Saturday 13 September 2008

Sopir Taksi Juga Manusia

Belum pernah aku temukan sopir taksi seperti yang satu ini. Hampir sepertiga waktu perjalanan dari Depok ke Airport Cengkareng dia berkhotbah! Berkhotbah dalam arti yang sebenarnya, seperti khotib yang sedang berceramah sholat jumat di masjid!

Yaaaa ayyuhalladzi na aamanu. Ittaqulloh. Ittaqulloh. Ittaqulloha haqqotuqootih, walaa tamuutunna illa wa antum muslimuun.

Aku sedang menuju Cengkareng untuk sebuah tugas ke Jogja. Beberapa buku sengaja tidak aku masukkan ke dalam tas supaya ada bahan bacaan di jalan. Di belokan pertama setelah meninggalkan rumah, ketika aku baru mulai membuka salah satu buku, aku dengar sopir taksi bertanya, “Where are you going sir? Going home to luar negeri?”

Aku tersanjung, berkhayal wajahku mirip bule sampai-sampai sopir taksi merasa perlu berbicara bahasa Inggris ke aku. Thanks to Philishave - cukuran kumis yang aku beli di Semarang.

“Gaaak .. Cuma ke Jogja.” Jawabku datar tak berminat meneruskan obrolan. Di belokan kedua dia menggumankan sesuatu dalam bahasa Arab. Semacam ucapan terimakasih berbunyi syukron djazila … Lanjutnya, “Thank you sir for using my taxi. Maaf sebelumnya, kita lewat mana?”

Ah, dia mau bahasa asing manapun aku coba tak peduli. Aku sarankan lewat jalan Limo, Cinere, dan Pondok Indah, langsung ke Tol Slipi. Ketimbang lewat Margonda, yang pasti macet. “Fine sir. I know the way.”

Aku coba mulai menelusuri daftar isi buku yang ada di tanganku. Sebuah bunga rampai tulisan tentang hutan rakyat dan agroforestri di Indonesia. Buku bagus gumanku dalam hati ketika khotbah dimulai. Yaaaa ayyuhalladzi na aamanu…. Suaranya melengking tinggi – kalau dia pengkhotbah beneran, agaknya dia tidak perlu bantuan pengeras suara.

Fikirku, sopir taksi yang satu ini memang aneh. Tak merasa perlu berbasa-basi bersopan-sopan dengan konsumen terlebih dahulu, main tabrak saja. Biasanya, sebelum ngobrol kesana kemari, beberapa sopir taksi memulai dengan basa-basi selamat pagi sore atau malam. Standar dasar layanan jasa. Ngobrol akan berlanjut bila penumpang nampak tidak keberatan. Yang satu ini, sepertinya tidak peduli banget dengan hal-hal seperti itu. Lantunan wirid mengalun keras. Astagfirulloh al adziem alladzi laailahaillalloh wal hayyul qoyyum wa atuubuilaih. Bagaimana kalau penumpangnya tidak berkenan?

Ada-ada saja gumanku dalam hati. Aku tidak bisa konsentrasi baca buku, tapi aku juga tidak keberatan dengan wiridnya. Aku memilih diam. Mengingat-ingat beberapa pengalaman bertaksi.

Minggu lalu, ketika ke Jakarta pagi-pagi buta, aku diantar taksi. Setelah beberapa puluh meter merasakan gaya nyetirnya, aku tahu pak sopir yang satu ini suka ngebut. Benar saja, jarak yang biasanya dicapai sekitar 1 jam ditempuhnya hanya dalam 35 menit. Dia tipe sopir yang tak jenak melihat celah kosong jalanan di depannya. Walau kadang sempit, pasti dia masuki, gesit dan tangkas. Aku suka, tetapi cuma kawatir kalau-kalau dia masih mengantuk karena datang menjemputku jam setengah 4, subuh masih jauh. Kulihat beberapa kali dia menggaruk-garuk kepala keras, cara sopir mengusir kantuk. Alhamdulillah aku selamat sampai tujuan.

Di lain kesempatan, aku benar-benar berdebar. Aku naik taksi dari rumah sakit Medistra Jakarta pada suatu siang yang panas. Baru berapa ratus meter masuk ke badan jalan arteri, aku rasakan taksi oleng. Untung jalanan tidak ramai. Buru-buru pak sopir menggerak-gerakkan tubuhnya, mungkin kawatir aku tahu dia mengantuk. Aku curi pandang lewat kaca spion di atas dashboard, mengintip wajah pak sopir. Keduanya matanya nampak kuyu. Kelopak mata seakan berat untuk membuka. Wah, agaknya dia mengantuk berat.

Aku coba ajak ngobrol, siapa tahu bisa mampu membuatnya terjaga. Tapi kantuknya memang parah banget. Sebentar saja berhenti ngobrol, taksi terasa oleng lagi sampai aku benar-benar harus berteriak, membuat dia terkejut dengan harapan menyegarkannya. Tak berhasil juga. Aku tawarkan permen yang disambutnya malas. Juga hanya berpengaruh tak seberapa lama. Aku was-was dan kuminta dia hati-hati. Sempat aku tawarkan menggantikannya nyetir, tapi katanya tidak boleh, takut ketahuan perusahaan dan dia bisa bermasalah. Sopir ini mengaku tidak istirahat 2 hari 1 malam karena sedang mengumpulkan duit untuk bayar kostnya di Tangerang. Ya, masalah kita semua.

Lamunanku buyar karena lengking pengajian Pak Subur, sopir taksiku hari ini. Dia mengaku sengaja mengaji dengan suara keras untuk mengusir kantuk. Siang yang panas di bulan puasa, aku fikir tidak ada salahnya mendengarkan pengajian.

1 comment:

♥Syarrifa F.P Ramadhina♥ said...

aku suka ceritanya pakk!!! bagussss, yaiyalah sopir taksi emang badak