Tuesday 19 October 2010

Kunjungan (Bukan) Muhibah

Kalau rumah anda jauh dari jalan raya, kunjungan rutin yang dapat anda nikmati masih terbatas tukang pos (sesekali), kurir bank penerbit kartu kredit (bulanan), kurir langganan majalah (tergantung frekuensi terbitan), atau tukang catat meter listrik atau air (ini juga bulanan). Sudah ... itu saja. Variasinya adalah satpam perumahan yang datang menagih iuran sampah atau keamanan. Yang satu ini bisa diminimalisir dengan bayar 3 atau 6 bulan di muka.

Lain halnya dengan berumah di pinggir jalan besar (contoh kasus: aku di Banyumanik, Semarang), kunjungan rutin akan lebih banyak lagi. Di awal puasa Ramadhan yang baru lalu, aku mendapat kunjungan sekurangnya 3 penjual stiker kata-kata mutiara berisi himbauan beramal. Satu aku kasi duit. Stiker aku tempel di kaca depan rumah. Satu lagi, anak muda bercelana jeans dengan rambut licin berminyak, aku tolak mentah-mentah. Yang ketiga, aku minta kakak iparku (kebetulan sedang nginap) untuk hadapi. Aku cuma nonton 'kegirangan' dari balik kaca. Kakak iparku pasang wajah keras mengusir penjual stiker malang.

Tak terhitung pengamen datang saban hari. Aku suka kasi duit kalau lagunya keroncong atau campur sari. Kalau lagu Bang Iwan, apalagi. Ada yang nyanyinya bener-bener bagus. Ada juga yang sekedar cek ecek kecek.

Seterusnya adalah gelombang pencari amal. Dari masjid atau musholla atau yayasan yatim piatu. Ada yang bawa map lusuh berisi gambar pembangunan rumah ibadah. Ada juga sekedar berbekal surat pengantar dengan stempel aneka warna penanda legalitas memenuhi hampir tiga perempat halaman. Pernah sampai ada yang masuk rumah, bersila dan membuka jurus pengajian. Lagaknya afdol dan takzim banget. Aku usir halus dengan memberi Rp. 5ooo.

Pengemis? Wow .... ini yang pakai aneka teknik. Ada yang gendong anak, menuntun orang tua, suara menghiba-hiba cerita adiknya perlu bantuan uang sekolah. Istriku pernah tanya seorang anak laki-laki usia 13-an yang mengaku tidak sekolah, di-drop bos untuk jualan, tapi ndilalah, ditinggal pergi mobil jemputan karena telat sampai di titik kumpul. Entah benar atau tidak, yang jelas istriku akhirnya mengeluarkan uang membeli kerupuk yang dia bawa.

Di lain kesempatan, penjual abate (bubuk tabur pengusir nyamuk di penyimpanan air) datang dengan polah seakan dia petugas RT yang sedang membagikan abate gratis. Awalnya aku pasang muka hormat dan senyum ramah, menyangka dia adalah petugas resmi RT atau Kelurahan. Maklum, warga baru harus menampakkan sikap suka kerja sama. Ketika dia minta uang ganti abate, aku langsung paham. Ini ternyata modus operandi baru bagiku. Segera aku kasi uang seribu dan suruh pergi membawa abatenya. Entah itu abate beneran atau cuma bubuk terigu, nobody knows.

Setengah jam lalu, seorang lagi penjual abate datang. Dia gak minta banyak duit. Cuma seribu 3 bungkus. Tapi karena lagi kesel dengan tugas kuliah yang ntar sore harus dipresentasikan, aku keluar dengan muka sangar, meminta dia pergi sebelum sempat bertukar kata. Mulanya dia menolak dengan mengeluarkan petuah kebajikan dan kesehatan terkait nyamuk dan abate. Aku tak terpengaruh.

Aku bilang, "Pergi saja ya ... aku sudah sering mendapatkan kunjungan beginian, dan semuanya aku tolak. Yang sekarang juga aku tolak .. OK!"

