Sunday 26 September 2010

Bu Husin

Enam hari dalam seminggu, istri Pak Husin bekerja bantu kami bersih-bersih rumah dan cuci setrika di Depok. Datang tiap pagi saat kami siap-siap berangkat ke sekolah, Bu Husin langsung bekerja tak banyak bicara sampai semua 'pekerjaan' dia anggap selesai. Kalau tidak ada kerja tambahan, misal masak untuk makan siang kami, Bu Husin akan minta ijin pulang lebih awal, sekitar jam 11, untuk pergi ke sebuah tempat perawatan kesehatan terapi gratis di Jalan Margonda Raya. Katanya, terapi itu sangat membantu menghilangkan rasa pegal dan sakit di punggungnya. Terapi sudah ia jalani 2 tahun ini dan akan tetap berlanjut.

Kami tak pernah bisa ingat nama gadis Bu Husin. Ifa, anakku pertama, pernah tahu, tapi kemudian lupa. Hal itu bukan masalah besar, cuma kadang bikin penasaran saat kami sekeluarga lagi jalan-jalan, bermobil entah dimana, lalu tiba-tiba teringat dan jadi ingin tahu. Penasaran bukan? Cuma sesampai di rumah, atau ketemu Bu Husin besoknya, kami selalu lupa menanyakan namanya.

Dibawa suaminya kembali ke 'hutan' Depok dulu ketika baru punya anak dua, Bu Husin awalnya menolak. Dia sudah terbiasa hidup di kota, di bilangan Rawamangun. Memasuki Depok, kebonan di belakang rumah kami, dia seperti merasa masuk ke tempat gelap, jauh dari peradaban. Tetapi lama-kelamaan dia merasa senang.

Tanah yang ditempati adalah tanah warisan ibunya Bu Husin, sekitar 2000 meter. Setelah Ibunya meninggal dan tanah dibagi-bagi, yang tersisa hanya kurang 100 meter, lokasi rumah yang sekarang ditempati Bu Husin sekeluarga. Saudara-saudara Bu Husin lebih suka menjual tanah warisan mereka kepada orang lain.

Tulisan nanti dilanjutkan dengan kesan Ifa, Aya, dan Naning tentang Bu Husin.

No comments: