Monday 14 December 2009

Selalu Positif, Tak Ada Kata Menyerah

Kalah atau menang, Rafael Benitez, pelatih Liverpool Football Club (LFC), tidak pernah lupa mengatakan, "Look at the next game. It is the same situation. We have to keep going, try to improve and win our games."

Diam-diam aku menunggu Rafa kepeleset lidah. Aku ikuti laporan post-match conference setiap kali Liverpool selesai bertanding, entah di Liga Eropa maupun liga domestik. Aku panteng Liverpoolfc.tv dan Premierleague.com. Juga BBCsport.com dan SkySports.com. Sebagai manusia biasa, aku yakin Rafa tak lekang dari rasa kecewa, putus asa, atau frustasi. Suatu saat dia pasti menyerah.

Semalam, kekalahan 1-2 dari Arsenal, di kandang sendiri, makin menenggelamkan klub asal kota John Lennon ini di peringkat ke 7 klasemen sementara Liga Inggris. Bertanding 16 kali, Liverpool hanya mampu mengumpulkan 24 poin, terpaut 13 dari penghuni peringkat pertama Chelsea. Dengan prestasi buruk ini, the Reds sudah layak melupakan target juara liga yang sempat didengung-dengungkan saat kompetisi tahun 2008 mendekati akhir, ketika Liverpool sedang on-form dan mampu menutup musim kompetisi di peringkat kedua, target yang nampak realistis sebelum Torres dan Gerrard dibekap cedera awal musim ini. Saat ini target yang ramai dibicarakan adalah posisi 4 klasemen supaya lolos zona piala Champions tahun 2010 nanti.

Merubah atau menurunkan target bukan hal tabu. Mengakui target utama sudah tak mungkin diraih bukan berarti melempar handuk. Penggantian target nampaknya merupakan hal lumrah. Yang tidak biasa adalah menyerah! Setidaknya itu yang aku lihat dari diri seorang Rafa.

Rafa tak pernah menyerah. Terlempar memalukan dari Liga Champions 2009, terseok di posisi ke 7 Liga Inggris, kalah 2 kali berturut-turut di depan pendukung sendiri, gagal meneruskan tradisi clean-sheet, kebobolan di menit-menit terakhir pertanda hilangnya konsentrasi dan kedisiplinan, bagi banyak orang, semua ini mungkin sudah bermakna kibaran bendera putih putih. Sudah saatnya menarik diri. Rafa tidak demikian.

Mengapa Rafa selalu positif? Apakah karena dia sadar media? Apakah karena dia tahu pernyataannya akan dimuat di website resmi klub? Ataukah selaku manajer klub dia harus selalu tampil positif untuk menjaga semangat tim? Aku tak paham. Yang jelas, sikap seperti itulah yang mungkin menjadi kunci 'keberhasilan' Rafa selama ini. Keberhasilan? Ya .. Rafa sukses mengasuh Liverpool selepas pelatih asal Perancis, Gerard Houllier.

Kalau kita simak buku dan tulisan kolumnis Paul Tomkins, pujian terhadap Rafa bukanlah tanpa dasar. Tomkins menyajikan analisa dengan dukungan data yang kuat. Dengan kemampuan uniknya dalam bersilat lidah dan menyusun kata-kata, Tomkins menyimpulkan prestasi Rafa sebenarnya malah jauh lebih baik dibandingkan pelatih Liverpool manapun, juga manajer klub-klub papan atas Liga Premier yang ada saat ini! Nah loh ...

Kalaupun apa yang dikatakan Tomkins benar, aku menduga penyebabnya adalah semangat tak kenal kata menyerah yang selama ini ditunjukkan Rafa. Ujung langit tak terjangkau, masih ada puncak gunung. Kaki terlalu gempor untuk mendaki puncak gunung, masih ada puncak bukit. Puncak bukit masih terasa berat bagi tubuh kurang gizi ini, masih ada atap rumah. Mari kita cari tangga, naik perlahan, menapak dengan waspada. Say no to lempar handuk!


No comments: