Thursday 10 July 2008

Ketergantungan

Jam 00.53. Tanggal 10 Juli 2008. Aku kehabisan rokok. Di sebuah dini hari. Ini adalah mimpi buruk. Pulang kerja semalam, aku masih ingat untuk mampir ke warung beli rokok persediaan kalau-kalau perlu. Tetapi kantuk yang menyerang membuatku malas menghentikan kendaraan. Aku berfikir setiba di rumah nanti aku bisa minta orang rumah bantu belikan satu dua bungkus. Semua hanya angan. Tak kuasa menahan kantuk, aku segera terlelap di tempat tidur, tak peduli nyamuk yang mengganggu.

Sesaat sebelum tengah malam, aku terbangun. Kebiasaan bangun nonton Piala Eropa masih terbawa. Kunyalakan TV. Tak sampai 10 menit aku segera bosan. Aku heran bercampur muak. Hampir semua stasiun menyajikan acara hiburan dengan seting panggung bergaya pemilihan idol, menghadirkan dua atau tiga panelis mengomentari kontestan yang sering tampil dengan bekal seadanya. Semua stasiun TV sedang demam kemasan acara model ini. Hanya materi yang sedikit membedakan. Anak, anak seleb, dan seleb itu sendiri. Mungkin sebentar lagi akan ada anak guru, anak wartawan, anak anggota DPR, anak sopir metromini, atau yang lain. Lalu semua ibu menjadi mama. Mak Odah menjadi Mama Odah. Bu Mia menjadi Mama Mia. Mungkin sebentar lagi Ibu Maria penjahit dekat rumah akan jadi Bunda Maria. Ah, ini sudah hampir jam 12 malam. Acaranya kok itu-itu saja! Nampaknya TV tidak mengenal bosan. Selama masih bisa menarik iklan, mereka gak peduli. Aku yang peduli. Aku matikan saja TV-ku.

Kubuka laptop. Mengedit satu tulisan pendek mengenai seorang teman. Aku sedang berlatih menuliskan hasil wawancara dengan satu narasumber. Dalam kelas Pantau hari Selasa kemarin, draft tulisan itu dibantai teman-teman. Kata mereka maksud tulisan gak jelas. Aku mengakui.

Selesai mengedit, yang ternyata merubah arah tulisan ke fokus lain, aku berfikir untuk menulis satu artikel pendek keperluan publikasi di tempat kerja. Kubuka new document. Aku mulai mengetik judul TWG (Tenure Working Group) mencoba bercerita tentang peran lembaga penelitian tempatku bekerja di dalam kelompok diskusi mengenai berbagai isu kepemilikan dan penguasaan lahan di negeri ini.

Kubongkar tas. Mencari majalah TWG dan satu buku proceeding pertemuan TWG terakhir. Tak ketemu. Aku ingat beberapa hari lalu aku masukkan ke dalam tas untuk aku bawa ke kantor. Ah, barangkali ketinggalan di meja kerja. Tak percaya, aku mencoba sekali lagi membongkar laci, mengintip celah di bawah monitor komputer di meja. Tidak ada jejak. Ah sudahlah, fikirku. Berbekal coretan singkat yang aku buat ketika mengikuti pertemuan TWG di BAPLAN tempo hari, aku mencoba membuat sebuah outline tulisan. Outline lumayan menggembirakan. Tetapi setelah itu mentok. Gak ada bahan lagi. Aku tiba-tiba ingat rokok.

Oh .. betapa aku perlu rokok sekarang. Sebagai perintang waktu. Pemberi jeda. Dan pengalih perhatian. Pemberi jalan mendobrak kebuntuan. Siapa tahu setelah satu dua batang berlalu, akan ada inspirasi tulisan. Oh … dimanakah engkau?

Aku cari di saku jaketku. Gak ada. Aku ingat batang terakhir sudah aku habiskan kemarin jam 5 sore di kantor. Tiba-tiba aku sangat menyesal mengapa tidak jadi mampir ke warung ketika masih buka sepulang kerja tadi. Aku coba bongkar tas. Biasanya ada bungkusan rokok terselip di antara isi tas yang kacau balau dan terlupa. Sering menjadi penyelamat di waktu-waktu seperti ini. Kali ini nihil. Aku coba bongkar jok sepeda motor. Aku ingat pernah simpan satu bungkus di sana. Kebayang merahnya bungkus Djarum Super. Juga gak ada. Sudah aku ambil ketika ke Pantau hari Selasa lalu.

Mungkinkah ada di mobil. Uh .. aku harus membuka pintu dan ke garasi. Sambil mengusir kucing yang asyik bergelung di pojok korsi, aku melintasi halaman belakang menuju mobil. Aku cek dashboard dan kantong korsi penumpang. Yang kutemukan hanya jepit rambut Ifa.

Sasaranku selanjutnya bangku panjang tempat aku biasa duduk-duduk di teras belakang. Kutemukan dua bungkus rokok. Dunhill Light Menthol dan Djarum Super. Aku harus menelan ludah. Keduanya kosong melompong. Hanya korek api dan sebuah geretan gas yang ada. Kedua benda ini sering gak muncul bila stok rokok membludak.

Sebelum sakit dan berhenti jadi penjaga musholla dekat rumah, Pak Yono sering menjadi juru selamat. Malam-malam atau kapan saja aku gak punya stok rokok, aku tinggal teriakkan namanya .. dan keluarlah Djie Sam Soe sebatang. Marbot yang satu ini memang berselera rokok mahal. Tapi sejak sakit, dia sudah tidak tinggal di musholla.

Tak putus harapan, aku cek semua laci. Kali aja ada bungkusan yang terselip, terlupa, dan muncul menjadi penyelamat dalam kegentingan seperti ini. Gak ada juga. Aku jadi kesal mengapa rumahku jauh dari jalanan. Jauh dari warung. Aku ingat kosku di Jogja dulu berimpitan dengan sebuah warung yang buka 24 jam. Bila pemiliknya sedang gak jualan, itupun gak jadi masalah. Tinggal kayuh sepeda sejenak, di luaran sana masih banyak angkringan buka. Stok rokok aman walau hujan badai terjadi di malam buta.

Oh … aku harus menyudahi tulisan ini. Barangkali aku harus mencoba jalan ke warung dekat pos satpam. Kalaupun sudah tutup, barangkali salah satu satpam jaga punya stok.

1 comment:

Anonymous said...

been there, done that..
well... ga se-heroik kamu sih.. ;-)