Tuesday 12 August 2008

Paradiso C-19A

Dua tahun lalu, ketika aku lewat di depan kost-ku saat kuliah di Jogja, papan nama itu masih menggantung. Papan berukuran 20 cm X 100 cm itu bertuliskan Paradiso C-19A, nama tempat kost kami di daerah Karang Malang, Jogjakarta. Satu-satunya perbedaan yang aku rasakan kala itu adalah papan itu kini tergantung di sisi kanan pintu masuk. Seingatku, sejak pertama kali ada (sekitar tahun 2000) papan itu digantung di sisi kiri pintu. Warna kuning cat yang dipadu warna biru dan merah masih terlihat kontras. Anggit yang membuatnya. Dia anak Purworejo, salah satu generasi terakhir Paradiso yang aku kenal.

Akhir tahun 2007, ketika aku harus ke Jogja untuk urusan sekolah di UGM yang belum juga kelar sampai hari ini, aku menyempatkan diri mampir lagi. Cuma sekedar ingin melihat papan nama itu, apakah masih tergantung.

Kali ini aku bersama Tyo, juga dulu tinggal di Paradiso. Kami naik motor dari tempat menginap, rumah seorang teman di daerah Gamping. Sekitar jam 7 malam kami sampai di depan kos. Suasana jalan masih tetap seperti dulu. Remang. Suara bising radio menyeruak dari beberapa pintu kamar kos yang nampak dari jalanan. Sinar lampu kamar membias ke jalanan. Nampak papan nama yang kucari masih ada di sana.

Aku mengambil posisi, menyetel blitz kamera dan mulai mengambil gambar. Ada perasaan kawatir, papan nama itu tidak akan lagi tergantung di tempatnya bila nanti aku datang lagi. Aku tidak ingin kehilangan memori akan papan nama itu. Papan nama dari sebuah tempat aku pertama kali menyimpan tas, ketika baru tiba dari Lombok pada pertengahan 1992 silam. Tempat pertama kali aku memasuki kehidupan mahasiswa Jogja dan bangga menjadi bagiannya.

Di tempat ini aku terbengong-bengong menyaksikan teman-teman kos terbahak-bahak menyaksikan lakon Den Baguse Ngarso dalam drama Bahasa Jawa yang disiarkan TVRI Jogja waktu itu. Di kemudian hari, tinggal aku sendiri yang bertahan di depan TV, sudah bisa terbahak, menyaksikan tingkah polah Kuriman bertengkar dengan Pak Bina. Aku paling aku suka Kuriman.

Paradiso C-19A. Entah siapa yang memberi nama. Tetapi aku ingat betul, nama itu sudah ada ketika aku datang. Generasi pertama yang aku ingat termasuk Bang Mitro dari Purworejo dan Bang Aji dari Madura. Juga ada Bang Uli dan Jakarta. Bang Mitro sekarang jadi guru di Wonosari sementara Bang Uli hidup di Semarang. Aku dengar, Bang Aji yang kuliah Fakultas Syariah di IAIN Sunan Kalijaga bekerja membuka bengkel motor. Dulu dia memang hobi membongkar motor Honda tuanya.

Lalu ada Bang Muhamad dari Pati yang sekarang sukses memimpin sebuah sekolah tinggi perbankan syariah di Jogja. Kami juga punya Bang Kur, dari Lombok, seorang guide berbahasa Jerman dan berjasa pada kami - penghuni kos - karena sering mengajak kami nginap di berbagai hotel bintang 5 tempat tamu-tamunya menginap. Ada Bang Bai dari Madiun yang kuliah di ISI jurusan Etnomusikologi. Dari Kebumen, ada Bang Supri, lalu ada Bang Nanang dari Jambi. Entah dimana mereka sekarang.

Yang termasuk generasiku adalah Edy Wonosari - menurut cerita sekarang ngebengkel di Wonosari, lalu HY Klaten (sekarang pegawai Bappeda), dan Tyo Banjarnegara - ikut bersamaku di Depok. Juga ada Edy Medan.

Setelah itu, Paradiso dihuni oleh generasi Wawan dan Sutik dari Klaten. Juga Tikya, sang pelopor generasi cyber, yg bikin Paradiso melek teknologi. Anggit dan adiknya Fitri termasuk generasi ini. Adikku Man yang sekolah di IAIN Sunan Kalijaga jurusan Bahasa Arab dan seorang tunanetra bernama Ahmad juga termasuk dalam generasi ini.

Sekitar tahun 1997-an muncul generasi baru penghuni Paradiso. Generasi lama sudah tidak lagi tinggal di situ karena tamat kuliah atau pindah kos. Aku dan Tyo menjadi bagian dari generasi pertama yang bertahan. Ada gap generasi yang terasa. Aku sibuk kerja sementara generasi baru sibuk kuliah dan pacaran tentunya. Aku memutuskan pindah ke Kelebengan mengikuti HY yang duluan pindah.

Sejak itu, Paradiso 19A tetap menghuni ingatanku. Dimiliki oleh Pak Sukiyat, lelaki tua pengagum Sukarno, bangunan kost ini dibangun letter O. Memiliki 16 kamar dengan 1 sumur dan 2 kamar mandi. Ada satu pohon alpukat yang buahnya sanggup mengganjal perut bila kebetulan gak ada beras, gak ada indomie, gak ada teman tempat berhutang (biasanya Sabtu Minggu, teman-teman yang rumahnya dekat pada pulang kampung), dan warung Mbak Rohani - juga tempat berhutang - lagi libur.

Secara fisik, Paradiso tidak banyak berubah. Gentingnya belum pernah diganti sejak pertama kali aku tinggal di situ. Pintu dan jendela sama saja. Masih nampak bercat hijau bercampur putih kapur. Hanya stiker yang menempel di kusen dan daun pintu jendela yang bisa menceritakan adanya dinamika pergantian penghuni.

Dan sekarang, kamar depan yang berbatasan dengan jalan disewa untuk jadi warung burjo (bubur kacang ijo). Nampaknya Pak Sukiyat tidak membedakan penyewa. Selagi bisa memberi uang, diterima saja. Dulu, ketika menerima calon penghuni kost, Pak Sukiyat memang lebih selektif. Beliau menjadikan diri sebagai tempat menampung anak-anak yang merantau meraih pendidikan di Jogja. Tapi sekarang zaman sudah beda. Kehadiran warung burjo seakan merepresentasi masuknya modal menggeser kepentingan pendidikan. Gak salah. Cuma rasanya sedih saja. Romantisme kamar kost Jogja sebagai pusat belajar agaknya sudah tinggal cerita.

3 comments:

Tikya said...

Salut Boss ... ternyata masih punya romantisme yg dalem tetang Paradiso ya ... ^^.
Sayang Pak Sukiyat dah Almarhum ... jd tidak ada lagi yg cerita tentang anak² dulu ke generasi sekarang ( biasanya cerita sambil nunggu anak² yg telat bayar Kos ) hahahaha .... ya nggak boss ^^

Tikya said...

Ada yg kurang Boss ... mana foto Paradiso 19A nya ? .... katanya sempet nyetel Blitz. Pingin liat simbul penderitaan & kekeluargaan anak² karangmalang. Eh ... Hebat lo Paradiso ... sampe² si ragil anak pak dukuh nggak berani masuk ke sana. Hahahah .....

rievees said...

Halo pa!
Akhirnya ketemu juga di dunia maya.. Apa kabar nech?
Tulisannya boleh juga pa :)

Cheers,
http://bitsofrievees.blogspot.com
http://rievees.blogspot.com