Monday 14 September 2009

Nur ... Kita Akan Berjumpa Lagi

Hari ini Nur pulang. 14 September 2009. Setelah hampir 5 tahun bekerja di keluarga kami. Dia akan menikah November nanti. Aku merasa kehilangan. Rasanya salah satu anggota keluarga baru saja pergi. Dadaku terasa sesak.

Walaupun aku menguatkan hati dengan mengingat-ingat ini adalah bagian dari rencanaku dan istriku Naning untuk membuat anak-anak mulai mandiri, untuk tidak selalu tergantung pada Nur, tak bisa kutolak rasa sedih ini.

Nur telah bersama kami dalam banyak peristiwa. Dari mulai menempati rumah kecil yang kami sewa, lalu beli tanah dan bangun rumah yang sekarang, menempatinya sejak sebagiannya masih berlantai tanah. Nur menemani aku, dan dua anakku, Ifa dan Aya, saat ibu mereka kerja di Aceh. Menemani kami ketika Kancha Aprilian, anak kami ketiga, lahir untuk kemudian dipanggil lagi oleh Yang Maha Kuasa. Nur telah menemani kami dalam banyak peristiwa.

Mataku berkaca saat bersamalan dengan Nur. Aku takut mengeluarkan suara, malu terdengar serak. Kulihat Nur mentupi matanya. Dia mencoba mengarahkan pandangan untuk yang terakhir kalinya, ke arah kamarnya.

Aku tahu dia menahan isak. Setahun lalu, ketika ia pulang mudik, ia menangis sesungukan di tempat menunggu bis, seakan tak mau berpisah dengan kami. Tak bisa kubayangkan rasa sedihnya kali ini. Ini adalah pulang mudik, tapi tidak untuk kembali lagi.

“Ah .. kamu kan bakal sering main ke sini … Sering-sering main ya …” kucoba berkata pelan, berusaha tegar. Kata-kata itu bukanlah untuk menghibur Nur, tapi sebenarnya untuk mengingatkanku bahwa Banjarnegara, asal di Nur, tak jauh dari Depok. Bahwa setiap saat Nur bisa datang kalau dia ingin menengok kami, atau bila kami ingin dia datang mengunjungi kami.

Datang ke Depok? Ke rumah ini? Mungkin tidak akan menjadi perkara mudah buat Nur karena November nanti, ia sudah menjadi istri Eko, bujangan Temanggung yang dikenalnya tak sampai setahun lalu. Dari Nur aku dengar Eko memintanya untuk berhenti bekerja setelah menikah nanti. Bagaimanapun juga, tentu itu hal yang sangat mudah dimengerti. Bagaimana mungkin suami istri, penganten baru, hidup berpisah?

Keputusan pulang dan menikah merupakan satu hal yang akan aku kenang dari Nur. Walau jarang ngobrol mendalam dengannya, aku tahu dia sangat berani dengan keputusan ini. Eko belum punya pekerjaan tetap, begitu Nur bercerita suatu ketika. Dan Nur belum tahu ia akan kerja apa untuk kehidupannya kelak.

“Tapi tak tahulah nanti,” begitu kata Nur.

Nur Laela, itulah nama lengkap Nur. Saat ini usia hampir 21 tahun. Aku ingat sorotan matanya, mata cemas, mata seorang anak kecil, melayangkan pandangan sekilas, kepadaku yang duduk di belakang kemudi mobil Panther kami, 5 tahun lalu, malam-malam berhujan, ketika kami menjemputnya, di rumah kakaknya di Banjarnegara.

Nur Laela, hanya tamat SMP, seorang piatu, ibu meninggal dan bapak kawin lagi, bersedia kerja bantu kami di rumah. Ah .. aku masih ingat sorotan mata cemasnya. Dan waktu itu, ingin kuingatkan padanya, jangan kawatir, keluarga kami bukan keluarga ndoro seperti dalam sinetron. Kami sama saja denganmu, sama-sama berasal dari desa, kebetulan saja terlempar ke Jakarta untuk mengadu nasib, dan kebetulan pula kami merasa perlu seseorang di rumah menjaga anak-anak dan mengurus rumah, selagi kami kerja.

