Thursday 31 December 2009

Kematian Tak Tergantikan

Tak ada kematian yang membuatku menangis selain dua yang berikut: berpulangnya Bapak di Lombok bertahun silam dan kepergian Ian bulan Juni lalu.

Bagi almarhum Bapak, tangisanku adalah tangisan penyesalan seorang anak yang merasa belum sempat membalas jasa-jasa ayahnya. Aku ingat pada malam meninggalnya Bapak, aku yang tinggal di Jogja waktu itu tak bisa tidur. Semacam ada firasat akan terjadi sesuatu yang aku tidak tahu. Aku gelisah. Hampir tengah malam ketika kabar itu tiba. Aku tak serta merta menangis saat pamanku menyampaikan berita lewat telepon. Begitu pembicaraan telepon berakhir, air mataku bagaikan aliran bendungan ambrol.

Kepergian Ian, anakku ketiga, bayi laki-laki mungil yang lahir prematur, menyisakan tangisan pedih yang dalam. Kami, aku dan istriku, diberi kesempatan oleh Yang Maha Kuasa untuk merawatnya 33 hari. Bagi Ian juga tangisan terpanjang: selama lebih sebulan semasa perawatan intensif di rumah sakit, dan beberapa bulan setelah semua usaha medis dan doa berakhir di pemakaman dekat rumah kami di Depok.

Itulah dua peristiwa kematian yang terasa bagai kepedihan tak terperi. Setelah itu, hanya kematian Chryse - sang penyanyi dengan vokal 'a' tak ada duanya - yang mampu membuatku menitikkan air mata lagi. Aku menangisi kepergian seorang jenius pencipta dan pelantun lagu yang bernyanyi selalu dengan sepenuh jiwa. Penyanyi yang tak bermodal jiwa pasti tak akan bertahan lama dalam ingatan penggemar.

Hari ini, adalah kepergian Gus Dur yang membuatku menangis. Seorang panutan yang kata-katanya layak didengar telah berpulang. Aku kenal Gus Dur hanya lewat satu dua tulisan di koran, juga beberapa buku dan tulisan di internet. Selebihnya aku 'dekat' dengan Gus Dur hanya lewat acara Kongkow Bareng Gus Dus yang saban Sabtu disiarkan radio KBR68H. Kedekatan fisik dengan Gus Dur, sebuah kedekatan yang akan aku kenang dan banggakan sampai kapanpun adalah ketika berada berjarak hanya 3 meter dari tempat almarhum duduk, di aula Harian Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta, bertahun-tahun lalu jauh sebelum almarhum menjadi Presiden. Waktu itu, aku diajak teman untuk 'nonton' Gus Dur. Almarhum ditemani Bu Sinta Nuriyah dan Pak Alwi Shihab. Yang paling terasa saat itu adalah kebersahajaan almarhum.

Setelah hari ini, serasa tak ada lagi sosok yang memiliki keihklasan seluas langit untuk membuat bangsa ini menjadi lebih baik. Mungkin tak kan ada lagi yang bisa menjadi panutan. Tak ada lagi yang layak didengar. Kepergian Gus Dur berarti kepergian tempat mengadu, hilangnya tempat berbicara, tak ada lagi tempat berharap.

Setelah hari ini, mungkin air mataku akan bertitik lagi bila Iwan Fals nantinya dipanggil Yang Kuasa. (Semoga jangan dulu). Iwan Fals, penyanyi yang lewat lagu Oemar Bakri membuka jiwaku tentang mulia dan susahnya profesi seorang guru, yang membuatku sadar banyak masalah sosial di sekitar kita yang harus diperbaiki, setidaknya untuk dipedulikan. Penyanyi yang suaranya mewakili teriakan jiwa anak bangsa yang berharap Indonesia bisa menjadi tempat yang lebih baik bagi semua.

Kematian orang-orang tak tergantikan selalu akan mendatangkan kepedihan dan keharuan mendalam. Bapak, Ian, Chryse, Gus Dur, dan Iwan Fals adalah orang-orang tak tergantikan dalam jiwaku. Hidup dan matinya mereka adalah penyebab warna bagi jiwaku.

5 comments:

♥Syarrifa F.P Ramadhina♥ said...

adek ian enggak pak?

Aunul Fauzi said...

Udah Bpk edit Fa .. :D

Anonymous said...

ku juga loh, jadi ngelamunin abis meninggalnya gusdur, alah sempat diskusi dengan temen2, siapa lagi abis dia yang berani melawan arus, neriakin keberagaman dan saling hormatlah dalam keberagaman itu.

Jadi agak ngeri dgn bangsa ini sekarang, secara udah mulai bakar2 buku lagi. Moga2, serega terbit gusdur2 lainnya.

ps: ttg family, aku turut berduka abang udah kehilangan 2 orang.

Aunul Fauzi said...

Makasi em

iip albanjary said...

hayo,tahun udah berganti. kenapa blog-nya dibiarkan saja, kacian lo.
nulis lagi dunk
posting lagi dunk
...