Sunday, 10 July 2016

Tanam Pohon Menuai Harapan

Aku sedang menerjemahkan sebuah teks yang menjelaskan tentang program penanaman pohon oleh pemerintah. Tiba-tiba aku ingat keinginanku bertanam pohon. Jadi pingin punya tanah pekarangan yang lumayan luas buat tanam segala pohon.

Memang sih, sudah ada di Depok, areal pekarangan lebih dari 500 m2. Sudah aku tanami sekitar 200 mahoni. Ada juga mangga. Durian. Rambutan. Pete. Sawo. Entah apa lagi. Tetapi aku tak bisa melihatnya sehari-hari. Tak bisa menikmatinya. Gimana bisa? Aku kan sekarang tinggal di Semarang. hehehe.

Aku suka bertanam. Mungkin pengalaman waktu kecil, dulu punya proyek tanan nanas dan tanam singkong sama Amat Oli (temanku waktu kecil saat kami di masih SMP Tanjung), proyek sederhana menanami lahan di lendang (sebutan kami di Lombok untuk sebidang tanah di sepanjang bukit dari Geres sampai semua ujungnya) kering kerontang seluas tak sampai 2000 meter persegi milik Bapak almarhum. Kami berkhayal sukses menjual singkong dan nanas. Tapi itu semua sekedar khayalan karena tanaman kami tak sampai berproduksi. Tak ada air. HUjan jarnag turun. Tapi pada akhirnya ada juga yang berhasil berbuah atau berumbi. Cukup bila pingin bakar singkong buat nemenin minum kelapa muda.

Aku suka bertanam. Mungkin karena melihat Bapak almarhum menanam kelapa dan melihat bagaimana pohon kelapa tanaman Bapak bisa membuat kami tetap bersekolah.  Bapak punya sebidang Kebon Timuk dekat Kokok Jaok. Lalu punya Kebon Punik jauh di bawah Lendang Bao (ujung utara Lingkokdudu). Bapak punya lendang. Bapak juga punya sawah. Semua ditanami banyak pohon kelapa. Tak terkecuali sawah, tentu di pinggirnya. Kata Bapak, supaya bisa dijual untuk sekolah. Dan itu terbukti, Ketika harus bayar SPP, tak segan Bapak potong kelapa yang sudah tua, dijual, dan hasilnya dikirim ke kami yang sekolah di Jogja (aku dan adik - Om Man, berdua sekolah di Jogja). Setelah itu, tak lupa Bapak tanam Lagi. Ibu (Puk Tuan) ingat sering diminta Bapak membawakan bibit pohon kelapa untuk ditanam mengganti pohon-pohon yang sudah ditebang.

Aku suka bertanam. Dulu waktu kerja enam tahun di ICRAF Bogor, aku saksikan bagaimana areal kantor kami penuh pohon aneka rupa, pohon hutan segala jenis, juga pohon buah. Semuanya indah dan teduh. Aku juga saksikan para ilmuan peneliti kami berdiskusi tentang pohon, tentang tanah, tentang kebun campur, tentang petani, dan tentang dampak ekonomi dan lingkungan dari bertanam pohon. Semuanya mengasyikkan.

Aku suka bertanam. Tak cuma pohon. Aku suka menanam segala tanaman. Suka saja. Senang rasanya melihat tanaman tumbuh dan memberi harapan (buah dan aneka produknya) entah kapan. Punya harapan itu menyenangkan. Dan melihat tanaman tumbuh, itu merupakan sumber harapan yang tak putus-putus. Selalu ada tiap hari. Selalu memperbaharui harapan. Siapa yang tak suka bahagia tiap hari?

Berada di tengah tanaman. Alangkah nyaman rasanya. Tanaman tak banyak bicara. Banyaknya diam. Memang karena tak bisa bicara. Tetapi lambaian daunnya. Gesekan dahannya. Desiran angin yang mereka ciptakan. Teduh yang mereka berikan. Semuanya adalah dialog. Dialog dalam keheningan. Aku tak pernah merasa kesepian di tengah pohon-pohon yang aku tanam. Selalu merasa tenteram dan kedamaian memenuhi jiwa. Sungguh tak ternilai.

Aku suka tanam pohon. Mungkin karena memang sangat bernilai.

*Aku sangat suka mendengar program rebiosasi atau penananam pohon di mana saja, di lahan hutan yang sudah tak berpohon, di pekarangan, di tepi jalan, di mana saja ada tanah kosong. Aku juga ada tanah di Belanting. Ada 2 hektar. dan yang satunya sekitar 2000 meter. Semuanya ditanami pohon. Tetapi tak tahu apakah ada yang bisa tumbuh, terutama yang di lokasi 2 hektar. Soalnya tak ada sumber air. Yang di 2000 meter, ada banyak pohon jati tumbuh, usianya sudah sekitar 10 tahun. Dan hujan cuma ada di musim penghujan. Sudah bisa dimanfaatkan kalau mau. Mungkin buat bantu bikin kusen bila Bibi Imah jadi bikin rumah.

No comments: