Thursday 23 September 2010

Jambu Batu Dari Sorga

Di teras sempit depan rumah yang aku sewa di Banyumanik, Semarang, tumbuh sebatang pohon jambu batu. Sejak pertama menjumpainya tiga bulan lalu, pohon dengan lingkar batang tak lebih besar dari botol aqua ukuran nanggung ini tak henti berbunga, berbuah, berbunga lagi, berbuah lagi. Memang tak banyak, hanya satu dua, kadang tiga empat, tetapi bagiku ini adalah anugerah.

Barusan saja, saat berjemur, bermandi hangatnya sinar matahari pagi di depan rumah, mataku tak sengaja tertumpu 3 buah jambu yang sudah menguning. Tak menyiakan waktu, kuraih penggalah, pralon besi 3 meteran yang bersandar di tembok teras. Dengan sentakan terukur, 3 buah jambu batu segera berguguran ke tanah, tak bisa aku tangkap tangan. Tak mengapa, buah tak rusak. Nasib ketiga jambu ini, jambu batu merah kecil mungil, segera pindah ke dalam perutku. Tentunya setelah melalui proses pelumasan air keran di dapur.

Hubungannya dengan sorga? Aromanya, ya .. aroma jambu batu masak pohon itu yang membuatku bernostalgia ke masa-masa ketika hidup serasa di sorga, waktu kecil dulu, di kampung halaman, di Lombok sana.

Masa kecil yang penuh romantika dan petualangan. Sepulang sekolah, bersama teman-teman berjalan kaki menyusur pematang sawah, meretas semak belukar, meniti pinggir jurang, mengikuti desau angin, menjejakkan kaki di bebatuan sungai (gak pernah kepleset), menuju kebun dan ladang orang-orang tua kami, atau kebun ladang milik tetangga, atau milik orang lain dari desa sebelah yang tak kami kenal sama sekali, berburu buah-buahan masak pohon.

Kebiasaan di tempat kami, para peladang atau pemilik kebun jarang mengunjungi garapan mereka. Sekali seminggu termasuk sering. Mereka datang kalau mau panen kelapa saja. Ini kesempatan buat kami .. anak-anak kecil 'pencuri nakal.'

Para peladang juga memang tak peduli buah nanas matang sampai sematang-matangnya, hampir membusuk di belukar sudut kebun. Kalau lagi musim, buah duwet warna ungu kehitaman tanda siap petik, seperti tak mendapat perhatian. Kalau tak segera dipetik akan bergururan ke tanah, sia-sia. Semua itu, adalah sebagian harta tak ternilai yang dibiarkan jadi rebutan tupai, kalong, atau kami .. anak-anak nakal.

Bagi peladang, jambu monyet (begitu kami menyebut jambu mete di Lombok) tidak menarik kalau cuma satu dua. Tetapi, bagi kami, buah yang matang kuning kemerahan, hangat sehabis terpanggang matahari siang, terasa luar biasa di mulut. Manisnya meleleh di lidah. Airnya banyak. Tapi hati-hati, bibir jangan sampai terkena getah biji mete. Bisa terbakar! Orang-orang di pasar, yang suka berjudi sabung ayam, kadang pakai getah mete untuk bikin tato.

Pisang matang di pohon? Kalau beruntung, kami tak keduluan kalong. Nangka matang menebar aroma, beragam jenis, nangka bubur, nangka salak, dan lain lain aku tak ingat lagi, siap memuaskan kerakusan kami. Jambu batu juga tentunya. Buah tak berharga karena dianggap bikin sembelit. Yang matang, sering dibiarkan berguguran dari pohonnya.

Pagi tadi, aroma jambu batu yang menyeruak menggapai sulur saraf penciumanku begitu mulut rakusku memberi pagutan pertama, mengingatkanku pada sorga, sorga masa kecil.

2 comments:

Anonymous said...

Ah, masa kecil emang masa2 paling indah ya, tadi aku baru ngeliat abis magrib anak2 turun ke laut mencari udang dan kepiting, langsung teringat masa kecilku sendiri yang suka cari ikan di sawah.
Sambil turut bahagia buat mereka, ada masa kanak2 yang ketika dewasa direnggut dengan segala kerumitan hidup, dapat diingat lagi dengan sebuah senyum.

Kangen deh ngobrol sama dikau bang...

Aunul Fauzi said...

Hi Emz ...
God Bless You ...
God Bless Nice People ...