Dia menatap mataku, mungkin meraba kadar keseriusanku. Sesaat kemudian dia membalikkan badan, berlalu tanpa suara. Aku bisa kejam juga ya .. hehehe.

Thursday 14 October 2010

Bunga - Dewa, My Legend

Begitu banyak bunga ditamanku
Slalu menanti saat untuk dipetik
Ada yang merah dan ada yang putih
Kuning dan ungu
Beragam warnanya
Beragam warnanya

Chorus:
Tuhan tolonglah aku
Beri satu petunjuk
Aku ingin bahagia
Berikanlah yang indah
Untuk diriku ini
Untuk slama - lamanya
Satu bunga yang indah
Satu bunga yang indah

Mama Papa mohon nilai rangkaian
Rangkaian bunga Aku mohon restumu
Bila nanti ada yang tak berkenan
Katakan saja Aku slalu mendengar

Chorus
Banyak bunga layu Sebelum berkembang
Ada yang terindah Tapi wanginya tak slalu
Seindah bentuknya Malah mungkin durinya
Menusuk hatiku Lukai cintaku
Tapi kuyakin nanti ada satu untukku
Harumi hari Mengharumi hari

Info : http://musiklib.org/Dewa_19-Bunga-Lirik_Lagu.htm

Friday 8 October 2010

Minggir Kau, Aku Yang Duluan

Dengan sekuat tenaga, lelaki itu menahan gerobaknya agar tak laju ke depan. Sebentar kemudian, gerobak berisi barang rongsokan itu berhasil ditarik mundur, memberi jalan sebuah mobil kijang yang pengemudinya seperti tak sabaran ... dit diiit ... diiiit ... bunyi klakson berkali-kali.

---------------

Perempatan Cemara, begitu orang menamai persilangan empat jalan sibuk di dalam komplek Perumnas Banyumanik, Semarang. Ke Utara: Tusam Raya, Timur: Kanfer Raya, Selatan: Cemara Raya, dan ke Barat: Jati Raya. Rumahku terletak sekitar 25 meter dari poros perempatan. Aku bisa saksikan semua yang di jalan dari jendela depan ruang tempat aku mengetik.

Hujan deras sudah reda, pengguna jalan mulai turun ke jalan. Hampir jam 3 sore. Sebagian anak sekolah sedang dalam perjalanan pulang. Sepeda motor dan mobil aneka jenis mulai ramai berseliweran. Dari pojok tempatnya berteduh, lelaki itu mendorong gerobaknya pelan, masuk ke Tusam Raya. Diapun ingin segera sampai ke tujuan. Sebuah topi pet lusuh menahan sisa-sisa hujan membasahi kepala. Kain baju yang sudah tak menampakkan warna menempel di dadanya, lengket terkena udara lembab. Lengannya yang tak terbungkus kurus berotot berusaha sekuat tenaga menahan gerobak agar tak sampai menabrak kijang.

Dari segi posisi, lelaki pendorong gerobak memang salah. Dia mengambil badan jalan bagian kanan, jalan bagi kendaraan-kendaraan lain dari arah berlawanan. Tetapi nampaknya dia sedang tidak sabar ingin segera mencapai ruang kosong di seberang jalan, supaya kijang yang tiba-tiba belok dari Jati Raya dapat laju.

"Tidak mau!" Mungkin itu arti klakson mobil kijang, meneruskan apa yang ada di benak pengemudinya. "Kamu harus minggir. Aku pakai mobil, lebih prioritas dari kamu, pendorong gerobak kurus! Minggiiir, kamu salah jalan!"

Aku terenyuh menyaksikan lelaki itu, dengan lengan kurusnya yang berkilat basah kena keringat dan sisa air hujan, berusaha meminggirkan gerobak agar sang kijang bisa berlalu.

"Ah .. apa sih susahnya kijang ngerem sebentar, memberi jalan gerobak? Toh injakan rem tak perlu seberapa energi. Pasti jauh lebih sedikit dari energi pendorong gerobak menahan gerobaknya."

Aku geram.

-------------

Kejadian seperti ini bukan satu dua kali aku saksikan sejak berumah di Banyumanik. Kadang ada pengendara motor yang tidak mau memelankan lajunya walau dari jauh sudah terlihat seorang ibu dan anaknya mengangkat tangan ingin diberi kesempatan menyeberang.

Di lain kesempatan, aku lihat mobil yang tak mau berhenti memberi peluang mobil lain yang sedang dalam posisi tidak menguntungkan karena berusaha berputar arah. Berhenti sejenak bagi mobil pertama akan dapat mengurangi potensi kemacetan. Tapi kok ya seperti gak kepikiran begitu ya. .. Ah .. rambut sama hitam. Isi kepala siapa yang tahu ..

Sering juga aku lihat pengendara motor mencoba mendahului mobil dari sebelah kiri. Walau secara aturan salah, mungkin tidak terlalu riskan bila jalanan lurus dan lebar. Tetapi menyalip dari kiri, di sebuah belokan sempit, sementara mobil yang mau disalip juga akan belok kiri, dan sopirnya lebih konsentrasi memperhatikan arus kendaraan dari arah simpang jalan di sebelah kanannya, bukankah itu beresiko membuat motor terjepit. Kok ya seperti gak kepikiran bahaya ..

Belum lagi perilaku memotong jalan yang seperti tak pakai perhitungan. Sembarang maju, tak nengok kiri kanan. Mungkin di pikirannya, toh orang lain akan terpaksa ngerem. Dan memang begitu yang terjadi, orang lain dipaksa ngerem, padahal sedang laju di jalan yang menurut aturan lalu lintas adalah prioritasnya. Meleng sejenak, tabrakan! Untung selama ini aku belum pernah melihat kejadian seperti itu. Tetapi sumpah serapah pasti bertaburan di dalam kabin mobil yang harus ngerem mendadak.

Dalam kejengkelan, kadang aku pikir mengapa begitu banyak pengguna jalan lebih suka untuk tidak mengalah.

Ah .. inikah yang namanya egois? Tak mau didahului orang lain? Tak mau menunggu atau antre sejenak? Barangkali memang urusannya jauh lebih penting dibanding urusan orang lain. Tetapi bila semua memaksa untuk maju, macet itu pasti. Tak bolehkah distop barang sejenak? Tak pedulikah dengan orang lain? Tak adakah rasa kasihan pada penyeberang jalan renta? Pada anak-anak pengayuh sepeda? Tak pedulikah pada lelaki kurus berpakaian lusuh yang harus mengerahkan sisa-sisa tenaga menahan gerobak, sementara di dalam mobil, penumpang santai di empuknya jok mobil? .. Ah ...

Derita Orang Bodoh

Saat ini aku sedang frustasi. Sejak kemarin belum juga bisa menyelesaikan paper 'pesanan' istriku. Dia kuliah lagi. Minggu ini penuh dengan tugas kuliah. Juga harus travel ke luar kota untuk urusan kerjaan. Aku ingin bantu mengurangi bebannya (walau ini tak legal - aku tahu itu), tapi ternyata tidak mudah.

Sekedar menulis paper agak ilmiah saja tidak sesederhana yang aku bayangkan. Apa lagi yang ilmiah. Ampun deh ... Dalam tulisan ilmiah, nulis ternyata tidak bisa asal njeplak. Njiplak juga bukan sesuatu yang sederhana. Bahkan tidak mungkin dilakukan kalau tidak mau dicap plagiat.

Oh .. frustasi ... sudah 2 X 12 jam ... tulisan tidak bisa masuk ke bagian analisis karena aku tidak tahu alat analisis yang bisa dipakai, yang berwujud teori tertentu. Aku tidak punya ide sama sekali. Bukan ilmu yang selama ini aku tekuni. Upaya membentuk gambaran instan dengan membaca buku satu dua halaman, melihat paper orang di internet, tak bisa mengantarku ke mana-mana.

Aku menemukan kebenaran tagline Komunitas Minat Baca Indonesia: banyak baca jadi tahu, kurang baca jadi sok tahu.

Kasusku, sok tahu saja belum mampu. Apalagi menjadi tahu. Oh my god .. rasanya menderita banget.