Monday 16 June 2008

Afrika (4) Balada Taksi

Sabtu 12 April. Pagi jam 10.30. Berdegub jantungku tak karuan. Aku salah lihat jadwal penerbanganku. Sejak semalam aku berencana berangkat dari rumah di Depok selepas Zuhur. Aku kira pesawat Singaporean Airlines yang akan membawaku ke Singapore berangkat jam 7 malam. Setelah aku teliti kembali tiketku, ternyata pesawat akan tinggal landas jam 4 sore. Sudah hampir jam 11 aku masih di rumah, dan beberapa persiapan packing terakhir belum selesai. Untuk penerbangan internasional, penumpang diharapkan chek in 3 jam sebelumnya. Ini berarti aku hanya punya waktu 2 jam untuk mencapai Cengkareng. Tidak mungkin! Siang-siang begini paling tidak perlu 2.5 jam. Itupun kalau tidak macet.

Aku starter motor. Minta seorang teman menemani ke jalan besar untuk cari taksi. Aku terselamatkan. Tampak taksi Blue Bird berjejer di dekat mall kecil bernama Depok Town Centre atau biasa disebut DTC. Blue Bird adalah jaminan. Begitu kira-kira yang aku ketahui. Melihat Bapak Sopir yang nampak cukup senior, aku menarik nafas lega. “Dia pasti tahu jalan lewat BSD dan Tangerang,” gumanku dalam hati.

Setelah menegaskan kepada Pak Sopir pilihan rute belakang lewat Parung, Gunung Sindur, Puspitek Serpong, BSD City, Tangerang, dan masuk bandara lewat Teluk Naga, aku coba duduk santai dan melihat jam. Paling tidak, kalau taksi jalan agak cepat, aku akan bisa sampai tepat waktu. Aku coba kirim SMS ke anak-anak yang tidak sempat aku pamiti, mengabarkan aku sudah di jalan.

Jantungku mulai berdegub kembali ketika tahu taksi memasuki jalan yang belum aku kenal. Pak Sopir berkata ini jalan pintas ke arah BSD. “Ketimbang lewat Puspitek, ini lebih dekat pak. Ntar lihat saja.” Begitu katanya berusaha menyakinkanku. Timbul keraguan dalam hatiku, apakah kami bisa mencapai bandara tepat waktu. Sebuah truk besar menghambat laju kendaraan-kendaraan yang beriringan melewati jalan aspal sempit itu. Pak Sopir mulai mengeluh,”Coba tidak ada truk itu, kita pasti bisa lebih cepat lagi.” Dari tadi dia berusaha menyalip tapi tak berhasil. Aku was was. Lututku mulai terasa gemetar. Aku pernah merasakan perasaan ini. Sekitar 2 bulan lalu, aku ketinggalan pesawat yang seharusnya membawaku ke Yogyakarta. Aku terjebak kemacetan di tol. Aku sampai di bandara 1 jam setelah pesawat tinggal landas. Tiket murah tidak bisa diuangkan kembali.

Kali ini, aku sedang mengejar sebuah penerbangan internasional. SQ terkenal tepat waktu. Pastinya, mereka tidak akan mau menunggu seorang penumpang tidak penting sepertiku. Tetapi bagiku penerbangan ini adalah penerbangan maha penting. “Mau ke Afrika,” demikian pamitku pada keluarga. Akan malu sekali kalau aku tidak jadi berangkat gara-gara ketinggalan pesawat.

Pak Sopir berhasil menyalip truk. Dia sempat mengklakson dan melemparkan pandangan marah ke arah sopir truk yang dianggapnya menghambat laju taksinya. Hambatan berikutnya adalah jalan berlubang. Pak Sopir mengaku terakhir kali dia jalan rute itu, jalanan masih mulus. Aku merasa putus asa. Tak ada gunanya marah padanya. Aku coba tenangkan diri dan menggumankan doa dalam hati, semoga jalan dilancarkan.

Menyadari besarnya kekhawatiranku tertinggal pesawat, Pak Sopir mulai memacu taksinya lebih kencang lagi. Tetapi bagiku keterampilan menyetirnya tidak seperti sopir taksi lain yang beberapa waktu lalu membawaku pulang dari bandara. Pak Sopir ini terlalu hati-hati tetapi kehati-hatiannya bukan jenis yang membawa perasaan aman di hatiku. Kalau anda perhatikan, ada sopir yang membawa kendaraannya dengan ngebut dan cenderung nekat, tetapi anda tetap merasa aman. Sopir taksiku kali ini bukan yang seperti itu. Aku tak tahan. Terfikir aku untuk menyuruh dia duduk di korsi penumpang dan aku menggantikannya menyetir. Tapi aku diam saja. Degub jantungku makin tak tertahankan.

Aku hanya punya waktu 40 menit ketika taksi keluar dari kawasan BSD memasuki wilayah Tangerang. Macet sebelum jembatan Cikokol kelihatan lebih parah dari waktu-waktu sebelumnya. Lajur kiri penuh dengan kendaraan umum yang berhenti menaikkan dan menurunkan penumpang, sementara lajur kanan tersendat karena ada banyak sekali belokan. Di jalur tengah ada truk besar menghadang. Aku mulai merasakan lututku kehilangan tenaga. Tak pernah aku merasa begitu putus asa sampai aku tak kuasa menahan diri, memohon pada sopir taksi, “Pak, tolong saya pak. Jangan sampai terlambat.” Suara memelasku tak merubah keadaan. Tak ada gunanya. Jalanan penuh sekali dengan aktifitas hari Sabtu siang. Aku tidak menduga akan seramai itu.

