Wednesday 28 May 2008

Cuti bila ibumu yang mati …

Awalnya Deni hanya menonton. Diamatinya gerak bibir dan mimik muka Paman Kun yang sedang memelas di hadapan lelaki penanggung jawab toko Meita di lantai satu Bogor Trade Mall (BTM). “Bagi Yuli, nenek adalah ibunya. Yuli tinggal bersama nenek sejak ibunya meninggal dan bapaknya kawin lagi. Berilah izin pak, sehari saja, Yuli perlu pulang melihat nenek untuk terakhir kalinya.”

Nenek meninggal sejam lalu. Paman meminta Deni menemaninya mengabarkan berita duka itu kepada Yuli yang sejak 2 bulan lalu bekerja sebagai SPG di toko yang sesuai namanya selalu menempati pojok paling strategis di banyak mall seantero Jabodetabek.

“Maaf, kalau bukan bapak atau ibu sendiri yang meninggal, kami tidak bisa memberikan izin cuti.”

“Tapi nenek adalah ibunya Yuli.”

“Sekali lagi maaf, peraturan toko memang seperti itu pak. Kalau Yuli tetap berkeras pulang, silahkan saja. Tetapi kami tidak bisa lagi menerimanya sebagai karyawan.”

Hari itu, Yuli memilih pulang untuk memberikan salam terakhir buat nenek yang telah membesarkannya sejak ia berusia 6 tahun. Hari itu pula ia dipecat.

Gundah hati Deni menyaksikan kepiluan pujaan hatinya. Tak tega ia menyaksikan wajah Paman Kun menunduk layu di hadapan lelaki Cina itu. Geram ia merasakan ketidakadilan menimpa orang-orang kecil yang sudah menjadi bagian hidupnya 3 tahun terakhir ini.

“Pak, jangan begitu dong caranya …

(dialog deni dengan lelaki bos)

Matahari Bogor yang panas menjadi saksi langkah gontai gadis mungil berusia 17 tahun yang yang baru mulai merangkai harapan masa depan bekerja sebagai penjaga toko setelah 2 tahun menganggur selepas SMEA jurusan perdagangan di kota angkot. Tiga anak manusia yang tenggelam dalam fikiran masing-masing melangkah menembus asap knalpot angkot yang berebut penumpang di sisi barat Istana Bogor itu. Suasana hiruk pikuk tak terdengar lagi.

No comments: