Thursday 31 December 2009

Kematian Tak Tergantikan

Tak ada kematian yang membuatku menangis selain dua yang berikut: berpulangnya Bapak di Lombok bertahun silam dan kepergian Ian bulan Juni lalu.

Bagi almarhum Bapak, tangisanku adalah tangisan penyesalan seorang anak yang merasa belum sempat membalas jasa-jasa ayahnya. Aku ingat pada malam meninggalnya Bapak, aku yang tinggal di Jogja waktu itu tak bisa tidur. Semacam ada firasat akan terjadi sesuatu yang aku tidak tahu. Aku gelisah. Hampir tengah malam ketika kabar itu tiba. Aku tak serta merta menangis saat pamanku menyampaikan berita lewat telepon. Begitu pembicaraan telepon berakhir, air mataku bagaikan aliran bendungan ambrol.

Kepergian Ian, anakku ketiga, bayi laki-laki mungil yang lahir prematur, menyisakan tangisan pedih yang dalam. Kami, aku dan istriku, diberi kesempatan oleh Yang Maha Kuasa untuk merawatnya 33 hari. Bagi Ian juga tangisan terpanjang: selama lebih sebulan semasa perawatan intensif di rumah sakit, dan beberapa bulan setelah semua usaha medis dan doa berakhir di pemakaman dekat rumah kami di Depok.

Itulah dua peristiwa kematian yang terasa bagai kepedihan tak terperi. Setelah itu, hanya kematian Chryse - sang penyanyi dengan vokal 'a' tak ada duanya - yang mampu membuatku menitikkan air mata lagi. Aku menangisi kepergian seorang jenius pencipta dan pelantun lagu yang bernyanyi selalu dengan sepenuh jiwa. Penyanyi yang tak bermodal jiwa pasti tak akan bertahan lama dalam ingatan penggemar.

Hari ini, adalah kepergian Gus Dur yang membuatku menangis. Seorang panutan yang kata-katanya layak didengar telah berpulang. Aku kenal Gus Dur hanya lewat satu dua tulisan di koran, juga beberapa buku dan tulisan di internet. Selebihnya aku 'dekat' dengan Gus Dur hanya lewat acara Kongkow Bareng Gus Dus yang saban Sabtu disiarkan radio KBR68H. Kedekatan fisik dengan Gus Dur, sebuah kedekatan yang akan aku kenang dan banggakan sampai kapanpun adalah ketika berada berjarak hanya 3 meter dari tempat almarhum duduk, di aula Harian Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta, bertahun-tahun lalu jauh sebelum almarhum menjadi Presiden. Waktu itu, aku diajak teman untuk 'nonton' Gus Dur. Almarhum ditemani Bu Sinta Nuriyah dan Pak Alwi Shihab. Yang paling terasa saat itu adalah kebersahajaan almarhum.

Setelah hari ini, serasa tak ada lagi sosok yang memiliki keihklasan seluas langit untuk membuat bangsa ini menjadi lebih baik. Mungkin tak kan ada lagi yang bisa menjadi panutan. Tak ada lagi yang layak didengar. Kepergian Gus Dur berarti kepergian tempat mengadu, hilangnya tempat berbicara, tak ada lagi tempat berharap.

Setelah hari ini, mungkin air mataku akan bertitik lagi bila Iwan Fals nantinya dipanggil Yang Kuasa. (Semoga jangan dulu). Iwan Fals, penyanyi yang lewat lagu Oemar Bakri membuka jiwaku tentang mulia dan susahnya profesi seorang guru, yang membuatku sadar banyak masalah sosial di sekitar kita yang harus diperbaiki, setidaknya untuk dipedulikan. Penyanyi yang suaranya mewakili teriakan jiwa anak bangsa yang berharap Indonesia bisa menjadi tempat yang lebih baik bagi semua.

Kematian orang-orang tak tergantikan selalu akan mendatangkan kepedihan dan keharuan mendalam. Bapak, Ian, Chryse, Gus Dur, dan Iwan Fals adalah orang-orang tak tergantikan dalam jiwaku. Hidup dan matinya mereka adalah penyebab warna bagi jiwaku.

Gurita Cikeas dan Gelandangan Lapar

Seorang teman mengucapkan terimakasih aku kirimi file PDF buku pra-cetak Gurita Cikeas (GC) seraya mengatakan “Tulisan GJA [George Junus Aditjondro] yang menarik ini enak untuk dibaca menjelang tidur……. Dongeng pengantar tidur…… dongeng tentang “katanya” Selamat menikmati. Dibaca sambil mendengarkan langgam jawa atau campur sari. Enak tenan ….

Sejak buku GC diluncurkan, pemirsa televisi dan pendengar radio disuguhi acara diskusi serius, debat panas, ataupun perbincangan ringan seputar buku tersebut. Di dunia maya, bertebaran tulisan dan komentar panjang pendek mengenainya. Buku yang menyebutkan nama sejumlah pejabat negara dan keluarganya dikaitkan dengan aktifitas mereka dalam berbagai yayasan dan perlunya akuntan publik melakukan audit independen untuk membuktikan dugaan penyalahgunaan dana publik dalam Pemilu 2009 itu memang mengundang komentar beragam.

Terbitnya GC membuat banyak orang berang, namun tak sedikit yang senang. Yang berang terutama dari kalangan yang namanya disebutkan dalam buku. Yang senang didominasi mereka yang menghendaki adanya penyelidikan pemerintah untuk membuktikan apakah buku tersebut memang sekedar dongeng pengantar tidur ataukah merupakan catatan nyata betapa buruknya negara ini dikelola. Sebagian menyarankan buku dilawan buku, data dilawan data. Ada juga yang berpendapat pengadilan merupakan institusi yang paling berhak menentukan siapa yang berbohong.

Tidak ada yang salah dengan kemunculan GC dan beragam komentar setelahnya. Memang begitulah kita manusia. Rambut sama hitam, pikiran belum tentu sama. Biasa saja bukan? Tetapi ada fenomena lain yang patut direnungkan: sebagian masyarakat mengambil sikap tak peduli. Mungkin di benak mereka GC dan komentar yang bermunculan ibarat gonggongan anjing tak bermakna. Biarin saja, ntar reda sendiri kok!

Masya Alloh, aku sendiri ternyata cenderung mengambil sikap terakhir. Kesibukan memikirkan urusan rumah tangga, mengurus anak-anak, atau menikmati ‘blazer solo touring’ ke Jogja, Semarang, dan Surabaya, membuatku memilih untuk tak peduli saja. Ngapain peduli? Paling juga ada gunanya Gak akan merubah keadaan. Toh cuma sebatas peduli?

Tetapi membaca GC membuatku malu sendiri. Dengan bahasa ringan dan mudah dicerna, GJA memaparkan betapa oligarki (GJA menyebutnya gurita) kekuasaan terasa begitu kejam. Penyebutan duit dalam hitungan trilyunan dan milyaran di dalam GC terasa seperti menyebut puluhan atau ratusan ribu saja. Kalau benar dana-dana tersebut dialirkan diantara pihak-pihak yang disebutkan dalam GC dengan cara-cara yang tidak dibenarkan aturan negeri ini, kekejaman itu makin terasa menyakitkan.

Dua hari lalu, belum genap 20 langkah keluar dari gerbang hotel di Jalan Pandanaran Semarang, aku disajikan pemandangan mengenaskan. Seorang laki-laki gelandangan paruh baya berbaju dekil dan sobek-sobek sedang berjongkok di samping bak sampah menyuap nasi sisa bersambal merah dari bungkusan yang nampaknya barusan dia ambil dari dalam bak sampah. Tak kuasa aku memandang sorot mata kosong dan takut-takut ketika ia mendongakkan kepala ke arahku. Dia lapar. Masya Alloh...

Sarapan pagi di Simpang Lima tak terasa nyaman karena pengemis yang hilir mudik. Ibu-ibu tua berpakaian lusuh dengan wajah memelas dan kurang tidur menyodorkan gelas plastik bekas air mineral. Lembaran seribu rupiah adalah penghibur bagi mereka. Di Semarang lebih banyak kakek-kakek becak ketimbang abang-abang becak. Orang-orang yang sudah sepuh terpaksa menggenjot beban berat untuk menyambung hidup. Istilah pensiun di masa tua mungkin tak pernah mampir di benak mereka.

Di dalam buku GC, duit bermilyar-milyar seakan hanya angka. Membuat miris bila berandai-andai duit segitu banyak bisa dipakai untuk bantu gelandangan lapar supaya memperoleh makanan layak. Atau sekedar untuk mengangkat beban berat aki-aki pengayuh becak supaya mereka bisa hidup tak susah di penghujung umur? Ah .. hanya angan. Apatis lagi kah?

Thursday 17 December 2009

Ifa's Birthday This Year

Today is Ifa's birthday. The 9th. But like last year, she seems to pay almost no attention to what other children of her age would be eager to celebrate. While Aya, her sister, was just cuek aja upon jumping out of her bed this morning, I did manage to give some kisses and whisper "Dad loves you" in Ifa's ears. We don't celebrate birthdays but like to prepare some gifts. This year we haven't had a chance to find some, but we may arrange something this week when Mom is home. Mom works in Semarang and goes home at least twice a month on weekends.

