April di Addis Ababa – Ethiopia.

Keputusan Kate untuk pindah kerja mengharuskan kantor kami mencari seorang pengganti untuk menghadiri pelatihan tersebut. Aku ditawari berangkat. Tentu saja aku gembira menerima tawaran tersebut. Selain dapat belajar tentang seluk beluk media dan komunikasi pada umumnya, kemungkinan trip ke Afrika sangat menarik.

Persiapan awal segera aku lakukan. Aku bertukar email dengan Rebecca, rekanku dari Kantor Pusat di Nairobi yang juga akan ikut pelatihan, berdiskusi memilih tiga proposal cerita yang salah satunya nanti akan dipilih untuk dikembangkan selama pelatihan. Aku mengajukan dua proposal cerita (1) Keberhasilan skema HKm di Sumberjaya, Lampung, dan (2) rencana kerjasama petani kecil penghasil karet Batangtoru, Sumatera Utara dengan sebuah pabrik ban (Goodyear).

Aku mulai mengumpulkan referensi. Juga berdiskusi dengan seorang temanku – Endri Martini – yang sudah lama meneliti petani dan kebun karet antara lain di daerah Bungo, Jambi dan sekarang di Batang Toru. Setelah melewati perdebatan dengan beberapa peneliti senior mengenai layak tidaknya kedua cerita diatas dikembangkan untuk konsumsi media, akhirnya aku berketetapan hati dengan cerita kedua. Berbekal proposal cerita tentang Batang Toru, aku siap berangkat ke Addis Ababa.

Bersamaan dengan itu, Kantor Pusat mengirim email mengundangku mampir ke Nairobi yang jaraknya hanya 2 jam perjalanan dengan pesawat terbang dari Addis Ababa. Tujuan: orientasi dan berkenalan langsung dengan teman-teman kerja yang selama ini aku kenal hanya lewat email.

Afrika (1) Prolog

Afrika berbeda dari apa yang kukira sebelumnya. Perjalanan 2 minggu ke Addis Ababa (Ethiopia) dan Nairobi (Kenya) pada bulan April lalu setidaknya mengajariku untuk berhati-hati dengan informasi yang aku dengar tentang orang, tempat, atau peristiwa. Lagu terkenal Iwan Fals “Ethiopia” dan kisah-kisah Bob Geldoff membantu penduduk Afrika pada tahun 80an telah membentuk opini tertentu tentang manusia dan alam di belahan dunia yang terkenal dengan sebutan “benua hitam” itu. Dan seperti dalam perjalananku kali ini, ternyata hitam bukanlah satu-satunya warna di sana.

Aku berkali-kali berujar kepada beberapa orang yang pertama-tama aku jumpai di Addis Ababa dan Nairobi bahwa aku merasa seperti di Indonesia saja. “I feel at home! I am surprised myself,” aku bilang begitu pada sopir yang menjemput pada pagi tanggal 13 April di Bole International Airport Addis Ababa. Sopir ini sangat fasih berujar “apa kabar” dan satu dua sapaan lain dalam Bahasa Indonesia karena sempat belajar pada teman satu kostnya – seorang TKI asal Indonesia – ketika mereka bersama-sama mengadu nasib di negara petro dolar Arab Saudi.

Aku juga katakan hal yang sama kepada seorang petugas security kantor ILRI (International Livestock Research Institute) Addis Ababa ketika pertama kali menjejakkan kaki di kantor pusat penelitian ternak tersebut. Ada nuansa bersahabat, perasaan diterima, rasa aman dan nyaman yang sama, persis seperti yang aku rasakan di rumah sendiri di Indonesia. Terus terang, sebelumnya aku tidak menduga akan menemukan keramahan seperti itu di sana. Ketika Edwin, sopir the World Agroforestry Centre, mengantarku keliling Nairobi untuk pertama kalinya, aku seperti sedang berjalan-jalan di sebuah kota yang sudah lama aku kenal.

Aku memang harus tetap memperhatikan cerita tentang pemerasan atau perampokan yang dialami beberapa teman yang berkunjung ke Nairobi, terutama sebelum berakhirnya perseteruan politik pasca pemilihan presiden Kenya yang sempat menimbulkan kekhawatiran terjadinya pembersihan etnis. Tetapi informasi semacam itu tidak seharusnya aku biarkan membuat telingaku tuli dari mendengar berbagai cerita positif. Tak selayaknya aku biarkan mataku tertutup atas kemungkinan munculnya warna-warna selain hitam.

Tulisan ini adalah sebuah cerita perjalanan, rekaman singkat pengalaman pribadi melihat dan meresapi berbagai kejadian sepanjang perjalanan. Ditulis bertahap sebagai satu seri tetapi dengan topik berbeda-beda. Semoga menarik dan bermanfaat bagi pembaca.

Beberapa judul yang belum ditulis:

Changi dan Swarnabhumi
Ethiopean Airlines
Pagi di Addis Ababa
Kampus ILRI
Pelatihan Media
Ke Debra Zeit
Korsi Bradd Pitt
Sheraton Addis Ababa
Toko Supermie
Ratu Sheba = Ratu Balqis
Katolik Orthodox dan Masjid
Istana Presiden
Belanja Oleh-oleh
Anak tertua di Museum Nasional
Ke Nairobi
Benua Hitam dari Udara
Pengeboman di Nairobi
Jacaranda Hotel
World Agroforestry Centre
Hotel dan Kantor PP
Teman-teman Kantor
Village Market
Keinginan yang Tertunda
Kenyatta to Bole
Changi dan Jakarta
Dll.

Friday 13 June 2008

Refleksi Kopi

Satu pelajaran luar biasa berharga aku peroleh dari Emy dalam kelas Pantau seminggu lalu. Jangan campurkan fiksi dalam karya jurnalisme. Sedikit sekalipun. Kalau pembaca sampai tahu ada kebohongan dalam suatu tulisan, bisa dipastikan dia tidak akan dapat percaya kalau tulisan tersebut juga mungkin mengandung kebenaran. Nila setitik rusak susu sebelanga – demikian kira-kira komentar Emy mengenai tulisanku berjudul Ah ... Mereka Bawa Kopi Sendiri. Harus kuakui, ada bagian dari cerita itu yang bersifat fiktif.

Aku ingat ketika membaca Indonesia Kilometer Nol karya Andreas Harsono, sebagian porsi energiku sengaja aku pakai untuk mengendus ketidakjujuran dalam setiap lekuk deskripsi tempat, manusia, dan peristiwa dalam karya itu. Bekalku melakukan itu setidaknya adalah pengalaman pernah jalan-jalan ke Sabang, ke Pantai Iboh, dan juga ke Monumen Kilometer Nol.

Andreas ke Sabang sebelum Tsunami dan MOU. Aku sebaliknya. Andreas ke sana dengan bekal tujuan liputan. Aku ke sana sekedar jalan-jalan bersama anak dan istri serta beberapa teman selepas mereka memberikan pelatihan hak anak di Banda Aceh. Setting dan pengalaman batin tentu berbeda sekali. Tetapi aku juga percaya tentang intuisi. Intuisi adalah inti kristalisasi berbagai pengalaman yang mewujud dalam bentuk sebuah titik virtual dalam sistem otak manusia yang sering dipakai (sadar maupun tak sadar) menjadi pegangan dalam membuat keputusan. Mengacu pada Malcolm Gladwell yang menulis buku Blink, proses wemujudnya titik sangat bisa dijabarkan dan ceritanya bisa panjang sekali walau sebenarnya proses itu sendiri terjadi hanya dalam satu kerjapan mata – Blink! Blink yang aku punya mengarahkanku untuk percaya pada tulisan Andreas.

Kekhawatiran Emy adalah pada blink-blink yang muncul di otak pembaca yang secara terus menerus menilai, menimbang, dan membuat kesimpulan pada setiap kata, frase, dan kalimat yang dirangkai penulis untuk menyajikan maksud. Blink itu tak terbantahkan, dia bisa mendeteksi kejujuran dan ketidakjujuran. Sekali si blink mengatakan tulisan ini bagus, ia berarti bagus. Sekali ia tidak percaya, keseluruhan tulisan bisa saja berakhir di keranjang sampah.

Tulisan pendek ini adalah tentang kekuatan moral yang akan menjadi benteng baja setiap penulis dalam menghadapi setiap bantahan dan penolakan terhadap kebenaran yang berusaha ia sajikan. Bila penulis sudah menjalankan semua metode jurnalisme dengan optimal – terutama disiplin verifikasi – maka keraguan akan jauh dari dirinya. Gerak majunya membela kebenaran tidak akan pernah terbendung. Makasih Emy.

Monday 9 June 2008

Mereka Bawa Kopi Sendiri

Sesekali matanya menyapu tangga teratas undakan semen batu tak jauh dari tempat ia menggelar dagangan. Herman (11 tahun) berharap ada pengunjung Kebun Wisata Pasirmukti Citeureup, Bogor berminat memesan kopi atau membeli rokok. Sejak pagi, belum satupun dagangannya terjual. Tiga bungkus kopi instan Tora Bika terjejer rapi bersebelahan dengan bungkusan kopi merek Piala dan Opelet. Kedua yang terakhir adalah kopi bungkus buatan Bogor. Ada juga rokok Gudang Garam Filter dan Sampoerna keretek. Empat bungkus rokok keretek merek Arum Manis – entah buatan mana – juga terlihat berjejer rapi di atas koran Lampu Merah yang dijadikan alas.

Bersama adik perempuannya yang biasa dipanggil Iluk (8 tahun), sudah dua hari ini Herman mencoba berjualan. “Termos air panas ini milik Ibu. Ibu bolehin kami pakai piring kecil buat tampah,” jelasnya sambil senyum. Tiga buah gelas bening yang alasnya dicat warna kuning dideretkan dekat termos. Selembar handuk kecil dijadikan lap untuk mengeringkan gelas dan piring sehabis dicuci.

Herman menggelar dagangannya di bawah naungan pohon beringin kecil di pinggir Kali Cileungsi yang berbatasan langsung dengan tempat wisata yang terkenal dengan program menanam padi dan membajak sawah bagi anak-anak sekolah Jakarta dan sekitarnya. Hari itu dia juga ditemani Nurjanah – adiknya yang berusia 9 tahun dan beberapa teman lainnya yaitu Godeg (9 tahun), Ihat (8 tahun), dan juga Nurjanah B (12 tahun). Semua perempuan. Mereka semua berkumpul mengelilingi dagangan di bawah pohon beringin yang belum begitu rindang. Rambut mereka masih basah. Habis mandi di sungai.

“Bapak yang suruh jualan,” ujar Herman sambil tersenyum memamerkan bekas-bekas serbuk kopi di antara gusi dan giginya yang terlihat kokoh. Jelas sekali ia jarang sikat gigi. “Saya beli 10 kopi Tora Bika seharga 8500 di Pak Kandil di pasar lalu jual 3000 segelas. Saya ke pasar sendirian beli kopi dan gulanya,” lanjutnya.

“Dia mah suka berdagang,” tukas Nurjanah yang sedari tadi memperhatikan kakaknya berbicara. Ia memutar-mutar cincin di jari manisnya Cincin itu terbuat dari plastik dan dicat warna emas. Karena takut warna cincin cepat pudar, Nurjanah melapisi cincinnya dengan kertas timah bekas pembungkus permen. Karena sering dibawa berendam di sungai cat warna emas tetap saja terkelupas.

Duit yang terkumpul dari berjualan akan ditabung Herman, melanjutkan kebiasaannya selama ini. Dia punya celengan plastik warna kuning model gentong yang ia beli seharga 3000 rupiah. Pernah tabungannya mencapai hampir 200 ribu rupiah. “Bapak minta tabungan itu buat beli beras. Gak apa apa kalau Bapak atau Ibu yang minta,” jelasnya. Dia bertekad terus menabung untuk mengumpulkan duit walau tidak tahu mau diapakan duitnya kelak bila sudah terkumpul banyak.

Waktu sudah menunjukkan pukul 10.30. Matahari bersinar terang namun panasnya tidak begitu terasa. Uap air dari sungai Cileungsi yang hanya berjarak beberapa langkah dari pohon beringin mampu membuat kulit tetap lembab. Di kejauhan, suara kakak-kakak pemandu Kebun Wisata terdengar dari megaphone ditingkahi teriakan riang anak-anak sekolah dasar yang sedang bermain lumpur sawah.

Serombongan anak-anak berlarian menuruni lereng sungai di sebelah kiri tempat Herman berjualan. Nurjanah, Iluk, Ihat, Gudeg, Nurjanah B, semua menoleh ke arah mereka, mengawasi dengan pikiran masing-masing. Hanya Herman yang menoleh ke arah lain. Telinganya mendengar suara langkah-langkah berat tapak kaki dari arah undakan batu sebelah kanan. Serombongan orang dewasa nampak berhati-hati menuruni tangga. Sesaat harapan Herman muncul. Semoga dalah satu dari mereka tertarik ngopi, bisiknya dalam hati. Tapi harapan itu langsung memudar ketika matanya menangkap bayangan termos yang ditenteng salah seorang ibu dalam rombongan. Ah, mereka bawa kopi sendiri. ***

Friday 6 June 2008

Tips Menulis - Thanks Lia

Sudah empat hari sejak Selasa lalu aku berkutat dengan tulisan tentang proyek penelitian budidaya sayur katuk yang dilakukan oleh temen-teman sekerjaku. Proyek itu melibatkan petani di tiga desa di kaki gunung Halimun di wilayah administrasi Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor. Tulisanku tak kunjung selesai.

Padahal aku sudah melengkapi diri dengan notes kecil untuk merekam kunjungan lapangan yang aku ikuti hari Senin lalu (1/6). Menulis beberapa informasi yang aku peroleh dari mereka yang aku wawancarai sekilas. Setiba di kantor keesokan harinya, aku masih merasa perlu ngajak ngobrol Denta, Arif, Iwan, dan Lia – tim peneliti yang mengajakku ke Nanggung. Tersedia pula beberapa poster informasi tentang proyek penelitian tersebut. Keterlibatan mereka dalah bentuk kontribusi World Agroforestry Centre, tempatku bekerja, pada kegiatan penelitian yang dikomandoi Institut Pertanian Bogor dalam Proyek SANREM (Sustainable Agriculture and Natural Resource Management) atas dukungan USAID (United States Agency for International Development).

