Friday 11 March 2011

Jauh Tapi Dekat, Dekat Tapi Jauh

Sore menjelang Magrib.

Seorang teman memintaku segera mengakhiri obrolan.

"Lagi nemenin anak-anak belajar bukan? Tutup saja telponnya. Lain kali kita bisa lanjut ngobrol. Lagipula ini tidak baik. Nanti anak-anakmu belajar kurang menghargai orang lain.”

Dengan enggan aku mematikan HP dan mulai menjawab satu dua pertanyaan Aya (anakku kelas 3 SD) yang sedang latihan penyelesaian soal-soal matematika.

Malam sepulang kuliah.

Aku perlu waktu sekitar 5 jam untuk mulai memahami nasehat teman tadi. Banyak dari kita lupa jebakan HP: yang jauh terasa dekat, yang dekat jadi jauh. Kenyataan era digital.

Kadang kita lupa bahwa kita sedang bersama orang tersayang kita. Anak, suami, atau istri yang menghendaki perhatian penuh. Kita terlalu asyik bermain BBM atau SMS dengan teman atau kolega kerja yang berada entah di mana. Yang saat ini berada dalam radius satu meja dengan kita cukup maklum saja.

Kalau pernah memperhatikan acara bincang-bincang di radio ketika pesawat televisi masih belum popluer, ada semacam aturan tak tertulis yang membolehkan penyiar (pewawancara) menghentikan obrolan bila ada dering telpon masuk.

Sang penyiar terlebih dahulu minta izin kepada narasumber, “Maaf kita terima telpon dulu .. HALO?”

Menghentikan perbincangan untuk menerima telepon dalam konteks di atas punya alasan yang cukup masuk akal. Ketika sistem telepon masih analog, menelepon tidaklah segampang dan semurah sekarang. Selain itu, susah nyambungnya. Karenanya dapat dipahami bila prioritas diberikan pada penelepon jarak jauh.

Barangkali, kenangan jadul tersebut sedemikian kuat menorehkan bekas dalam kenangan kita sehingga tanpa sadar kita masih terapkan hingga sekarang. Kita selalu merasa perlu memberi prioritas menjawab SMS atau BBM, melupakan teman dekat atau pasangan yang berada kurang satu meter di samping kita.

Alasan mudah dibuat, urus pekerjaan inilah .. urus kerjaan itulah .. ada banyak cara untuk menjustifikasi pentingnya meneruskan baca dan kirim SMS atau BBM dan meminta yang ada di dekat untuk menunggu (kadang lamaaa).

Ada sesuatu yang terlupa di zaman digital yang gegap gempita dengan aneka pilihan gadget perampas perhatian kita. Blackberry di tangan kiri. Di kanan ada telepon GSM. Di dalam tas tangan ada telepon CDMA. Di meja ada laptop dengan jendela Facebook dan Yahoo Messanger yang selalu terbuka. Ada juga email. Semua mempersyaratkan jawaban segera.

Banyak dari kita lupa anjuran untuk berusaha metatap mata lawan bicara ketika sedang ngobrol, memperhatikan dengan sungguh-sungguh, mendengar dengan baik, dan memberi tanggapan dengan sepenuh hati.

Kadang pikiran kita entah di mana .. melayang mengikuti angin .. berharap hempasannya membawa jiwa dan pikiran kita terbawa masuk ke jiwa lawan bicara di seberang sana.

Tidak ada yang salah dengan itu, cuma kalau anak kita, suami kia, atau istri kita merasa terlupakan ketika jiwa kita sedang asyik berjalan jalan di jalur BBM atau YM, lalu tiba tiba kita menderita sakit gagap tiba-tiba ketika dimintai menanggapi sesuatu?

Barangkali kita lupa .. dalam komunikasi ada istilah menghargai lawan bicara. Bisakah disebut menghargai bila kita bisa menjawab AH UH YAA .. HMM .. HO OH .. ketika ditanya? Sementara jari-jari kita tetap lincah menari di keyboard dan pandangan mata terfokus ke layar Blackberry?

No comments: