Friday 8 October 2010

Minggir Kau, Aku Yang Duluan

Dengan sekuat tenaga, lelaki itu menahan gerobaknya agar tak laju ke depan. Sebentar kemudian, gerobak berisi barang rongsokan itu berhasil ditarik mundur, memberi jalan sebuah mobil kijang yang pengemudinya seperti tak sabaran ... dit diiit ... diiiit ... bunyi klakson berkali-kali.

---------------

Perempatan Cemara, begitu orang menamai persilangan empat jalan sibuk di dalam komplek Perumnas Banyumanik, Semarang. Ke Utara: Tusam Raya, Timur: Kanfer Raya, Selatan: Cemara Raya, dan ke Barat: Jati Raya. Rumahku terletak sekitar 25 meter dari poros perempatan. Aku bisa saksikan semua yang di jalan dari jendela depan ruang tempat aku mengetik.

Hujan deras sudah reda, pengguna jalan mulai turun ke jalan. Hampir jam 3 sore. Sebagian anak sekolah sedang dalam perjalanan pulang. Sepeda motor dan mobil aneka jenis mulai ramai berseliweran. Dari pojok tempatnya berteduh, lelaki itu mendorong gerobaknya pelan, masuk ke Tusam Raya. Diapun ingin segera sampai ke tujuan. Sebuah topi pet lusuh menahan sisa-sisa hujan membasahi kepala. Kain baju yang sudah tak menampakkan warna menempel di dadanya, lengket terkena udara lembab. Lengannya yang tak terbungkus kurus berotot berusaha sekuat tenaga menahan gerobak agar tak sampai menabrak kijang.

Dari segi posisi, lelaki pendorong gerobak memang salah. Dia mengambil badan jalan bagian kanan, jalan bagi kendaraan-kendaraan lain dari arah berlawanan. Tetapi nampaknya dia sedang tidak sabar ingin segera mencapai ruang kosong di seberang jalan, supaya kijang yang tiba-tiba belok dari Jati Raya dapat laju.

"Tidak mau!" Mungkin itu arti klakson mobil kijang, meneruskan apa yang ada di benak pengemudinya. "Kamu harus minggir. Aku pakai mobil, lebih prioritas dari kamu, pendorong gerobak kurus! Minggiiir, kamu salah jalan!"

Aku terenyuh menyaksikan lelaki itu, dengan lengan kurusnya yang berkilat basah kena keringat dan sisa air hujan, berusaha meminggirkan gerobak agar sang kijang bisa berlalu.

"Ah .. apa sih susahnya kijang ngerem sebentar, memberi jalan gerobak? Toh injakan rem tak perlu seberapa energi. Pasti jauh lebih sedikit dari energi pendorong gerobak menahan gerobaknya."

Aku geram.

-------------

Kejadian seperti ini bukan satu dua kali aku saksikan sejak berumah di Banyumanik. Kadang ada pengendara motor yang tidak mau memelankan lajunya walau dari jauh sudah terlihat seorang ibu dan anaknya mengangkat tangan ingin diberi kesempatan menyeberang.

Di lain kesempatan, aku lihat mobil yang tak mau berhenti memberi peluang mobil lain yang sedang dalam posisi tidak menguntungkan karena berusaha berputar arah. Berhenti sejenak bagi mobil pertama akan dapat mengurangi potensi kemacetan. Tapi kok ya seperti gak kepikiran begitu ya. .. Ah .. rambut sama hitam. Isi kepala siapa yang tahu ..

Sering juga aku lihat pengendara motor mencoba mendahului mobil dari sebelah kiri. Walau secara aturan salah, mungkin tidak terlalu riskan bila jalanan lurus dan lebar. Tetapi menyalip dari kiri, di sebuah belokan sempit, sementara mobil yang mau disalip juga akan belok kiri, dan sopirnya lebih konsentrasi memperhatikan arus kendaraan dari arah simpang jalan di sebelah kanannya, bukankah itu beresiko membuat motor terjepit. Kok ya seperti gak kepikiran bahaya ..

Belum lagi perilaku memotong jalan yang seperti tak pakai perhitungan. Sembarang maju, tak nengok kiri kanan. Mungkin di pikirannya, toh orang lain akan terpaksa ngerem. Dan memang begitu yang terjadi, orang lain dipaksa ngerem, padahal sedang laju di jalan yang menurut aturan lalu lintas adalah prioritasnya. Meleng sejenak, tabrakan! Untung selama ini aku belum pernah melihat kejadian seperti itu. Tetapi sumpah serapah pasti bertaburan di dalam kabin mobil yang harus ngerem mendadak.

Dalam kejengkelan, kadang aku pikir mengapa begitu banyak pengguna jalan lebih suka untuk tidak mengalah.

Ah .. inikah yang namanya egois? Tak mau didahului orang lain? Tak mau menunggu atau antre sejenak? Barangkali memang urusannya jauh lebih penting dibanding urusan orang lain. Tetapi bila semua memaksa untuk maju, macet itu pasti. Tak bolehkah distop barang sejenak? Tak pedulikah dengan orang lain? Tak adakah rasa kasihan pada penyeberang jalan renta? Pada anak-anak pengayuh sepeda? Tak pedulikah pada lelaki kurus berpakaian lusuh yang harus mengerahkan sisa-sisa tenaga menahan gerobak, sementara di dalam mobil, penumpang santai di empuknya jok mobil? .. Ah ...

No comments: