Friday 20 June 2008

GM 2 - Pelajaran

Setelah dipersilahkan oleh Andreas Harsono, Goenawan Muhamad memulai berbicara dengan sebuah apology. Mengaku tak siap mengatakan apa, GM berbicara sekitar 1 jam. Tanggal 19 Juni, Ruang Teater Utan Kayu terisi sekitar 30 orang dari kelas narasi Pantau berbagai angkatan untuk mendengarkan GM bertutur pengalaman berkarya. Berikut adalah beberapa petikan pelajaran.

Sama seperti naik sepeda, menulis tidak memiliki teori. Makin sering berlatih makin terampil seseorang mengayuh sepedanya, mengarahkan ke arah yang ia kehendaki. Pelajaran: rajin-rajinlah berlatih menulis. GM berkata, “Sampai saat ini saya tetap berlatih menulis. Ketika menulis, saya sebenarnya sedang berlatih.”

Ketika menulis non-fiksi, dahulukan sikap empiris. Jangan mulai dengan teori apalagi asumsi. Hipotesis boleh dipakai, tetapi hanya berlaku sementara. Baru-baru ini the New York Times menulis bahwa pengungkapan terorisme yang dilakukan pemerintah Indonesia masih lebih baik dibandingkan negara manapun. I Mangku Pastika melakukan pekerjaan detektif, mengumpulkan fakta dari hasil penelitian serpihan-serpihan bekas ledakan Bali. Dari situ dia menyususn teori persekutuan jahat penghilang nyawa manusia. Hal ini berbeda dengan cara pengungkapan kasus gaya orde baru. Ketika bom meledak, sebuah teori konspirasi serta-merta dimunculkan. Fakta-fakta disusun belakangan dan dipakai untuk mendukung teori yang sudah terlanjur diumumkan. Anekdot mumi dipaksa berbicara menggambarkan bagaimana semua hal dilakukan hanya untuk mendukung suatu teori, sekalipun teori tersebut keliru. Pelajaran: bila menulis dengan didahului teori, maka fakta-fakta akan cenderung kita cocok-cocokkan. Ini adalah pertanda kemalasan berfikir. Salah satu peran jurnalisme adalah memerangi hal tersebut.

Dalam sastra generasi Ayu Utami, kesadaran akan craft makin meningkat. Ini berbeda dengan era Pujangga Baru dimana bahasa abstrak masih banyak dipakai. Dalam tulisan Ayu Utami, nama jalan disebutkan. Era Pujangga Baru hanya cukup menyebutkan nama kota. Pohon jati lebih kongkrit dibandingakan dengan hutan. Pelajaran: pakailah bahasa yang kongkrit.

Sebuah kalimat atau paragraf haruslah segar. Tulisan secara umum haruslah muncul dengan kata-kata ataupun ide-ide segar. George Bush diolok-olok hanya memiliki 20 kata dalam perbendaharaannya. Pidatonya hanya berisi kata democracy dan injustice, kata-kata abstrak yang tak bermakna nyata. Obama tampil lebih menawan karena dia berbahasa lebih kaya. Gunakan variasi kata atau frase supaya tulisan tidak membosankan. Kamus dan thesaurus hendaknya menjadi teman dekat penulis. Pelajaran: Hindari menggunakan 2 kata yang sama dalam kalimat yang sama. Kalau bisa dalam paragraf yang sama, tidak terdapat pengulangan kata. Ini akan memberikan nuansa segar dalam tulisan kita.

Tulisan yang bagus, dengan bahasa yang bagus, dan memperkenalkan hal-hal baru, akan menggugah orang untuk berproses mencari jawaban. Tulisan semacam itu akan menggugah pembaca untuk berfikir. Tulisan hendaknya menjadi semacam pemicu untuk berfikir lebih lanjut. Kita harus menghormati kemampuan pembaca untuk berfikir, bertanya, dan menemukan jawaban sendiri. Jurnalisme hendaknya ditujukan untuk melibatkan (to engage) pembaca. Jurnalis tidak tahu keseluruhan jawaban. Dia hanya tahu sedikit. Penulis berperan sebagai pencetus proses pencarian kebenaran. Kita semua bersama-sama berproses menemukan jawaban. Pelajaran: Readers’ Theory.

Dalam sastra, penulis dianggap mati karena begitu tulisannya dilepaskan ke khalayak pembaca, ia tidak bisa mengontrolnya lagi. Pelajaran: Beauty is in the eyes of the beholder.

Tanda karya yang baik: setiap kali kita membacanya, kita akan menemukan hal-hal baru. Begitu seterusnya. Ia menginspirasi penemuan berbagai kemungkinan jawaban. Tulisan yang baik dapat memprovokasi (to provoke) proses berfikir. Pelajaran: jangan menggurui.

Bacalah karya bermutu sebanyak-banyaknya. Sayang sekali dalam bahasa Indonesia, karya bermutu tidak sebanyak dalam bahasa asing. Di samping itu, karya tulis dalam bahasa Indonesia jarang memperoleh kritikan yang cukup. Indonesia tidak terbiasa dengan budaya kritik sastra. Media tidak membicarakan karya sastra tetapi lebih suka mengulas penulisnya. Penulis di Indonesia seperti selebritis. Orang sibuk berbicara tentang si penulis, bukan tentang karyanya. Ini pendangkalan! Pelajaran: pelajari bahasa asing supaya bisa belajar banyak dari karya tulisan bermutu.

Kiat khusus GM dalam menulis: menghindarkan diri dari apa yang sudah umum diketahui orang. Hindarkan diri dari menerima asumsi-asumsi umum yang banyak orang sudah tahu. Avoid predictability! Misal, semua orang tahu kenaikan harga BBM akan membuat orang susah. Lalu orang dininabobokkan dengan ide blue energy. Tetapi jarang ada orang yang mau tahu kalau menurunkan harga BBM adalah sesuatu yang mustahil dalam situasi harga BBM dunia seperti sekarang ini.

Pesan GM: Jurnalis jangan gede rasa, menganggap tulisannya akan sanggup merubah dunia. Tidak pernah ada dalam sejarah sebuah tulisan menyebabkan perubahan tanpa adanya faktor-faktor lain seperti aksi turun ke jalan dll.

Jurnalis memiliki ingatan pendek. Selesai menulis, apa yang ditulis segera dilupakan karena harus segera menulis sesuatu yang baru. Salah satu kearifan jurnalis adalah karena bisa menjadi fragmentaris. We are only writing fragments (of the big picture). In other words, we admit that we are aware of our lack of knowledge of the whole story.

Kiat mencari ide: Kita harus percaya diri. Ide yang biasa-biasa saja bagi orang lain, mungkin luar biasa bagi kita. Kita tidak harus mengikuti anggapan atau pendapat orang lain. Bagi seorang bidan, proses kelahiran adalah hal biasa. Bagi pasangan yang baru dikaruniai anak setelah menikah 20 tahun, kelahiran bisa sangat bermakna.

2 comments:

Anonymous said...

wah pelajaran yang menarik, sesi tanya jawabnya seru?sayang saya tidak bisa mengikuti


sita,

narasi III

Aunul Fauzi said...

seru mbak, terutama ketika ngobrol tentang kebebasan berekspresi masa masa lekra, manifesto kebudayaan, dll. aku gak paham obrolan mereka, jadi gak aku laporin di sini :)

Salam kenal.