At 4 a.m. Mom sent a text message: "Happy birthday my dear Ifa, my lovely girl. Semoga Ifa selalu sehat, tambah pintar dan tambah baik." Mba Nur, used to be working at home - now already married and lives in Temanggung of Central Java, asked me to extend her wish for Ifa's happiness on this special day. Later, Ifa's Aunt Titia from Surabaya also texted a message, congratulating Ifa and asking Ifa's photo sent via email. She was planning to print a calendar with Ifa's picture on it as a birthday present.

Told about the texts received, Ifa didn't even bother to look up. She preferred keeping herself busy preparing equipments to bring to her whole school camping at Cibubur today. "Hurry, we have to jump on the car!" Then off we go to school at 6.30. The camping was more important!

I remember last year, for Ifa's 8th birthday, we prepared some surprise presents for Ifa. Mom had secretly bought some gifts, got them wrapped beautifully, and labeled our names, Bapak, Ibu, Om Tyo, Mbak Nur, and Aya. We were as eager as Ifa unwrapping the gifts. Ifa was very happy, smiling the whole day. Mom, what about doing the same again? A surprise party plus some gifts? That could be another memorable 'less important' birthday for Ifa!

Wednesday 16 December 2009

Kangen Ifa dan Aya

Kok tiba-tiba aku kangen anak-anak padahal baru tadi pagi mereka berangkat ke Cibubur ikut camping sekolah dua malam. Aku fikir aku gak akan kangen, tapi tiba-tiba saja perasaan sepi menyerang. Rasanya tak sanggup pisah dengan anak-anak. Hiks.

Ntar sore, gak akan ada pasang telinga alert mendengar mesin mobil jemputan Pak Sam stop di depan rumah tanda anak-anak sudah kembali dari sekolah. Gak akan ada suara assalamualaikum Ifa atau Aya. Gak akan ada yang menggedor pintu depan. Biasanya Aya 'marah-marah' pintu depan aku kunci.

Lalu gak ada harap-harap cemas melihat raut muka Ifa di teras menunggu pintu dibuka. Biasanya kalau kondisinya lagi fit, di sekolah baik-baik saja, di mobil jemputan bercanda riang sesama teman, turun dari mobil dia akan berwajah cerah. Cerah berarti my day will be OK. Kalo sebaliknya, wajah keruh, entah oleh sebab apa, maka aku siap-siap mempertebal lapisan kesabaran menghadapi the rest of the day sebab akan ada acara menolak mandi, menolak sholat ashar, menguasai komputer, lengkap dengan muka cemberut dan bawannya marah-marah mlulu. Kalau gak tertanggulangi, prahara akan berlanjut sampai magrib. Gak mau ganti pakaian, gak mau pipis, gak mau sholat magrib, apalagi ngaji. Pokoknya runyam dech. Hari berakhir dengan prosesi tidur dengan muka tak riang. Hari ini dan besok semua itu tak ada.

Juga tak kan ada kegiatan rutin menjelang tidur. Pipis, ganti pakaian, sikat gigi, dan sholat Isya bila belum. Gak akan ada Ifa yang memarahi Aya karena lelet wudhu tak segera sholat walau sudah lama ambil air wudhu, dll.

Gak ada Aya yang tingkahnya lucu-lucu. Gak ada Aya yang minta gendong dan ditemani pipis, ditemani ambil baju. Aya bilang dia takut sendirian karena masih kebayang cerita serem Ifa tentang kamar gelap atao apa gitu .. ntar ditanyain lagi dech ...

Juga gak ada yang dimasakin. Gak ada yang disuapin. Gak ada yang ditanya apa suka masakan Bapak ato gak? Gak ada yang diajak ngobrol. Gak ada yang digodain. Disuruh minum obat (pada lagi flu dan batuk). Gak ada cerita tentang teman-teman sekolah. Gak ada rencana besok bangun jam berapa. Gak ada obrolan mau jalan lewat mana buat hindari jalan macet karena sedang dicor.

Sore nanti gak ada perintah bawa bebas makan ke dapur, gak ada Aya yang minta ijin maen sepeda bentar, walau belum sholat Ashar. Gak ada Ifa yang bisa dimintai bantuan liatin resep di Google. Gak ada Aya yang mengeluh terpaksa gak maen sama Rifda, khawatir disuruh ikut TPA kalau muncul depan musholla. Gak akan ada krayon dan kertas gambar berserakan. Gak kecemasan melihat gunting tajam menganga di lantai, ditinggal begitu saja gak diberesin Aya sehabis dipakai main.

Gak ada Ifa yang bikin my day cerah kalau tiba-tiba mandi, ganti pakaian tanpa disuruh, keramas tanpa harus dipaksa, sholat dan bimbing Aya yang suka males-malesan kalo ngaji. Gak ada acara nabung di celengan bambu panjang yang kami bikin 3 ruas, satu untuk Bapak, lalu Ifa, dan Aya ruas yang paling bawah.