Ah itu masa lalu. Tapi aku juga heran, betapa sorot mata Nur malam itu tak pernah lenyap dari ingatanku yang pendek. Betapa 5 tahun terasa hanya seperti kemarin saja.

Kulihat Nur menuju pintu depan. Dia menatap teras kami yang tak rapi. Menyapu halaman depan hanya untuk merasakan kesedihan kian dalam. Aku bisa mendengar isak tertahan. Aku di belakangnya. Ikut-ikutan memandang sekeliling. Sebentar lagi, rumah ini akan kehilangan seorang anggotanya. Ironis, ketika rumah ini hampir jadi, dan ketika ia siap dinikmati, salah satu penghuninya pergi.

Nur pulang. Aku sekeluarga sudah tahu sejak 6 bulan lalu. Tak sempat perpisahan secara semestinya. Tak kusesali tak mendapatkan kesempatan itu. Aku bekali Nur sedikit duit tambahan dan beberapa pakaian baru. Juga sarung untuk calon suaminya. Nur tidak jauh kok. Dia hanya belasan jam dari Depok. Kita akan bertemu lagi. Om Tyo yang akan mengantarnya ke tempat bis di Margonda sana sudah menyalakan motor.

Keberaniannya memutuskan menikah dan berhenti kerja akan tetap kukenang. Melepaskan pekerjaan dan ikut suami bukan hal mudah bagi banyak perempuan. Nur sudah membuat keputusan. Bagaimanapun, mungkin ia juga jenuh setelah sekian lama hidup bersama kami, mengurus kami, aku, Naning, Ifa dan Aya.

Yang aku bayangkan sekarang adalah bagaimana Ifa dan aya mengelola rasa kehilangan mereka. Seminggu terakhir sebelum Nur pulang, Aya selalu tidur di kamar Nur. Kadang Aya bermanja lebih. Mungkin itu caranya untuk mengantisipasi kepulangan Nur. Saat Nur pulang, Aya sedang main di rumah tetangga. Mungkin dia tidak sempat mendapat ciuman selamat tinggal dari Nur. Tapi gak apa-apa. Bila tidak ada aral melintang, kami rencana datang ke acara pernikahan Nur nani. Aku fikir, aku masih ingat simpang jalan menuju desanya. Toh aku masih punya nomor HP-nya.

Bentar dulu... HP-ku berdering. Dari Naning. Dia mengabarkan sudah berada di tempat Nur tunggu bis. Tiba-tiba semua ambrol, tak kuasa lagi aku menahan sesak di dada, aku menangis ...

“Bapak nangis ya ...?” begitu tanya Naning tak percaya. “Berapa ember air matanya?” sesaat mencandaiku lalu terdiam begitu mendengar tangisku tak dibuat-buat.

Di sela isak tertahan, aku cerita aku sedang tulis cerita tentang Nur.

“Sampaikan maafku ke Nur ya .. kalau-kalau ada yang salah .. aku tadi gak sempat minta maaf, tak kuasa ngobrol dengannya berlama-lama.”

Di sela linangan air mata, aku ingat sedang puasa .. aku sebaiknya tak menangis .. nanti batal puasaku ... . Mungkin aku sudahi saja tulisan ini biar aku tak tambah sedih. Tadinya kau berharap dengan menuliskan perasaan, aku akan terbantu, tapi aku salah. Aku tahu Nur dapat merasakan perasaaanku ini, aku tahu dia merasakan kesedihanku. Aku sedang melihatnya sesungukan menunggu bis ... ditemani Tyo dan Naning. Selamat jalan Nur, bila ada apa-apa .. jangan segan bilang ya ... Insya Alloh kami selalu ada buatmu. Selamat jalan, tapi ingat, kita akan bertemu lagi.

No comments: