Thursday 31 December 2009

Gurita Cikeas dan Gelandangan Lapar

Seorang teman mengucapkan terimakasih aku kirimi file PDF buku pra-cetak Gurita Cikeas (GC) seraya mengatakan “Tulisan GJA [George Junus Aditjondro] yang menarik ini enak untuk dibaca menjelang tidur……. Dongeng pengantar tidur…… dongeng tentang “katanya” Selamat menikmati. Dibaca sambil mendengarkan langgam jawa atau campur sari. Enak tenan ….

Sejak buku GC diluncurkan, pemirsa televisi dan pendengar radio disuguhi acara diskusi serius, debat panas, ataupun perbincangan ringan seputar buku tersebut. Di dunia maya, bertebaran tulisan dan komentar panjang pendek mengenainya. Buku yang menyebutkan nama sejumlah pejabat negara dan keluarganya dikaitkan dengan aktifitas mereka dalam berbagai yayasan dan perlunya akuntan publik melakukan audit independen untuk membuktikan dugaan penyalahgunaan dana publik dalam Pemilu 2009 itu memang mengundang komentar beragam.

Terbitnya GC membuat banyak orang berang, namun tak sedikit yang senang. Yang berang terutama dari kalangan yang namanya disebutkan dalam buku. Yang senang didominasi mereka yang menghendaki adanya penyelidikan pemerintah untuk membuktikan apakah buku tersebut memang sekedar dongeng pengantar tidur ataukah merupakan catatan nyata betapa buruknya negara ini dikelola. Sebagian menyarankan buku dilawan buku, data dilawan data. Ada juga yang berpendapat pengadilan merupakan institusi yang paling berhak menentukan siapa yang berbohong.

Tidak ada yang salah dengan kemunculan GC dan beragam komentar setelahnya. Memang begitulah kita manusia. Rambut sama hitam, pikiran belum tentu sama. Biasa saja bukan? Tetapi ada fenomena lain yang patut direnungkan: sebagian masyarakat mengambil sikap tak peduli. Mungkin di benak mereka GC dan komentar yang bermunculan ibarat gonggongan anjing tak bermakna. Biarin saja, ntar reda sendiri kok!

Masya Alloh, aku sendiri ternyata cenderung mengambil sikap terakhir. Kesibukan memikirkan urusan rumah tangga, mengurus anak-anak, atau menikmati ‘blazer solo touring’ ke Jogja, Semarang, dan Surabaya, membuatku memilih untuk tak peduli saja. Ngapain peduli? Paling juga ada gunanya Gak akan merubah keadaan. Toh cuma sebatas peduli?

Tetapi membaca GC membuatku malu sendiri. Dengan bahasa ringan dan mudah dicerna, GJA memaparkan betapa oligarki (GJA menyebutnya gurita) kekuasaan terasa begitu kejam. Penyebutan duit dalam hitungan trilyunan dan milyaran di dalam GC terasa seperti menyebut puluhan atau ratusan ribu saja. Kalau benar dana-dana tersebut dialirkan diantara pihak-pihak yang disebutkan dalam GC dengan cara-cara yang tidak dibenarkan aturan negeri ini, kekejaman itu makin terasa menyakitkan.

Dua hari lalu, belum genap 20 langkah keluar dari gerbang hotel di Jalan Pandanaran Semarang, aku disajikan pemandangan mengenaskan. Seorang laki-laki gelandangan paruh baya berbaju dekil dan sobek-sobek sedang berjongkok di samping bak sampah menyuap nasi sisa bersambal merah dari bungkusan yang nampaknya barusan dia ambil dari dalam bak sampah. Tak kuasa aku memandang sorot mata kosong dan takut-takut ketika ia mendongakkan kepala ke arahku. Dia lapar. Masya Alloh...

Sarapan pagi di Simpang Lima tak terasa nyaman karena pengemis yang hilir mudik. Ibu-ibu tua berpakaian lusuh dengan wajah memelas dan kurang tidur menyodorkan gelas plastik bekas air mineral. Lembaran seribu rupiah adalah penghibur bagi mereka. Di Semarang lebih banyak kakek-kakek becak ketimbang abang-abang becak. Orang-orang yang sudah sepuh terpaksa menggenjot beban berat untuk menyambung hidup. Istilah pensiun di masa tua mungkin tak pernah mampir di benak mereka.

Di dalam buku GC, duit bermilyar-milyar seakan hanya angka. Membuat miris bila berandai-andai duit segitu banyak bisa dipakai untuk bantu gelandangan lapar supaya memperoleh makanan layak. Atau sekedar untuk mengangkat beban berat aki-aki pengayuh becak supaya mereka bisa hidup tak susah di penghujung umur? Ah .. hanya angan. Apatis lagi kah?

No comments: