Friday 13 June 2008

Refleksi Kopi

Satu pelajaran luar biasa berharga aku peroleh dari Emy dalam kelas Pantau seminggu lalu. Jangan campurkan fiksi dalam karya jurnalisme. Sedikit sekalipun. Kalau pembaca sampai tahu ada kebohongan dalam suatu tulisan, bisa dipastikan dia tidak akan dapat percaya kalau tulisan tersebut juga mungkin mengandung kebenaran. Nila setitik rusak susu sebelanga – demikian kira-kira komentar Emy mengenai tulisanku berjudul Ah ... Mereka Bawa Kopi Sendiri. Harus kuakui, ada bagian dari cerita itu yang bersifat fiktif.

Aku ingat ketika membaca Indonesia Kilometer Nol karya Andreas Harsono, sebagian porsi energiku sengaja aku pakai untuk mengendus ketidakjujuran dalam setiap lekuk deskripsi tempat, manusia, dan peristiwa dalam karya itu. Bekalku melakukan itu setidaknya adalah pengalaman pernah jalan-jalan ke Sabang, ke Pantai Iboh, dan juga ke Monumen Kilometer Nol.

Andreas ke Sabang sebelum Tsunami dan MOU. Aku sebaliknya. Andreas ke sana dengan bekal tujuan liputan. Aku ke sana sekedar jalan-jalan bersama anak dan istri serta beberapa teman selepas mereka memberikan pelatihan hak anak di Banda Aceh. Setting dan pengalaman batin tentu berbeda sekali. Tetapi aku juga percaya tentang intuisi. Intuisi adalah inti kristalisasi berbagai pengalaman yang mewujud dalam bentuk sebuah titik virtual dalam sistem otak manusia yang sering dipakai (sadar maupun tak sadar) menjadi pegangan dalam membuat keputusan. Mengacu pada Malcolm Gladwell yang menulis buku Blink, proses wemujudnya titik sangat bisa dijabarkan dan ceritanya bisa panjang sekali walau sebenarnya proses itu sendiri terjadi hanya dalam satu kerjapan mata – Blink! Blink yang aku punya mengarahkanku untuk percaya pada tulisan Andreas.

Kekhawatiran Emy adalah pada blink-blink yang muncul di otak pembaca yang secara terus menerus menilai, menimbang, dan membuat kesimpulan pada setiap kata, frase, dan kalimat yang dirangkai penulis untuk menyajikan maksud. Blink itu tak terbantahkan, dia bisa mendeteksi kejujuran dan ketidakjujuran. Sekali si blink mengatakan tulisan ini bagus, ia berarti bagus. Sekali ia tidak percaya, keseluruhan tulisan bisa saja berakhir di keranjang sampah.

Tulisan pendek ini adalah tentang kekuatan moral yang akan menjadi benteng baja setiap penulis dalam menghadapi setiap bantahan dan penolakan terhadap kebenaran yang berusaha ia sajikan. Bila penulis sudah menjalankan semua metode jurnalisme dengan optimal – terutama disiplin verifikasi – maka keraguan akan jauh dari dirinya. Gerak majunya membela kebenaran tidak akan pernah terbendung. Makasih Emy.

2 comments:

cyn said...

maju terus, pandang mundur...
selain berbau kebenaran, ga bole berat sebelah juga katanya hehehehe

*kabuuuurrrrrrrrrr*

Anonymous said...

aduuuuhhh!! jadi malu!!!! Ada caya di cerita hehe :p
ini juga pembelajaran buat aku bang, untuk selalu verifikasi. moga2 kita dapat teutep berpegang sama proses penulisan jurnalisme