Aku mulai merasa aku harus menyerah. Aku selonjorkan kaki, berkata pada diri sendiri, “Sudahlah, kalau memang ketinggalan pesawat, ya sudahlah. Mungkin bukan rezekiku berangkat ke Afrika kali ini.”

Selepas belokan terakhir di mulut Jembatan Cikokol, perlahan terasa jalanan mulai longgar. Harapanku mulai terbangun. Aku memanjatkan syukur dalam hati. Waktuku sekitar 30 menit lagi. Pak Sopir kelihatan mulai riang. Dia kebut kendaraan melebihi kebiasannya. Sempat kami berargumen jalan mana yang akan dipilih untuk menembus kota Tangerang. Belum sempat kami buat keputusan, petunjuk jalan ke arah bandara nampak terpampang menyolok di depan kami. Tak menyiakan kesempatan Pak Sopir berbelok cepat. Setelah sekitar 1 kilometer, dia nampak ragu. “Bener gak ya jalan ini? Tapi tadi kan ada petunjukknya,” katanya ragu. Aku lemas. Nampak senior bukan berarti tahu jalan. Blue Bird mengecewakanku. Aku merasa in the middle of nowhere. Aku sendiri tidak tahu arah di dalam kota Tangerang yang luas itu.

Dengan perasaan marah tertahan, aku minta Pak Sopir berhenti untuk bertanya kepada orang di pinggir jalan. Aku jarang seperti itu, main perintah orang. Tapi kali ini, aku merasa perlu melakukannya. Waktu makin pendek. Kami harus bertindak cepat. Menyadari kesalahannya, dia meloncat turun, menyambangi orang yang sedang duduk di depan sebuah kios, bergegas balik ke taxi, dan tancap gas. “Bener pak, bener ini jalannya,” katanya gagap.

Sesaat kemudian di depanku nampak persimpangan yang di salah satu sisinya terdaat Lapas Anak Tangerang. Aku kenal betul daerah ini karena aku pernah masuk ke Lapas tersebut ketika ada kunjungan kerja lembaga tempat istriku bekerja. Aku lirik waktu di dashboard taxi. Kami punya waktu 15 menit sebelum jam 1 siang – waktu yang aku patok kami harus sampai di bandara. Dari persimpangan itu, perlu waktu sekitar 20 menit untuk mencapai pintu belakang bandara bila tidak ada halangan. Diam diam aku mulai merasa relax sampai Pak Sopir belok kanan di sebuah persimpangan. Nampaknya dia membaca petunjuk arah: Belok Kanan Banadara Soekarno Hatta. Bener saja, itu adalah arah ke bandara. Tetapi lewat tol!! Artinya apa? Kami harus melwati jalan memutar untuk bisa masuk ke bandara, lewat pintu depan. Terus apa gunanya memacu kendaraan lewat BSD kalau pada akhirnya tetap masuk ke bandara lewat pintu gerbang depan yang entah mengapa bergapura gaya Bali, padahal ini bandara di Jakarta? Ah, bukan saat yang tepat untuk memikirkan hal seperti itu.

Cepat kuminta Pak Sopir berhenti. Kepala batu juga dia rupanya, sampai dengan tegas aku minta dia turun dan tanyakan arah kepada seorang bapak baru keluar dari rumahnya. Si bapak masih berkalung handuk, sepertinya baru saja selesai mandi. Bapak itu membenarkan, kami harus balik arah untuk bisa masuk ke aiport lewat Teluk Naga. Ah, 6 menit yang sia-sia.

Taksi berbalik arah. Tetapi persoalan baru siap menghadang. Apa yang terjadi bila petugas tidak membolehkan taksi kami masuk? Menurut aturan bandara, jalan belakang memang bukan jalan keluar masuk sehari-hari, kecuali bagi kendaraan yang ditumpangi pemegang tiket. Masalahnya, terkadang aturan itu tidak berlaku karena sesuatu hal yang tidak jelas, semua kendaraan – dengan atau tanpa tiket – harus kembali berputar mengikuti jalan masuk ke bandara lewat tol. Aku keluarkan tiket siap aku lambaikan kepada petugas. Bila tidak berhasil, aku siap memelas agar dibolehkan lewat kali ini saja.

Kekhawatiranku tak terbukti. Taksi masuk dengan mulus. Waktu tepat pukul 1 siang. Aku masih punya waktu 3 jam sebelum pesawat tinggal landas. Pak Sopir buka mulut, “Maafkan saya ya pak, saya tidak begitu hafal jalan. Saya sudah lama tidak lewat jalan ini.” Aku tidak peduli. Aku sibuk menenangkan diri sambil mengucap syukur dalam hati, memanjatkan puji pada Tuhan. Yang penting aku sudah selamat sampai di dalam lingkungan aiport pada jam yang seharusnya. Kutenangkan Pak Sopir, “Kadang memang tidak bisa kita hindari pak. Yang penting sudah sampai,” kataku sembari ucapkan terimakasih.

2 comments:

cyn said...

fyuh.. untung masih terkejar ya :-)

tapi, plis deh..
jadwal penerbangan klo bisa diPRINT segede-gedenya... !

apalagi penerbangan international
rugi bandar tuh kekekeke

Aunul Fauzi said...

ya cyn ... entah kenapa aku beberapa kali careless untuk hal seperti ini. mungkin manja dulu sering diurusin sita, sekarang kudu independen.