Pintu ruang kerjaku aku buka setengah saja untuk mengurangi longokan kepala temen temen kerja yang kebetulan lewat. Satu longokan akan berbuah satu dua sahutan yang dapat membuyarkan ide tulisan. Keempat poster aku gelar semua. Dua di dinding dan satu di atas meja, dan satu lagi di lantai. Tulisan yang aku rencanakan hanya satu halaman ini begitu mengganggu. Tak segera selesai. Rasanya jalinan ide yang ingin dituangkan gak kunjung beres pula susunannya. Paragraf satu dengan yang lain gak nyambung. Malu rasanya tidak segera selesai. Udah ditunggu! Juga sempat terbawa pikiran ketika nyetir pulang kerja. Masuk ke mimpi dan mengganggu ketenangan ngopi. Bikin pening saja.

Hari ini hari keempat. Pagi tadi aku bertekad, apapun yang terjadi tulisan harus tuntas. Aku tidak mau akhir pekanku terganggu. Lepas tengah hari, beres. Setelah aku konsultasikan dengan seorang teman pembaca setiaku, aku segera kirim ke para sobat peneliti untuk minta review. Bola sudah aku lepaskan. Aku merasa bebas, tinggal menunggu kritik dan saran dari mereka, lalu edit dan terbitkan (rencana dalam Bogor the Tales – media internal kami atau kalau bisa Jurnal Bogor). Aku merasa senang. Dan tiba tiba aku punya ide menulis di blog. Tak disangka pula, dalam hitungan menit, paragraf ke empat sudah hampir selesai. Begitu cepat. Aku heran.

Sebelum memulai tulisan ini, aku ketemu temanku Lia di koridor. Berbicara dengan Lia selalu memberikan inspirasi. Gak tahu mengapa, tetapi aku perhatikan ide-ide serasa bermunculan di kepalaku bila ngobrol sama Lia. Ngobrol apa saja .. lama ataupun sekedar satu dua menit. Apakah karena ngobrol itu lantas aku punya ide menulis ini? Bisa jadi itu benar. Karena ketika ngobrol dengan Lia, sebuah outline tulisan segera terbentuk di kepalaku dan inilah hasilnya. Aku merasa perlu menulis suka duka menulis. Tepatnya keluh kesah tentang kesulitan yang aku alami ketika mencoba merangkai ide-ide yang aku kumpulkan dalam perjalanan ke Nanggung. Nah kawan semua, aku punya beberapa tips untuk menulis:

1. Fikirkan calon pembacamu: ketika aku menulis, sayang sekali, aku tidak tahu siapa yang akan menjadi pembaca tulisan itu. Aku kebayang Jurnal Bogor – pembacanya jelas orang orang Bogor dan sekitarnya. Lalu aku kebayang Bogor the Tales – pembacanya staf kantorku di Thailand, Filipina, Vietnam, Laos, dan Indonesia. Ataukan tulisan itu akan aku post ke website resmi kantorku? Ataukah cukup sebagai sebuah laporan perjalanan untuk memenuhi tanggung jawab moral karena diikutsertakan dalam rombongan ke Nanggung? Kebingungan semacam itu yang menghambatku kerja. Pelajaran: ketahuilah siapa yang akan membaca tulisan anda sebelum memulai menulis.

2. Pahami tujuan atau maksud tulisan: ada dua ide yang muncul ketika menulis cerita perjalanan Nanggung. Cerita tentang proyek penelitian ataukah kegiatan petani di sana. Aku tidak fokus ke salah satu dari kedua ide itu. Seorang teman lalu menyarankan beberapa perubahan sehingga kedua ide tersebut – syukurnya – bisa dikombinasikan. Pelajaran: ingat apa fokus tulisan.

3. Lepaskan beban: ini penting karena dalam kasus aku menulis, aku membebani diri dengan keinginan untuk menciptakan suatu tulisan berkelas yang akan membuat orang berdecak kagum.. walah … ketimbang bikin tulisan terwujud, jadinya malah 4 hari. Udah gitu … tidak layak disebut sebagai masterpiece .. oh la la la Pelajaran: bebaskan diri dalam berkarya. Kerjakan saja dengan sebaik-baiknya. Entah karya tulisn akan menjadi luar biasa ataukah buasa biasa aja, serahkan pada sidang pembaca.

Udah ah … masih mo nulis sich .. rasanya lancar banget .. tapi Bogor keburu ujan .. siap siap pulang dulu ya … daag ..(kayak maen YM ama temen).