Gak ada Aya yang suka melarang merokok dan puter lagu dangdut dari radio. Gak ada Ifa yang baik hati ajak Aya main. Gak ada Ifa yang terpaksa distop baca buku karena waktu tidur udah tiba. Gak ada Aya yang minta dikeloni, walau sekarang aku sudah lupa cara ngeloni. Ah .. anak-anak ... bikin kangen aja. Walo tingkah mereka kadang menghabiskan amunisi kesabaran di hati, tetap saja mereka mendatangkan bahagia kalau lagi bersama. Semoga di tempat camping bisa enjoy, sehat, dan pulang dengan hati riang. Besok jam 6 sore Bapak jemput ya.

Keberkahan Camping?

Mobil belum berhenti benar, Syarrifa sudah berteriak. “Paa ... k, mereka pakai seragam outbound. Aku ganti aja ya ...” Dari rumah dia memakai jeans biru dan atasan warna pink. Nampaknya dia tidak mau tampil berbeda dengan teman-temannya. Hari ini, semua anak kelas 1 sampai 6 Sekolah Dasar School of Universe (SoU) Parung akan berangkat ke Bumi Perkemahan Cibubur untuk camping 2 malam.

Aya tak mau ketinggalan. “Tutup pintunya Paa ... k, kita mau ganti!” Begitu pintu mobil ditutup, kedua anak itu tergesa membongkar tas dan melepas pakaian. Mobil kami dilapisi kaca film V-Cool 70%, hampir tak tembus pandang dari luar.

Sementara anak-anak ganti pakaian, aku mengamati situasi. Sudah lewat jam 7 pagi, ada banyak peserta berkumpul di halaman depan SoU. Seorang ibu berjalan di belakang anak lelakinya yang membawa ransel hitam besar. Tanpa diketahui sang anak, si ibu membantu menyangga tas. Tas terlalu besar dan berat untuk anak yang berusia sekitar 7 tahun itu. Si anak, tak mengetahui ‘bantuan’ ibunya, dengan bangga melangkah menuju tempat teman-temannya berkumpul. Tiga bus pariwisata sudah menunggu. Mobil pengantar silih berganti menurunkan penumpang.

Anak-anak sudah selesai. Syarrifa keluar mobil dengan ransel National Geographic di punggung. Hari ini tanggal 16 Desember, bertepatan dengan ulang tahunnya yang ke 9. (Ssst ... gak dirayaain .. he he .. nunggu ibunya pulang dari Semarang akhir minggu ini.) Dia berdiri gagah menunggu Aya turun. Berdiri di samping mobil, keduanya nampak gagah dengan pakaian outbound, celana hitam bersaku banyak dengan atasan kaos abu-abu dengan strip keperakan di kedua lengannya yang panjang.

“Pak, bantuin Aya angkat tas,” teriak Aya tanpa menoleh. Aku segera konci pintu mobil dan mengangkat tas mereka. Lumayan berat. Sejak jam 5 sore kemarin, anak-anak sibuk menyiapkan perlengkapan pribadi, pakaian ganti, peralatan mandi, mukena dan sajadah, senter, sandal jepit, jaket, dan jas hujan. Sebagai anggota kelompok, Aya ditugasi membawa lampu badai dan gunting sementara Syarrifa membawa lampu badai saja. Lengkap dengan minyak tanah dan korek api.

Ikut keriuhan persiapan anak-anak camping terasa menyenangkan. Tahun lalu, aku tak tak terlibat karena ada Mba Nur yang dulu kerja di tumah kami. Sejak tidak harus ke kantor Bogor (cukup kerja di rumah saja he he) aku bisa lebih leluasa membantu anak-anak. Karena sepatu boot Aya sudah entah dimana sementara senter sudah rusak, sore kemarin aku mampir ke Pasar Parung berbelanja, sekalian beli slayer, topi, dan sarung tangan buat mereka. Habis banyak! :D Moral of the story, sepulang camping, perlengkapan harus dibersihkan dan disimpan rapi supaya tidak harus beli-beli bila ada acara lagi.

Dua hari ini, 16 dan 17 Desember, rumah bakalan sepi. Aku akan sendirian. Tak ada kehebohan pertengkaran Syarrifa dan Aya tentang karet penggosok atau pensil. Tak ada teriak-teriak suruh sholat dan mandi. Mungkin gak harus masak pula karena buat sendiri cukup mie telor rebus saja. Lumayan gak harus banyak cuci piring dan perlengkapan masak. Semoga rumah tidak ‘sepi’ beneran. Apalagi aku sedang punya banyak PR kantor yang harus segera selesai minggu ini. Camping membawa berkah! Itukah? Mungkin saja. Untuk sementara terbebas dari anak-anak. He he.

Monday 14 December 2009

Selalu Positif, Tak Ada Kata Menyerah

Kalah atau menang, Rafael Benitez, pelatih Liverpool Football Club (LFC), tidak pernah lupa mengatakan, "Look at the next game. It is the same situation. We have to keep going, try to improve and win our games."

Diam-diam aku menunggu Rafa kepeleset lidah. Aku ikuti laporan post-match conference setiap kali Liverpool selesai bertanding, entah di Liga Eropa maupun liga domestik. Aku panteng Liverpoolfc.tv dan Premierleague.com. Juga BBCsport.com dan SkySports.com. Sebagai manusia biasa, aku yakin Rafa tak lekang dari rasa kecewa, putus asa, atau frustasi. Suatu saat dia pasti menyerah.

Semalam, kekalahan 1-2 dari Arsenal, di kandang sendiri, makin menenggelamkan klub asal kota John Lennon ini di peringkat ke 7 klasemen sementara Liga Inggris. Bertanding 16 kali, Liverpool hanya mampu mengumpulkan 24 poin, terpaut 13 dari penghuni peringkat pertama Chelsea. Dengan prestasi buruk ini, the Reds sudah layak melupakan target juara liga yang sempat didengung-dengungkan saat kompetisi tahun 2008 mendekati akhir, ketika Liverpool sedang on-form dan mampu menutup musim kompetisi di peringkat kedua, target yang nampak realistis sebelum Torres dan Gerrard dibekap cedera awal musim ini. Saat ini target yang ramai dibicarakan adalah posisi 4 klasemen supaya lolos zona piala Champions tahun 2010 nanti.

Merubah atau menurunkan target bukan hal tabu. Mengakui target utama sudah tak mungkin diraih bukan berarti melempar handuk. Penggantian target nampaknya merupakan hal lumrah. Yang tidak biasa adalah menyerah! Setidaknya itu yang aku lihat dari diri seorang Rafa.

Rafa tak pernah menyerah. Terlempar memalukan dari Liga Champions 2009, terseok di posisi ke 7 Liga Inggris, kalah 2 kali berturut-turut di depan pendukung sendiri, gagal meneruskan tradisi clean-sheet, kebobolan di menit-menit terakhir pertanda hilangnya konsentrasi dan kedisiplinan, bagi banyak orang, semua ini mungkin sudah bermakna kibaran bendera putih putih. Sudah saatnya menarik diri. Rafa tidak demikian.

Mengapa Rafa selalu positif? Apakah karena dia sadar media? Apakah karena dia tahu pernyataannya akan dimuat di website resmi klub? Ataukah selaku manajer klub dia harus selalu tampil positif untuk menjaga semangat tim? Aku tak paham. Yang jelas, sikap seperti itulah yang mungkin menjadi kunci 'keberhasilan' Rafa selama ini. Keberhasilan? Ya .. Rafa sukses mengasuh Liverpool selepas pelatih asal Perancis, Gerard Houllier.

Kalau kita simak buku dan tulisan kolumnis Paul Tomkins, pujian terhadap Rafa bukanlah tanpa dasar. Tomkins menyajikan analisa dengan dukungan data yang kuat. Dengan kemampuan uniknya dalam bersilat lidah dan menyusun kata-kata, Tomkins menyimpulkan prestasi Rafa sebenarnya malah jauh lebih baik dibandingkan pelatih Liverpool manapun, juga manajer klub-klub papan atas Liga Premier yang ada saat ini! Nah loh ...

Kalaupun apa yang dikatakan Tomkins benar, aku menduga penyebabnya adalah semangat tak kenal kata menyerah yang selama ini ditunjukkan Rafa. Ujung langit tak terjangkau, masih ada puncak gunung. Kaki terlalu gempor untuk mendaki puncak gunung, masih ada puncak bukit. Puncak bukit masih terasa berat bagi tubuh kurang gizi ini, masih ada atap rumah. Mari kita cari tangga, naik perlahan, menapak dengan waspada. Say no to lempar handuk!


Wednesday 9 December 2009

Dua Tahun Lalu

Foto ini tertanggal 17 Juli 2007. Lebih 2 tahun lalu. Aku temukan ketika bongkar-bongkar file lama. Dua tahun lebih ternyata tak menghapus apa yang aku rasakan ketika mengambil foto tersebut. Hari pertama Ifa masuk sekolah. Hari pertama masuk SD. Waktu itu aku berguman, tak terasa Ifa sudah usia 7 tahun lebih. Sudah SD. Udah besar anakku.

Hari itu Ifa bangun pagi sekali. Setelah mandi dan sarapan, Ifa menunggu jemputan di teras depan yang dindingnya belum diplester. Ifa mantap ke sekolah sendiri. Gak merasa perlu ditungguin. Ifa sudah besar, Ifa sudah mandiri.

Aya, si adik, ikut-ikutan berpose. Waktu itu dia masih TK. Hari itu menandai 'perpisahan' dengan si kakak. Biasanya pagi-pagi mereka berangkat bersama, ke TK Bintang Kecil Kejora yang dulu ada di jalan Arif Rahman Hakim, Depok (sekarang TK ini sudah tidak ada, mati 'tertimpa' jalan layang). Hari itu, untuk pertama kalinya mereka berangkat dengan tujuan berbeda. Ah ... dua anak kebanggaan orang tua. Semoga kalian tumbuh sehat. Dan bila besar nanti kalian hidup mandiri dan tidak menjadi beban orang lain.

Friday 4 December 2009

Jangan Salahkan Kalau Ibu Ibu Pada Gemuk!

Belum genap 2 minggu, berat badanku udah nambah 2 kilo. Ketika aku ke kantor kemarin, temanku bilang kok pipimu tambah berisi? Bagaimana tidak? Selain bertugas memasak buat makan Ifa (9 tahun) dan Aya (7 tahun), aku juga harus melahap sisa makan mereka yang tak habis. Entah nasinya, lauknya, buah yang tak termakan, sisa jus atau susu. Semuanya. Sayang kalau dilempar ke tong sampah. Bagi yang pernah merasakan susahnya tidak memiliki makanan, pasti akan merasa sayang main buang. Apalagi kalau pernah mendengar hikayat bagaimana si butir nasi menangis karena tidak ikut termakan, “Hiks ... temanku udah masuk perut, aku ketinggalan di piring, sebentar lagi masuk tong sampat, malah masuk perut kucing jahat!” Cerita kucing jahat ada di profile FB-ku, isinya kucing jahaaaaaaaattt pooool!

Aku mendaptkan pencerahan mengenai sebab-musabab tubuh gemuk seorang ibu dari pengalaman sebulan ini mengasuh anak-anak. Setelah memutuskan berhenti kerja full time, aku di rumah saja menemani anak-anak. Awal November lalu, istriku pindah kerja ke Semarang. Karena menjadi bapak rumah tangga (yang tidak mesti berarti kepala rumah tangga) akulah yang bertugas mengurus rumah (memasak, mencuci, sesekali menyapu, tapi tidak setrika). Tetangga sebelah, Bu Husin, datang tiap pagi bantu ngepel dan setrika.

Memasak berarti menghabiskan masakan. Ini benar sekali. Betapa tidak. Kita harus mengeluarkan minimal 50 ribu buat beli sayur harian. Belum lagi melihat isi kulkas terisi belanjaan mingguan, daging, telur, ikan. Bumbu-bumbu juga gak murah loh. Lalu susu dan buah-buahan. Semuanya adalah duit. Ingat! Duit!

Setiap pagi bangun awal. Memasak, siapkan sarapan dan bekal makan siang. Lalu malam juga masak. Dekat dengan kegiatan masak memasak, ada isu mencuci piring sendok kotor dan peralatan masak. Belum lagi sering-sering asah pisau dan buang sampah. Semuanya adalah energi. Ingat! Energi!

Duit dan energi dibuang sia-sia? NO WAY! Begitu barangkali kata ibu-ibu yang kebetulan menjadi ibu rumah tangga. Juga kataku yang sekarang ini jadi bapak rumah tangga. Tak sudi aku buang-buang duit dan energi percuma. Hasil perpaduan duit dan energi berupa makanan tak termakan, pasti aku sikat.

Saat ini aku masih belum pintar menakar seberapa banyak nasi yang dimasak. Seberapa banyak sayur yang dibuat, seberapa banyak ikan dan tempe yang harus digoreng. Kadang berlebihan memang. It is my fault! Hukumannya: jadilah aku si pelahap makanan sisa. Bagaimana tak bertambah berat badan bukan? Bayangkan ibu-ibu melakukan hal yang sama. Lagipula menurut cerita ahli gizi entah dari mana, perempuan lebih mudah gembul ketimbang laki-laki!

Dengan pencerahan ini, aku tak lagi serampangan main tuduh ibu-ibu extra large sebagai biang makan tak dikekang. Sebaliknya bagiku mereka menjelma menjadi tokoh utama yang berjasa besar dalam usaha tak menyia-nyiakan rejeki dari Sang Pemberi Rejeki. Begitu besar jiwa mereka sehingga akan selalu merasa sayang dan tak semena-mena membuat duit dan energi ke tong sampah. Walau at the cost of being an XL mom!

Bayangkan kalau suami-suami mereka tidak makan di rumah. Udah capek-capek siapin makanan, via SMS tadi suami janji mau makan di rumah, lalu sesampai di rumah suami bilang maaf, tadi ditraktir si anu bla bla bla .. apa gak sakit hati tuch si ibu? Udah habisin 100 ribu buat masak bagi suami, gak segera baca buku kesukaan hanya supaya bisa masakin suami, makanan jadi tersia. Dasar suami tak tahu diri! He he he. Mau kasi kucing? Gak lah .. mau kasi tetangga? Memangnya tetangga mau? Wah serba repot dech.

Nah itulah sekelumit rangkuman hasil pengamatan sekilasku tentang mengapa sekian banyak ibu-ibu rumah tangga cenderung memiliki badan gemuk. Apakah anda termasuk dalam kelompok ini? Kalau ya .. no problem .. asal dibantu olah raga malah jadi tambah sehat!

Thursday 3 December 2009

Kok Lama Gak Posting?

Judul di atas adalah pertanyan Syarrifa, anak pertamaku kelas 3 SD, ketika tahu blog ini udah lama gak terisi postingan baru. Ya.. apa daya, huru-hara fisik dan mental dengan peran baru sebagai 'pekerja domestik (bapak rumah tangga) sekaligus pekerja paruh waktu masih belum bisa aku kuasai dengan baik. Energi masih banyak terporsir untuk merespon segera kejadian di depan mata ketimbang dipakai untuk melakukan refleksi, perenungan untuk bisa menulis sesuatu.

Baru ketik judul tulisan sedikit, sudah dipanggl Aya, anakku kedua kelas 2, minta ditemani pipis di kamar mandi. Baru membaca satu tulisan inspiratif, Syarrifa sudah mengusirku dari depan komputer. "Bapak, mau upload foto nich ... bentaaaaaarrrr aja." Siapa yang tak menyingkir kalau di'usir' dengan mata melotot begitu?

Baru mulai baca buku Major Jantje terbitan Masup Jakarta, istri yang lagi di Semarang telpon menanyakan mengapa duit di rekening berkurang banyak tanpa dia tahu detailnya. Siapa yang bisa tulis detail, 150.000 buat bayar PAM, 211.000 buat Speedy, 100.000 buat pulsa Simpati, 23.000 buat isi bensin moor full tank, 9.000 buat Djarum Super, 73.000 buat beli sayur di si Eko, tukang sayur trendi pakai motor (mahal loh .. dengan duit 100.000 gak dapet banyak!), lalu beli ban bekas buat Blazer, 1 juta 4 biji, kembangannya masih lumayan, dll dll .. ribet kan kalo harus ditulis?.

Begitulah, malam-pun tak bisa buat aktifitas menulis karena biasanya aku turut ketiduran setelah bacain cerita pengantar tidur buat anak-anak. Kalau pas jam 12 malam terbangun, dan gak bisa tidur lagi, gak bakal bisa buka komputer karena sewaktu-waktu Aya manggil .. "Bapaaaaaaaaaaaaaaaaak." Ruang komputer agak jauh dari kamar tidur. Dia suka gak berani kalau ditinggal sendiri di kamar walau ada kakaknya yang lagi tidur (kami bertiga tidur sekamar! he he)

Bangun jam 4 pagi, sholat subuh, ngaji dikit kalo lagi mood, lalu tiba-tiba sudah jam 5, aku segera tergesa masak nasi. Mateng 45 menit pakai magic jar. Di sela itu, aku kumpulin pakaian kotor, masukkan ke mesin cuci, stel otomatis lalu tinggal. Jam 10 nanti, tetangga yang bantuin bersihin rumah akan datang buat njemurin.

Persiapan sarapan. Bikin teri goreng (bisa teri medan atau teri keranjang atau teri segar yang sebelumnya aku masak pakai garam dan asam lalu diangin2kan biar jering) atau nasi goreng aroma mentimun kalau anak-anak gak ngeluh "Bosen Paaaak!"

Kesibukan pagi di dapur juga buat siapin bekal makan siang anak-anak. Mereka pulang sekolah jam 3-an, jadi makan siangnya di sekolah. Bagiku menu makan siang harus beda dengan sarapan, biar anak-anak mau makan. Lalu kupas pisang tanduk, potong dan belah dua, masukkan ke box plastik snack. Tidak lupa sertakan susu coklat kental manis yang dikemas kayak odol. Anak-anak sebut sncak ini piscok - alias pisang coklat., favotie Syarrifa. Aya ikut-ikutan suka, tapi sesekali mengelush bosen. he he he.

Cari kantong plastik (biasanya bekas kantong plastik Indomaret ato Alfamart) untuk bungkus semua bekal. Eits, sendok dan garpu jangan sampai kelewatan. Juga botol minum. Semua dalam satu kantong plastik. Ingat jangan pakai yang hitam karena bau plastiknya gak enak banget. Jebloskan ke dalam tas sekolah anak-anak, beres dech.

Jam 6.30 mobil sudah harus start. Paling telat jam 6.45 sudah harus cabut. Kalo tidak, Syarrifa bisa ngambek. Ngancam gak mau sekolah bikin pusing aku yang lagi sebatang kara (istri kerja dan tinggal di Semarang dan gak ada yang bantu). Biasanya sering telat 5-10 menit karena harus mengunci semua pintu, periksa jendela, dan gerbang belakang sebelum lepas landas menuju sekolah anak-anak di Jalan Parung yang jaraknya kadang lebih dari 45 menit apalagi kalau macet di jalan. Jauh juga ya.

Drop anak-anak sekitar jam 7.45 dan kembali ke rumah, nyampai jam 8.30. Baru kelegaan bisa dinikmati. Kelegaan betul-betul terasa dengan seruputan kopi yang masih hangat dan tak lupa satu dua Djarum Super sebelum mulai buka komputer. Jam 9 sudah harus mulai kerja .. update website kantor dari rumah. Terus sampai siang, sesekali keluar pipis ato bikin kopi ekstra. Siang, jeda makan bentar. Bikin telur ceplok atau goreng teri. Dan kalau mau, ulek sambal bentar. Total gak sampai 10 menit. Yang lama menikmati kekenayngan dengan rokok. he he he. Bisa sampai setengah jam!.

Abis itu lanjut kerja kejar waktu sampai jam 4. Mengapa jam 4? Karena di atas jam 4, suasana kerja jadi gak aman. Sewaktu-waktu anak-anak pulang (ikut mobil jemputan) dan merebut komputer dari kekuasaanku.

Biasanya kalau anak-anak sudah pulang, aku menyingkir ke dapur, memutar otak memikirkan menu makan malam. Bongkar-bongkar kulkas melihat persediaan. Kalau resepnya aneh, minta ijin pakai komputer sebentar sama Syarrifa untuk nengok resep di Google. Nasi masih ada dari sisa masak pagi tadi. Yang perlu dibikin cuma lauk. Idenyanya tempe penyet atau lodeh kangkung sederhana. Kalo lagi gak ada apa-apa, bikin mie rebus sama telur goreng isi teri medan. Bikin terong balado belom pernah berhasil. Yang paling aku suka bikin rawon. Mudah dan gak ribet. Tinggal cemplungin potongan daging, masak sampai empuk, masukkan bumbu INSTANT, jangan lupa tamahin irisan bawang merah dan putih. Kasi asem dikit udah joos. :D

Pas azan Maghrib gelandang anak-anak mandi dan sholat. Sehabis ngaji satu dua lembar, mereka aku ajak makan malam di lantai dapur. Kalo lagi mood, aku suapin mereka karena dengan demikian mereka gak nyadar udah makan banyaaaaak. Kalo makan sendiri, lamaaaa dan cuma sedikit. Banyakaan ngeluhnya, "Udah kenyaaaaang paaak."

Menjelang waktu Isya? Kerjakan PR? He he he. Sekolahnya anak-anak jarang kasi PR. Cuma ada kesibukan menjelang mau ujian. Kayak hari-hari ini. TV? Syukurnya anak-anak gak begitu mood ama TV, atau mungkin mereka 'takut' aku sirik ama TV yang programnya (terutama jam menjelang malam) isinya tahu sendiri dech.

Jam 8.30 malam sudah menjelang. Sekali lagi anak-anak aku gelandang ke kamar mandi, wudlu buat sholat Isya, sikat gigi, pipis, lalu sholat dan peluk guling sambil mendengarkan cerita tentang peri atau kerajaan antah berantah yang kadang isinya gak logis karena mencampur-adukkan legenda masa kerajaan Hindu kuno di Jawa dengan tokoh cerita yang fasih mengucapkan Bismillaahirrohmaanirrohiim. Memangnya Islam sudah masuk pada zaman Empu Wiwaha? Sama seperti aku, penulisnya perlu banyak baca buku sejarah.

Syukurnya, walo jalan cerita gak logis, tetap saja berkhasiat membuai anak-anak. Atau mungkin suaraku yang kadang datang pergi karena terkantuk-kantuk yang membuat anak-anak terlena? Aku pun ikut-ikutan terlelap walau gak tenang. Apalagi kalau belum sholat Isya dan tadi lupa cek semua jendela dan pintu, Ada lebih dari 25 jendela sekeliling rumah. Aku suka jendela karena bikin rumah terang dan gak perlu banyak lampu listrik. Ada 3 pintu di rumah yang juga aku harus cek, plus satu gerbang belakang dan pintu halaman samping. Pintu pagar depan gak pernah aku kunci. Males .. jauh. He he.

Begitu aja dulu ceritanya, eh curhatnya ... Ntar dech dilanjut .. Moral of the story: curhat berbuah postingan. Horeeee...