Saturday 7 September 2013

Mimpiku Sebelum Tak Lagi Bisa Bermimpi (4)

Ah, masih banyak mimpi yang bisa dipaparkan tentang rumah di atas bukit ini. Mungkin perlahan-lahan mimpi ini akan berkembang (dalam bentuk mimpi atau sudah relaisasi), terutama terkait pembangunan fisik rumah dan keselurauhan lahan, yang tentu akan berubah, bertambah, atau menyesuaikan dengan keinginan, kemampuan, perkembangan zaman, dll.

Yang jelas, kalau suatu saat rumah masa tua ini jadi, aku membayangkan akan sering bangun pagi, pagi sekali, untuk sholat malam bermunajat di hadapan Alloh Maha Suci. Lalu sambil menunggu subuh menjelang aku bisa putar radio mencari suara-suara dari kejauhan - gelombang AM maupun SW. Bila waktu subuh sudah dekat, aku akan jalan kaki ke masjid terdekat tempat sholat subuh berjamaah, tentu bersama istri tersayang.

Oh iya, terkait jalan kaki ke masjid buat jamaah, ada beberapa keuntungan didapat. (1) Olah raga jalan kaki, sehat badan, dapat udara segar, dan pepohonan dan tetumbuhan pinggir jalan akan jadi saksi niat berangkat sholat kelak di kemudian hari. Lalu (2) menikmati sujud bersama teman-teman atau tetangga kampung, (3) silaturahmi dipererat dengan saling tegur sapa antar jaamah, menanyakan kabar dan rencana aktifitas hari itu, (4) dan masih banyak keuntungan lain. Keuntungan-keuntungan ini sendiri adalah bagian dari mimpi-mimpiku.

Pulang dari masjid, kesibukan rutin dimulai dengan memberi makan ternak, ayam, atau beri rumput buat kambing. Rehat sejenak sambil ngopi dan makan pisang goreng sebelum mulai aktifitas-aktifitas lain yang menyenangkan: siram tanaman, menyiangi bila perlu, tanam pohon baru, keliling tanah perdikan mengamati situasi sampai menjelang waktu dhuha, bersujud lagi memohon ridlo Alloh di musholla kecil dekat penampunagn air. Oh iya. Kayaknya perlu musholla kecil tempat sholat dan baca Qur'an. Bila capek, balai-balai di musholla siap menampung badang menikmati semilir angin menjelang waktu makan siang.

Bila sedang tak repot, sholat zhuhur dapat dilakukan di masjid. Jamaah. Kalau tidak, cukup di musholla rumah. Bila tak ada halangan, kegiatan dilanjut aktifitas lain di seputaran kampung atau ke kota terdekat kunjungi saudara dan teman.

Waktu sore barangkali adalah waktu terbaik di puncak bukit ini. Memandang keluasan segara penjuru, mengikuti jejak cahaya langit perlahan meredup, menjadi sakti rona merah lembayung perlahan hilang dikuasai gelap awal malam - yang proses ini sendiri merupakan peringatan bahwa sesudah siang akan ada malam, bahwa suatu saat nanti hidup akan berakhir, dan oleh karenanya saat hidup sekarang perlu dimanfaatkan sebaik-baiknya dengan bekerja dan berdoa, persiapan hidup sesudah mati.

Malam akan datang. Dan malam dapat bisa sepi, bisa pula tidak. Sepi bila tak ada aktifitas kegiatan fisik bersama teman-teman dari kampung yang kebetulan dilakukan di rumah. Sepi bila tak ada acara nonton bareng Liverpool main. Sepi bila tak ada kerabat yang sedang berkunjung atau menginap. Tapi sepi seperti itu tak akan pernah benar-benar sepi karena rumah akan selalu terhubung dengan dunia luar lewat internet dan berbagai media sosial yang ada. Moga dapet sinyal. :)

Begitu kira-kira impian tentang aktifitas keseharian hidup mimpi. Belum detail, tulisnya cepat-cepat. Tetapi sudah cukup beri bayangan seperti apa kehidupan 'menyendiri' di rumah bukit. (TO BE CONTINUED)

No comments: