Thursday, 1 September 2011
Ketupat Basi dan Libasan Waktu
Masyarakat menerima atau (mungkin tepatnya: menghibur diri) dengan berkata berulang-ulang 'perbedaan itu indah,' 'perbedaan itu indah,' mencoba menerima kenyataan dengan bijak sembari membentengi diri dari pertanyaan-pertanyaan logika benar salah terkait kapan tepatnya 1 Syawal dirayakan.
(Umat muslim percaya haram hukumnya berpuasa pada tanggal 1 Syawal, hari mereka merayakan Iedul Fithri. Siapa SEBENARNYA yang salah? Apakah kaum Muhammadiyah yang kemudian dianggap 'tidak berpuasa' pada hari terakhir bulan Ramadhan? Ataukah kelompok lain yang 'tetap berpuasa' pada tanggal 30 Agustus - hari yang diyakini kaum Muhammadiyah sebagai 1 Syawal?)
Kenyataannya, banyak yang seakan lupa dengan pertanyaan-pertanyaan di atas. Ataukah mereka tidak peduli, merasa hal tersebut tak penting, atau karena alasan syar'i tertentu, sebenarnya hal tersebut tak penting atau sudah terjelaskan?
Aku tak tahu. Yang pasti, tanggal 30 dan 31 Agustus terlewati dengan aman tenteram walau menyisakan beberapa kerepotan teknis menyangkut persiapan memeriahkan lebaran seperti pengaturan ulang acara takbir keliling, juga pembatalan catering acara halal-bil-halal.
Bagi sebagian orang, masalah ketupat basi atau keharusan untuk sering-sering menyalakan kompor menghangatkan opor ayam bukanlah perkara besar. Hal lain yang justru lebih penting untuk direnungkan adalah hakikat benar salah dalam hal pelaksanaan syariat agama yang dalam hal ini adalah perayaan 1 Syawal.
Kalau ada baik, maka ada buruk. Tapi mungkin juga ada banyak hal di antara keduanya. Masing-masing dapat dibedakan berdasarkan kadar kombinasi baik dan buruknya. Ada benar dan ada juga salah. Mungkin juga ada yang setengah salah dan setengah benar. Juga ada yang cenderung benar (berarti kemungkinan salah lebih kecil), dan ada yang cenderung salah, sesuatu yang salah walau tidak betul-betul salah.
Tetapi dengan logika hitam putih, tanggal 1 Syawal mestinya hanya 1 versi. Tidak 2 versi seperti yang terjadi di sini. Bagaimana mungkin ada dua hari dengan tanggal yang sama? Logika seperti apa itu? Salah satu mesti benar. Selain itu pasti salah.
Mungkinkah Indonesia punya 2 hari kemerdekaan? Sebagian masyarakat Indonesia merayakan hari pertama dan sebagian lagi merayakan hari kedua? Bukankah tiap-tiap kita manusia dilahirkan pada SATU hari tertentu saja, bukan lahir (dalam) 2 hari atau memiliki 2 tanggal lahir?
Ah .. pusing aku memikirkan hal itu.
(Dalam hati sebenarnya aku yakin dalam pelajaran agama Islam hal ini bisa dijelaskan. Cuma aku tidak tahu banyak tentang ilmu agamaku ini .. hehe).
Pertanyaan yang muncul di kepalaku adalah: bagaimana cara Tuhan melihat hal ini, melihat perbedaan cara manusia memaknai sesuatu hal? Bagaimana Tuhan membuat keputusan siapa yang benar dan siapa yang salah? Bagaimana Tuhan menentukan siapa yang berdosa atau yang berpahala?
Aku duga, Tuhan memiliki satu rumus tertentu, memiliki sofware tertentu (manusia belum mampu menebaknya) untuk menemukan jawaban dari pertanyaanku tadi. Aku tidak akan desak Tuhan untuk menjelaskan ini. Aku juga tidak akan paksa diriku untuk segera ubek-ubek buku mencari jawaban. Aku akan tunggu saja hidayah dari Tuhan yang akan membuka pintu pengetahuan sedikit saja bagiku untuk menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di atas.
Tetapi ada satu hal lain yang mestinya tak boleh luput untuk kita renungkan: apakah benar bagaimanapun salahnya seorang anak manusia ataupun sebagian besar umat menjalankan hidupnya, Tuhan seakan tidak peduli. Buktinya? Tidak ada penjelasan ... (haruskah menunggu hari akhir yang dijanjikan? ouchhh ... )
Tanggal 30 dan 31 Agustus sudah berlalu. Sekarang sudah tanggal 1 September. Hingar suara takbir tak terdengar sudah. Kalaupun masih tersisa, hanya dalam bentuk dengungan lirih dalam hati sebagian umat. Kesalahan sudah diperbuat. Kebaikan juga sudah ditunaikan. Semua adalah hari kemarin. Sudah berlalu. Tiap-tiap manusia sudah sibuk menyongsong hari baru. Waktu melibas tak terasa. Yang bijak adalah tak melihat tanggal 30 dan 31 lagi. Sudah tak perlu. Di depan ada tangagl 2, 3, 4, September dst., hari-hari baru bagi manusia (seperti kata seorang temen baik) untuk memilih menjalankannya dengan baik atau buruk, tergantung pilihannya sendiri.
Thursday, 25 August 2011
Please Respect Others (Nasehat Buat Diri Sendiri)
Thursday, 18 August 2011
Surrounded by Angels
Wednesday, 15 June 2011
Maret, April, Mei, Juni 2011
Friday, 11 March 2011
Jauh Tapi Dekat, Dekat Tapi Jauh
Sore menjelang Magrib.
Seorang teman memintaku segera mengakhiri obrolan.
"Lagi nemenin anak-anak belajar bukan? Tutup saja telponnya. Lain kali kita bisa lanjut ngobrol. Lagipula ini tidak baik. Nanti anak-anakmu belajar kurang menghargai orang lain.”
Dengan enggan aku mematikan HP dan mulai menjawab satu dua pertanyaan Aya (anakku kelas 3 SD) yang sedang latihan penyelesaian soal-soal matematika.
Malam sepulang kuliah.
Aku perlu waktu sekitar 5 jam untuk mulai memahami nasehat teman tadi. Banyak dari kita lupa jebakan HP: yang jauh terasa dekat, yang dekat jadi jauh. Kenyataan era digital.
Kadang kita lupa bahwa kita sedang bersama orang tersayang kita. Anak, suami, atau istri yang menghendaki perhatian penuh. Kita terlalu asyik bermain BBM atau SMS dengan teman atau kolega kerja yang berada entah di mana. Yang saat ini berada dalam radius satu meja dengan kita cukup maklum saja.
Kalau pernah memperhatikan acara bincang-bincang di radio ketika pesawat televisi masih belum popluer, ada semacam aturan tak tertulis yang membolehkan penyiar (pewawancara) menghentikan obrolan bila ada dering telpon masuk.
Sang penyiar terlebih dahulu minta izin kepada narasumber, “Maaf kita terima telpon dulu .. HALO?”
Menghentikan perbincangan untuk menerima telepon dalam konteks di atas punya alasan yang cukup masuk akal. Ketika sistem telepon masih analog, menelepon tidaklah segampang dan semurah sekarang. Selain itu, susah nyambungnya. Karenanya dapat dipahami bila prioritas diberikan pada penelepon jarak jauh.
Barangkali, kenangan jadul tersebut sedemikian kuat menorehkan bekas dalam kenangan kita sehingga tanpa sadar kita masih terapkan hingga sekarang. Kita selalu merasa perlu memberi prioritas menjawab SMS atau BBM, melupakan teman dekat atau pasangan yang berada kurang satu meter di samping kita.
Alasan mudah dibuat, urus pekerjaan inilah .. urus kerjaan itulah .. ada banyak cara untuk menjustifikasi pentingnya meneruskan baca dan kirim SMS atau BBM dan meminta yang ada di dekat untuk menunggu (kadang lamaaa).
Ada sesuatu yang terlupa di zaman digital yang gegap gempita dengan aneka pilihan gadget perampas perhatian kita. Blackberry di tangan kiri. Di kanan ada telepon GSM. Di dalam tas tangan ada telepon CDMA. Di meja ada laptop dengan jendela Facebook dan Yahoo Messanger yang selalu terbuka. Ada juga email. Semua mempersyaratkan jawaban segera.
Banyak dari kita lupa anjuran untuk berusaha metatap mata lawan bicara ketika sedang ngobrol, memperhatikan dengan sungguh-sungguh, mendengar dengan baik, dan memberi tanggapan dengan sepenuh hati.
Kadang pikiran kita entah di mana .. melayang mengikuti angin .. berharap hempasannya membawa jiwa dan pikiran kita terbawa masuk ke jiwa lawan bicara di seberang sana.
Tidak ada yang salah dengan itu, cuma kalau anak kita, suami kia, atau istri kita merasa terlupakan ketika jiwa kita sedang asyik berjalan jalan di jalur BBM atau YM, lalu tiba tiba kita menderita sakit gagap tiba-tiba ketika dimintai menanggapi sesuatu?
Barangkali kita lupa .. dalam komunikasi ada istilah menghargai lawan bicara. Bisakah disebut menghargai bila kita bisa menjawab AH UH YAA .. HMM .. HO OH .. ketika ditanya? Sementara jari-jari kita tetap lincah menari di keyboard dan pandangan mata terfokus ke layar Blackberry?